Mobil yang dikendari Amira dan Zara berhenti di depan sebuah gedung olahraga yang ada di daerah Bekasi Selatan. Tepatnya depan gerobak penjual pecel dan ketoprak yang ramai dikerubungi warga yang didominasi anak muda.
"Kamu yakin, Zar?" Amira bertanya dengan kernyitan di dahinya.Zara mengangguk mantap. "Kamu liat aja sendiri nanti."Gadis bertubuh tinggi di atas rata-rata itu menarik tangan Amira menerobos antrian."Permisi, air panas, air panas!""Dih, mentang-mentang pake seragam seenak dengkul nyerobot antrian," celetuk salah seorang pembeli yang tak terima karena Zara menyerobot tempatnya, sementara Amira yang mengekor di belakang dengan sungkan hanya bisa meminta maaf tanpa suara."Duduk sini, Mir!" Zara menunjuk salah satu bangku untuk Amira duduki. Sementara dia maju ke depan dan menggulung lengan seragamnya. Dia beralih menepuk bahu lebar lelaki yang baru sempat Amira lihat dari belakang. Tubuhnya memang tinggi tegap dengan potongan rambut yang rapi. Seperti yang sudah Zara gambarkan sebelumnya. Mantan tentara yang beralih menjadi tukang pecel dan ketoprak. Cukup janggal sebenarnya. Namun, Amira yakin dia punya alasan."Apa aja, Bang?" tanya Zara pada lelaki itu."Ya ampun, Zara!" Dia terlihat begitu terkejut saat menyadari kehadiran Zara yang tiba-tiba."Udah, nanti aja kagetnya. Ada bisnis mendadak, nih. Jadi, kita selesaikan dulu para pelangganmu yang riweh dan bucin ini."Dia mengangguk, tanpa kata langsung menunjukkan catatan ke hadapan Zara yang langsung perempuan itu kerjakan dengan kecepatan dan keterampilan yang sama.Sepertinya gadis seumuran Amira itu selain menjadi polwan juga memang sudah terlatih melakukan hal yang sama.Sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya semua pesanan berhasil dikerjakan, antrian pun mulai berkurang hingga surut tak terlihat satu pun."Mir, kenalkan ini Bang Al!" ujar Zara sembari menarik tangan lelaki bernama Al itu ke hadapan Amira.Amira tertegun menatap lelaki yang hanya sempat menyunggingkan senyum tipis itu.Seperti yang sudah Zara katakan, terlepas dari tubuhnya yang sangat bugar, wajah lelaki ini juga begitu enak dipandang."Sekarang kamu tahun, kan alasan kenapa lapak ini selalu rame?" Zara seolah bisa membaca pikiran Amira. "Ya, wajah yang menjual ini," cetusnya."Zara!" Al hanya menatap datar dengan suara memperingati."Dilarang protes, ini fakta," balas Zara dengan tatapan tajamnya."Mungkin Zara sudah mengatakan pokoknya kepada Anda sambil berjalan tadi, sekarang saya akan menjelaskan sisanya." Amira mulai menginterupsi. Ucapan perempuan itu seolah mempunyai magnet tersendiri yang bisa membuat siapa saja yang mendengar langsung memerhatikan. "Sebelumnya kenalkan, Saya Amira Hasna Adijaya, cucu Harun Adijaya.""Uhuk!" Zara yang baru saja menegak minuman, langsung tersedak saat mendengar penuturan Amira."Harun Adijaya? Konglomerat yang baru aja meninggal dua minggu lalu? Pemimpin PT. AJ?" Rentetan pertanyaan itu Zara lontarkan bersamaan.Amira mengangguk."Demi apa? Ya, ampun, Mira. Kamu bukan lagi bercanda, kan? Hampir dua belas tahun kita berteman, dan kamu baru mengungkap tentang indentitasmu yang sebenarnya sekarang?!" Zara heboh sendiri, sembari sesekali mengguncang tubuh Amira."Ceritanya panjang, Zar. Akan rumit dan sulit dimengerti. Intinya aku bagian dari anggota keluarga yang tidak resmi, karena ibuku istri kedua. Keanggotaan kami juga tak pernah diungkap ke publik. Kakek merahasiakannya sejak lama. Memangnya kamu pikir apa alasanku membutuhkan perlindungan dalam bentuk tim?"Zara terdiam."Aku tumbuh di lingkungan yang toxic, setelah kakek meninggal mereka mulai memperebutkan warisan yang ditinggalkan. Sebagai anggota keluarga yang tak diakui, kakek justru melimpahkan sebagian besar hartanya padaku dengan syarat-syarat tertentu."Zara membekap mulut."Amira ... Demi Tuhan aku tak menyangka, kupikir selama ini hidupmu baik-baik saja." Dia beralih pada Al yang sejak tadi hanya diam tertegun mendengarkan dengan saksama. "Udah dengar semua penjelasannya, kan, Bang? Jadi, gimana?""Oke. Jadi, apa yang harus saya lakukan?" tanya Al, tegas dan tepat sasaran."Bentuk tim yang terdiri dari lima orang, termasuk Anda. Saya butuh ahli di bidang IT salah satunya, lalu sopir yang cekatan, gesit, juga tidak ceroboh!"Al terdiam cukup lama."Gimana, Bang? Udah ada gambaran siapa aja?" Zara kembali bertanya.Al mengangguk."Kapan kita mulai?""Dua hari dari sekarang."