Share

Keharmonisan Sebuah Ikatan

“Daddy tadi Tante Cla menunggangi Gypsy. Tidak apa ‘kan, Dad?” Ken meletakkan ponselnya bersandar di punggung ranjang, sementara ia sedang tengkurap dengan menopang kedua tangan di dagu.

Clara melirik pada Ken. Penasaran apa kiranya aduan bocah kecil ini pada ayahnya. Ia juga memerhatikan wajah Byanca yang terlihat sendu sebelum masuk ke kamar mandi. Pasti ia merindukan Bian.

“Tante Cla?”

Ken dengan cepat mengangguk. Ia menatap Tante Cla—meminta persetujuan agar kamera ponselnya mengarah pada Clara. Tapi, Clara menolak. Yang benar saja, ia ingin melihat wajah Bian. Memikirkannya saja Clara jadi kesal.

“Oh, tidak apa dong,” segera Bian berkata karena melihat wajah putranya sendu. “Pasti seru banget main kudanya. Gypsy atau Lorenzo tidak ada yang nakal kan?”

Ken menggeleng lemah. “Tidak, Dad. Hanya saja…” ia teringat kejadian tadi ketika Lorenzo berlari kencang, ia dan Byanca hilang keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika Byanca tidak segera mengontrolnya.

“Apa?” Bian dengan paksa menajamkan matanya pada Ken agar ia berkata jujur.

“Tidak jadi.” Senyumnya ketika melihat Byanca keluar kamar mandi. “Mami…”

Baik Bian maupun Byanca tercenung sesaat. Sama-sama bingung dengan kondisi ponsel yang beralih pada mereka berdua. Hanya bisa saling tatap dan tak bisa mengeluarkan segala keresahan karena masih ada bayi besar mereka.

Ken duduk di atas pangkuan Byanca. Ia menatap Byanca dengan raut bingung, “Kenapa Mami tidak bicara pada Daddy?” Kemudian ia melirik Bian yang juga sama terdiam. “Biasanya setiap kali Daddy telepon pasti tanya Mami dimana. Kenapa hari ini tidak?”

Byanca pura-pura sakit perut. Ia memberikan ponsel itu kepada Ken. Segera, ia masuk ke kamar mandi. Mengurung diri dan menangisi takdir. Ada rindu yang tak terungkap, ada sesal yang tak bisa disuarakan, ada marah yang ragu dilontarkan serta masih banyak tanya yang tak terjawab. Semua itu bagai angin yang tak bisa ditangkap. Ia hanya bisa menatap Bian namun tak bisa menetap.

“Ya, Daddy… pergilah bekerja dan cepat pulang. Bawakan Ken mainan yang banyak serta permen gula-gula.”

Byanca menekan sesak seiring mendengar kalimat Ken. Ken masih menganggap bahwa kepergian Bian hanya untuk urusan kerja bukan urusan meninggalkannya. Entah bagaimana rasanya jika Ken suatu saat nanti mengetahuinya. Byanca yakin cepat atau lambat, darinya ataupun dari orang lain, Ken akan segera mengetahuinya.

Tuhan jika itu terjadi, setidaknya beri aku kekuatan untuk melindunginya. Melindungi dari rasa sakit.

“Mi….” Ken berteriak seiring dengan ketukan pintu.

Byanca membasuh wajahnya sebelum keluar. “Iya, Sayang.” Ia melirik ponsel Ken yang sudah berada di atas nakas. “Sudah selesai bicara sama Daddy?”

Ken mengangguk dan menarik tangan Byanca ke tempat tidur. “Mami jangan sedih, sebentar lagi Daddy pasti pulang kok,” hiburnya dengan mencium kedua pipi Byanca bergantian.

Ken masih terlalu dini untuk memahami apa yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Mungkin ia tak curiga dengan interaksi keduanya yang terlihat canggung dan tak biasa. Ken masih mengira itu hal biasa, tentu saja.  

“Ayo kita tidur, Jagoan.”

Ken meringsuk ke pelukan Byanca, mencari posisi nyaman hingga tak lama matanya terpejam ringan. Mungkin Ken sudah sangat lelah seharian. Lelah berkuda dan main bersama Rayya.

***

Byanca terjaga tepat pukul dua dini hari, seakan ada yang mengetuk matanya untuk terbuka. Ia memindahkan Ken dengan hati-hati kemudian melihat Clara tak ada di ranjang. Byanca mengikat rambutnya dengan asal dan mencari keberadaan Clara.

“Kenapa belum tidur?”

Byanca melihat sosok Clara di dapur. Ia duduk dengan segelas minuman di tangannya. Terlihat banyak pikiran yang entah apa—Byanca belum mengetahuinya.

“Kebangun.” Clara mempersilakan Byanca duduk di sebelahnya.

Byanca menarik kursi setelah mengambil segelas air bening. Ia menatap Clara dengan raut tak terbaca.

