Share

Mereka mengeroyokku

KAKEK TUA itu SUAMIKU

Bab 6

Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.

Siapa kira-kira wanita ini ya?

Bau parfum yang sangat wangi tercium begitu aku duduk di samping wanita itu. Beda sekali denganku yang bau matahari, apalagi kalau melihat dandanan dan model bajunya. Aku dan wanita itu layaknya bumi dan langit. Aku yang sangat lusuh dan dia yang cantik dan modis bak artis. 

"Jalan, Pak!" Perintahnya pada sopir. Mobil mewah yang aku tumpangi pun perlahan melaju. Tak ada suara berisik mesin seperti angkot yang biasa aku tumpangi, tak ada bau solar tercium yang ada wangi pengharum mobil dan hawa dingin yang keluar dari AC yang terpasang. Jika mereka yang diluar merasa kegerahan maka aku tetap sejuk walaupun di dalam mobil. Seumur hidup baru pernah aku merasakan naik mobil mewah seperti ini. 

"Kenapa? Baru pernah naik mobil mewah seperti ini?" Wanita itu seperti tahu dengan apa yang aku rasakan atau memang gestur tubuhku yang terlalu ketara?

"Kita mau ke mana?" tanyaku.

"Duduk saja diam, nggak usah banyak tanya!" Wanita itu mulai membentakku.

Lima belas menit perjalanan, mobil berhenti di sebuah bangunan.

"Turunlah dan ikuti aku!" Pintu mobil dibuka dari luar, sopir yang membukakan pintunya. Aku mengekori wanita itu sesuai perintahnya. 

"Selamat siang Nyonya Lidiya, hari ini perawatan seperti biasa, ya," ucap perempuan cantik yang menyambut kami eh lebih tepatnya menyambut wanita di depanku saat memasuki ruangan ini. Jadi wanita ini namanya Lidiya, persis seperti namaku Seva Lidiya Dewi.

"Ya, seperti biasanya," jawabnya singkat.

"Apakah gadis di belakang Anda juga akan melakukan perawatan? Jika rajin melakukan perawatan seperti Anda wajahnya pasti akan lebih cantik." 

"Jangan sembarangan! Dia itu cuma anak pembantuku, nggak level perawatan disini!" Wanita itu mengatakan sambil menunjuk ke arahku. "Selama dia menunggu perawatan kamu bisa menyuruhnya melakukan tugas pembantu, nggak usah bayar aku beri tenaga gratisan!" Telunjuk wanita itu mengarah lurus ke mukaku. Sialan wanita ini, enak aja menganggap aku pembantu.

"Oh, maaf! Mari, Nyonya Lidiya ke ruangan yang biasa. Dan kamu, duduk dulu disitu nanti akan aku beri tugas." Mau tidak mau aku hanya bisa menuruti perintahnya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang dipenuhi dengan kaca besar, ada juga ruangan lain tapi pintunya ditutup entah ruangan buat apa.

"Nggak usah takjub gitu, apa baru pertama kali masuk ke ruangan kayak gini?" Suara perempuan tadi menyadarkan ku dari lamunan. 

"Nggak Mbak, biasa aja!" Mana mungkin kujawab jujur, malu donk.

"Ikut aku! Ada tugas buat kamu!" Perempuan itu memintaku untuk mengikutinya. Dia terus berjalan melewati beberapa ruangan dan berhenti ketika sampai di ruangan yang aku kira ini dapur. 

"Cuci piring dan gelas yang kotor itu! Ingat jangan sampai ada yang pecah! Setelah itu kamu lanjutkan bersihkan kamar mandi, letaknya di sebelah dapur ini!" Rentetan tugas dia berikan tanpa menunggu persetujuanku. "Oh iya, jangan lupa sapu dan pel seluruh tempat ini! Yang bersih! Awas kalau sampai ada yang kotor!" Perempuan itu justru memberikan tugas lagi padaku. Tak ada jawaban dariku, aku hanya diam, ingin aku menolaknya tapi aku takut dilaporkan ke wanita yang membawaku. Kalau saja wanita itu tidak mengancamku akan memberitahukan pernikahanku ke pihak kampus tentu aku sudah kabur dari tempat ini. 

