Share

Rencana

Dering ponsel mengalihkan perhatian Kanaya dari kenangan dan dendam yang ia simpan di hatinya. Ia menghapus kasar air mata yang masih mengalir di kedua pipinya kemudian beranjak menuju ruang tengah dimana ponselnya berada.

Ia menghela nafas demi untuk menetralkan perasaan yang bergejolak di hatinya sebelum menjawab panggilan.

"Halo!" jawabnya pada si penelpon.

"Kak Naya baik-baik saja?" tanya seorang lelaki di seberang sana.

"Ya, Kakak baik-baik saja! Tenanglah! Kerjakan tugasmu dengan baik, jangan sampai ketahuan!" pesannya sebelum mengakhiri panggilan.

"Baik, Kak! Pasti!" jawab orang itu yakin. Kemudian mematikan panggilan.

Kanaya meremas kuat ponsel dalam genggamannya, kilatan kemarahan terpancar jelas di sorot matanya meski masih berkabut.

"Bersiaplah, Suci!" gumamnya dibarengi dengan seringaian dari bibirnya.

Ia segera beranjak dari ruang tengah menuju kamarnya. Lantas bersiap pergi ke suatu tempat.

Sementara itu di perjalanan pulang, berkali-kali Suci mengumpat sembari memukul setir mobil.

"Berengs*k! Si*lan kamu Naya!" jeritnya dengan emosi yang meledak-ledak.

Baru kali ini dia kalah dari seorang wanita. Ya, kalah telak oleh seorang Kanaya yang baginya hanya seorang upik abu. Suci merasa Kanaya tak sebanding dengannya dari segi manapun. Baik dari fisik, maupun derajat hidupnya. 

Tapi, Bara begitu mencintai wanita itu. Bahkan, segala cara sudah ia lakukan untuk memisahkan Bara dan Kanaya. Ia hanya berhasil memiliki raga Bara tapi tidak dengan hati dan cintanya.

Perjanjian palsu yang sengaja dilanggar olehnya hanya membuat Bara semakin dingin terhadapnya. Membuat Bara semakin tak menganggapnya ada. Bahkan, kini dia rasa Bara semakin jauh dari genggamannya.

"Bod*h!" kembali ia luapkan pada setir kemudi.

Rasa takut akan kehilangan Bara semakin membuatnya emosi, terlebih seorang Kanaya yang ia anggap tak sederajat dengannya, sudah memegang kartu ASnya bahwa dirinya bukan putri kandung Aryo Wijaya. Ini sesuatu yang membuatnya semakin kehilangan akal.

"Gak! Gak ada yang boleh tahu kalau aku bukan anak Papa! Bisa hilang semua aset yang selama ini akan diberikan padaku! Aku harus secepatnya meminta Papa memberikan seluruh hartanya padaku. Tapi, gimana caranya?" monolognya sembari melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia teringat akan Mamanya, senyum samar terbit dari bibir bergincu merah menyala itu.

"Mama! Iya, Mama! Aku harus kesana!"

Ia lantas menginjak pedal gas, menambah kecepatan laju mobilnya. 

Tak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Aryo Wijaya yang berada di kawasan elit ibu kota.

"Ma! Mama!" teriaknya begitu pembantu rumah megah itu membukakan pintu untuknya. Ia segera masuk ke dalam rumah sembari terus berteriak memanggil Mamanya.

"Apa sih, Ci! Teriak-teriak kayak di hutan kamu ini!" kesal sang Mama dari ujung tangga lantai dua rumah mewah itu. Dengan kesal ia menuruni anak tangga dan menghampiri putrinya yang duduk dengan angkuh di salah satu sofa besar ruang keluarganya.

"Ma, gawat!" paniknya begitu sang Mama mendekat.

"Apa sih kamu! Kayak gak sekolah saja, masuk rumah pakai teriak-teriak segala! Kalau Papa tahu bisa habis kamu dimarahi!" sungut sang Mama lagi sembari menjatuhkan bobot di samping putrinya.

