"Kamu beneran mau ikut ke Rumah Sakit? Baru pulang kuliah gak capek?" Bima mengusap lembut kepala Laras.Bima menjemput Laras sesuai permintaan Istri Tercintanya. TERCINTA GAK TUH!"Gak kok Mas, Aku tadi dikamous cuma nherahin undangan sidang ke Dosen Penguji dan Dosen Pembimbing.""Lusa kan sidangnya?""Iya. Duh! Deg-degan sih! Doaian ya Mas." Bima tersenyum. Bangga sekaki Ia dengan Laras. Laras meskipun selengean tapi soal kuliah Ia tekun dan gigih."Ih, kenapa lihatin Akunya begitu? Kayak Om-Om mesum!""Enggak, Mas bangga aja sama Kamu,""Duh, makasi pujiannya Om Bima!" Laras malah balas meledek."Ih, emang Aku pinokio! Panjang deh hidungku ditarik gini!" Padahal gak sakit, gemas aja Bima sama Laras, berhubung lagi nyetir, mau ngokop ya gak bisa, hidungnya aja dulu kali ya!"Pokoknya Mas, bangga banget punya Istri kayak Kamu!" "Duh, kesambet setan kantor ya Mas!" Laraa tersenyum meski sesungguhnya menahan rona merah pipinya.Semakin hari perlakuan Bima pada Laras semakin manis sa
Semalam Bima dan Laras akhirnya kembali ke Mansion. Keduanya sama-sama lelah, dan memilih tertidur setelah masuk ke kamar.Tak ada adegan plus-plus, meski Bima tipis-tipis mengecup wajah dan bibir Laras yang sedang tertidur.Kualitas tidur Bima menjadi lebih baik mungkin memeluk Laras selama tidur menjadi hal ternyaman saat ini bagi Bima."Om, mau jogging ya? Ikut dong!" Bima melihat Laras sudah siap dengan stelan olahraga. Tumben. Biasanya Laras belum bangun saat Bima berangkat jogging.Bima menatap dari atas sampai bawah, dipeehatikan sedemikian rupa Laras jadi ikut ketularan kembali menatap cermin dan melihat apakah ada yang salah dengan dirinya.Tak ada yang aneh, biasa saja. Kenapa Bima memperhatikan sedemikian rupa? Entahlah. "Ayo, tapi," Bima menghentikan langkahnya, "Eh Om, mau ngapain?""Bajunya harus gini ya?" Bukannya jelek. Dimata Bima, Laras, SEMPURNA!"Ada yang salah sama baju Aku Om?""Ya udah deh," Bima dan Laras memilih jogging di sekitaran taman daerah rumah Mereka
"Sayang," Bima tersenyum, menutup dokumen terakhir yang dibawa Raka untuk ditanda tangani.Laras melenggang dengan senyumnya yang merekah segera duduk di sofa tak ingin mengganggu apa yang sedang Bima kerjakan."Saya permisi Pak, untuk follow ke Klien nanti hasilnya Saya kabari, mari Bu Laras, Permisi." Raka menunduk sedikit memberi hormat kepada Laras juga Buma sebelum meninggalkan ruang kerja Bima."Ganggu ya Mas?" Laras bangkit dari sofa menuju kurai dimana Bima duduk."Enggak Sayang, justru Mas seneng Kamu disini, sini duduk." Bima menepuk pahanya dengan tatapan menggoda.Laras menahan senyumnya tapi semakin mendekat, dan dengan sekali tarik, Bjma berhasil membawa Laras duduk dipangkuannya."Mas, ini di kantor loh! Kalo Pak Raka masuk afau Bu Anita kesini gimana coba!" Usaha Laras turun dari pangkuan Bima sia-sia, kini Bima malah melingkarkan tangannya dipinggang Laras mengunci pergerakan Istrinya agar tak lepas."Mereka gak akan asal masuk Ras kalau gak Saya panggil.""Ck, tapi k
Mengalirlah cerita Bima. Bima menceritakan semuanya tak ada yang Ia tutupi. Laras mendengarkan dengan sabar, meski terkejut Bima menampar Alex namun kata-kata Alex memang pantas mendapatkan itu."Jadi, Kapan Om aka menikahkan Mereka?""Secepatnya, saat Alex dan Bella sudah keluar Rumah Sakit.""Kamu gapapa kan?" Bima butuh mengkonfirmasi tanggapan Laras, dan memastikan apakah Laras akan bersedih akan kenyataan itu atau tidak."Aku? Jika Alex dan Bella menikah?"Anggukan mantap Bima menunggu reaksi Laras."Aku sudah tidak memiliki perasaan apapun pada Alex. Memang dua tahun bukan waktu yanh sebentar. Ada perasaan dan ada komitmen. Tapi semua hilang begitu saja saat dengan mata kepalaku sendiri melihat perbuatan keduanya. Jika Om jadi Aku, apakah masih ada cinta untuk Mereka?"Bima membawa Laras, memeluknya. Memberi dukungan dan bukti empati akan apa yang sebelumnya Ia ragukan."Maaf jika Mas meragukan. Mas hanya takut Kamu masih belum bisa menerima pernikahan Mereka."Laras melepas p
Senyum Bima tersungging kala Laras dengan langkah cepatnya menghampiri Mobil yang sudah Ia hapal, milik Bima, Suaminya. "Mas, audah lama sampe?" Laras meraih jemari tangan Bima Ia cium sebagai bentuk rasa hormat yang sering diajarkan Mama Lana. Sebuah gerakan cepat dan sekedar menempel singkat namun selalu saja memberi perasaan hangat dalam dada dan memberikan rasa hangat yang menyentuh nurani seorang Bimasena Arya Saloka. "Mas kenapa senyum-senyum begitu? Pasti ada maunya ya?" Laras menyipitkan matanya, menuduh dengan penuh selidik dalam senyum Bima yang masih mengembang. Jangan lupakan lesung pipi milik Bima terukir indah, entah sejak kapan tanda lahir Suaminya itu membuat jantung Laras kebat kebit. "Kamu lagi seneng banget? Gimana di Kampus? Ada kabar gembirakah?" Bima mulai menjalankan kemudianya dengan perlahan, meninggalkan pelataran Kampus Laras. "Seneng aja, Minggu depan Aku sidang, doain ya Om, lancar dan lulus!" "Aamiin! Saya yakin, Kamu pasti bisa!" "Makasi loh! Yak
Suasana di Mansion Opa Arman saat makan malam bersama Bian dan Jefri terasa hangat dan menyenangkan, dulu Bian jarang sekaki mau pulang, seringnya menghabiskan waktu di apartemennya. Kini kehadiran Jefri ditengah keduanya membuat semakin dekat saja hubungan diantara Mereka. Opa Arman begitu bersyukur, akhirnya rumah yang memang seharusnya menjadi tempat Mereka pulang kini kembali berfungsi dengan sebenar-benarnya."Kalian berdua besok jangan kemana-mana." Opa Arman meneruskan suapan terakhir dari piringnya dan tandas tak bersisa."Memang ada acara apa Opa?""Iya Om, Jefri gak ada acara kemana-mana kok, orang yang mau diajak juga nolak terus.""Si Om kenapa jadi Cupis gini sih!""Ada aja istilahmu Bi, apa itu?""Curhat tipis-tipis!"Opa Arman menggelengkan kepalanya dengan ringan, melihat Bian memang selalu saja ada tingkah polahnya."Sudah pokoknya Kalian besok malam gak usah ada acara lain, Opa sudah booking Kalian berdua ikut Opa!""Duh berasa cowok apose Kita!""Bi, jangan suka bec