Tidak ada yang mengenal siapapun dengan baik kecuali dirinya sendiri. Bertahun-tahun saling mengenal tidak menjadi jaminan untuk kita dekat, dalam arti kata mengetahui semua rasa dan rahasia. Tidak, waktu tidak bisa membeli sebuah kenyamanan, meski ada yang mengatakan bahwa kita akan nyaman karena terbiasa. Nyatanya, itu tidak berlaku pada semua orang. Seperti halnya, Byanca. Ia tak mengenal siapa Bian, padahal di awal pernikahan profil Bian adalah profil yang diidamkannya, namun kini beralih menjadi profil yang sulit untuk dipahami.
“Mi… bagaimana penampilan Ken?”
Byanca terkesiap dari lamunan panjangnya, ia melirik pada anaknya yang kini sedang memakai seragam sekolah baru. Ya, hari ini Ken sudah mulai bersekolah di Busan. “Kenapa anak mami tampan sekali?” Ia mengulurkan tangannya untuk meraih Ken dalam dekapannya.
“Jangan ciumi Ken terus, Mi,” rajuk Ken. Ia mengerucutkan bibirnya dan melipat tangan di dada. &ld
Seperti membuka lembaran lama kembali; mengeja semua kisah buruk yang pernah terjadi. Lukanya masih sama, dampaknya juga masih sama. Pernyataan pisah dari Rams masih terus berulang di kepala Rentina. Sebagai wanita yang pernah gagal dalam berumah tangga, ada harapan besar pada pernikahan kedua ini untuk melangkah sampai garis finish. Rentina merasa sangat egois untuk mengukung Rams dan memohon agar membatalkan ucapannya, tetapi harga diri Rentina sangat tinggi. Maka, ia hanya diam saja dan membiarkan Rams mengemasi barang-barangnya sebelum berlalu pergi tanpa memberitahu akan kemana tujuannya.Rentina bukan wanita bodoh yang tak tahu bahwa kehancuran perusahaan Rams memang sangat memukul. Ia tahu bahwa Rams sudah lebih dari dua puluh tahun merintis usaha tersebut dan hanya karena Bian semuanya jadi hancur. Mungkin jika ia menjadi Rams, sudah dipastikan bahwa ia berujung ke rumah sakit atau rumah sakit jiwa sekalipun. Namun, sebagai ibu, ia juga tidak bisa menyalahkan Bian seu
Terkadang perasaan cemas tak diterima oleh lingkungan merupakan sebuah ancaman. Pemikiran buruk selalu menghantui. Akan seperti apa ke depannya? Mampukah menjalani hari-hari dengan orang baru? Ken punya kecemasan itu ketika ia kali pertama menginjakkan kaki di sekolah. Ia menatap halaman yang luas di depan sebuah gedung bertingkat yang terlihat sangat megah layaknya istana yang ada di buku dongeng. Ia sempat ragu dan berpikir lebih baik pulang saja dari pada melanjutkan masuk ke sekolah. Ini bukan hanya ketakutan tak diterima melainkan ia juga belum bisa memahami bahasa mereka seutuhnya. Rina mengelus surai hitam Ken, ia mengamati gerak-gerik keraguan di setiap langkah cucunya. Ia berjongkok dan mengeratkan mantel dingin Ken. “Boy, tidak apa-apa. Mereka semua baik kok.” Ia tersenyum. &n
Max mengagumi desain eksterior maupun interior perusahaan sepupunya ini, Byanca. Bergaya vintage dan cozy perusahaan ini lebih cocok dijadikan tempat bersantai seperti kafe. Mengingat perusahaan yang didirikan Byanca adalah perusahaan di bidang kecantikan yang pastinya lebih menarik di kalangan remaja, jadi ia mencerminkan hal tersebut pada desain perusahaannya. Seharusnya Max tak perlu meragukan kemampuan berbisnis Byanca. Ia selalu total dalam melakukan apapun. Sejak mereka kecil, Byanca selalu lebih unggul darinya di bidang apapun. Byanca juga kerap menjadi rebutan atau idola ketika kumpul keluarga. Max tak pernah merasa cemburu, justru ia bangga memiliki sepupu seperti itu. Mereka kecil tidak terlalu akur dikarenakan sifat Byanca yang lebih suka menyendiri. Biasanya Max lah yang menghampirinya hanya sekedar basa-basi menanyakan kegiatan sekolah. Max paham mengapa Byanca bersikap demikian yang tak lain dise