"Lagian Papa juga lagi gak ada, kan? Jadi ngapain Mama sewot!" ucapnya enteng sembari melipat tangannya di dada.

"Ini gawat, Ma! Kanaya sudah tahu kalau aku bukan anak kandung Papa!" desisnya pelan namun tajam. 

Mendengar aduan putrinya sontak Ratna menoleh dengan mata melebar sempurna.

"Jangan ngaco kamu!" paniknya sembari menoleh ke sekeliling ruangan takut ada yang mendengarkan. Tanpa mereka sadari, ada seseorang di balik tembok menyeringai mendengar pengakuan Suci.

"Bener, Ma! Barusan aku dari sana, niat mau cari Bara! Tapi, justru dia mengancamku, Ma!" lanjut Suci dengan suara panik.

"Ngancam gimana maksudnya?" 

"Kanaya tahu jika ada perjanjian antara aku dan Bara diawal pernikahan kami. Bahkan dia mengatakan jika dia tahu kalau aku bukan anak kandung Papa! Dia gak akan tinggal diam dengan apa yang sudah kita lakukan padanya, Ma!" jelasnya lagi.

"Sebenarnya siapa si Kanaya itu? Selama ini hanya ada beberapa orang yang tahu kalau kamu bukan anak Aryo. Kita, Dewa, Bik Rum, Arkan dan Rinjani!" Ucapnya setengah berbisik sembari mengingat-ingat nama-nama yang mengetahui rahasia mereka.

"Apa ini ulah salah satu dari mereka, Ma? Tapi, siapa?" Suci ikut berpikir dengan keras siapakah dalang dari bocornya rahasia mereka.

"Bik Rum sudah kembali ke kampungnya jauh sebelum kamu lahir, jadi Mama rasa tidak mungkin tiba-tiba Bik Rum bisa mengenal Kanaya. Arkan? Rasanya tak mungkin, karena setiap hari dia bersama Mama di rumah. Mama sangat mengenal Arkan, bahkan dia tahunya Mama adalah ibu kandungnya. Tak mungkin rasanya dia berbuat sejauh itu." gumam Ratna.

"Apa, ini ulah Rinjani, Ma?" tebak Suci lagi membuat Ratna menoleh.

"Rinjani? Rasanya tak mungkin Rinjani mengenal Kanaya, sampai hari ini Rinjani masih berada di dalam pengawasan kita dan orang-orang kepercayaan Mama! Bagaimana bisa?" 

"Lalu siapa, Ma? Gak mungkin Papa Dewa yang mengatakan pada Kanaya, kan?" lirih Suci semakin gusar.

Di tengah kepanikan ibu anak itu ada seseorang dengan senyum mengembang melihatnya. 

"Selamat datang kehancuran kalian!" gumamnya tersenyum licik. Ia segera mengatur ekspresi wajahnya sebelum keluar dari persembunyian.

"Ma! Mama!" teriaknya dari arah belakang hanya demi untuk mengalihkan perhatian ibu dan anak itu.

"Ya, Kan! Mama di ruang tengah! Ada Suci, nih!" jawab Ratna berteriak juga. 

Tak lama Arkan datang menghampiri mereka dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Hai, Ci! Kapan datang?" sapanya pada adik perempuannya itu.

"Belum lama, sih. Dari mana kamu?" tanyanya setelah Arkan menjatuhkan bobot di salah satu sofa single.

"Dari main game sama Ujang di belakang! Sofia gak ikut?" jawabnya santai.

"Enggaklah! Kamu tuh udah tua, Kan! jangan main game terus kerjaannya. Cari cewek kek, apa gimana kek!" cerocos Suci.

"Cewek tu ribet banyak maunya. Mending main game, kalau Sofia ikut bisa main sama Sofia, kenapa gk diajak sih?" jawabnya santai sembari menatap layar ponselnya.

"Benar kata adik kamu, Kan! Kamu udah 25 tahun loh! Masa gak kepikiran mau cari pendamping sih? Ponakan kamu aja udah 2 tahun lebih loh!" lanjut Ratna mendukung putrinya.

