Bugh!
Bugh!Bugh!Satu per satu bogem mentah itu mendarat pada samsak tinju yang sudah berayun ke sana ke mari akibat hantaman keras.Keringat bercucuran dari pelipis perempuan dengan kepala yang tertutup ciput ninja. Kulit wajahnya yang putih mulus terlihat memerah, sebab suhu tubuh dan amarah yang bergejolak dalam dirinya meningkat drastis.Bruk!Amira merobohkan diri, terlentang pada sebuah matras berwarna gelap yang melapisi ruang gym pribadi dalam kediaman mewah tersebut. Dengan handuk kecil yang tersampir di pundak, ia seka kasar keringatnya, sembari menatap langit-langit."Aarrgghh ...." Teriakannya lantang terdengar begitu memilukan. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan alih-alih menangis meraung seperti wanita menyedihkan.Setelah sekian lama kejadian paling traumatis dalam hidupnya kembali terbayang. Berputar-putar di kepala bagai kaset rusak hingga membuat Amira nyaris frustrasi.Ramadika Adijaya, anak kedua dari Dona dan Hanung, pewaris kedua kerajaan bisnis Adijaya yang juga seorang model profesional. Rama terkenal memiliki image yang dingin dengan tatapan tajam. Tak seperti para pendahulunya yang haus kekuasaan, dia tak terlalu peduli dengan hal itu. Meskipun banyak menjadi sorotan karena parasnya yang menawan, sebenarnya dia benci keramaian dan lebih senang menyendiri.Amira seolah menyayangkan, kenapa dari sekian banyak lelaki br*ngsek Rama harus menjadi salah satu di antaranya? Padahal sebelum kejadian itu hubungan mereka cukup dekat sebagai saudara.Dari arah pintu terdengar suara tepuk tangan. Bergegas Amira bangkit dan meraih jubah mandi yang sebelumnya ia tanggalkan untuk menutup lekuk tubuhnya yang sedikit tampak akibat berkeringat."Sebuah pukulan yang menakjubkan dari kepalan tangan semungil itu," ujar lelaki yang berdiri sekitar satu meter dari tempat Amira berpijak.Dahi perempuan itu mengernyit dengan tatapan tajam. "Mau melihatnya lagi? Kali ini biar wajahmu yang menjadi samsaknya.""Oh, wow. Impressive. Bagaimana bisa keponakanku yang dulu paling menggemaskan bisa berubah semengerikan ini?" Heru meletakkan kedua tangannya di atas dada dengan posisi menyilang."Harimau yang tertidur lelap pun bisa mengaum bila diusik, Paman. Seharusnya kau sadar bahwa sesuatu yang terlihat lemah tak selalu tampak demikian. Aku bertahan karena keadaan, bukan kemauan. Kalau pun ada kesempatan aku bisa saja lari. Namun, ada keadilan yang harus kuperjuangkan dari iblis-iblis berwujud manusia seperti kalian." Amira menghela napas panjang. "Kuharap Tuhan memberi balasan yang setimpal bagi si penjahat kelamin sepertimu!"Heru mematung. Rahangnya terkatup rapat dengan kedua tangan yang mengepal erat.Amira pun pergi setelah berhasil membungkam mulut Heru.****Salah satu kader partai X berinisial RDA terlibat skandal cinta sesama jenis*Prak."B*NGSAT!"Ponsel keluaran terbaru dengan harga puluhan juta itu berserakan di lantai saat Rendy membantingnya keras selepas membaca salah satu artikel online yang baru saja terbit sore ini.Dia bangkit dari kursi kebesarannya, dan berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang terletak di lantai sepuluh tersebut. Lalu kembali mengeluarkan ponsel satunya dari dalam saku jas dan mulai menghubungi salah satu orang kepercayaannya."Halo.""Hapus semua artikel yang berhubungan dengan partaiku di media. Cari sampai ke akarnya siapa yang lebih dulu menyebarkan. Lalu habisi!"Tut! Tut! Tut!Sambungan telepon pun terputus secara sepihak. Rendy terlihat begitu murka. Dia meninju kaca pembatas ruangannya sampai meninggalkan jejak retak, lalu mendesis."Amira, wanita s*alan itu. Kau belum tahu siapa aku."