Share

Benih Siapa?

"Jangan menyentuhku!" Amira mengulurkan tangan di hadapan Rama yang hendak memeriksa keadaannya dan Azriel. "Kau pikir dengan membantu kami, sudah cukup untuk menebus semua perlakuan bejatmu di masa lalu, hah?" Dada ibu satu anak itu terlihat naik turun menahan ledakan emosi juga rasa frustrasi akibat kisah masa lalunya yang begitu kelam.

"Minggir! Jangan pernah tampakkan wajah menjijikkan itu di hadapanku." Finalnya Amira mendorongnya dada Rama hingga terlonjak keluar. Kemudian menutup pintu, lalu tancap gas.

Meninggalkan Rama yang berdiri mematung di tempat dengan tatapan yang sulit digambarkan.

"M-Mom ...." Azriel menarik pelan ujung hoodie yang Amira kenakan saat melihat kecepatan mobil yang ditumpanginya sudah mencapai lebih dari 100 KM/Jam membelah jalan Tol Cipularang.

"Tutup saja kupingmu dan pejamkan mata, Azriel. Hanya begini caranya supaya kita cepat sampai." Dengan mata yang sudah memerah Amira mengatakannya.

Bocah itu pun menurut dan memasang headphone-nya, lalu memejamkan mata.

Memang tak seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang biasa aktif dan susah diatur. Di usia yang belum genap sembilan tahun ini Azriel masih takut pada ibunya. Didikan keras yang sudah Amira terapkan pada putranya sejak dini, menjadikan bocah itu penurut dan tak suka membantah.

Bukan tanpa alasan Amira menerapkan pola asuh yang demikian. Selain terlahir di lingkungan yang keras, sebagai benih yang sebelumnya tak diharapkan. Amira tentu tak menginginkan Azriel tumbuh sebagai anak pembangkang. Mengingat perjuangannya untuk melahirkan bocah ini di tengah terpaan cobaan yang seolah tiada henti ia dapatkan.

Bahkan bukan sekali Amira hendak mengakhiri hidup, kala menatap perutnya yang terus membesar bersama dengan ingatan tentang kejadian pemerkosaan yang terbayang samar di kepalanya.

Namun, sekali lagi. Keinginannya untuk memberi pelajaran pada para manusia jahat itu lebih kuat, daripada keputusasaannya.

Sembari menatap lurus jalanan di depan, pikirannya jauh menerawang kejadian sembilan tahun silam. Di mana detik-detik kehancuran masa depannya jatuh di tangan para lelaki jahanam.

"Azriel bukan anak Mas Rama, Paman Heru, atau lelaki misterius itu. A-Aku bahkan tak tahu dia anak siapa," lirih Amira sembari menggigit bibirnya kuat, hingga cairan merah segar terlihat mengalir dari sudutnya. Bersamaan dengan itu air mata yang sejak tadi sudah menggenang di pelupuk matanya lolos keluar hanya dengan satu kali kedipan mata ringan.

***

Sembilan Tahun Lalu.

Byur.

"Kau pikir siapa dirimu, hah? Seenaknya saja keluar masuk rumah ini. Sudah bosan hidup? Atau mau menyusul ibumu yang baru saja pergi ke neraka!" teriak Dona bak kesetanan di hadapan tubuh Amira yang sudah bersimpuh di depan teras dengan tubuh yang basah kuyup, karena siraman air bekas rendaman lap pel.

Gadis berusia enam belas tahun itu hanya terbungkam. Menjelaskannya pun percuma, karena Dona tak akan percaya apa pun alasan Amira pulang telat hari ini.

Sembari mengusap wajahnya yang basah, Amira mendongak menatap Dona.

"Sudah selesai Bu Dona? Kalau sudah biarkan saya masuk. Saya lelah," ucapnya dengan ekspresi wajah yang dibuat setenang mungkin. Meskipun dalam hati ia ingin sekali menjerit.

Dona melotot, dia sudah bersiap melayangkan tangan untuk menampar Amira. "Kau ...."

"Ma ... banyak pelayan di sini, mereka bisa saja mengadu pada kakek." Rama tiba-tiba muncul dari dalam dan menghentikan tangan Dona hingga hanya menggantung di udara.

"Ck." Dona berdecak, lalu menepis tangan putranya dan berlalu ke dalam.

Sepeninggal mamanya, Rama menatap Amira yang beranjak bangkit dengan datar. Refleks ia melepas kemeja yang dikenakan dan melingkarkannya di tubuh Amira yang basah kuyup.

"Terima kasih, Mas," ujar Amira tulus. Senyum kecil gadis itu tersungging lembut.

" .... "

Tak ada kata yang terucap dari bibir yang hanya membentuk satu garis horizontal tersebut. Rama menanggapinya hanya dengan anggukan ringan.

