Share

Ancaman wanita asing

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 5

"Mar, kamu kan masih punya utang lima ratus ribu jadi motor ini saya bawa dulu sebagai jaminan sampai kamu bisa lunasin utang kamu!"

Apa?! 

Dih, Bude emang keterlaluan!

"Rik … Riko, sini kamu!" Riko yang sedang berjalan kemudian berbelok setelah mendengar panggilan ibunya.

"Ada apa, Bu? Riko mau main, nih," jawab Riko. Riko tampak kesal acaranya terganggu.

"Mau motor baru ini nggak? Ini bawa motornya pulang!" Bude Ratmi menyerahkan kunci motor yang dipegangnya.

"Beneran? Ini motor yang Riko pengin, siapa yang beli Bu? Ayo deh Riko boncengin Ibu, tapi nanti Riko langsung bawa main ya motornya." Riko begitu bersemangat dan langsung menaikinya.

"Tunggu!" Aku yang sedari tadi hanya memperhatikan lama-lama geram juga melihat tingkah Bude. 

"Assalamualaikum," ucap suamiku yang baru datang. Saking konsentrasinya melihat tingkah laku Bude dan Riko sampai tidak sadar ada yang datang.

"Waalaikumsalam," jawab kami serempak.

"Udah nyampe motornya? Gimana? Dinda suka nggak?" tanya suamiku.

"Ayo Bu, cepetan kita bawa motornya!" Riko justru mengajak Bude Ratmi untuk membawa motor baru itu, apa dia nggak dengar tadi suamiku bilang apa.

"Kamu siapa? Mau bawa motor ini ke mana?" tanya suamiku pada Riko.

"Saya yang punya motor ini! Ibu yang belikan motor ini, ya mau dibawa pulang lah, Kek!" Riko menjawab sambil teriak-teriak sampai membuat suamiku menutup telinganya.

"Apa kamu nggak diajari sopan santun? Ngomong sama orang tua kok teriak-teriak!" Suamiku merasa kesal dengan sikap Riko.

"Kakek kan sudah tua biasanya kalau orang yang sudah tua itu pendengarannya kurang, makannya Riko teriak-teriak. Ayo Bu, kenapa masih diam? Katanya mau bawa motor ini pulang."

"Loh, saya beli motor ini buat istri saya Seva, kenapa malah mau dibawa pulang sama kalian?" Suamiku sepertinya bingung dengan kejadian ini.

"Istri? Berarti Kakek suaminya Mbak Seva? Apa nggak salah?" Riko berusaha mencerna ucapan suamiku.

"Motor ini mau saya bawa pulang sebagai jaminan karena Marni masih punya hutang sama saya. Udah ya, keburu hujan nanti motornya kotor kalau kehujanan. Buruan, Rik!" ujar Bude Ratmi. Bude Ratmi masih saja berniat membawa motor itu.

"Berapa hutangnya?" tanya suamiku.

"Lima ratus ribu," jawab Bude.

"Gus, Agus! Sini sebentar, bawakan juga tas yang di dalam mobil," perintah suamiku pada sopirnya yang bernama Agus.

Tak perlu waktu lama Pak Agus sudah datang dengan menenteng tas kerja suamiku.

"Ini, Bos." Agus menyerahkan tas kerja pada suamiku kemudian membukanya. Mataku terbelakak sempurna begitu melihat isi tas itu. Terlihat tas itu penuh terisi dengan uang berwarna merah. Aku yang baru pertama kali melihat uang sebanyak itu hanya bisa melongo.

"Ini, satu juta rupiah, lunas kan? Bahkan saya bayar dua kali lipat hutangnya." Suamiku menyerahkan uang itu pada Bude Ratmi. "Serahkan kunci motornya pada istriku dan kalian pulanglah, lima ratus ribu kok mau bawa pulang motor baru. Beli spionnya aja dulu sana!" 

Bude Ratmi kemudian menyerahkan kunci motornya padaku. Bukannya pulang Bude malah masuk ke dalam rumah.

"Seno mana?" tanya suamiku. Tumben ini tanya adikku, apa ada masalah sama Seno?

"Ada tadi di kamar lagi tidur. Pulang sekolah katanya ada tugas terus masuk kamar, Ibu lihat tadi malah ketiduran" jawab Ibu. 

"Ini buat Dinda sama Seno." Diserahkannya dua buah paperbag yang sedari tadi ditentengnya.

"Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Bukalah!"

Aku menurutinya kemudian mengeluarkan isinya, yang ternyata itu adalah ponsel. 

Astaga! Ini ponsel keluaran terbaru yang logonya apel nggak utuh bahkan ini seri yang paling baru. Kata Riska kemarin harganya ini puluhan juta dan di dalam paperbag ini ada dua ponsel berarti kalau di total lebih dari tiga puluh juta hanya untuk beli ponsel.

