Share

Kembali Sepi Menyapa

Rayya kecil melambaikan tangan. Mobil jemputannya sudah tiba. Mungkin Mama Rayya sudah merindukan sang putri. Langit pun sudah merindukan mentari, kini ia ingin membawa mentari pulang dan berganti dengan rembulan.

“Ada yang sedih ni.”

“Siapa yang sedih?”

Clara hanya mengangkat bahunya kemudian ia merosotkan tubuh ke atas sofa. “Rayya pulang, sepi pun datang.”

Ken mencebikkan bibirnya. Dia tak setuju jika Rayya tiada maka rumah akan sepi. Memang gadis itu bisa apa selain menangis. Bahkan Ken masih mengingat, Rayya yang tiba-tiba menangis usai makan siang tadi. Ia terus memanggil mamanya. Untung saja Tante Clara menyimpan nomor telepon Tante Amira—Mama Rayya, jika tidak, bisa dipastikan rumah Ken banjir air mata.

“Mikirin apa, Nak?” Byanca mengelus surai hitam Ken. Ia mengangkat tubuh Ken ke atas pangkuannya. Byanca sangat suka memanjakan Ken. Baginya, memeluk dan menciumi seluruh tubuh Ken adalah kesenangan. Maka tak heran bila Ken pun selalu bersikap manja.

“Mikirin Rayya dong, Mi,” ucap Clara dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.

Ken ingin memarahi Tante Clara namun ia takut dimarahi maminya. Mami selalu pesan untuk sopan pada yang lebih tua. Ken menatap Byanca seakan meminta kalimat bantahan.

“Tante Cla…”

Clara tertawa cekikan. Ia sangat bahagia melihat interaksi antara Byanca dan Ken. Itu sangat manis. Lihatlah sepasang anak dan ibu itu! Duduk dengan saling menatap, sesekali menyatukan hidung mancung mereka kemudian saling berpelukan. Meski tak ada kata yang terdengar, namun dari sorot mata sudah memancarkan rasa cinta yang mendalam. Clara tidak bisa membayangkan seandainya Bian mengambil Ken dan memisahkannya dari Byanca. Byanca bisa kehilangan separuh jiwanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.

“Ah, Nggak seru ni! Masa Tante Cla yang cantik dicuekin sih.” Clara menyilangkan tangannya di dada. Ia duduk di sebelah Byanca. Setelah menatap Ken yang tak terkecoh dengan perkataannya, Clara mulai jahil. Ia sengaja memeluk Byanca dari samping.

“Ini Mami Ken, Tante…” rajuk Ken dengan semangat menjauhkan lengan Clara yang menempel di bahu Byanca.

“Bagi-bagi dikit dong, Ken. Ini kan temen Tante juga.”

“Nggak mau. Pokoknya ini maminya Ken.”

“Tapi ini temannya Tante.”

Kelucuan antara Ken dan Clara mengundang Byanca masuk dalam sebuah kenangan bersama Bian. Iya, dulu Bian dan Ken suka memperebutkannya—persis seperti ini. Bedanya, terkadang Bian mengalah dengan dalih, “Setelah Ken tidur. Kamu jadi milik aku.” Selalu begitu bisiknya ke telinga Byanca.

Di ruang tamu ini, di sofa yang sedang mereka duduki adalah tempat yang pernah mereka lalui bersama. Melabuhkan rasa dengan kalimat cinta, mencairkan suasana dengan canda, meriak sepi dengan kejahilan kemudian meluruh dalam tangis. Semua itu adalah masa yang pernah Byanca rekam. Seandainya ia mampu, ia ingin kamera hanya merekam adegan itu saja tanpa pernah usai—seakan baterainya habis. Ya, Byanca memang egois. Ia hanya ingin mengulang waktu manis.

Semua kejadian yang akan terjadi maupun yang sedang terjadi seakan reka ulang dari kenangan bersama Bian. Bedanya, sekarang pemeran itu dibiarkan kosong—tak ada yang mengisi. Sang pemeran utama belum kembali.

“Hayo, mikirin apa ni, Mami, sampe merah gitu hidungnya?”

Byanca mengadu kesakitan. Clara menarik hidung Byanca. Bagaimana tidak merah? Jika tarikannya sangat kuat. Dasar Clara, si manusia usil.

“Tante Cla nggak boleh jahatin, Mami.” Ken melototi Clara. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada. Anak kecil ini sudah seperti mafia.