***"Hari ini kita mau ke mana, Mom?" Azriel menatap Amira dengan tatapan penuh tanya saat perempuan itu memakaikannya jaket dan topi."Jalan-jalan, Sayang," jawab Amira tak sepenuhnya berbohong.Walaupun sebenarnya ia akan membawa Azriel ke suatu tempat yang aman di daerah pedesaan, di mana nenek dari pihak ibunya tinggal.Tak lama setelah artikel tentang Rendy itu diluncurkan, Amira yakin sebentar lagi dia akan jadi sasaran, meskipun bukan orang yang melakukan.Terbukti sepulang dari super market tadi Amira merasa ada seseorang yang menguntitnya di belakang. Dengan napas yang masih memburu dia bergegas pulang untuk memeriksa kondisi Azriel.Untuk saat ini Azriel satu-satunya kelemahan Amira. Dia tak bisa terus-menerus menempatkan bocah ini dalam keadaan bahaya. Tak ada yang tahu siapa sosok Rendy sebenarnya. Selain ringan tangan lelaki itu juga dikenal berdarah dingin dan tak pernah pandang bulu."Kalau cuma jalan-jalan kenapa harus bawa koper, Mom?"Amira terdiam sesaat. Diusapnya kepala Azriel sebelum menjelaskan. "Kita bakal jalan-jalan ke tempat di mana nenek berada, Sayang. Jadi harus bawa bekal, karena perjalanannya jauh.""Nenek? Jadi Ziel masih punya nenek?" Kejora di mata pekat itu terlihat berpendar. Amira tersenyum."Iya, bahkan banyak teman seumuranmu juga di sana. Ayo, Nak!"Dengan langkah terburu Amira berjalan melewati para pelayan yang terlihat sibuk lalu-lalang membawa baki berisi makanan, yang diletakkan di sebuah meja panjang yang biasa dipakai untuk prasmanan."Sebentar!" Amira menghentikan salah satu pelayan yang berjalan membungkuk di hadapannya."Ya, Nona?""Ada perayaan apa ini?" tanya Amira."Oh, Nyonya Dona hendak melaksanakan arisan tas rutin, Nona.""Hanya arisan? Tapi menunya sudah seperti pesta besar," cibir Amira seolah tak percaya, "wah, ternyata mereka memang benar-benar pandai menghamburkan uang," gumamnya kemudian."Untuk berapa orang kira-kira?""Sekitar sepuluh orang, Nona."Seketika senyum Amira tersungging miring, di satu sisi juga terlihat lirih.Tak habis pikir ia ibu tirinya bisa menyiapkan jamuan yang sedemikian besar-besaran hanya untuk sepuluh orang. Padahal dulu, Amira pernah merasakan bagaimana makan makanan sisa mereka yang sudah hampir basi tanpa tambahan nasi.Perempuan itu memejamkan mata sejenak. Berusaha mengusir ingatan pahit tersebut. Lalu kembali beralih pada pelayan berwajah manis di hadapan."Boleh saya bungkus sedikit untuk dibawa?" pinta Amira."Tentu saja boleh, Nona."***"Ke mana semua makanannya? Tamu saya sudah menunggu!"Di depan meja prasmanan wanita paruh baya dengan penampilan khas sosialita itu berkacak pinggang. Menatap makanan yang sudah ia pesan dari catering ternama hanya tinggal tersisa beberapa porsi saja. Bahkan makanan penutup mewah berupa pana cotta dan creepes telah diganti dengan onde-onde dan kelepon.Para pelayan yang menyiapkan di sana hanya bisa berpandangan, kemudian menunduk dalam."Anu, Nyonya. Semuanya dibawa Nona Amira.""APA?"