Mereka berhenti di ambang pintu kamar Amira. Gadis itu menunduk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ini adalah kali ketiga lelaki pendiam itu melepaskannya dari jeratan Dona. Saat itu juga Rama yang menolongnya ketika dengan kejam Dona membenamkan wajahnya di lubang kloset.

"Permis--"

"Sebentar, Amira!" Rama menahan pintu kamar tinggi menjulang itu, sebelum sempat Amira menutupnya. Sejenak ia menatap gadis itu dari ujung kepala sampai kaki.

"Ya, Mas?"

"Mau pergi jalan-jalan keluar?" tawarnya sungkan.

Amira terdiam sesaat, lalu menggeleng.

"Maaf, Mas. Aku mau di kamar saja," tolak gadis itu halus.

Rama termangu.

"Oh, oke. Aku menawarkan karena mungkin saja nanti kau kesulitan. Kebetulan dua hari ini kakek dalam perjalanan bisnis keluar kota, jadi bisa dipastikan beliau tak akan pulang." Rama pun berbalik setelah mengatakannya.

"Eh, Mas!" Seketika lelaki itu menghentikan langkah, tatapannya tak terbaca kala kembali menghadap Amira. "Aku ikut."

"Baiklah. Ganti pakaianmu. Aku tunggu lewat jalan belakang."

***

"Kenapa kita ke sini, Mas?" Amira yang heran karena dibawa ke sebuah hotel, langsung bertanya pada Rama.

"Lebih baik di sini daripada di rumah, bukan?" ujarnya misterius.

Kedua jemari Amira hanya bisa bertautan, saat Rama menuntunnya menuju lift menuju kamar yang sudah dipesan. Matanya mulai berkejaran gelisah memindai sekeliling lorong hotel sesampainya mereka di kamar dengan nomor 313.

"Mas, aku pulang saja, ya."

"Tenang, Amira. Kita tidur terpisah, kau tak perlu takut." Rama menahan pergelangan tangan Amira yang hendak beranjak.

Akhirnya Amira menyerah, dan melangkah masuk mengekori Rama.

Ia tatap sekeliling kamar hotel yang cukup luas ini, lalu menghela napas lega saat menyadari tak ada yang mencurigakan di sini.

"Istirahatlah! Aku ada di kamar sebelah," ucapnya sebelum berlalu dan menutup pintu.

Sepeninggal Rama, gadis itu masih terlihat gelisah di tempatnya. Ia mulai berjalan menuju pembaringan dan merebahkan diri di atas kasur empuk tersebut.

Sejenak tatapannya lurus menghadap langit-langit. "Bu, Mira kangen," lirihnya sembari mengusap sudut mata yang berair.

Setelah itu Amira kembali bangkit untuk mengunci pintu. Namun, sebelum sempat tangannya berhasil mencapai handle--seseorang dari luar sudah mendahului. Refleks Amira mundur selangkah.

"Ha--"

"Biar aku duluan!"

"Lalu, bagaimana dengan perjanjian kita di awal, Rama."

"Tutup mulutmu!"

Blam.

Amira mematung di tempatnya. Dia tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

Siapa lelaki di belakang Rama yang wajahnya bahkan belum sempat Amira lihat?

Pintu terbanting keras di belakang Rama. Slot kunci pun terdengar setelahnya.

"Ma--hmmpp."

Semua begitu cepat saat Rama berlari menerjang tubuh Amira. Mulut kecil itu ia bekap kuat. Beberapa kali pun berontak, kekuatan Amira tak cukup besar untuk menandingin tubuh tinggi kekar Rama.

Sebelum kejadian paling mengerikan dalam hidupnya itu terjadi. Amira sempat menatap Rama dengan pandangan memohon sebelum lelaki itu menutup mata, dan mengikat kedua tangannya menggunakan kain yang semula membungkus kepala Amira.

"Maaf, Amira."

***

Tubuh Amira tergeletak tak berdaya di atas ranjang yang sudah berantakan. Tak ada lagi tenaga yang tersisa bahkan untuk sekadar bangkit dan mencari pertolongan.

Kedua tangannya terikat, pandangannya gelap karena ditutup sepanjang pelecehan yang Rama lakukan. Air mata perempuan itu masih mengalir deras membasahi kain yang menutup matanya dengan suara tangis parau yang nyaris tak terdengar.

Seolah belum cukup sampai di situ, dia mendengar percakapan Rama dengan lelaki tadi yang ia duga temannya.

"S*alan, masa gue dapet bekasan, Ram?"

"Kalau lo nggak mau juga nggak nggak apa-apa. Orang gue juga bukan yang pertama."

"Maksudnya?"

"Sudahlah. Jangan buka penutup matanya, biar dia nggak liat muka lo. Gue mau urus staf hotel dulu."

"Oh, oke."

Pintu tertutup. Lelaki itu mendekati Amira, dan mengelus kulit wajah halusnya.