***"Hubungi pers dan berbagai media, katakan kalau besok saya akan muncul di publik sebagai pewaris termuda keluarga Adijaya."Sambungan telepon terputus. Dua hari sudah berlalu sejak obrolannya dan Zara di mall. Hari ini Amira akan bertemu dengan lima orang pengawal yang akan melindunginya selama menguak sedikit demi sedikit kebusukan para anggota keluarga Adijaya.Bertempat di sebuah Villa keluarganya yang terletak di puncak-Bogor. Hari ini Amira akan turun langsung mentraining para bakal calon bodyguardnya.Suara derap langkah sepatu berat itu terdengar di ruang utama villa. Di tempatnya berdiri dekat kaca pembatas antara dalam dan luar bangunan, Amira tertegun melihat lelaki gagah dengan setelan kaus polos berwarna army dan celana cargo hitam, diikuti empat orang di belakangnya dengan setelan sama.Zara tak berbohong. Lelaki yang kini berdiri di hadapannya ini memang menawan. Memiliki garis rahang yang tegas, mata tajam dan sepasang alis kembar bak ulat bulu yang tersusun sejajar. Kulitnya kecokelatan dengan otot-otot sempurna yang tampak kasat mata meski tersembunyi di balik kaus."Siapa namamu!" tanya Amira tegas."Panggil saja saya Al, Nona. Saya harap Zara sudah menjelaskan pada Anda tentang batasan privasi."Dahi Amira mengernyit. "Aku cuma bertanya tentang nama, bukan status hubunganmu," cetusnya.Beberapa orang yang ada di sana terlihat berpandangan sembari menahan senyum."Maaf," ujar lelaki itu antara malu dan menyesal."Oke, Al. Seperti yang sudah kita sepakati melalui pesan sebelumnya. Keempat orang ini adalah anak buahmu yang sudah dipastikan loyal dan teruji kesetiaannya." Amira mulai berjalan memutari kelima lelaki betubuh tinggi tegap itu. Sesekali berhenti hanya untuk menastikan sesuatu. "Aku tak ingin banyak berbasa-basi, karena hanya akan membuang-buang waktu. Langsung pada intinya saja. Kalian bekerja padaku sebagai pengawal, atau bodyguard. Jam kerja kalian bisa hanya 7 jam, 12 jam, bahkan 24 jam dalam sehari sesuai perintahku, karena kita tak akan tahu kapan situasi genting itu datang. Tenang saja, semua akan sebanding dengan upah yang kalian dapatkan."Amira menghentikan langkahnya tepat di hadapan Al. "Kalian bisa saja bekerja perorangan atau dalam bentuk tim, tapi yang pasti tak akan pernah berkumpul berlima sekaligus. Kalian punya tugas masing-masing, tapi yang terpenting adalah melindungiku. Villa ini akan menjadi basecamp kalian. Dua mobil di garasi itu bisa kalian gunakan hanya untuk urusan pekerjaan. Mengerti?" Amira menatap kelimanya bergantian. Lelaki yang mayoritas masih berumur pertengahan dua puluh itu menggangguk serempak."Kalian lihat koper di atas meja itu?"Seperti boneka yang dikendalikan, kelimanya langsung mengikuti arah pandang Amira."Di dalam sana berisi uang tunai puluhan juta sebagai muka. Setelah melihat kinerja kalian aku akan menambahnya berlibat-lipat nanti." Lagi--mereka manggut-manggut tanda mengerti."Oh, iya. Untuk mengawali pekerjaan kalian. Besok aku ada pertemuan dengan pers untuk wawancara. Kalian semua ikut denganku ke sana. Pakai seragam yang sudah kusiapkan di dalam lemari dalam kamar masing-masing. Untuk latihan, di tempat ini juga ada ruang gym khusus. Aku pamit dulu."Amira memutar tubuh dan meraih tas tangannya di atas sofa. Perempuan itu mulai melangkah