Share

Awal permainan

Hari menjelang malam kala Suci melangkahkan kakinya keluar dari salah satu cabang resroran milik Bara. Dengan raut kesal ia kembali ke dalam mobil dan mentutup pintunya keras.

"Aarrrrgggghhhttttt!!" teriaknya frustasi sembari memukul setir kemudi.

"Bara, kamu di mana?" lirihnya berbarengan dengan air mata yang mengalir dari kedua netranya.

Ia menghela nafas besar berkali-kali demi untuk menghalau sesak mengingat sang suami yang sudah hampir satu minggu ini menghilang bak ditelan bumi.

Satu persatu cabang restoran milik suaminya ia datangi, namun hasilnya nihil. Semua karyawan kepercayaan tak ada satupun mengetahui keberadaan sang bos. Teman dekat dan sanak saudara yang ia kenal pun tak luput dari penelusurannya. Dan hasilnya masih sama, tak ada satupun mengetahui keberadaan Bara.

Lama ia larut dalam pikirannya tentang keberadaan sang suami, dering ponsel dalam tasnya mengalihkan perhatian. Ia menyeka kasar air mata yang masih membasahi pipinya, lantas merogoh ponsel dari dalam tas. Terpampang nama asisten rumah tangganya di layar ponsel.

"Halo, Bik! Kenapa?" tanyanya begitu panggilan ia jawab.

"Halo, Non. Apa sudah jalan pulang? Ini ditunggu Nyonya besar di rumah." tanya seorang wanita yang dipanggil Bibik oleh Suci itu.

"Nyonya besar? Mama?" tanya Suci lagi.

"Bukan, tapi Nyonya Wartini!" jawab wanita itu lagi.

Suci sedikit terkejut dengan jawaban pembantunya itu. Pasalnya, selama menjadi istri Bara, tak sekalipun mertuanya itu datang ke kediamannya. Dikarenakan hubungan keduanya yang memang tak baik.

"Oke, sebentar lagi saya sampai!" jawab Suci kemudian mengakhiri panggilan.

Ia gegas meninggalkan area parkir restoran dan melaju membelah jalanan menuju kediamannya selama ini.

Tak butuh waktu lama, kurang dari 20 menit Suci sudah sampai di rumah mewahnya.

"Bunda!" ucapnya pada Ibunda Bara saat kakinya melangkah menuju ruang keluarga dimana sang mertua terlihat tengah bermain dengan Sofia, putrinya.

Menyadari kedatangan sang menantu, Wartini lantas meminta pengasuh cucunya itu untuk membawa Sofia ke kamar.

"Sus, tolong bawa Sofia ke kamar, ya! Saya ada perlu sama Maminya!" ujar Wartini. Lantas Sofia bersama pengasuhnya berlalu menuju kamar.

"Ada perlu apa Bunda kemari?" tanya Suci saat Sofia sudah menghilang di balik pintu kamar.

Wartini tak langsung menjawab, ia mengambil sebuah map berwarna hijau dari dalam tasnya kemudian melangkah mendekati sang menantu yang masih berdiri di tempat.

"Oke langsung saja! Baca dan pahami baik-baik surat ini." Wartini menyerahkan map itu pada Suci dengan tatapan tajamnya.

Suci segera meraihnya dan membaca surat yang berada di dalam map tersebut. Sontak matanya melebar sempurna dengan mulut menganga tak percaya. Lantas ia menatap map itu dan Wartini secara bergantian.

"Ce-cerai! Gak, gak mungkin! Ini pasti akal-akalan Bunda saja, iya, kan?" teriak Suci histeris. Tubuhnya luruh ke sofa yang berada di sampingnya, air mata mengalir tanpa dikomando.

Wartini menyunggingkan senyum miring melihat ekspresi Suci. Ia dengan santai melangkah kemudian menjatuhkan bobot di sofa panjang seberang tempat Suci.

"Jika masih tak percaya, kau hubungi saja suamimu!" ucapnya tenang.

Suci segera merogoh ponsel dalam tasnya dan menekan nomor suaminya. Tak sesulit kemarin-kemarin, kini begitu berdering segera dijawab oleh Bara.

"Bagaimana? Sudah baca dan pahami bukan isi suratnya?" tanya Bara santai sembari terkekeh pelan.