***Dari balik kaca spion, Amira tersenyum menatap berbungkus-bungkus makanan di jok belakang yang dia bawa dari rumah menuju desa. Dalam benaknya bahkan sudah terbayang bagaimana amukan sang ibu tiri.Sembari menatap jalanan di depan, sesekali ia melirik Azriel. Bocah itu terlihat tenang memainkan game tembak-tembakan dalam iPad berukuran sepuluh inci.Tak lama dahinya mengernyit saat melihat benda asing di samping Azriel. Amira merasa tak pernah membelikan mainan mobil yang bisa berubah menjadi robot tersebut."Ziel, kamu dapat mobil-mobilan itu dari mana?""Oh, ini dari Om Rama, Mom."Deg."Mommy, kan udah bilang jangan terima barang dari sem--""MOMMY AWASS ...!"Ckittt ....Bersamaan dengan teriakan Azriel, Amira menginjak pedal rem seketika. Bergegas dia memeluk bocah itu, lalu berucap istigfar beberapa kali. Matahari baru saja tenggelam, jarak pandang masih terlihat jelas saat ini. Namun, kenapa mobil berwarna silver yang berjalan tepat di hadapannya tiba-tiba berhenti mendadak."Mommy ...." Azriel mencicit, dia mencengkeram mantel yang Amira kenakan, saat melihat dua orang pria bertubuh tinggi besar keluarga dari dalamnya dan berjalan menghampiri mobil yang ditumpangi mereka.Amira melirik kanan dan kirinya, lalu mendesah pasrah saat melihat jalanan tampak sepi sore menjelang malam hari ini.Tok! Tok! Tok!Napas Amira mulai tercekat saat keduanya mengetuk keras kaca mobil. Sejenak iamenoleh ke belakang, dan menggigit bibir saat melihat satu lagi mobil berhenti di belakang.Sekarang tak ada lagi celah untuk lari. Ia hanya bisa pasrah akan keadaan. Setidaknya Amira mau mencoba, selebihnya ia kembalikan pada yang Maha Kuasa."Diam di sini, ya, Ziel. Jangan bukan pintunya sebelum Mommy kembali. Oke?" Dengan takut-takut Azriel mengangguk.Amira menghela napasnya dalam-dalam, sebelum membuka pintu.BUGH!Gerakan itu begitu cepat sebelum sempat kakinya berpijak pada aspal. Mata Amira membelalak lebar saat ia melihat melihat salah satu dari pria sangar bertubuh besar itu sudah tumbang di hadapannya.Bersamaan dengan itu wajah seorang lelaki yang tampak familiar melongok ke dalam."Kalian tidak apa-apa?""Mas Rama!"...Bersambung."Jangan menyentuhku!" Amira mengulurkan tangan di hadapan Rama yang hendak memeriksa keadaannya dan Azriel. "Kau pikir dengan membantu kami, sudah cukup untuk menebus semua perlakuan bejatmu di masa lalu, hah?" Dada ibu satu anak itu terlihat naik turun menahan ledakan emosi juga rasa frustrasi akibat kisah masa lalunya yang begitu kelam."Minggir! Jangan pernah tampakkan wajah menjijikkan itu di hadapanku." Finalnya Amira mendorongnya dada Rama hingga terlonjak keluar. Kemudian menutup pintu, lalu tancap gas.Meninggalkan Rama yang berdiri mematung di tempat dengan tatapan yang sulit digambarkan. "M-Mom ...." Azriel menarik pelan ujung hoodie yang Amira kenakan saat melihat kecepatan mobil yang ditumpanginya sudah mencapai lebih dari 100 KM/Jam membelah jalan Tol Cipularang."Tutup saja kupingmu dan pejamkan mata, Azriel. Hanya begini caranya supaya kita cepat sampai." Dengan mata yang sudah memerah Amira mengatakannya.Bocah itu pun menurut dan memasang headphone-nya, lalu memejamk