“Nggak asik jadi gue, ya,” kekehnya. Clara meneguk minumannya hingga tandas. “Di saat teman gue lagi sedih, gue ngga bisa ngapa-ngapain. Cuma bisa liat doang.” Clara mengulum senyum, matanya beralih pada Byanca yang terlihat melamun.

“Gue bukannya ngga mau cerita.”  Ada seribu kepahitan membekas di lisan Byanca. “Tapi gue nggak bisa, Cla…” Byanca benci ketika air matanya menetes tak tahu malu. Salah satu alasannya tak mau berbagi cerita karena ia belum kuat. Jujur, Byanca akan terus menangis setiap kali menyangkut tentang rumah tangganya.

Clara mendekap tubuh Byanca. Melihat Byanca hancur, juga kehancuran baginya. Ia tidak bisa menutup mata dengan keterpurukan sahabatnya. Sahabat yang dikenal sejak kecil. Clara adalah saksi hidup bagaimana seorang Byanca tumbuh besar menjadi seorang wanita seperti sekarang.

Lima belas tahun silam, Byanca pernah kehilangan harapan untuk hidup. Tepat pada hari ditemukannya Kak Bema—Kakak kandung Byanca tewas karena tabrakan, di situ pulalah Papa Byanca—Om Dewo mengakui bahwa ia sudah menikah lagi. Byanca tak sanggup menanggung derita, ia berlari ke tengah jalan dan bermaksud ingin menabrakan diri. Tak ada gunanya hidup namun tak memiliki siapa-siapa lagi. Ia  berlari tanpa menghiraukan suara teriakan orang-orang yang melarangnya. Papi memilih wanita lain, artinya Papi sama sekali tak mencintai Mami. Lantas bagaimana Papi bisa mencintainya, sementara ia terlahir dari wanita itu. Tak ada lagi Papi yang menemaninya bermain sepeda, menemaninya mengerjakan tugas atau sekedar mengantarkannya sekolah.

Tuhan mengambil semuanya dari Byanca, yang tersisa hanya Mami. Namun pada saat itu, Mami juga sama hancurnya dengan Byanca, bahkan ia tak memperdulikan Byanca selama beberapa hari. Ia terselimuti kesedihan mendalam. Byanca tak tahan dan memilih menyusul Kak Bema, agar mereka bisa bermain di surga dan Kak Bema bisa selalu menjaganya.

Di bawah tetes hujan, Byanca berlari kencang ke tengah jalanan. Ia memekakkan telinga ketika seseorang meneriakinya. Byanca hanya ingin mati. Tak ada gunanya lagi hidup dengan seribu luka. Ia masih kecil tapi luka ini terlalu menganga. Byanca tak sanggup menahannya. Ia pernah menonton film bahwa ada seseorang yang patah hati dan merasa hidupnya tidak berguna lagi, maka ia berusaha menabrakkan diri. Byanca mau seperti itu jua. Itu gunanya ia berdiri di hadapan ribuan pengendara. Anehnya mereka semua berhenti dan diam, padahal Byanca sudah siap terguling-guling. Byanca sudah siap menahan sakit pada tubuhnya, ia pikir itu hanya sementara. Ya, ia yakin itu.

Byanca memejamkan mata, menutup telinga seiring suara klakson menggema. Ia sempat berdoa sebentar sebelum air matanya menetes. Bayangan tentang keluarganya yang harmonis; ia, Kak Bema, Papi beserta Mami sedang liburan dan bercanda di atas kapal pesiar. Hah.. semuanya tinggal kenangan. Kenangan yang menyakitkan. Terlalu larut dalam bayangan itu, Byanca tak menyadari seseorang menghamprinya. Ia masih memejamkan mata, namun ketika seseorang itu menggendongnya, barulah ia membuka mata dan terkejut melihat Clara beserta kedua orang tuanya.

“Byanca jangan lakukan ini….” Clara menangis di depan Byanca. Ia merengkuh tubuh Byanca. “Aku akan menjadi temanmu seumur hidup.”  Ia menepuk pundak Byanca dan semakin mengeratkan tubuh mereka. “Jangan mati. Aku masih mau bermain.”

Hari itu, Byanca tak jadi mati karena kedua orang tua Clara dan Clara sendiri yang menyelamatkan Byanca. Mereka menawarkan untuk mengantar Byanca pulang ke rumah Mami tapi Byanca menolak hingga akhirnya ia dibiarkan tinggal bersama Clara selama beberapa hari. Tante Dyaz—Mama Clara memperlakukan Byanca sama seperti Clara. Tak ada perbedaan sedikit pun, begitu pula dengan Om Reno—Papa Clara. Dari rumah ini lah Byanca bisa merasakan indahnya sebuah krluarga, yang dulu juga ia dapatkan sebelum badai ini terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status