"Kan, Aku udah bilang sama Mama. Urusan pendamping, aku serahkan sama Mama aja! Yang penting Mama suka, cocok ya aku gak masalah. Lagian ya, 25 itu kalau cowok belum waktunya nikah, Suci aja yang kebelet nikah muda, baru 24 tahun anaknya udah 2 tahun." sahut Arkan membela diri.

"Susah ngomong sama kamu, Kan! Kerja sana gih, bantu Papa!" lanjut Suci.

"Males, Ci! Lagian ini juga kerja Ci, bisa dapat banyak uang walau cuma main game. Lagian aku gak suka kerja kantoran, ribet! Ntar perusahaan buat kamu aja, aku gak mau!" jawabnya cepat sembari kembali fokus pada layar ponsel, melanjutkan bermain game. Pura-pura lebih tepatnya.

Seulas senyum terbit dari bibir Ratna dan Suci, lantas keduanya saling melemparkan pandangan dengan senyum terkembang. Arkan melirik sekilas namun dengan segera kembali menatap layar ponsel supaya Ratna juga Suci tak mengetahuinya.

"Betewe, jam segini kenapa kemari? Bukannya di kantor?" tanya Arkan mengalihkan pandangan sesaat.

"Ada urusan sama Mama!" jawab Suci pelan.

"Tumben? Ada masalah apa? Bara lagi?" Arkan menatap dalam manik mata Suci. Lantas meletakkan ponselnya di meja.

"Bukan, tapi-" 

"Kanaya sudah tahu kalau Suci bukan anak kandung Papa!" sahut Ratna memotong ucapan Suci.

"HAH! Kok bisa?" kaget Arkan dengan ekspresi semeyakinkan mungkin agar Ratna tak curiga.

"Entahlah! Yang pasti kita harus secepatnya mengambil alih semua harta Papa!" ujar Suci.

"Ini bukan kerjaan kamu, kan, Arkan?" tuduh Ratna memicingkan mata.

"Aku? Buat apa? Kenal juga enggak sama si Kanaya! Lagian kalau aku niat bocorin udah dari dulu kali, biar hanya aku yang jadi ahli waris perusahaan Papa, kan?" sanggah Arkan dengan santai.

"Iya juga, sih! Lalu siapa?" gumam Suci.

"Bara mungkin?" celetuk Arkan asal.

"Bara bahkan tak tahu hal ini." dengus Suci.

"Wah, kalau gitu kita harus cari tahu! Tenang! Biar aku yang cari tahu!" ucap Arkan membuat ibu anak itu manggut-manggut tanda setuju.

"Kita harus secepatnya bujuk Papa untuk segera mengalihkan semua asetnya menjadi atas nama Suci, sebelum semua terlanjur." usul Arkan meyakinkan.

"Tapi jangan lupa bagianku, Ci!" kelakarnya lagi sembari tertawa.

"Ya pastilah kalau soal itu, sesuai kesepakatan diawal, semuanya akan kita bagi 3 secara adil." jawab Suci merasa diatas angin.

"Tapi, gimana caranya Arkan? Papa bahkan masih mengharapkan kamu menjadi pewarisnya!" sela Ratna.

"Tenang, Ma! Itu biar jadi bagian Arkan. Arkan akan minta keluar negeri saja biar Papa gak lagi mendesak Arkan melanjutkan bisnisnya, gimana?" usul Arkan lagi.

"Tapi, apa Papa setuju?" Ratna terlihat ragu akan ide Arkan.

"Ya, Mama yakinkanlah! Bilang sama Papa kalau Arkan harus mengejar mimpi Arkan menjadi gamers dunia gitu. Yakinkan Papa, kalau Arkan benar-benar gak mau kerja kantoran!" sahut Arkan lagi.

"Baiklah kalau gitu, kita akan coba bicara sama Papa, secepatnya!" putus Ratna dan diangguki kepala oleh kedua anaknya itu.

Arkan menyandarkan punggungnya sembari tersenyim licik, senyum yang hanya dia yang tahu artinya.