Bagai luka bernanah yang sengaja disiram air garam. Hari itu Amira harus menerima kenyataan bahwa masa depannya telah hancur di tangan tiga orang lelaki berbeda sekaligus. Setelah sebelumnya Heru--sang paman lebih dulu merenggut kehormatannya di dalam mobil sepulang sekolah.

.

.

.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pada pintu kayu rumah sederhana itu terdengar. Terletak di daerah pedesaan yang masih asri dengan perkebunan teh yang membentang berhektar-hektar, Amira dan Azriel tiba di kediaman sang nenek di daerah Pangalengan-Bandung, saat hari menjelang malam.

Ceklek.

Pintu terbuka. Wajah tua yang terlihat teduh dengan mata yang sudah tak awas, mengenakan kain jarit terlihat di baliknya.

"Mau cari siapa, ya, Ne--"

"Nenek buyut!" Azriel langsung berhambur dalam pelukan wanita tua yang masih terlihat kebingungan.

Amira tersenyum, diusapnya bahu nenek bernama lengkap Imas Marsinah itu sebelum mencium pipi kanan dan kirinya.

"Ini Amira, Nin. Amira Hasna. Cucu Enin!"

Kerutan di dahi Nek Imas semakin bertambah, begitu keras wanita tua berumur hampir tujuh puluh tahun itu mengingat-ingat.

Beberapa saat kemudian, mata sayunya melebar. Dengan senyum semringah ia mengguncang tubuh Amira.

"MasyaAllah, Neng Geulis. Ke mana aja kamu teh?"

***

"Maaf, Bos. Kami kehilangan jejak Nona Amira."

"T*lol."

Suara sambungan telepon dari seberang sana, sontak membuat Rendy meradang. Andini yang baru saja hendak melangkahkan kaki ke kamar, urung dan kembali berlari kecil keluar, lalu mengintip di balik dinding.

"Bagaimana bisa hanya mengikuti satu kelinci liar saja kalian tak becus!"

"Ng, sebenarnya di tengah perjalanan kami dihadang seseorang, Bos."

"Seseorang?"

"Ya, adik Anda dan beberapa bodyguardnya."

Seketika rahang Rendy mengetat.

"Rama ... sebenarnya apa yang kau inginkan, K*parat!"

Andini yang mendengar percakapan itu langsung tertegun, saat mendengar nama adik iparnya disebut.

Bergegas ia mengeluarkan ponsel dari satu dress pas badannya, lalu mengirim pesan pada seseorang.

***

Di sebuah kamar berukuran 6 x 6 itu Amira berada. Duduk di sebuah kursi rotan sembari menatap Azriel yang terlelap nyenyak meski hanya beralaskan dipan dengan kasur tipis.

Tak pernah ia merasa setenang dan sedamai ini sebelummya selama hampir dua pekan menginjakkan kaki di Indonesia.

"Maafkan mommy, Nak. Kalau bukan karena keadilan yang harus ditegakkan. Kalau bukan karena rasa sakit yang kembali menguap. Saat ini mungkin kita masih bisa hidup tenang di New York. Hanya bertiga bersama Nicholle. Maaf, karena mommy tak bisa diam saja membiarkan kebathilan menang di atas kebenaran." Amira tertunduk. Kepalanya mendongak tinggi menahan genangan air yang sudah bersiap ditumpahkan.

Bergegas Amira beranjak dari kursi rotan itu, lalu berjalan menuju jendela yang terbuka. Ditatapnya hamparan daun teh yang terlihat samar-sama di balik cahaya temaram. Kemudian meraih ponsel dari balik kantong celana jins yang dikenakan, dan mulai menghubungi seseorang.

"Halo, Mrs." Suara lembut itu terdengar dari seberang sana.

"Halo, Nicholle. Bisakah kau terbang ke Indonesia untuk menemani Azriel sampai aku menyelesaikan urusan di sini."

" ...."

"Oke, aku akan mengatur penerbanganmu besok. Thank you."

Tring.

Tak lama setelah sambungan telepon terputus Amira kembali mendapatkan email dari pengirim misterius. Kali ini berupa file gambar yang berjumlah lebih dari tujuh buah dengan berbagai situasi berbeda.

Dahinya mengernyit saat melihat foto-foto menjijikkan yang menunjukkan adegan perselingkuhan ibu tirinya--Dona dengan banyak pria muda yang salah satunya adalah adik iparnya sendiri--Heru.

"Jadi yang sebenarnya p*lacur itu siapa di sini?" Amira tersenyum miring. "Baiklah. Sudah selesai pemanasannya. Sekarang saatnya bersungguh-sungguh. Siapa pun kamu yang bergerak di balik layar ... sepenuh hati aku ucapkan terima kasih."

.

.

.

Bersambung.

Enin : Sebutan Nenek dalam bahasa Sunda khususnya Bandung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku ucapkan terimakasih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status