Share

Bab 6

KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)

Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama.

“Makanlah!”

Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim.

“Makasih, Om.”

Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.

“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.”

Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai diantar pulang. Ibu pasti tahu apa yang selama ini kami lakukan.

“Ahm, gak usah, Om. Anterin kami ke tempat yang tadi saja. Sepeda kami di sana soalnya,”kilahku mencari alasan.

“Hmmm … Om perlu ketemu dengan orang tua kalian! Om harus minta maaf.” Dia menjawab tenang.

“Eh, gak usah, Om. Ibu kami orang baik. Ibu pasti maafin Om.” Aku nyengir kuda. Tanganku yang gugup meremas ujung paper bag yang berisi nasi MkD yang dibelikan Om tersebut.

Om-Om itu tampak menautkan alis, lalu menatap lekat padaku. Aku menunduk. Aku hanya takut jika Ibu akan sedih kalau tahu hal ini. Pasti Om itu akan bilang bertemu kami di lampu merah.

“Ahmm, baiklah.”

Kukira dia akan ngotot. Tapi ternyata enggak. Syukurlah akhirnya dia menyerah. Dia gak akan nganter pulang ke rumah tapi ke lampu merah lagi.

Setelah menunggu beberapa lama, Adrian pun keluar dengan perban di kepala. Kami di antar lagi ke lampu merah. Jujur dalam kepala bingung mau mencari alasan apa ketika pulang nanti? Perban di kepala Adrian apa bisa disembunyikan, ya? Waktu sudah petang ketika akhirnya aku membonceng Adrian menggunakan sepedanya pulang. Sepedaku masih dititip di Bapak-Bapak penjaga ruko. Aku bayar dua ribu lagi. Untung dia mau.

Aku mengayuh di tengah semilir angin menjelang maghrib. Melewati jalanan di tepian perumahan elit, lalu melewati beberapa bangunan hotel, kantor pemerintahan dan juga memasuki satu buah kawasan industri yang cukup besar. Melewati jalanan yang sudah dipastikan kadar keamanannya teruji. Ini jalan tikus yang hanya orang-orang tertentu yang tahu pasti.

Keluar dari kawasan, kami mampir dulu di warung Bi Manah. Keripik dan air minum yang kujual masih sisa, kuserahkan lagi. Punya Adrian habis karena berjatuhan. Mau tak mau, kami harus mengganti. Jadi, hasil penjualan hari ini dijadikan buat uang ganti rugi. Itu pun masih kurang. Sepertinya besok harus kerja keras lagi untuk menutup sisanya.

Sepeda yang kukayuh tiba di depan rumah. Suasana rumah sepi, sepertinya Ibu sedang shalat maghrib.

“Ian, cepet masuk! Nanti kepalanya kamu pakai peci saja.” Aku berbisik pada Adrian. Dia mengangguk paham. Lalu segera turun dari boncengan. Ian berlari masuk ke dalam kamarnya sebelum Ibu kelihatan. Aku pun bergegas memarkirkan sepeda dan berlari masuk kamarku juga. Setelah itu, segera mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi yang ada di belakang. Namun, baru saja aku masuk ke dalam kamar mandi. Kudengar suara mobil berhenti di depan rumah.

Entah kenapa, perasaanku menjadi deg-degan dan takut. Kenapa suara mobilnya mirip suara mobil si Om-om yang tadi.

Aku menyelesaikan mandi dengan tergesa, setelah itu keluar dengan sudah mengenakan pakaian ganti.

Deg!

Wajahku terasa panas dan lutut lemas. Di ruang tengah sudah ada si Om-om yang tadi dan Bapak supirnya. Adrian tampak sudah duduk menunduk di dekat sofa. Wajahnya menunduk takut-takut. Obrolan mereka terhenti ketika aku muncul. Ibu beralih padaku.

“Icha, sudah shalat maghrib?” Suara Ibu membuatku yang sedang berdiri sambil melongo, mengangguk dengan gugup.

“B--Baru mau, Bu.” Aku menjawab tergagap.

“Cepetan! Setelah shalat ada yang ingin Ibu tanyakan.”

Deg!

Lemes sudah lututku. Aku menghela napas panjang, “Iya, Bu ….”

Segera kutunaikan tiga rakaat shalat maghrib. Hati dag dig dug tak karuan. Usai shalat, lekas aku menghampiri Ibu Adrian dan dua orang yang siang tadi membawa Adrian ke rumah sakit.

“Duduk!”

Aku hanya menurut. Aku duduk di samping Adrian yang tampak pasrah juga.

“Ceritakan pada Ibu. Kenapa bisa Adrian terserempet mobil di lampu merah! Pulang sekolah kalian ngelayap ke mana? Kenapa gak bilang dulu sama Ibu? Bukannya ada esktrakurikuler kewirausahaan?”Suara Ibu pelan, tapi terdengar bergetar. Aku tahu, Ibu sedang menahan marah.

“Maafin kami, Bu.” Seperti dikomando, aku dan Adrian kompak menjawab. Lalu menunduk lagi.

Kudengar Ibu menghela napas kasar lagi. Lalu dia kembali bicara.

“Ibu tak butuh permintaan maaf kalian! Ibu hanya butuh penjelasan kalian … ceritalah ….” Suaranya terdengar pelan, membuat perasaan bersalah kami makin menjadi.

Aku dan Adrian saling lirik. Lalu, aku mengangguk dan Adrian mendongak menatap Ibu.

“Setiap minggu, kami jualan keripik dan minuman di lampu merah, Bu. Pelajaran ekstrakurikulernya bukan dari sekolah, tapi dari inisiatif aku dan kakak.” Adrian menjeda. Lalu dia melanjutkan lagi kalimatnya,“Aku dan Kakak tahu, kami tak punya Bapak lagi. Aku dan Kakak tahu, Ibu gak kerja. Aku dan Kakak hanya ingin membantu Ibu saja.”

Kulihat mata Ibu berkaca-kaca. Dia menengadah. Diam sejenak. Lalu bicara lagi.

“Ibu tak menyuruh kalian seperti itu. Tugas kalian hanya belajar. Ibu masih sanggup mencari buat kalian makan dan bekal sekolah. Kalau kalian kenapa-kenapa gimana? Ibu yang gak akan bisa maafin diri Ibu sendiri. Ibu minta tolong kalian berhenti berjualan di lampu merah. Berbahaya, paham?” Suara Ibu lembut, tapi penuh ketegasan.

“Paham, Bu. Tapi ….” Suara Adrian menggantung.

“Tapi apa?” Ibu menatap dia lagi.

“Tapi, boleh ‘kan kalau cuma jualan di sekolahan?” tanyanya lirih.

“Kalian jualan juga di sekolah?” Ibu tampak terkejut.

“Iy--Iya, Bu.” Aku dan Adrian mengangguk takut-takut.

“Astaghfirulloh, sejak kapan?” Ibu menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya dan menggeleng pelan.

“Sejak, sejak Bapak pergi ninggalin kita, Bu.” Aku bicara lirih sambil menatap Ibu sekilas. Kulihat Om yang tadi dan Bapak supirnya terus-terusan memperhatikan Ibu. Apa dia kagum karena Ibu cantik, ya? Tapi kalau kulihat, Om-Om yang tadi itu tampan juga, jauh lebih tampan dari pada Bapak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Wah jangan² jodoh baru nya si ibu ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status