“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Apa? Alasan kamu nikah lagi hanya karena ingin seorang anak lelaki. Kamu gila, Mas! Gila! Aku tak sudi berbagi, Mas! Aku tak sudi! Sekarang kamu silakan pilih? Aku atau Reta?”Bapak menarik napas kasar. Dia menyugar rambutnya ke belakang. Ditatapnya wajah Ibu lekat-lekat. “Apa kita gak bisa menjalani ini bersama-sama. Bukankah kamu dan Reta sudah bersahabat lama?” Suara Bapak terdengar bergetar. Kulihat ada kilat risau dari tatapan matanya. Plak!Ibu menampar Bapak. Aku tertegun sambil mengelus dada. Air mata sudah meremang. Mereka sejak tadi bersitegang sampai tak sadar aku dan Adrian berdiri di ambang pintu sambil saling berpegangan. Kami baru pulang sekolah. Aku duduk di kelas enam sekolah dasar, sedangkan Adrian dia baru duduk di kelas lima. Adrian adalah adik angkatku. Ibu mengusulkan agar mengambil anak asuh dari panti, karena semenjak melahirkanku, Ibu terkena kista, Ibu takut susah hamil lagi. Dan benar saja, meskipun sudah operasi, sampai saat ini Ibu tak pernah hamil lagi
“Salmah … maaf kalau aku ganggu. Aku mau ikut tinggal di sini. Bagaimanapun ini rumah Mas Heru juga. Aku dan bayi laki-laki yang aku kandung, ada hak tinggal di rumah ini.” Aku dan Adrian berdiri, menatap Ibu. Tante Reta dengan perut besarnya, kini berdiri bersisian dengan Bapak yang menarik beberapa koper. Ada juga Vira di sana. Ibu masih diam belum bicara. Mungkin kaget karena aku juga sama kaget. Tapi, Tante Reta tiba-tiba mendorong pundak Ibu. Gak sopan. Dia masuk dan mau ikut duduk di sofa. Hanya saja, aku tak mengira tiba-tiba Adrian berdiri menghalanginya.“Aku gak mau Tante tinggal di sini! Ini bukan rumah Tante!” Tante Reta tersenyum. Dia melihat Adrian sambil sedikit melotot. “Hmmm, kamu cuma anak pungut Mas Heru. Jadi, ini juga bukan rumah kamu. Paham?” “Reta! Berhenti menghina anakku. Silakan kalian pergi! Ini rumahku dan anak-anak!” Aku tahu, hati Ibu lembut. Dia tak pernah marahin kami. Tapi, dia pasti marah dan galak kalau ada orang yang marahin kami. Apalagi Tant
“Icha, Ian, besok kita belanja buku tulis, ya! Punya Icha sama Ian sudah mau habis ‘kan ya kemarin tuh?” Ibu menanyakan pada kami. Sementara itu, tangannya menyimpan piring berisi kentang goreng. Ibu biasa memasakkan camilan untuk menemani aku dan Adrian belajar. Aku saling bertukar pandang sama Adria, lalu menggeleng bersamaan. “Enggak kok, Bu. Bukunya masih ada. Sekarang seringnya ngerjain di buku paketan.” Aku menjawab sambil menyuapkan irisan kentang goreng dibalur tepung yang Ibu sajikan. Enak, gurih dan kriuk.“Oh, ya?” Ibu menautkan alis. Dia menatapku dan Adrian bergantian seperti tak percaya. “Iya, betul, Bu. Punya Ian juga masih ada.” Adrian mengangguk cepat. “Oh ya sudah kalau begitu. Kalian kalau butuh apa-apa, bilang sama Ibu, ya!” Ibu menatapku dan Adrian bergantian. “Iya, Bu.” Kompak kami menjawab.Ibu pun bangun lalu meninggalkan kami. Dia kembali masuk ke dalam ruangan yang biasanya lebih sering dia kunci. Ruangan yang ada satu set komputer di sana. Ibu tak perna
"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir."Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan."Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?" "Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian."Sssst!"Eh, gak noleh."Hussssh! Hussssh!"Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga. "Ada apa, Cha?""Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal."Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku."Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya