Share

Dilarang hamil

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 4

Lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah. Memasuki halaman ada mobil ambulance yang terparkir dan motor yang kuhitung ada lima buah juga berada di halaman. Pikiranku langsung tertuju ke Bapak.

Ya Tuhan, ada apa ini?

"Pak … Bapak!" Aku memanggil Bapak sambil berlari menuju rumah. Ya Tuhan semoga Bapak tidak apa-apa. Aku sangat khawatir karena Bapak punya riwayat penyakit jantung.

"Kenapa, Va? Kenapa teriak-teriak?" jawab Bapak.

Ah, lega rasanya. Ternyata bapak sedang duduk di ruang tamu. Ibu juga duduk disampingnya. Tunggu, mana Seno?

"Seno mana, Pak?" Masih saja aku takut terjadi sesuatu dengan anggota keluargaku.

"Ada itu di kamar. Sini loh, ada Bu Bidan sama perangkat desa mau ketemu sama kamu." Bapak menjelaskan siapa saja yang ada di ruang tamu. Karena ruang tamu yang sempit jadi yang duduk hanya Bu Bidan dan Pak Lurah saja yang lainnya berdiri. 

"Kami tunggu di luar saja ya Pak, biar lebih enak ngobrolnya." Salah satu dari laki laki yang mengenakan seragam coklat akhirnya memutuskan untuk keluar. Di dalam ruang tamu tinggal Bu Bidan sama Pak Lurah.

"Aku pulang aja ya," bisik Riska. Mungkin dia tidak enak karena di rumah banyak tamu. 

"Iya, hati-hati, makasih udah dianter." 

Ibu kemudian menggeser tempat duduknya dan menyuruhku untuk duduk bersama. 

"Begini ya, kedatangan kami kesini karena kami dapat laporan kalau kemarin di rumah ini telah diadakan acara pernikahan. Apakah itu benar Pak, Bu?" Pertanyaan yang dilontarkan Pak Lurah membuat Bapak dan Ibu jadi saling berpandangan.

"Benar, Pak Lurah, tapi kami sudah ijin sama Pak RT" jawab Bapak.

"Apa yang menikah itu adalah Seva?" Kali ini Bu Bidan yang bertanya.

"Benar Bu, Seva yang menikah" jawab Ibu.

"Usia Seva sekarang berapa?" lanjutnya. Aku berasa jadi narapidana yang sedang di interogasi.

"Dua puluh satu tahun, Bu," jawabku.

"Berapa usia suamimu?"

"Ehm, usianya enam puluh tahun Bu," jawabku lirih.

"E-nam puluh tahun? Apa tidak salah?" Bu Bidan kaget mendengar jawabanku, tapi memang begitulah kenyataannya.

"Benar, usianya memang enam puluh tahun." Kupastikan lagi jawabanku agar mereka yakin.

"Lalu, apa kalian berencana untuk langsing punya anak?"

"Ehm, itu ... sebenarnya mungkin belum Bu, saya masih kuliah, mungkin tunggu saya selesaikan dulu kuliah saya," jawabku.

"Baiklah, jika memang begitu, saya harap kalian segera melegalkan pernikahan kalian. Bukannya apa-apa, jika kalian hanya menikah di bawah tangan terus kalian punya anak, nanti yang rugi anaknya, juga kamu—Seva. Apalagi usia suamimu itu sudah tak lagi muda. Bukannya menakut-nakuti, tapi jika suamimu pergi duluan terus pernikahan kamu belum tercatat, kamu tidak bisa menuntut apa-apa nantinya," papar Bu Bidan. Aku hanya manggut-manggut saja mendenu penjelasannya. Aku tak bisa memungkiri memang benar apa yang dikatakan oleh Bu Bidan. Amit-amit jangan sampai nantinya aku bernasib buruk dengan pernikahan ini.

"Seva hanya menunggu sampai lulus kuliah Bu, nanti akan mendaftarkan pernikahan kami. Sayang jika aku harus menikah resmi nanti aku dikeluarkan dari kampus karena Seva masuk dari jalur bidik misi," jelasku pada Bu Bidan. Ya, alasan bidik misi lah aku tak bisa menikah secara resmi. Waktu itu sebenarnya suamiku menawarkan aku untuk pindah saja kuliahnya tapi tidak semudah itu juga untuk pindah. Sayang rasanya dengan waktu kuliah yang selama ini sudah aku jalani.

"Bapak yang salah, bapak yang sudah mengijinkan Seva untuk menikah," ucap Bapak.

"Nggak Pak, jangan begitu ngomongnya. Seva ikhlas dengan pernikahan ini." Aku takut, jika kepikiran nanti jantung bapak akan kambuh.