"Hati-hati di jalan, ya, Neng. Lain kali kenalkan suamimu sama Enin."Pesan dari Nek Imas, sontak membuat Amira tersentak untuk beberapa saat. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk meski tak yakin. Satu kali kebohongan telah ia lontarkan pada sang nenek, tak lama mungkin akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang lain.Hal itu ia lakukan agar Azriel tak menjadi gunjingan warga di sini. Biarlah Nek Imas tahu kalau dirinya sudah menikah, dan suami Amira sibuk di luar negeri. Daripada ia harus menambah beban di tubuh renta tersebut dengan memberi tahu yang sebenarnya. Terlepas dari berbagai alasan di atas, Amira juga tak mau dipandang sebagai wanita menyedihkan seperti yang selalu dikatakan Dona. "InsyaAllah, Nin." Senyum Amira terkulum lembut, diusapnya jemari ringkih yang sejak tadi menggenggam erat tangannya. Kemudian beralih pada Azriel yang berada dalam pelukan Nicholle.Sekitar dua hari lalu perempuan paruh baya berambut blonde ini tiba ke Indonesia. Amira lan
Mobil yang dikendari Amira dan Zara berhenti di depan sebuah gedung olahraga yang ada di daerah Bekasi Selatan. Tepatnya depan gerobak penjual pecel dan ketoprak yang ramai dikerubungi warga yang didominasi anak muda. "Kamu yakin, Zar?" Amira bertanya dengan kernyitan di dahinya. Zara mengangguk mantap. "Kamu liat aja sendiri nanti." Gadis bertubuh tinggi di atas rata-rata itu menarik tangan Amira menerobos antrian. "Permisi, air panas, air panas!" "Dih, mentang-mentang pake seragam seenak dengkul nyerobot antrian," celetuk salah seorang pembeli yang tak terima karena Zara menyerobot tempatnya, sementara Amira yang mengekor di belakang dengan sungkan hanya bisa meminta maaf tanpa suara. "Duduk sini, Mir!" Zara menunjuk salah satu bangku untuk Amira duduki. Sementara dia maju ke depan dan menggulung lengan seragamnya. Dia beralih menepuk bahu lebar lelaki yang baru sempat Amira lihat dari belakang. Tubuhnya memang tinggi tegap dengan potongan rambut yang rapi. Seperti yang sudah Z
Besoknya. Seperti biasa meja makan dalam kediaman Adijaya itu diisi lima orang keluarga inti. Pagi ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan tenang, hingga hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar beradu dengan piring. "Wah ... ini adalah sarapan ternikmat semenjak dua pekan kepergian anak sial itu. Walaupun sempat kesal karena dia membawa pergi semua makanan catering pesananku. Tapi, tak apa. Sepertinya semua itu untuk bekal mereka berkemah di hutan selama dua pekan." Dona memulai percakapan dengan komentarnya tentang kepergian Amira dan Azriel selama dua pekan tanpa pamit. "Jangan terlalu percaya diri, Dona. Kau lihat saja nanti. Besok atau lusa Amira akan kembali," timpal Heru setelah meneguk air putih di gelas."Kenapa kau begitu yakin, Heru?""Entahlah, hanya feeling.""Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Tak boleh telat untuk menjemput kekuasaan," cetus Hanung sembari bangkit lebih dulu. "Ah, kau benar, Sayang. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui susunan organis
"Haaahhh ...." Tepat ketika pintu lift tertutup tubuh Amira tiba-tiba limbung dan kehilangan keseimbangan hingga harus berpegangan pada dinding lift. "Nggak usah cari kesempatan!" Salah satu pengawal Amira yang bertubuh paling tinggi menepuk tangan temannya, yang bertubuh agak kurus saat hendak meraih tubuh Amira yang nyaris terjatuh. "Nona Mimi mau jatoh, Brai. Sebagai pengawal yang baek, ya gue kudu siap tanggaplah," belanya. "Ya, nggak gitu juga. Barusan lu jatohnya malah mau peluk-peluk. Lagian sejak kapan Nona Amira namanya ganti jadi Mimi?""Fix, mereka bukan temen gue." Teman yang ada di sebelahnya memutar bola mata. "Hadeuh, si Jojo mulai." Sementara yang lain menggeleng. "Berisik kalian semua! Nona Amira bisa dengar!" Al melerai perdebatan para anak buahnya. Lelaki itu terlihat geram sendiri. "Ingat. Attitude," tekannya."Siap, Bang Bos. Sorry." Amira yang mendengar semua itu, lantas berbalik dan menghadap lima pengawalnya yang terlihat gagah dengan setelah hitam-hitam