keluar. Namun, tiba-tiba dia berhenti di ambang pintu masuk. Secepat kejapan mata Amira berlari menerjang tubuh Al dan melayangkan tinjunya.Bugh!"Haaahh ...." Seulas senyum lembut terbit dari bibir Amira, saat ia mendapati tinjunya ditahan oleh kepalan tangan besar Al yang menggenggamnya erat.Untuk sesaat mata Al melebar, meskipun mengejutkan, tapi bogem mentah Amira tak cukup untuk membuat kelopak matanya yang terbuka berkedip."Refleksmu bagus juga."Sontak Al mundur dua langkah ke belakang, ia menyadari selain menyentuh tangan Amira, dia juga tak sengaja menyentuh pinggang perempuan itu yang sempat terhuyung karena gerakan cepat yang dilakukan, disebabkan perbedaan tenaga di antara keduanya."Maaf."...Bersambung.Besoknya. Seperti biasa meja makan dalam kediaman Adijaya itu diisi lima orang keluarga inti. Pagi ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan tenang, hingga hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar beradu dengan piring. "Wah ... ini adalah sarapan ternikmat semenjak dua pekan kepergian anak sial itu. Walaupun sempat kesal karena dia membawa pergi semua makanan catering pesananku. Tapi, tak apa. Sepertinya semua itu untuk bekal mereka berkemah di hutan selama dua pekan." Dona memulai percakapan dengan komentarnya tentang kepergian Amira dan Azriel selama dua pekan tanpa pamit. "Jangan terlalu percaya diri, Dona. Kau lihat saja nanti. Besok atau lusa Amira akan kembali," timpal Heru setelah meneguk air putih di gelas."Kenapa kau begitu yakin, Heru?""Entahlah, hanya feeling.""Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Tak boleh telat untuk menjemput kekuasaan," cetus Hanung sembari bangkit lebih dulu. "Ah, kau benar, Sayang. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui susunan organis
"Haaahhh ...." Tepat ketika pintu lift tertutup tubuh Amira tiba-tiba limbung dan kehilangan keseimbangan hingga harus berpegangan pada dinding lift. "Nggak usah cari kesempatan!" Salah satu pengawal Amira yang bertubuh paling tinggi menepuk tangan temannya, yang bertubuh agak kurus saat hendak meraih tubuh Amira yang nyaris terjatuh. "Nona Mimi mau jatoh, Brai. Sebagai pengawal yang baek, ya gue kudu siap tanggaplah," belanya. "Ya, nggak gitu juga. Barusan lu jatohnya malah mau peluk-peluk. Lagian sejak kapan Nona Amira namanya ganti jadi Mimi?""Fix, mereka bukan temen gue." Teman yang ada di sebelahnya memutar bola mata. "Hadeuh, si Jojo mulai." Sementara yang lain menggeleng. "Berisik kalian semua! Nona Amira bisa dengar!" Al melerai perdebatan para anak buahnya. Lelaki itu terlihat geram sendiri. "Ingat. Attitude," tekannya."Siap, Bang Bos. Sorry." Amira yang mendengar semua itu, lantas berbalik dan menghadap lima pengawalnya yang terlihat gagah dengan setelah hitam-hitam
Di villa yang menjadi basecamp tempat perkumpulan para pengawalnya-- ditemani Zara, petang itu Amira tiba dengan dua kantong besar berisi makanan yang sengaja dipesannya dari salah satu restoran Nusantara.Pelan-pelan mereka melangkah agar tak menimbulkan suara, saat menyadari para pemuda yang tengah bersantai itu sama sekali belum menyadari kehadiran keduanya.Ada yang duduk di atas sandaran kursi, ada yang dengan santainya jalan ke sana ke mari tanpa atasan. Ada yang ngemil kuaci di atas meja. Bahkan ada yang tertidur di lantai. "Primitif. Sepertinya tatak rama belum diajarkan di sini." Amira hanya terkekeh mendengar sindiran Zara. Brak!Perempuan bertubuh tinggi berisi itu menggebrak pintu."Astagfirullah. Ini villa mewah bukan kos-kosan, woy," teriaknya. Semua orang terlonjak. Bahkan Al yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada membelalak seketika saat bersitatap dengan Amira. Lalu berlari masuk lagi untuk mengenakan pakaian."Astaga. Beginikah kelakuan ex