"Ayo pulang!" Bude Ratmi sudah keluar kemudian mengajak Riko untuk pulang.

"Apa itu, Bu?" Riko menunjuk kantong kresek yang dibawa Bude dari dalam rumah. Perasaan tadi pas masuk Bude nggak bawa apa-apa kenapa keluar bisa bawa kantong kresek?

"Pisang goreng," jawab Bude. Sejujurnya aku ingin tertawa melihat kelakuan Bude. Ternyata Bude masih menginginkan pisang goreng yang tadi masih tersisa di piring.

"Bu, belikan ponsel yang kayak gitu ya," pinta Riko sambil menunjuk ponsel yang sedang aku pegang.

"Iya, besok Ibu belikan, bukan cuma satu malah dua sekalian!" 

"Beneran Bu? Janji loh harus yang sama persis! Motornya gimana?" 

"Iya besok beli! Motornya nanti kamu bilang dulu sama bapakmu buat belikan."

"Bu, Mbak Susi suruh nikah sama kakek-kakek aja Bu, biar bisa dikasih motor sama ponsel yang bagus." Susi itu anaknya Bude Ratmi yang pertama, usianya terpaut satu tahun di atasku dan dia juga satu kampus denganku, tapi sayang kita nggak terlalu dekat, bahkan kalau di kampus Mbak Susi nggak pernah menyapaku katanya malu punya saudara miskin sepertiku.

"Ehm, Kakek punya temen yang lagi nyari istri nggak? Nanti Riko kenalin sama Mbak Susi." Suamiku tak menghiraukan ucapan Riko justru dia langsung masuk ke dalam rumah.

***

Malam hari aku sedang mengerjakan tugas kuliahku, sedangkan suamiku masih duduk bersender di ranjang tua milikku. 

"Apa tugasnya masih banyak?" Suamiku memulai percakapan karena dari tadi hanya ada keheningan diantara kita. Entahlah, rasanya aku masih canggung dengannya.

"Tidak, ini sudah selesai. Besok ada ujian jadi aku harus belajar," jawabku sambil membereskan peralatan belajarku.

"Belajarlah yang rajin, kalau Dinda lulus kuliah Dinda bisa melanjutkan kuliah S2 di universitas manapun yang Dinda pilih bahkan ke luar negeri pun boleh dan Kanda tau Dinda pasti bisa." Beberapa bulan lagi harusnya aku sudah lulus kuliah makannya aku sangat berharap pihak kampus tidak ada yang tau tentang pernikahanku. 

"Kemarin Pak Lurah dan Bu Bidan datang kesini." Hampir saja aku lupa untuk menceritakannya.

"Ada apa? Apa ada masalah?" 

Kuceritakan semua apa yang Pak Lurah dan Bu Bidan bicarakan.

"Bukankah tujuanku menikah dengan Dinda supaya Dinda bisa memberikanku anak laki-laki? Kalau dilarang hamil mana bisa melahirkan anak laki-laki?" 

"Bukan dilarang, tapi tunggu pernikahan kita sah dimata hukum dan agama."

"Kita bicarakan ini lain kali, lagian Kanda juga belum menyentuhmu, atau sekarang sudah siap?" Pertanyaan suamiku membuatku bergidik ngeri, segera kugelengkan kepalaku pertanda aku belum siap. 

"Aku ngantuk, mau tidur dulu. Selamat malam." Daripada membicarakan hal itu lebih baik aku tidur. Kutarik selimut sampai ke leher kemudian aku tidur dengan membelakanginya. 

"Selamat malam Dinda, semoga mimpi indah." Terdengar ucapan sangat dekat dengan telingaku bahkan nafasnya yang hangat bisa kurasakan dan lagi-lagi dia mengecup keningku seperti waktu habis resepsi.

***

"Pak Bambang, terimakasih atas pemberian ponselnya, tapi bolehkah ditukar saja?" Suamiku yang sedang sarapan langsung meletakkan sendoknya setelah mendengar ucapan Seno. 

"Kenapa? Kenapa minta ditukar? Itu ponsel yang paling baru bahkan belum banyak yang punya." Suamiku merasa heran dengan permintaan Seno.

"Ponsel itu terlalu bagus dan terlalu mahal, Seno tidak bisa menerimanya dan juga uang saku yang kemarin diberikan kepada Seno terlalu banyak." Seno itu anak yang baik, seberapapun uang saku yang diberikan oleh bapak dia tak pernah protes. Seno bahkan sering berjalan kaki ketika berangkat ataupun pulang ke sekolah bersamaku. Jaraknya memang cukup jauh tapi kami tak pernah mengeluh karena kami tahu bapak itu pendapatannya nggak banyak bahkan sering kurang. Kami saja sering makan dengan lauk seadanya.