Di villa yang menjadi basecamp tempat perkumpulan para pengawalnya-- ditemani Zara, petang itu Amira tiba dengan dua kantong besar berisi makanan yang sengaja dipesannya dari salah satu restoran Nusantara.Pelan-pelan mereka melangkah agar tak menimbulkan suara, saat menyadari para pemuda yang tengah bersantai itu sama sekali belum menyadari kehadiran keduanya.Ada yang duduk di atas sandaran kursi, ada yang dengan santainya jalan ke sana ke mari tanpa atasan. Ada yang ngemil kuaci di atas meja. Bahkan ada yang tertidur di lantai. "Primitif. Sepertinya tatak rama belum diajarkan di sini." Amira hanya terkekeh mendengar sindiran Zara. Brak!Perempuan bertubuh tinggi berisi itu menggebrak pintu."Astagfirullah. Ini villa mewah bukan kos-kosan, woy," teriaknya. Semua orang terlonjak. Bahkan Al yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada membelalak seketika saat bersitatap dengan Amira. Lalu berlari masuk lagi untuk mengenakan pakaian."Astaga. Beginikah kelakuan ex
"Dasar anak pelakor.""Cewek sial.""Tak habis pikir kenapa bisa perempuan sepertimu lahir ke dunia!""Lonte."Amira tersenyum miring dalam diam. Betapa ironis kala ia membayangkan kata-kata makian juga bentakan yang dulu kerap kali Rendy lontarkan dengan ringan itu--kembali terngiang dan berputar-putar di kepalanya. Lelaki yang sebelumnya sering kali mendongakkan dagu angkuh setiap mereka bertemu, sering kali memaki dengan kata-kata kejam yang begitu menyakitkan, juga melayangkan tamparan tanpa perasaan--hari ini, tiba-tiba berlutut di hadapan Amira memohon belas kasihan. Bukan hanya dagu yang dia turunkan, tapi juga kepalanya menunduk dalam. Bahkan untuk pertama kalinya sejak Amira menyandang status sebagai keluarga Adijaya setelah dua puluh tahun, Rendy memanggil namanya dengan ratapan dan sorot mata penuh penyesalan. "Ini pertama kalinya kau memanggil namaku tanpa embel-embel kata-kata makian, Mas," ujarnya sarkastis. Tubuh Rendy menegang. Sedikit demi sedikit dia mengangkat k
"Tepatnya kita akan pergi ke mana, Nona?" Al bertanya pada Amira yang sepanjang jalan hanya bisa menatap lurus ke depan dengan bibir terbungkam. Setelah membaca pesan dari pengirim misterius di kantor tadi, Amira langsung meminta Al untuk menyetir ke Bandung, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang tujuan sebenarnya. Entahlah. Sekarang pikiran Amira begitu kalut. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, tapi tak ada satu pun jawaban yang dia dapatkan. Bagaimana bisa Hanung mandul, sedangkan ada tiga penghuni rumah mewah itu yang mengaku sebagai anaknya? Amira benar-benar tak mengerti, sebenarnya seberapa banyak rahasia yang disembunyikan keluar Adijaya? Semakin Amira berusaha memikirkannya, semakin pening kepalanya. Bahkan setelah sepanjang perjalanan berpikir Amira masih belum juga menemukan titik terang."Eh, itu. Ke arah utara Al-- daerah Pangalengan. Omong-omong Dede sudah kau suruh pulang, kan?" Amira beralih menatap Al setelah sekian lama larut dalam dunianya sen