“Aku mendengar bahwa yang menjadi pimpinan tersebut adalah sepupunya.”Bian menatap tajam Dion, rekan bisnisnya. Ia sungguh tak peduli tentang hal itu tetapi Dion seakan memberitahunya begitu banyak. Akankah ada maksud tersembunyi di balik kalimat tersebut? “Baguslah! Bukankah itu bagus jika perusahaannya dikelola oleh orang yang berkompeten?” Bian merasa jika perusahaan tersebut tetap dikelola oleh keluarga Byanca, masih ada kesempatan untuk Byanca untuk kembali. Ia tak menginginkan perusahaannya padam begitu saja. “Ya. Keluarga Byanca memang tidak perlu diragukan lagi bagaimana hebatnya mereka dalam berbisnis.” Wajah penuh kekaguman terukir di wajah Dion. Seperti pedang yang menancap begitu dalam, Bian merasakan ucapan D
Ini sangat memalukan, tanpa mengatakan apapun, Nirina menutupi dadanya dan berlari tanpa pamit. Ia ingin menggali tanah dan bersembunyi di dalamnya. Kau sangat ceroboh, Nirina. Ia mengutuk dirinya sendiri. Hingga waktunya pulang pun. Nirina memilih menundukkan kepala dan meminimalisir komunikasi diantara mereka. Ia hanya akan menjawab apa yang ditanyakan Max, sementara Max yang memahami bahwa Nirina sedang menyesali perbuatannya terlihat biasa saja. Ia tak ingin menyinggung permasalahan itu kembali dan bersikap biasa aja. Mereka tampak seperti saling menghindari tatapan satu sama lain. Ketika sampai ke apartemen, Max segera membersihkan tubuhnya dan seketika ia mengingat Nirina. Senyuman terpatri di wajahnya. Namun segera ia enyahkan. Ia tak boleh memiliki perasaan berlebih terhadap Nirina. Itu sangat merepotkan nantinya. Ia mel
“Memangnya kenapa jika makan di pinggir jalan. Yang penting enak!” teriaknya. Mengapa orang kaya cenderung memilih makanan berdasarkan tempat berjualan bukan kepada cita rasanya. Tidakkah mereka tahu bahwa makanan di pinggir jalan kebanyakan lebih nikmat dari pada makanan mahal? Selain menawarkan harga yang ekonomis, makanan seperti itu juga beragam dan rasa sangat familiar di lidah.Huh, sudahlah! Ia tak menghiraukan persetujuan dari Max. Lebih baik ia merealisasikan keinginannya. Membayangkan bakso dengan kuah berkaldu tersebut mampu membakar tenggorokannya. Tak ingin menyiakan waktu lagi. Dengan itu, dia melangkah untuk menyeberang jalan.Max mendengar bahwa wanita di belakangnya menghentakkan kaki dan Max berpura-pura tak mendengar. Ia bersenandung kecil dan melangkah lagi, berharap wanita di belakangnya akan berlari menyusulnya.Tin.. tinBrakkkk….Seketika beberapa k
“Sebenarnya jika perusahaan itu runtuh, Om bisa mewarisinya perusahaan Om tetapi Byanca selalu menolak. Dasar keras kepala.” Dewo membayangkan wajah mungil putrinya. Ia tak pernah memanjakan diri dengan kemewahan yang ditawarkan kedua orang tuanya, padahal baik Mami maupun Papi sama-sama memiliki usaha yang sangat maju dan dia tidak mau mengambil keuntungan.“Tapi ada satu permasalahan yang ingin Om minta kamu juga membantu menanganinya,” ucap Dewo lagi.“Apakah itu tentang Bian?” tebak Max.Dan Dewo mengangguk. Max menghela napas kasar. Apa kiranya yang mampu ia lakukan.“Max kamu tahu jika Bian tak sehebat itu dalam dunia bisnis, ia juga tak punya pijakan karena perusahaan Rams juga sedang bermasalah. Aku mau kau menekannya tapi jangan buat ia sampai gulung tikar.”Kedua alis Max menyatu dengan sempurna. “Maksud Om?”“Kita hanya akan menekannya hingga ia frustrasi tetapi tak
“Opa akan datang, Mi?” Ken menanti jawaban Byanca dengan kesenagan yang tak bisa ia sembunyikan. Sejak suara ponsel ibunya berbunyi, ia sudah terbangun dan diam-diam mendengarkan percakapan diantara ibunya dan si penelepon yang ternyata adalah opanya, Dewo.Byanca tersenyum dan mengelus rambut halus Ken. “Iya, Sayang.”Ken langsung bersorak ria. Ia melompat di atas kasur. Sudah sangat lama ia tak memancing atau berkebun. Oh tidak, bermain catur juga. Bermain bola dan masih banyak lagi. Ken tentu sangat senang karena hanya Opa yang bisa mengajarinya permainan yang berbeda. Ken jadi tidak sabar menanti itu. Biasanya Opa akan membawanya bermain di luar rumah, entah mereka memulai bersepeda kemudian berkebun dan memancing lalu diakhiri dengan bermain sepak bola, yang tentunya setiap pulang ke rumah Ken akan membawa luka ringan di bagian lutut atau pun lengannya. Itu tidak masalah, justru ia senang dan nantinya Mami lah yang akan mengomel sambil meng