"Kamu itu aneh, disaat anak yang lain menginginkan ponsel dan uang saku yang banyak justru kamu menolaknya. Uang itu kalau terlalu banyak kamu tabung saja, dan ponsel itu pergunakanlah dengan baik, anggap itu hadiah dariku dan kamu tidak boleh menolaknya." Kali ini Suamiku menolak permintaan Seno dia tetap memberikan ponsel dan uang saku kepada Seno.

"Oh iya, Dinda Nanti berangkat kuliah bareng sama Seno ya, nggak usah naik angkot pakai motor yang baru. Kanda sengaja membelikannya agar digunakan ke sekolah oleh kalian." Lanjutnya lagi.

"Motor itu terlalu bagus untukku bagaimana kata teman-teman nanti mereka pasti curiga." 

"Buat saja alasan, Dinda itu pintar pasti bisa mencari alasan." 

"Tapi aku tak pandai berbohong, lain kali saja aku bawa, hari ini aku naik angkot dulu sama Seno. Aku pergi ke kampus dulu. Assalamualaikum." Tak lupa aku mencium takzim tangan bapak, ibu dan suamiku.

***

"Ris, sini deh aku mau tunjukkan sesuatu tapi ingat kamu jangan kaget ya, nggak usah berteriak." Hanya Riska yang bisa aku percaya saat ini karena dia memang sahabatku tak ada satupun rahasia yang kami tutupi. 

Saat ini adalah jam istirahat dan semua siswa kebetulan keluar dari kelas hanya tersisa aku dan Riska.

"Apaan sih? Ayo tunjukan, rasanya aku sudah tidak sabar."

Aku pun menunjukkan ponsel terbaru yang suamiku belikan, Riska lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya, begitu melihat ponsel itu sepertinya dia kaget karena justru dia yang sangat menginginkan ponsel itu. Aku juga tahu ponsel itu keluaran terbaru dari Riska. Riska yang bercerita karena dia selalu update, aku mana tahu tentang itu semua, ponsel saja baru pertama kali aku miliki.

"Astaga Seva, kamu sudah punya ponsel ini? Ini tuh harganya mahal banget, puluhan juta!" Riska membolak-balikkan ponsel yang ada di tangannya.

"Jangan-jangan kamu belum bisa menggunakannya ya?" Aku pun menggelengkan kepalaku karena nyatanya memang aku belum bisa menggunakannya, hanya aplikasi tertentu yang sudah ada di ponselku.

Kemudian Riska mulai mengajarkanku tentang fitur-fitur yang ada di ponselku. Aku pun mulai mengerti, beruntungnya aku punya sahabat seperti Riska. 

"Hai, sedang apa kalian?" Kami berdua cukup kaget dengan kedatangan Andi. Buru-buru aku memasukkan ponselku ke dalam tas.

"Ehm, nggak ada apa-apa kok biasa anak cewek, lagi gibah! Kamu sendiri ada apa? Ini kan bukan kelas kamu?" Riska terlihat santai menjawab pertanyaan Andi.

"Emang nggak boleh main ke lain kelas? Oh ya Va, ini ada coklat buat kamu ya," ucap Andi. Sebungkus coklat kini telah berada di atas meja belajarku.

"Andi! Dari tadi aku cariin ternyata ada disini! Itu dicariin sama dosen katanya ada tugas!" Mbak Susi yang satu kelas dengan Andi langsung menggeret tangannya dan mengajaknya keluar. Bukan rahasia lagi jika Mbak Susi itu naksir sama Andi, tapi tak pernah mendapat respon dari Andi.

***

Cuaca siang ini cukup terik, aku yang sedang berdiri sendirian menunggu angkot hanya bisa berlindung di bawah pohon yang agak rindang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku cukup membuatku merasa sejuk. Biasanya ada Riska yang mengajakku pulang bareng tapi kali ini Riska harus menjemput Ibunya di rumah saudaranya jadilah aku pulang sendirian.

Tak lama berselang bukan angkot yang berhenti di depanku melainkan sebuah mobil sedan berwarna hitam yang sangat mewah berhenti di hadapanku. Kaca mobil belakang itu perlahan turun, terlihat seorang wanita memakai kacamata hitam berada di dalam mobil.

"Kamu yang bernama Seva?" tanya wanita itu. Aku terkejut,  kenapa dia bisa tahu namaku. "Masuklah! Ada yang ingin aku bicarakan!" Aku ragu, aku tak mengenalnya, jangan-jangan dia culik! Ah masa iya ada culik cantik dan mobilnya sangat mewah. Kalau culik kan di film-film biasanya mobilnya Jeep. Batinku.

"Kamu mau berdiri terus di situ? Atau kamu mau dilaporkan ke kampus tentang pernikahanmu?" 

Deg!

Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.

Siapa kira-kira wanita ini ya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status