"Gak! Kamu gak bisa berbuat seenaknya begini padaku, Bara!" Suci meradang mendengar kekehan Bara.

"Kenapa tak bisa? Sedangkan kamu saja bisa berlaku sesukamu, kau belum lupa, kan, apa yang sudah kamu lakukan terhadapku Aulia Suci Wijaya?" hardiknya pelan namun menusuk.

"Berengs*k! Kalau berani pulanglah, jangan jadi pengecut dengan bersembunyi, Bara!" ejek Suci kesal.

"Tenanglah, besok aku pasti pulang dan aku akan membawa kejutan baru untukmu. Jadi, persiapkan jantungmu, Suci!" ucap Bara lagi. Tanpa menunggu reaksi Suci ia lantas mengakhiri panggilan dan segera memblokir kontak Suci, membuat Suci semakin berang dengan ulah Bara.

"Bara! Berengs*k kamu! Bara!" jerit Suci kalap lantas melempar ponsel ke sembarang arah.

Wartini yang melihat tontonan menarik ini tersenyum simpul. Ia menaikkan satu kaki ke atas satu kaki lainnya dan melipat tangan di dada angkuh.

"Bunda sembunyikan dimana Bara!" hardik Suci dengan kilatan kemarahan yang jelas dari sorot matanya.

"Siapa yang istrinya? Harusnya kamu lebih tahu di mana suamimu!" jawabnya dengan senyum licik. Bahkan, Wartini pun tak tahu dimana putra tunggalnya itu.

"Sudah jelas bukan siapa yang tak becus disini? Itulah jika suami hasil dari mengambil milik orang lain, maka harus bersiap dicampakkan." ejek Wartini dengan senyum miring melihat Suci hanya terdiam.

"Cepat tanda tangan! Aku tak punya banyak waktu meladeni wanita licik sepertimu!" lanjutnya seraya bangkit berdiri.

"Gak! Sampai kapanpun aku gak akan bercerai dari Bara! Aku gak akan tanda tangan, jangan harap Bunda bisa memisahkan aku dari Bara!" jawab Suci tak mau kalah. Ia lantas merobek surat gugatan cerai itu dan membuangnya ke lantai.

Wartini tertawa pongah melihat reaksi Suci yang dia nilai bod*h itu. Ia melangkah pelan dengan menatap tajam mata Suci. Tepat di hadapan Suci ia berhenti dan tersenyum mengejek.

"Dengan atau tanpa tanda tanganmu, gugatan itu akan tetap naik ke pengadilan! Jadi,  persiapkan kalimat yang tepat untuk menyanggah semua bukti yang Bara dapatkan!" ucapnya tepat di depan wajah Suci yang memerah diliputi amarah. Setelahnya ia melangkah dengan elegan dan senyum mengembang meninggalkan kediaman menantu arogannya itu.

"Arrrggghhhtttt!! Berengs*k! Bara!!" jeritnya semakin terpuruk. Tubuhnya luruh ke lantai dan menangis tergugu.

"Bangs*t!" 

Dia terus mengumpat dalam keterpurukan, hingga tak ia sadari bahwa keterpurukannya adalah sebuah kemenangan untuk Bara dan Kanaya.

☘☘☘

Kanaya dan Bara saling melempar senyum kepuasan melihat langsung keterpurukan Suci melalui panggilan video ke nomor pembantunya.

"Awal yang bagus bukan?" ucap Bara dengan senyum mengembang. Kanaya mengangguk pasti dengan senyum  tak kalah lebar.

"Pastikan, hasil tes DNA itu besok sampai ke tangan kita!" ucap Kanaya memastikan.

"Tak perlu khawatir, Sayang. Semua pasti berjalan sesuai rencana, jikapun  meleset kita bisa pakai rencana cadangan, bukan?" jawab Bara.

"Iya, tapi aku hanya tak ingin apa yang sudah kita susun secara matang tak terealisasi dengan baik." sanggah Kanaya.

"Tenang, Sayang! Kita main pelan-pelan saja tak perlu terburu-buru. Bukankah akan lebih menyenangkan jika melihat mereka hancur secara perlahan?" ucap Bara lagi dengan senyum simpul sembari menaik-turunkan kedua alisnya.