“Ah, maafin Tante ya, Mi. Maafin ya, Ken.”

Byanca mengajak keduanya memasuki kamar Ken. Mereka sepakat untuk tidak makan malam lagi, karena mereka sudah makan pukul lima sore. Jadi, rasanya sudah kenyang.

Hal yang pertama kali dilakukan oleh mereka adalah membersihkan diri sebelum bergabung di kasur. Kasur Ken memang tak seluas kasur Byanca. Namun, Byanca enggan mengajak Clara tidur di kamarnya. Entahlah rasanya tidak pantas ia membawa orang lain menaiki ranjangnya. Apalagi menggantikan posisi Bian.

“Dari tadi kamu melamun aja, By. Ada apa?” bisik Clara. Untung saja, Ken sedang menggambar dan membelakangi mereka. “Pasti mikirin Bian kan?”

Byanca menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia tak mau menjelaskan isi hatinya secara gamblang. Pria itu, yang selalu menghantui hati Byanca. Padahal ia juga yang menyiakan hidup Byanca. Tuhan… bisakah Byanca hidup tanpa bayang Bian? Harusnya bisa.

“Elah… malah tidur.” Sisi kasur bergoyang karena Clara meringsuk ke dekat Ken. “Ken gambar apa sih?”

Ken hanya melirik sebentar, kemudian sibuk kembali menggambar. “Potret keluarga.”

“Potret keluarga?”

Ken mengangguk. “Mami pernah cerita tentang potret keluarga. Kata Mami, keluarga bahagia itu adalah keluarga yang saling merangkul.”

Ya, dulu memang Bian dan Byanca saling merangkul dalam membentuk keluarga. Namun, sekarang Bian melepaskan rangkulan itu dan membiarkan Byanca jatuh sendirian. Clara melirik sebentar ke arah Byanca. Sungguh ia sangat yakin bahwa Byanca belum tidur.

“Yang di tengah ini Ken?”

Ken mengangguk lagi. “Ken mau gambar Mami, Daddy dan Ken yang lagi duduk di tepi pantai. Seperti bulan kemarin, kita ke pantai apa itu, Mi, namanya?”

Pantai Lagoon. Byanca hanya menjawab dalam hati. Ia tak mau kenangan mengusik jiwanya lagi. Sudah cukup seharian ia merawat kenangan itu. Karena setiap kali kenangan bersama Bian terbingkai, hatinya tenggelam. Byanca tetap diam. Riuh isi kepala dan hati saling meronta untuk dilepaskan.

Byanca menggigit bibirnya agar meredam tangis yang akan keluar. Dia tak boleh menangis apalagi di depan Ken. Bagaimana pun Ken harus menyaksikan kebahagiaan bukan kesedihan. Kasur terasa bergoyang menandakan aktivitas seseorang, tiba-tiba Byanca merasakan sebuah lengan kecil melingkari perutnya.

“Mami…”

Ah, itu Ken nya. Anak itu selalu bisa menebak kondisi hati Byanca. Ingin rasanya Byanca mengatakan agar Ken tidak tumbuh terlalu dewasa namun sebagian dirinya juga merasa senang akan kecerdasan anaknya itu.

Byanca berdehem, menurunkan tangannya dan merengkuh tubuh Ken. Ken memegang wajah Byanca seakan memindai jejak air mata di sana. Untung saja tidak ada karena Byanca berusaha menahannya.

“Kamu sudah mengantuk?” Byanca mengusap surai hitam Ken. Mengalihkan perhatian Ken adalah jalan ninjanya.

“Kata Tante Clara, Mami lagi sedih. Mami kenapa?”

Sontak saja Byanca melemparkan pandangan pada Clara. Namun, gadis itu seakan tuli dan terus menggulir layar ponselnya. Byanca lupa jika Clara terkadang punya seribu satu cara menyebalkan.

“Mami ngga sedih kok.”

Ken tak mengalihkan netranya pada Byanca. Terus mencari kesedihan di mata itu. Ken memang masih kecil, tapi ia bisa dengan mudah memahami kondisi orang dewasa. Ketika ingin membuka suara, ponsel Ken berdering keras di atas nakas. Segera ia hampiri dan melihat siapa peneleponnya.

“Daddy…” aduya pada Byanca.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Blgnya bian ndak bs tanpa byanca lha itu yg bucin skrg siapa yah?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status