☘☘☘

"Hay, Sayang!" sapa Bara kala melihat Kanaya berjalan mendekat ke arahnya. Saat ini mereka bertemu di salah satu restoran milik Bara yang tak diketahui Suci.

"Kita bicara di dalam, ya?" ajak Bara setelah Kanaya sampai.

"Oke, Mas masuk dulu karena ada yang aku dan Riko kerjakan." sahut Kanaya dan diangguki kepala oleh Bara. Setelahnya Bara masuk ke dalam ruanganya.

Kanya segera memposisikan diri untuk dipotret oleh Riko, yang merupakan orang suruhan Suci untuk mengawasi pergerakan Kanaya. Namun, Riko lebih memilih berkhianat terhadap Suci yang dia rasa terlampau arogan dan memilih bekerja sama dengan Bara dan juga Kanaya, yang sudah menyelamatkan hidup istri dan anaknya.

Sebelum Riko mengambil gambar, tak lupa Kanaya meminta bantuan salah satu pengunjung untuk bersedia difoto bersamanya. Kemudian foto-foto itu akan Riko kirimkan pada Suci.

"Sudah, Bu!" ucap Riko pada Kanaya.

"Baiklah! Kalau begitu kamu tunggu di sini saja. Saya mau bicara sama Mas Bara." titahnya kemudian ia berlalu masuk ke dalam ruangan Bara.

"Jadi, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Bara saat Kanaya sudah duduk di sampingnya.

"Entahlah, kita tunggu kabar dari Arkan saja dulu. Aku rasa sekarang ini Suci dan Ibunya sedang kelabakan menyusun rencana mengambil alih aset harta Aryo Wijaya!" jawab Kanaya pelan namun penuh kebencian saat menyebut nama Aryo.

Bara mengusap lembut bahu Kanaya memberinya ketenangan dan kekuatan.

"Nay, Mas yakin kamu kuat! Ada kami di pihakmu! Ada Mama juga Bunda!" ucap Bara menguatkan Kanaya.

"Pasti, Mas! 30 tahun bukan waktu sebentar aku merasakan kerasnya hidup. Dan kini, tinggal sedikit lagi aku akan mendapatkan apa yang seharusnya Mama dapatkan." ucapnya berapi-api.

"Pasti, Sayang! Kami akan selalu ada saat kamu butuhkan." 

"Makasih, Mas! Sudah sejauh ini membantuku! Lalu apa rencanamu mengenai Sofia? Jujur aku tak tega jika anak yang tak berdosa itu ikut terlibat dalam masalah kita." ungkap Kanaya jujur.

"Kamu tenang saja! Begitu hasil tes DNA keluar, aku baru bisa mengambil sikap terhadapnya." jawabnya sembari mengusap kepala Kanaya.

"Tadi, Suci kembali ngamuk ke rumah. Memangnya sudah berapa hari kamu tak pulang?" tanya Kanaya menatap Bara.

"Hampir satu minggu! Biarlah, semakin dia emosi semakin mudah menghancurkannya." jawabnya santai.

"Pulanglah! Aku tak mau terus diteror oleh wanita si*lan itu!" bujuk Kanaya sedikit jutek. Bara justru terkekeh melihat ekspresi wajah Kanaya.

"Bukankah kamu sudah biasa berhadapan dengan wanita ular itu?" kekehnya lagi membuat Kanaya mencebik.

"Kadang lelah juga, Mas ngadepin dia!" ungkap Kanaya jujur.

"Sabar sebentar lagi, Sayang! Aku yakin kamu bisa!" ucapnya sembari mencubit hidung bangir Kanaya.

"Apaan sih, Mas!" cebiknya.

"Mas ada ide untuk membuat wanita ular itu semakin kelabakan." ujarnya dengan seringaian kecil.

"Ide apa?" tanya Kanaya bingung.

Bara membisikkan idenya pada Kanaya, lantas Kanaya tersenyum licik dengan menaikkan satu alisnya.

"Aku setuju!" ucap Kanaya tersenyum miring.

"Bersiaplah mendapat kejutan lain, Suci!"

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status