Kanaya mencebik dengan senyum tertahan, setuju dengan apa yang di katakan Bara. Akan sangat menarik jika kejutan untuk mereka diberikan satu persatu, supaya lebih terasa kepuasannya.

Suci kian tergugu dengan isak tangis yang kian menyayat hati. Sedikit banyak ia menyadari kesalahannya yang sudah mempermainkan janjinya pada Bara diawal pernikahan. Tapi, egonya menolak dan terus menyalahkan Kanaya untuk kekalahannya. Suci pantang untuk dikalahkan.

Ia meraih ponsel yang tergeletak di lantai kemudian menekan nomor anak buahnya.

"Halo, Bu!" jawab anak buahnya di seberang sana. 

"Riko, di mana Kanaya sekarang? Apa sedang bersama Bara?" tanya Suci menggebu.

"Tidak, Bu! Bu Kanaya sekarang berada di rumahnya, sejak pulang dari kafe tadi siang beliau tidak kemana-mana juga tak terlihat Pak Bara berada di sini." jelas Riko yang tentu saja berbohong.

"Si*lan!  Apa sehari ini hanya itu saja kegiatan Kanaya?" 

"Benar, Bu! Bahkan saya masih berada di sekitar rumah Bu Kanaya sekarang, apa Ibu perlu fotonya? Atau saya alihkan jadi panggilan video saja supaya Ibu Suci bisa melihat secara langsung!" tawar Riko.

Suci mendesah kesal, "Tak perlu! Terus awasi setiap pergerakan Kanaya!" titahnya, kemudian ia matikan panggilan sepihak.

Ia berjalan gontai menuju kamarnya di lantai atas, bahkan tak ada sedikitpun niat hatinya menghampiri sang putri di kamarnya. Tenaga dan pikirannya habis terkuras hanya untuk memikirkan Bara, tak ada yang lain.

Sementara itu di kediaman mewah keluarga Aryo Wijaya juga tengah terjadi perdebatan cukup sengit antar penghuninya. Siapa lagi jika bukan Aryo, Ratna dan juga Arkan yang sengaja memperkeruh keadaan.

"Ayolah, Pa! Arkan gak mau kerja kantoran! Terlalu terikat oleh peraturan dan Arkan tak suka itu!" keukeh Arkan membantah Aryo lagi.

"Arkan!" bentak Aryo untuk kesekian kalinya. Namun, Arkan seperti enggan menanggapi.

"Pa, sudahlah! Jika memang Arkan tak berminat, biarlah Suci yang menggantikan. Ingat, anak kita bukan hanya Arkan, tapi juga ada Suci yang jelas lebih kompeten untuk memimpin perusahaan." bujuk Ratna sembari mengusap lengan Aryo yang sudah diliputi amarah terhadap putra sulungnya itu.

Arkan mencebik mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ratna. Ingin rasanya ia menampar mulut wanita serakah itu, tapi sebisa mungkin ia kontrol emosinya agar supaya tak terbongkar kedoknya.

"Benar itu, Pa! Suci lebih pantas menggantikan Papa ketimbang Arkan!" dukung Arkan meyakinkan.

Aryo meraup wajahnya frustasi, menghela nafas besar berulang kali.

"Lagian, Suci ada Bara yang memiliki hak yang sama menggantikan Om Satya, karena ahli waris Om Satya hanya Bara, kan?" lanjut Arkan lagi.

"Masalahnya bukan hanya itu, Arkan! Papa sangat berharap kamu bisa memimpin perusahaan yang sudah susah payah Papa  am-" 

"Papa!" bentak Ratna saat menyadari suaminya hendak keceplosan bicara pada Arkan.

Senyum samar terbit dari bibir Arkan menyadari Papa kandungnya keceplosan bicara. Arkan sudah tahu semuanya bahwa perusahaan itu sejatinya milik sang Ibunda, Rinjani bersama Satya, ayah Bara. Karena Ibundanya bersahabat baik dengan Ibunda Bara. 

"Oke baiklah! Jika itu keputusanmu! Papa akan ijinkan kamu menetap di Jerman! Papa harap kamu bisa pegang ucapan kamu yang tak ingin ikut campur dalam urusan perusahaan. Perusahaan akan Papa berikan sepenuhnya pada Suci dan Bara!" putus Aryo mantap menatap Arkan yang justru tersenyum senang.

