Share

Mencari Pengawal

"Hati-hati di jalan, ya, Neng. Lain kali kenalkan suamimu sama Enin."

Pesan dari Nek Imas, sontak membuat Amira tersentak untuk beberapa saat. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk meski tak yakin.

Satu kali kebohongan telah ia lontarkan pada sang nenek, tak lama mungkin akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang lain.

Hal itu ia lakukan agar Azriel tak menjadi gunjingan warga di sini. Biarlah Nek Imas tahu kalau dirinya sudah menikah, dan suami Amira sibuk di luar negeri. Daripada ia harus menambah beban di tubuh renta tersebut dengan memberi tahu yang sebenarnya.

Terlepas dari berbagai alasan di atas, Amira juga tak mau dipandang sebagai wanita menyedihkan seperti yang selalu dikatakan Dona.

"InsyaAllah, Nin." Senyum Amira terkulum lembut, diusapnya jemari ringkih yang sejak tadi menggenggam erat tangannya. Kemudian beralih pada Azriel yang berada dalam pelukan Nicholle.

Sekitar dua hari lalu perempuan paruh baya berambut blonde ini tiba ke Indonesia. Amira langsung membawanya ke Pangalengan untuk menemani Azriel juga sang nenek. Kebetulan Nicholle memang sebatang kara di negara kelahirannya, dia tak pernah menikah. Semua anggota keluarganya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil.

Nicholle adalah satu-satunya saksi hidup Amira di Amerika. Dia pula yang dengan sabar merawat Azriel sedari lahir, saat Amira mengalami baby blues, karena mengingat trauma kelamnya. Beberapa kali Nicholle mengatakan bahwa kapan pun Amira merasa dunianya akan runtuh ingatlah bahwa ia masih punya imam. Karena meskipun terlahir dari hubungan yang tak diinginkan, kehadiran Azriel adalah kehendak Tuhan.

"Aku titip Azriel, ya, Nick. Jaga dirimu di sini. Hubungi aku kapan pun kau butuh. Thank you so much for everything." Amira menggenggam erat kedua tangan perempuan berubuh tambun itu.

"You're welcome, Mira. Tak perlu sungkan. Kalian keluargaku juga sekarang. Good luck on your way to uphold justice. You're a great woman (Semoga berhasil dalam perjalananmu menegakkan keadilan. Kau wanita hebat)"

Amira mengangguk berkali-kali. Perempuan dengan kerudung pashmina yang tersampir pas di kedua pundaknya itu terlihat berat untuk melangkah pergi. Selain tak tahu apa yang akan dihadapi. Amira juga takut tak akan bisa kembali untuk menjemput Azriel dan Nicholle.

"Tolong jangan pernah buka pintu untuk orang yang mengatasnamakan diriku. Kalau ada apa-apa aku pasti menghubungimu lebih dulu, Nick."

"Ya, Honey. Pergilah." Dengan berat hati Amira melepas genggaman tangan Nicholle, lalu beralih pada Azriel.

"Jangan nakal, ya, Sayang. I love you." Beberapa kali Amira mengecup puncak kepala Azriel.

"See U again, Mom. Love you too."

Amira melambaikan tangan pada Nek Ima

s, Nicholle, Azriel dan beberapa saudaranya yang lain. Kemudian masuk ke dalam mobil Mini Cooper yang sudah terparkir di teras depan.

Sembari mencengkeram kuat setir di hadapan, dia menyakinkan diri sendiri.

"You can do it, Amira!" yakinnya pada diri sendiri.

***

Perempuan yang terlihat fashionable meski tertutup aurat itu turun dari mobil. Sebuah kaca mata hitam berukuran medium bertengger manis di hidung mungilnya yang bangir. Langkah kaki jenjangnya berayun seirama memasuki salah satu pusat perbelanjaan paling elite di Ibukota, setelah menyerahkan kunci mobil pada salah satu penjaga untuk diparkirkan.

Beberapa pasang mata menatapnya takjub. Ada juga yang dengan terang-terangan memuji parasnya. Peragai serta gaya berpakaian perempuan itu jelas tak bisa menyembunyikan identitasnya yang berasal dari kalangan atas.

Langkah Amira berhenti di salah satu stan toko brand fashion ternama, di mana hampir semua pramuniaganya berpakaian resmi dan rapi. Chomel--adalah nama brand fashion yang sudah mendunia. Nama besarnya banyak dimanfaatkan oknum-oknum pedagang kelas menengah ke bawah untuk membuat barang tiruan dengan harga yang miring.

Toko yang Amira tuju jelas resmi. Terlihat dari harga yang tertera dari setiap barang yang dipajang bisa membuat masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah, geleng-geleng kepala. Untuk satu pasang kaus kaki polos berlogo brand tersebut saja bisa dibandrol dengan harga ratusan ribu.

"Ada yang bisa dibantu, Bu?" ujar salah satu pramuniaga bermake up tebal dengan rambut merah tembaga.

"Saya ingin mencari beberapa setelan kantor dari atas ke bawah. Utamakan jangan yang terlalu pres body, ya!"

Pramuniaga itu mengangguk paham. "Mari sebelah sini, Bu." Kemudian menuntun Amira menuju deretan pakaian formal dan semi formal yang berjejer di rak kaca khusus maupun yang terpajang di manekin.

Hanya butuh tiga puluh menit bagi Amira memilih. Lima setel pakaian formal itu berhasil ia kantongi. Kebiasaannya sejak dulu bila dibelanjakan sang kakek. Perempuan itu selalu belanja seperlunya, bukan sepuasnya. Mengingat apa-apa yang berlebihan itu tak baik.