Sudahlah lebih baik aku kerjakan saja apa yang dia mau. Kuawali dengan mencuci piring dan gelas, beres mengerjakan itu kemudian beralih ke kamar mandi. Untung saja ini pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah jadi aku tak kaget dengan ini semua. Lepas itu aku mengambil sapu dan peralatan untuk mengepel yang terdapat di gudang sebelah kamar mandi. Sudah ada sekitar dua jam aku berkutat dengan tugas yang mirip dengan pembantu, rasanya capek juga. Baju seragam sekolah yang tadi aku kenakan kini sudah banjir oleh keringat. Jangan ditanya baunya, asem!

Huft, keterlaluan memang mereka!

"Udah selesai tugasnya?" tanya perempuan itu. 

"Udah," jawabku datar.

"Ke depan sana! Ditunggu sama Nyonya Lidiya." Aku yang sedang meletakkan alat pel bergegas menuju ke depan, kemudian mengikuti Nyonya Lidiya. 

Nyonya Lidiya kemudian berhenti di meja kasir, itu aku ketahui dari papan kecil yang tertera di meja.

"Semuanya lima puluh juta ya, Bu." Seorang pegawai dengan seragam merah dan rambut dicepol yang berada di balik meja mengatakan angka yang harus dibayar oleh Nyonya Lidiya. 

"Oke, pakai kartu yang ini." Nyonya Lidiya kemudian menyerahkan satu kartu tipis yang berbentuk seperti ATM kepada pegawai itu.

"Terimakasih, sudah melakukan perawatan di tempat kami. Bulan depan ada promo untuk masker berlian apa Nyonya tertarik? Jika iya, Nyonya bisa booking dari sekarang karena ini terbatas, biayanya dua kali lebih besar dari perawatan biasa yang biasa Nyonya lakukan." Pegawai itu menawarkan perawatan yang lebih mahal dari yang sekarang. Jika tadi nominal lima puluh juta sudah membuatku tercengang apalagi yang dua kali lipatnya? Itu artinya seratus juta hanya untuk perawatan muka! 

"Oke, aku booking sekalian. Ingat ya, aku harus berada di list yang pertama! Jika berada di nomer lain maka akan aku batalkan!" ancam Nyonya Lidiya. Begitu gampangnya orang kaya menghamburkan uang, tidakah mereka berpikir tentang orang yang sepertiku? Bahkan bapak harus menarik becak dengan sekuat tenaganya agar kami bisa terus bertahan sementara ini ratusan juta hanya untuk masker.

"Baik Nyonya Lidiya, ini sudah masuk di list yang pertama. Sekali lagi terimakasih." 

***

"Selamat sore Nyonya Lidiya, anda sudah ditunggu di meja nomor satu. Mari saya antar," ucap seorang laki-laki dengan seragam hitam putih. Kali ini aku sudah berada di lantai 5 gedung Hotel Piramida. Hotel yang biasanya hanya aku bisa lihat dari luar kini aku sudah berada di dalamnya. 

"Hei, kenapa lama sekali?" Wanita cantik yang duduk di meja nomor satu menyambut Nyonya Lidiya. 

"Apa kau tak lihat mukaku? Ini hasil selama dua jam lebih." Nyonya Lidiya memperlihatkan mukanya yang aku lihat malah jadi merah-merah seperti alergi. Apa memang orang yang habis perawatan efeknya gitu ya? 

"Apa dia gadis itu?" Wanita itu melirik kepadaku.

"Begitulah," jawab Nyonya Lidiya. 

"Silahkan duduk, Nyonya." Pelayan yang tadi mengantar menyeret kursi dengan sangat pelan dan mempersilahkan Nyonya Lidiya untuk duduk. Kemudian pelayan itu menyerahkan yang aku kira daftar menu kepada mereka. Entah apa yang mereka pesan aku tidak tahu, sedangkan aku tetap dalam posisi berdiri di belakang Nyonya Lidiya. 

Tak berselang lama pesanan makan mereka datang, biarpun saat ini aku sangat lapar tapi melihat makanan itu rasanya aku tak berselera. Bagaimana aku bisa berselera, mereka hanya makan daging yang terlihat masih mentah, minuman kopi yang atasnya ada gambarnya lalu kue yang mungkin hanya tiga sendok langsung habis. Masih enak jika Ibu masak nasi, ikan asin, lalapan dan sambel. Setelah makanan datang mereka tak langsung memakannya tapi memotretnya terlebih dahulu, mirip seperti Riska ketika sedang makan seblak. Dia pasti akan memotretnya entah berapa ratus kali sampai makanan itu dingin.

