Share

MINTA CINCIN BERLIAN, KAYAK MINTA KERUPUK

Part 2

Aku semangat menunggu orang-orang berdatangan. Tak sabar rasanya melihat reaksi mereka. Bukan hanya pelakor yang akan menanggung malu. Tapi juga keluarganya. Ini akibatnya kalau macam-macam dengan suami orang. bukan hanya dia sendiri yang menanggung malu, tapi satu keluarga akan terkena imbasnya. Harusnya ini bisa memberi efek jera. kecuali, kalau urat malu mereka sudah putus.

Aku menatap jalanan sambil menggigit kuku-kuku tangan. Mataku awas menatap sekitar. peristiwa memalukan ini tak boleh sampai dilewatkan barang sedetikpun. Kehancuran wanita itu, masih tetap tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku. Gara-gara, Mas Romi tak peduli pada anak dan istrinya.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan pelakor itu saat mendapati acara sakralnya berubah jadi hari yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup.

Sebentar lagi, pertunjukan segera dimulai. Aku sungguh tak sabar.

Heh, ini adalah hal memalukan yang tidak akan pernah dia lupakan dalam seumur hidupnya. Bukankah ini memang tujuan dibuatnya acara wisuda. Sekali seumur hidup, yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Aku hanya membumbuinya saja, agar yang dikenang bukan hanya kebahagiaan saat masa kelulisan, tapi justru malah penderitaan. Menderita harus menahan rasa malu. Haha. Jangan bilang aku jahat, karena aku tak akan menggigit, jika pelakor itu tak hadir dalam rumah tangga kami.

Aku yakin sekali, Mas Romi juga akan datang hari ini. Dia bahkan bela-belain tidak masuk kantor hanya untuk memberikan selamat pada pelakor itu. Heh! dasar suami laknat. Bukan hanya ada gelar istri durhaka, tapi suami juga bisa durhaka.

Aku tahu pria itu tidak masuk kantor hari ini, karena ada kabar dari salah satu orang kepercayaanku di sana. Setelah mengetahui Mas Romi selingkuh, sejak saat itu juga aku merasa harus memata-matainya. Tak akan kubiarkan dia terus membodohiku.

Bahkan yang lebih membuat aku kesal. pria itu juga sudah menyiapkan hadiah untuk si Pelakor. Royal sekali Mas Romi, sedang padaku, dia tak pernah melakukan itu. Jangankan anniversary, hari ulang tahunku pun dia tak ingat. Kalau mengingat bagaimana perangainya selama ini, betapa bodohnya aku karena masih mau bertahan dengannya.

Semalam, aku menemukan bukti pembelian cincin berlian dengan harga fantastis, yang aku yakini itu akan dihadiahkan untuk si pelakor. Namun sialnya, aku tidak dapat menemukan di mana cincin berlian itu disimpan. Selama pernikahan yang sudah berjalan enam tahun ini. belum pernah ia membelikannya untukku. Jangankan berlian, emas perak pun tidak! Andai aku temukan cincin itu, akan aku tukar isinya dengan kecoa. Ah, sial. kalau ingat nominalnya, membuat aku ingin menerkam wanita itu dan memakannya bulat-bulat.

Ini yang menyebabkan aku semakin geram dan memutuskan mengirimkan shock terapi untuk pelakor itu. Ini belum apa-apa, ini baru permulaan saja. Setelah ini, masih akan ada banyak kejutan yang berdatangan untuk kalian berdua.

Saat sedang fokus menanti kedatangan para mahasiswa. Tiba-tiba ponselku berdering nyaring dan membuyarkan lamunan. Tertera nama Mertua di layar.

Huft! Aku membuang napas kasar. Aku kesal. Ganggu aja deh.

Kenapa sih, ibu mertua harus menelpon di saat yang tidak tepat?!

Dengan malas, aku meraihnya, menekan tombol terima. 

"Halo, Ma. Ada apa?" tanyaku.

"Kamu itu di mana sih?

Sudah tahu anak belum sembuh betul, malah dibiarkan sendiri!" Suaranya mengelegar, terdengar pengang telinga. Sampai-sampai aku harus menjauhkan ponselku sebelum gendang telinga ini pecah.

"Aku pergi sebentar doang kok, Ma. Ada urusan penting di luar," jawabku sekenanya.