Begitupun Ratna, senyumnya mengembang seketika mendengar keputusan Aryo. Tanpa, ia sadari inilah awal dari kehancuran Ratna dan Suci juga untuk Aryo Wijaya.

"Oke baiklah! Arkan janji gak akan ikut campur urusan perusahaan. Tapi, Arkan akan pasang badan jika terjadi kecurangan yang sengaja di lakukan oleh oknum yang bersangkutan." tegas Arkan membuat senyum Ratna sirna sudah.

"Apa maksudmu?" tanya Ratna bingung.

Arkan tersenyum simpul dan melangkah mendekati Aryo Wijaya yang masih berdiri dengan nafas memburu.

"Bebaskan Ibu Rinjani atau aku hancurkan perusahaan Papa, aku tahu Papa punya seorang putri yang sengaja Papa buang demi mendapatkan harta Ibu Rinjani!" bisiknya tepat di telinga Aryo membuatnya menegang seketika. Wajahnya pucat pasi mendengar nama Rinjani disebutkan oleh Arkan.

Ia menatap Arkan dengan tatapan yang sulit dijelaskan, sedangkan Ratna menatap suami dan Arkan bergantian dengan tatapan bingung.

"Arkan, apa maksudmu?" tanya  Ratna bingung.

"Mama, tak lupa, kan, perjanjian kita?" ucap Arkan santai. Dalam hati ia merasa puas membuat Aryo dalam posisi sulit.

"Perjanjian? Perjanjian apa, Ma?" tanya Aryo mengalihkan perhatian. Ratna gelagapan dengan pertanyaan suaminya, tak menyangka Arkan akan menyinggung perjanjian mereka di hadapan Aryo.

"Si*lan anak itu!" unpatnya dalam hati.

"Bukan apa-apa, Pa! Mama, hanya berjanji akan membelikan apartemen untuk Arkan di Jerman, biar dia lebih mandiri dan gak harus sewa gitu!" Jawabnya gugup. Arkan tersenyum sinis mendapat pelototan mata Ratna.

"Benar, Arkan?" tanya Aryo. Dalam  hati Aryo berpikir kembali sebaiknya memang Arkan tinggal di luar negeri saja apalagi Arkan sudah mengetahui rahasia tentang anak yang ia buang dulu.

"Benar, Pa! Dan juga Arkan perlu mobil untuk transportasi kemana-mana. Susah kalau pakai transportasi umum." jawabnya cuek.

"Baiklah! Kapan kamu akan berangkat?" tanya Aryo.

"Minggu ini, soalnya ada kompetisi game besar di sana. Lumayan hadiahnya 10 juta dolar!" jawabnya santai sembari menjatuhkan bobot di sofa.

"Baik, kalau gitu besok Papa transfer uangnya ke rekening kamu. Berangkatlah dan kejarlah apa yang jadi mimpimu! Baik-baik di sana!" pesan Aryo mulai melunak.

"Tentu, Pa! Jangan lupa transfer!" peringat Arkan.

"Berapa kamu butuhkan?" tanya Aryo lagi.

"1 M!" jawabnya setenang mungkin.

"HAH!" pekik Ratna terkejut dengan nominal yang diminta Arkan sedangkan Arkan cuek-cuek saja.

"Kenapa, Ma? Mama keberatan? Kan, beli apartemen sama mobil di sana gak murah, Ma! Malah itu aja masih kurang  loh!" sahut Arkan cepat membuat Ratna mencebik.

"Baiklah, besok kamu ikut Papa ke Bank! Karena kalau tranfer gak bisa segitu banyak! Paling bisa 3 atau 4 kali tranfer sisanya tarik tunai saja!"  putus Aryo sebelum Ratna membuka mulut untuk protes.

Arkan mengangguk setuju, senyum simpul ia ukir di bibirnya.

"Satu kejutan untukmu, Mama tiri! Kamu pikir akan bisa menguasai harta Mama Rinjani? Tidak akan bisa! Tapi, selamat mencoba dan aku pastikan anda akan gagal!" ucapnya dalam hati.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status