Share

Bab 8

KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)

“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk.

“Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya.

“Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus.

“Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi.

Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat.

“Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka.

“Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar.

“Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih.

“Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong rebus, dia masuk ke dalam. Namun, bukannya duduk, Tante Reta malah ikut.

Aku baru hendak mengikuti Ibu dan Tante Reta. Namun, gak jadi. Dari dalam mobil Bapak turun Vira. Dia menghampiri kami. Aku memutar bola mata, malas bertemu, palingan mau pamer lagi.

“Kalian lagi ngapain, sih? Liburan-liburan gini tuh harusnya jalan-jalan. Aku juga sama Papa dan Mama baru habis dari mall. Kalian sekarang jarang ke mall, ya?” Vira duduk di dekat Adrian.

Aku dan Adrian saling lirik lalu mengedipkan mata, malas meladeni Vira. Tingkahnya sudah seperti orang kaya baru saja. Sekarang saja, dia pake sepatu boot dengan tali yang banyak. Bajunya sudah mirip artis. Di tangannya ada es krim dan aku yakin, semua itu dibeli pakai uang Bapak.

“Hey, kok pergi, sih? Aku ke sini mau ngajakkin kalian ke acara gathering! Nanti ikut, ya!”

Kudengar dia terus bicara sendiri, ketika kami berdua beranjak pergi. Aku dengar dia menghentak-hentakkan kaki.

Aku masuk ke dalam, tapi berpapasan dengan Tante Reta yang menarik koper besar dan satu tas ransel ditentengnya. Dia tampak buru-buru juga.

Kami yang hendak masuk ke dalam, gak jadi melanjutkan langkah. Lalu mengintip dari balik jendela. Vira tampak mengerucutkan bibirnya. Dia berjalan mengikuti Tante Reta menuju mobil avanza milik Bapak. Antara rasa lega karena mereka pergi. Namun ada rasa nyeri ketika dia hendak masuk ke dalam mobil. Aku melihat Bapak turun dan mengambil koper itu untuk dimasukkan ke bagasi. Jadi, dari tadi tuh Bapak ada? Cuma gak mau turun saja. Air mataku menggenang begitu saja. Rasa sakit, rindu dan benci pada Bapak jadi satu. Kenapa dia begitu tega?

Tak berapa lama, mobil Bapak pergi. Aku menoleh pada Adrian sambil menyeka air mata, “Ayo kita cari Om Dirga sekarang.” Adrian pun mengangguk. Setelah itu, kami segera berpamitan pada Ibu dan bilang mau jajan. Tujuan kami ke rumah Bi Manah. Kak Dindin biasanya banyak ide dan mau membantu.

“Nama lengkapnya siapa?” Pertanyaan Kak Dindin. Kami sama-sama jawab dengan gelengan kepala.

“Lah susah! Di dumay itu ada ribuan nama Dirga.”

“Jadi gimana ya biar bisa menghubungi dia?”

“Kalau alamat gak tahu, nama lengkap gak paham, nomor ponsel gak ada, ya susah … mau ngubek-ngubek dunia maya juga ngabisin waktu saja. Kalian berdoa saja. Kali-kali diijabah.”

Hilang sudah harapan kami. Hanya nunggu keajaiban saja baru bisa. Akhirnya aku sama Adrian memutuskan buat manggil dia lewat doa saja. Uang di kantong kami ada beberapa rupiah. Kami mampir ke masjid dan masukkin uang itu ke kotak amal. Setelahnya aku dan Adrian berdoa. Biar malaikat nanti yang nyariin Om Dirga biar datang.

Kami pulang berjalan bersisian. Dalam hati terus-terusan menyambung doa. Berharap Om Dirga datang dan menjadi pengganti Bapak. Kami tak mengobrol. Sesekali Adrian menendang botol bekas minuman yang tergeletak di tepi jalan.

Kami yang berjalan menunduk, seketika mendongak kaget ketika melihat pemandangan tak biasa di pekarangan rumah. Ada sebuah mobil di sana.

“Om Dirga?” Aku dan Adrian saling bertukar pandang dan menyebut satu nama. Lalu beberapa detik setelahnya kami berlarian memburu ke dalam.

Brag brug brag brug!

Kami rebutan membuka pintu yang sebetulnya tak tertutup rapat.

“Om Dirga?!” Kami bicara bersamaan. Tampak Om Dirga sudah ada di dalam. Dia tengah duduk di sofa ruang tengah. Kondisi teras memang tampak lagi berantakan.

“Hey, kalian! Sehat?” Om Dirga yang baru mengangkat cangkir miliknya, meletakkannya kembali.

“Sehat, Om!” Adrian tampak begitu bersemangat. Dia menyalami Om Dirga. Aku juga ikut menyalaminya.

“Syukurlah kalian pulang! Om Dirga nyariin Icha sama Ian.” Ibu yang baru muncul dari dapur dengan toples berisi keripik bicara. Senyumnya seperti biasa selalu tersungging. Ibu selalu tampil di depan kami seperti tak ada beban.

“Om nyariin Ian, ada apa?” Adrian langsung bertanya dengan antusias.

“Iya, Om. Ada apa?” Aku ikut-ikutan bertanya.

“Gini, Om ada undangan acara gathering di perusahaan supplier. Acaranya ngajak keluarga. Banyak wahana mainan anak. Hanya saja, Om ‘kan gak ada keluarga, apalagi anak. Nah kebetulan acaranya daerah sini juga … kalau kalian gak keberatan. Om mau ngajak kalian. Gimana?” Dia menatapku dan Adrian bergantian.

“Horeeee!” Adrian memekik senang. Aku pun mengangguk-angguk saja dengan senyuman.

“Jadi, mau?” Om Dirga tampak sekali lagi memastikan.

“Mau, mau, Om!” Aku dan Adrian mengangguk cepat. Om Driga tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Om Dirga menatap Ibu.

Ibu memandang kami bergantian sambil mengangguk pasrah, akhirnya Ibu mengiyakkan.

“Yeayyy! Jalan-jalan!” Aku dan Adrian melompat senang.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Diah Intan
kok episode 7 gak ada
goodnovel comment avatar
Enik Wijayanti
Ceritanya sangat bagus dan enarik
goodnovel comment avatar
Uijk Ani
ceritanya bagus kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status