"Kamu gimana sih?! Tidak ada urusan yang lebih penting daripada menjaga anak kamu!

Sudah tahu anak kamu penyakitan, malah ditinggal, kalau terjadi apa-apa gimana?!" sentaknya lagi.

Sungguh, ada setitik rasa ngilu di dalam hati saat mertua selalu dengan terang-terangan mengatakan anakku penyakitan. Padahal Aura juga cucunya. Masa sih, tidak bisa jaga perasaanku sedikit saja. Paling tidak hargai usahaku selama ini, yang telah merawat Aura sendirian, karena Mas Romi sering keluar untuk urusan dinas. Setelah menetahui kebusukannya, aku tak yakin kalau pria itu benar-benar keluar untuk urusan dinas. Mungkin saja dia pergi ke tempatnya si pelakor. Sungguh menjijikan.

"Heh, kenapa kamu diem aja. Pulang sekarang juga! Jadi istri gak becus banget ngurus anak!"

Tidak Mitha, kali ini kau harus melawan.

"Aku gak bisa, Ma. Lagian Aura juga gak sendirian kok, Ma. Aku titip sebentar sama Bik Asih." sahutku tegas.

"Astaga Mitha! Bik Asih itu cuma pembantu, kamu yang ibunya, bod*h!"

Aku meramas ponselku dengan gemas. Beraninya wanita tua itu mengatakan aku bodoh, tapi dia memang benar, selama ini aku sudah di bodoh-bodohi oleh anaknya, bahkan mungkin mereka juga tahu akan hal ini. Demi anak aku relakan segalanya, tapi malah diperlakukan seperti ini.

"Cepat pulang sekarang juga!

Mama tidak mau tahu, kamu harus ada di rumah dalam waktu 10 menit!"

Gila! Dia pikir aku ini valentino rosi yang biasa kebut-kebutan apa?! Atau justru sengaja, biar aku celaka.

"Memangnya ada apa sih, Ma. Kalau ada perlu ngomong aja sekarang."

"Mama nggak mau tahu, kamu harus pulang. Aura harus kamu yang jaga! Punya anak satu saja enggak ke urus, apa lagi punya anak lebih dari satu nanti!" ketus wanita itu.

Siapa juga yang mau nambah anak dari Mas Romi. Hiyy. barang bekas pakai yang tak layak. Setelah ketahuan selingkuh, aku selalu mencari alasan untuk tidak disentuh olehnya. Aku jijik. Aku lebih memilih tidur bersama Aura setiap malam.

Aku penasaran, apa sih yang mau diomongin, sepenting apa selain minta uang?

Meski malas, aku tetap melajukan mobil kembali ke rumah dengan kecepatan tinggi, sebelum wanita tua itu membuat onar.

Ku lihat mobil Innova terparkir cantik di depan rumah.

Aku menetap malas pada mobil hitam itu. Ia memaksa aku untuk membelikannya mobil sesaat setelah aku melahirkan anak.

Dia bilang itu semua berkat anaknya yang subur. Jadi, bisa memberikan aku keturunan. Dulu aku tidak berpikir panjang dan langsung membelikannya sebagai hadiah untuk ibu dari suamiku. 

Pintu rumah terbuka sebelah. 

Saat aku masuk, mertua sedang duduk di sofa sembari berpangku tangan dan menatapku tak suka.

"Dari mana aja kamu, sepagi ini sudah tidak ada di rumah?"

"Ini bukan urusan mama. Mama juga, kenapa pagi-pagi sekali sudah bertamu?" tanyaku, balik menatapnya tajam. Dia pikir aku takut apa?!

"Kamu itu, ya! Mama tanya, malah balik nyerang!

Mama mau minta tolong sama kamu," ucapnya mendayu-dayu. Mmm, kalau ada maunya aja, dia ngomongnya lembut. Gak kayak tadi waktu di telpon.

"Tolong apalagi, Ma?" tanyaku memutar bola malas.

Rasanya aku sudah bosan dengan permintaan tolong yang lebih terkesan memaksa. 

"Beliin Mama cincin berlian ya."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu lau pintar dan tegas maka tak mungkin lau dikhianati dan dibodohi suami dan mertua. percuma jd anak orkay klu kamu tolol
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status