Satu jam sudah berlalu, itu aku lihat dari jam besar yang ada di sudut ruangan. Aku masih setia berdiri layaknya sebuah patung. Jangankan disuruh ikut makan, setetes air putih pun tak mereka tawarkan untukku.

Nyonya Lidiya mengarahkan tangannya ke atas dan tak berselang lama pelayan yang tadi datang menghampiri. Dia sempat melirikku tapi itu hanya sekilas.

Tanpa percakapan pelayan itu menyerahkan nampan yang diatasnya berisi kertas.

"Aku saja yang bayar, cuma sepuluh juta." Nyonya Lidiya kembali mengeluarkan uangnya untuk makan yang bagiku tidak membuatku kenyang. Coba saja sepuluh juta untuk membeli beras, bisa dapat berapa puluh karung ya?

Diletakkannya kartu yang sama seperti di tempat perawatan di atas nampan pelayan, kemudian pelayan itu pergi.

"Bagaimana rasanya berdiri terus?" Wanita yang satu itu bertanya padaku tapi aku sama sekali tak ingin menjawabnya.

Untung saja pelayan itu sudah kembali lagi jadi mereka kembali acuh padaku.

"Ayo pergi!" Mereka mengatakan setelah memberikan dua lembar uang berwarna merah pada pelayan itu. 

Lepas itu kembali aku dibawanya ke tempat yang aku tau itu adalah showroom mobil. Terlihat berderet mobil dengan warna beragam.

"Ini sudah menjelang malam, apa masih buka?" tanya Nyonya Lidiya sambil memegang setang bundarnya. Sopir yang tadi mengantar ke hotel entah kemana atau memang disuruh pergi aku juga nggak tau, jadilah di dalam mobil tinggal kami bertiga. Aku, Nyonya Lidiya dan wanita yang makan bersamanya tadi.

"Tenang saja semua sudah diatur tak mungkin mereka akan menutupnya jika aku yang datang." 

"Bukankah satu minggu yang lalu kamu sudah membeli mobil baru? Untuk apa kesini lagi? Jangan bilang—" Nyonya Lidiya menghentikan ucapannya.

"Memang iya, satu minggu lagi Andi akan ulang tahun, sebagai ibu yang baik tentu saja aku akan memberikannya kado yang terbaik." Wanita itu mengucapkan nama Andi, nama yang sama dengan orang yang tadi memberikan coklat padaku. Tentu saja nama Andi itu banyak, kemungkinan besar mereka berbeda.

"Ikut kami turun! Bukankah manusia sepertimu belum pernah masuk ke showroom mobil mewah seperti ini?" Aku yang duduk sendirian di jok belakang langsung membuka pintu mobil. 

"Selamat sore Nyonya Tania dan ehm, Nyonya—" 

"Lidiya," sahut Nyonya Lidiya pada laki-laki yang menyambut mereka. Jadi yang satu namanya Tania, ya lumayan mirip.

"Ya, Nyonya Lidiya, dan yang ini?" Laki-laki itu memicingkan matanya ke arahku.

"Anggap dia debu kotor!" Seru Nyonya Tania.

Deg!

Begitu rendahnya aku di mata mereka sampai aku dianggapnya debu kotor.

"Oh, baiklah. Mari kita lihat mobilnya" ajak laki-laki itu. Lagi-lagi aku yang dianggapnya debu harus mengikutinya dari belakang. Sungguh aku merasa sangat lemas, lelah dan tentu saja lapar.

"Wow, kamu memang ibu yang sangat baik. Jika kamu membelikan Andi mobil ini pasti anakku Tristan juga akan memintanya. Berapa harganya?" tanya Nyonya Lidiya.

"Harga sesuai barang, tak lebih dari dua milyar," jawab laki-laki itu.

Mobil berwarna kuning pemeran Bumblebee yang pernah aku lihat di film Transformers itu sekarang aku bisa melihat versi aslinya. Harganya pun tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dua milyar! Kalau dijadikan pecahan seribuan ada berapa lembar? Dua milyar hanya untuk kado anaknya yang ulang tahun. Sungguh mudah keuangan orang kaya ini berbanding terbalik dengan aku. Pantas saja aku dianggap debu kotor.