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama."

Amira tersenyum kecil menyambut black card yang disodorkan kasir setelah selesai membayar. Dengan tiga kantong belanjaan itu ia mengedarkan pandangan mencari petunjuk arah yang bisa membawanya menuju foodcourt.

Petunjuk arah itu pun membawa Amira menaiki eskalator menuju lantai lima. Berbagai bau masakan sudah tercium harum bahkan sejak pertama kakinya berpijak. Pandangan perempuan itu menyisir sekeliling, hingga tatapannya berhenti di sebuah restoran Jepang di mana seorang wanita berseragam melambai ke arahnya.

"Mira ...!"

"Zara."

Dua karib yang sudah lama terpisahkan itu berpelukan erat. Meluapkan rindu yang sudah bertahun-tahun lamanya dibendung, karena terpisah jarak dan waktu.

"Bagaimana kabarmu? Demi Tuhan aku rindu sekali, Mira. Sudah sembilan tahun tapi kau masih tak berubah saja. Malah tambah cantik," puji perempuan berambut sebahu itu.

Amira terkekeh, dan mengelus jemari sahabat karibnya sejak SMP tersebut.

"Alhamdulillah, Baik. Woah ... lihatlah betapa kerennya kau dengan seragam polwan itu," Amira balas memuji.

"Omong-omong kau sudah menikah?"

Pertanyaan Zara sejenak membuat Amira nyaris kehilangan kata-kata. Namun, akhirnya ia tersenyum.

"Belum, tapi aku punya satu anak laki-laki."

Seketika raut wajah Zara berubah. Sorot matanya pun perlahan meredup.

"Amira, aku ...." Zara terlihat ragu melanjutkan.

"Kalau kamu?" Buru-buru Amira mengalihkan pembicaraan.

"Aku? Jomblo, haha ... tapi," Begitulah wanita, saling melempar pujian atau candaan tiap kali berjumpa. Mereka larut dalam obrolan panjangnya tentang kehidupan masing-masing serta kegiatannya selama sembilan tahun terakhir.

Bertemu dengan Zara dan membahas banyak hal membuat Amira sejenak lupa tentang tujuan awal menemui sahabatnya ini.

"Oh, iya, Zar!"

Seketika kegiatan Zara menyeruput Jus Stroberinya terhenti. Ia menyingkirkan gelas berbentuk ramping di hadapan, lalu melipat tangan di atas meja. "Ya?"

"Aku butuh jasa seorang intel. Ada kenalan?"

Perempuan yang diketahui sebagai salah satu polwan berpangkat IPTU atau Inspektur Polisi satu dengan seragam berpangkat dua balok berwarna emas itu langsung meraih tangan Amira.

"Ada apa, Mira? Kenapa kamu membutuhkannya?"

Amira menggeleng pelan.

"Aku belum bisa beri tahu sekarang, Zar. Keadaanku sedang sulit. Butuh perlindungan, tapi tak mau melibatkan kepolisian. Sekiranya ada seseorang yang kamu kenal bisa membantu dan bersedia kerja denganku dalam jangka waktu yang panjang, tolong beri tahu," pinta Amira memohon.

Zara terlihat berpikir cukup lama. "Hmm ... intel, ya. Aku tak yakin ada. Rata-rata dari mereka meskipun sudah berhenti bekerja jarang yang terekspos identitasnya."

Amira mendesah lelah mendengarnya. Perempuan itu menekan pelipis yang mulai terasa pening. Mana mungkin planing yang sudah dia pikirkan selama dua pekan ini tertunda karena belum mendapatkan pengawal yang bersedia membantunya.

Mungkin banyak preman bisa dijadikan tameng hanya sekadar untuk tukang pukul. Namun, ia bukan hanya butuh yang bisa mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga otak hingga pandai bermain siasat. Maka dari itu Amira bernisiatif mengambil jasa ex intelijen negara.

Brak!

Amira sedikit terlonjak saat Zara tiba-tiba menggebrak meja.

"Sebentar, sepertinya aku kenal seseorang." Seketika mata Amira berbinar. "Dia ex militer, dari div tiga Kopasus (Komando Pasukan Khusus) Kemampuanya bahkan hampir setara dengan fasilitator BIN," tambah Zara yang terlihat bangga dengan ingatannya.

"Umurnya? Jangan bilang umurnya sudah paruh baya, dan tak bisa lagi bekerja berat." Amira memicingkan mata dengan penuturan Zara.

"Ney, Mira. Umurnya baru 33 tahun!" imbuh Zara antusias. "Bonusnya dia juga gagah dan tampan."

Amira menatap datar sahabatnya itu.

"Zara ...." Suara Amira merendah tanda peringatan.

"Oke, oke. Aku tahu kau sedang mencari pengawal untuk melindungi diri, bukan hati. Ya, siapa tahu saja di tengah-tengah kalian terjebak cinta lokasi."

"Astagfirullah, Zara. Sekarang bukan saatnya membahas hal itu!" bentak Amira yang tak habis pikir dengan imajinasi ngawur sahabatnya.

"Haha ... baiklah. Tak perlu membentakku seperti itu, Sayang. Kira-kira kau butuh berapa orang, biar kusuruh dia mencari anak buah?"

"Tiga sampai lima orang. DP-nya akan kubayar di muka setelah perkenalan kita."

Perempuan berambut sebahu itu terdiam sejenak.

"Sebanyak itu? Kau serius?"

Amira mengangguk.

"Okelah kalau begitu."

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status