"Ini semua kan sudah terjadi, untuk meminimalisir resiko sebaiknya Seva jangan hamil dulu ya," saran Bu Bidan. "Boleh ko hamil, tapi tunggu pernikahan kalian sah secara hukum dan agama."

Begitulah saran dari Bu Bidan dan entah apalagi yang mereka bicarakan aku tak terlalu mengingatnya.

***

Sore ini Ibu membuat pisang goreng untuk kami. Cuaca yang habis hujan sangat cocok dinikmati dengan segelas teh manis hangat. Aku sedang mengaduk gula di dalam cangkir saat terdengar suara panggilan dari luar rumah. Sudah bisa dipastikan suara siapa itu. Ya, itu pasti suara Bude Ratmi.

"Mar … Marni …!" Bude Ratmi masih saja terus berteriak kalau tidak segera di bukakan pintu. Ibu yang sedianya akan memasukkan pisang goreng ke mulutnya langsung meletakkan begitu saja pisang goreng di meja. Bergegas Ibu ke depan dan membukakan pintu.

"Iya Mbak, sebentar," jawab Ibu.

"Buka pintu aja kok lama banget!" sungut Bude Ratmi. "Bau teh panas ini, kamu lagi bikin teh ya, Va? Bude sekalian ya, gulanya yang banyak air panasnya juga yang benar-benar panas ya, Bude nggak mau kalau kurang panas." 

"Hmmm," gumamku. 

"Mar, tadi aku lihat ada ambulance sama Pak Lurah pada datang kesini. Emangnya pada mau ngapain?" Nah kan Bude pasti kesini cuma pengin kepo terus nanti jadi bahan gibah di warung.

"Nggak ada apa-apa kok, Mbak" jawab Ibu. Ibu juga sepertinya enggan untuk menceritakan perihal kedatangan Pak Lurah tadi.

"Ini Bude, tehnya, sama ini juga ada pisang goreng." Kusandingkan sepiring pisang goreng dan juga teh manis sesuai permintaan Bude.

"Cocok nih, pisang gorengnya nanti Bude minta bungkus sekalian ya buat Pakde temen ngopi," ucap Bude sambil tangannya mencomot satu pisang goreng dan langsung memakannya.

"Ayo donk Mar, ceritakan tadi kenapa mereka pada dateng kesini." Bude masih saja kepo, padahal tadi Ibu sudah bilang nggak ada apa-apa. Harusnya Bude sadar kalau Ibu itu nggak pengin cerita.

"Nggak ada apa-apa, Mbak," jawaban Ibu juga masih sama seperti tadi.

"Kamu mau main rahasia rahasiaan sama aku? Udah nggak ngakuin aku jadi saudara jadi main rahasia?" Bude malah jadi terlihat emosi karena nggak mendapatkan jawaban dari Ibu. 

"Bukan gitu, Mbak," elak Ibu.

"Bukan gimana? Udah jelas kamu nggak mau cerita itu artinya kamu nggak mau ngakuin aku jadi saudara! Yang namanya saudara itu nggak ada rahasia!"

"Iya, Marni cerita" Akhirnya luluh juga Ibu setelah Bude Ratmi mengancam. Diceritakanlah kedatangan Pak Lurah dan Bu Bidan tadi siang. "Intinya Seva belum boleh hamil dulu Mbak, masih kecil katanya."

"Lah, kalau nggak keburu hamil nanti suamimu keburu innalilahi." Bude Ratmi enteng sekali mengucapkannya.

Uhuk!

Ibu yang mendengarnya langsung tersedak teh yang sedang diminumnya.

"Ya, jangan ngomong kayak gitu donk Mbak, doain biar umurnya panjang."

"Va, Bude ajarin nih, kamu cepet-cepet minta warisan aja deh secara kamu itu kan nikah sirih kalau kamu nggak punya apa-apa terus suamimu meninggal kamu yang rugi!" ujar Bude Ratmi sambil mulutnya terus mengunyah pisang goreng.

"Nggak kepikiran sampai situ Bude," jawabku. Masa iya aku tega sama suamiku sendiri biarpun sudah tua.

Tok tok tok

"Permisi, selamat sore" ucap seseorang di depan.

"Kalian lagi nunggu tamu?" tanya Bude.

"Marni nggak ada janjian sama siapapun lagian dari dulu mana ada yang mau bertamu di gubuk reot ini. Seva mungkin?" Ibu beralih menanyakan padaku.

"Nggak, Seva nggak ada janjian dengan siapapun. Biar Seva aja yang buka." Aku menghentikan acara minum teh kemudian beranjak ke depan membukakan pintu.