"Baiklah ... aku mau, kamu mengirimkannya pas hari ulang tahun anakku. Tutupi dulu semua bagian mobilnya. Jangan sampai ada satu kesalahan sedikitpun!" Nyonya Tania memberi arahan pada laki-laki itu.

"Percayakan padaku, bukankah showroom kami tak pernah membuat kesalahan."

***

Badan ini rasanya sudah sangat letih, hari juga sudah gelap tapi aku belum juga diperbolehkan pulang. Bapak sama Ibu pasti khawatir. Bagaimana kalau aku lari saja? Tidak … tidak … aku masih takut dengan ancaman itu. Aku ikuti saja barangkali setelah ini aku diperbolehkan pulang.

"Turun kamu!" Ada rasa enggan untuk mengikutinya, aku tetap bergeming ditempatku berharap mereka mengerti kalau aku tidak mau.

"Eh, malah diam saja! Ayo turun!" Ditariknya tanganku secara paksa, hampir saja aku terjatuh. Aku terus ditariknya sampai memasuki halaman rumah yang bak istana. Begitu masuk ke dalam ruangan aku dibuatnya takjub dengan kursi megah dan berdirinya guci antik yang ada di sudut ruangan. 

"Sudah datang rupanya. Hei, kemarilah Ibu tiri kalian sudah datang!" Seorang laki-laki berpawakan tinggi mengucapkan Ibu tiri kepadaku. Apa artinya mereka adalah anak-anak suamiku?

Tanganku tak lagi ditariknya, aku mematung tak berani bergerak.

"O, jadi ini gadis murahan itu?" Datang lagi seorang laki-laki dan satu orang perempuan yang kemarin pernah datang. Ya, aku ingat namanya Nisa.

"Duduk!" Perintah Nisa kepadaku.

Aku menuju kursi didekatku kemudian menjatuhkan bobot tubuhku di kursi yang sangat empuk. 

"Eeh enak saja duduk di kursi, duduk di lantai!" Nisa mendorongku dari kursi hingga aku jatuh terjerembab. 

"Ha ha ha ha, lihat itu! Dia jatuh!" Mereka bukannya membantuku tapi malah menertawakanku. Ya Tuhan, manusia macam apa mereka? Bibirku terasa perih karena tadi menghantam lantai, aku menempelkan telunjukku pada bagian yang sakit ternyata ada darah yang keluar dari bibirku.

"Kau tau kenapa aku mengajakmu berkeliling? Karena aku ingin kamu sadar, kamu tak sederajat denganku apalagi dengan ayah! Manusia miskin sepertimu nggak usah mimpi akan sama dengan kami! Apa yang kamu inginkan? Uang? Berapa harga tubuh yang kamu tawarkan pada ayahku? Satu milyar? Lima milyar? Sepertinya itu terlalu mahal, jangan-jangan malah gratisan, entah sudah berapa lelaki yang sudah menikmati tubuhmu!" Aku hanya diam dengan hinaan yang mereka lontarkan, walaupun ada rasa nyeri di dada. Mereka terlalu membanggakan harta yang mereka miliki sampai lupa manusia itu derajatnya sama, mereka bahkan menghinaku yang sampai detik ini masih menjaga mahkotaku.

"Kalian itu memang kaya harta tapi sayang miskin hati!" Kuberanikan diri untuk bicara setelah dari tadi diam.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi kananku. Aku menatap nyalang pada dia yang telah menamparku—Nisa. Tak sampai disitu dia bahkan menjam*ak rambutku. 

"Berani kamu melawan kami, hah?!" Dia kemudian melepas rambutku dan beralih menarik paksa kemeja yang aku kenakan hingga kancing kemejanya lepas semua. Aku mempertahankannya dengan memegang kedua sisinya agar bagian depan tubuhku tak terlihat. Kejam sekali kamu Nisa!

"Non, gawat! Tuan ada di depan!" Ucap wanita paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh.

"Bagaimana ini? Jangan sampai katauan ayah bisa-bisa mam*us kita!" Nyonya Lidiya terlihat panik dengan kedatangan ayahnya. Dalam hati aku sedikit tenang akan ada bantuan datang.

"Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status