Ceklek

Pintu terbuka, terlihat seorang laki-laki memakai topi putih senada dengan baju yang dipakainya berdiri di depan pintu.

"Selamat sore, apa benar ini rumah dari Bapak Suparjo?" Laki-laki itu ternyata menanyakan rumah Bapak. Tapi siapa ya?

"Benar, saya anaknya. Anda siapa ya?" 

"Oh, pas sekali berarti ini dengan Seva Lidiya Dewi ya?" Laki-laki itu mengucapkan nama ku sambil membaca sebuah dokumen yang dipegangnya. "Sebentar ya." Laki-laki itu kemudian berbalik arah dan keluar dari halaman.

"Siapa, Va?" tanya Ibu yang sudah ada di belakangku bersama Bude Ratmi.

"Pasti itu rentenir yang mau nagih hutang! Inget ya, aku nggak mau nalangin, utang kalian aja masih ada lima ratus ribu!" Cerocos Bude.

Aku sanksi kalau itu rentenir, kan hutangnya sudah dilunasin semua. Apa ada rentenir lain yang aku nggak tau? Apa bapak menyembunyikan sesuatu?

Nah, itu orangnya sudah balik lagi. Tapi kok di belakangnya ada mobil pickup yang ngikutin.

"Mar! Amankan itu kamu punya barang-barang, jangan-jangan itu mobil mau sita barang di rumah kamu!" Lagi-lagi Bude Ratmi asal ngomong.

"Seva, itu siapa?" Ibu yang tadi belum mendapatkan jawaban mengulangi pertanyaannya.

"Nggak tau Bu, tadi tanya alamat Bapak terus tau nama lengkap Seva juga. Nah, itu orangnya kesini Bu, kita tanya lagi aja." Laki-laki dengan topi putih itu kembali lagi kesini.

"Permisi, ini motornya mau langsung dibawa masuk apa di teras dulu?" 

"Motor? Motor siapa ya?" tanya Ibu balik pada laki-laki itu. Aku menatap heran pada motor matic putih keluaran terbaru merk N*ax yang baru diturunkan dari mobil dan dituntun ke arah kami.

"Mungkin, Mas salah alamat," ucapku. Bisa saja kan mereka salah alamat, lagian siapa yang di rumah ini beli motor sebagus itu, mimpi pun aku tak berani.

"Iya betul pasti salah alamat, mungkin itu harusnya di anter ke rumahku. Kemarin Riko ngomong pengen motor kayak gitu. Jangan-jangan Mas Parmin yang belikan, iya pasti itu buat Riko. Ayo Mas, pindah ke sebelah." Bude antusias sekali dengan datangnya motor itu dan mengira itu untuk anaknya—Riko.

"Ehm, ini bener kan alamatnya Bapak Suparjo?"

"Salah Mas, Suparmin rumahnya yang sebelah," jawab Bude. Bude masih yakin kalau mereka salah alamat.

"Bukan Suparmin, disini tertera Suparjo dan anaknya namanya Seva Lidiya Dewi." Laki-laki itu kembali menjelaskan.

"Bener Mas, tapi motor itu punya siapa?" tanyaku penasaran. Nggak mungkin juga Bapak yang beli.

"Begini, saya jelaskan dulu. Pak Bambang Hendromoyo yang telah membeli motor ini dan minta diantar ke rumah Pak Suparjo, di pesannya tertera kalau motor itu untuk anaknya Pak Suparjo yang bernama Seva Lidiya Dewi." 

"Apa?! Jadi ini motor Seva? Nggak bisa! Harusnya Riko dulu yang punya bukan kamu!" Bude tak terima dengan motor yang jadi milikku.

"Ini, surat serah terima motornya mohon untuk ditandatangani." Laki-laki itu tak menggubris ucapan Bude, dia tetap melanjutkan tugasnya. Ibu kemudian menandatangani berkas yang diserahkan laki-laki itu.

"Kalau begitu saya permisi dulu, ini kunci motornya. Selamat sore." Laki-laki itu kemudian pergi bersama mobil pick up sedangkan motor N*ax putih sudah terparkir di teras. Aku masih tak menyangka jika aku akan dibelikan motor baru. 

"Mana kuncinya?" Bude menanyakan kunci motor baru entah apa maksudnya.

"Ini," jawab ibuku sambil memperlihatkan kunci yang ada di tangannya.

"Mar, kamu kan masih punya utang lima ratus ribu jadi motor ini saya bawa dulu sebagai jaminan sampai kamu bisa melunasi hutang kamu!"

Apa?! 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status