"Dasar anak pelakor.""Cewek sial.""Tak habis pikir kenapa bisa perempuan sepertimu lahir ke dunia!""Lonte."Amira tersenyum miring dalam diam. Betapa ironis kala ia membayangkan kata-kata makian juga bentakan yang dulu kerap kali Rendy lontarkan dengan ringan itu--kembali terngiang dan berputar-putar di kepalanya. Lelaki yang sebelumnya sering kali mendongakkan dagu angkuh setiap mereka bertemu, sering kali memaki dengan kata-kata kejam yang begitu menyakitkan, juga melayangkan tamparan tanpa perasaan--hari ini, tiba-tiba berlutut di hadapan Amira memohon belas kasihan. Bukan hanya dagu yang dia turunkan, tapi juga kepalanya menunduk dalam. Bahkan untuk pertama kalinya sejak Amira menyandang status sebagai keluarga Adijaya setelah dua puluh tahun, Rendy memanggil namanya dengan ratapan dan sorot mata penuh penyesalan. "Ini pertama kalinya kau memanggil namaku tanpa embel-embel kata-kata makian, Mas," ujarnya sarkastis. Tubuh Rendy menegang. Sedikit demi sedikit dia mengangkat k
"Tepatnya kita akan pergi ke mana, Nona?" Al bertanya pada Amira yang sepanjang jalan hanya bisa menatap lurus ke depan dengan bibir terbungkam. Setelah membaca pesan dari pengirim misterius di kantor tadi, Amira langsung meminta Al untuk menyetir ke Bandung, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang tujuan sebenarnya. Entahlah. Sekarang pikiran Amira begitu kalut. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, tapi tak ada satu pun jawaban yang dia dapatkan. Bagaimana bisa Hanung mandul, sedangkan ada tiga penghuni rumah mewah itu yang mengaku sebagai anaknya? Amira benar-benar tak mengerti, sebenarnya seberapa banyak rahasia yang disembunyikan keluar Adijaya? Semakin Amira berusaha memikirkannya, semakin pening kepalanya. Bahkan setelah sepanjang perjalanan berpikir Amira masih belum juga menemukan titik terang."Eh, itu. Ke arah utara Al-- daerah Pangalengan. Omong-omong Dede sudah kau suruh pulang, kan?" Amira beralih menatap Al setelah sekian lama larut dalam dunianya sen
Pangalengan, 10 Januari 1990Brak!Sruuuk!Suara benda berat yang terperosok jatuh dari atas jalan besar, terlihat menggantung di tepi jurang perkebunan Teh seluas lima hektare. Seorang pria paruh baya yang diketahui petani Teh yang tengah menggembala kambing di sekitar perkebunan pun dibuat terkejut sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Dengan hati-hati dia menyisir tanah merah yang dikenal licin agar bisa mendekati benda jatuh yang baru bisa dilihat dari dekat ternyata sebuah mobil, dengan pengendara yang sudah pingsan di dalam. Pria paruh baya yang kebingungan itu menoleh ke kanan dan kiri. Namun, dia tak menemukan satu pun orang yang sekiranya bisa membantu, kebetulan hari memang sudah beranjak petang, saat mobil ini terjatuh pun dia sudah berniat pulang.Setelah melewati berbagai pertimbangan dan pemikiran yang matang, mengingat rasa kemanusiaannya jauh lebih besar daripada ketakutan akan nyawa yang dipertaruhkan, pertani teh bernama Dadang itu berinisiatif untuk melepas t
Jakarta, 10 Januari 1998Pertengkaran hebat terjadi di kediaman utama keluarga konglomerat Adijaya yang melibatkan anak pertama dan kedua Harun Adijaya yaitu Hanung dan Hendra. Sementara putra bungsunya Heru, serta istri dan anak-anak Hanung Rendy dan Rama menjadi saksi di mana dua bersaudara itu adu mulut, hingga keluarlah kata-kata yang membuat semua orang tercengang. Saat Hendra mengungkap tentang Lena dan rahasia yang dia simpan rapat selama delapan tahun itu.“Bajingan! Kau itu kakak yang sama sekali tak bisa dijadikan panutan. Pecundang egois yang hanya bisa mementingkan diri sendiri. Masihkah kau ingat Lena Aprilia? Pak Dadang, Bu Imas, serta anak yang kau tinggalkan, Sialan?”Hanung tercenung, begitu juga semua orang yang menyaksikan.“Jadi, Lena hamil saat aku tinggalkan?” Dia bergumam.“Ya, brengsek. Istri malangmu itu selama ini menderita sendirian saat membesarkan anak kalian!” Hendra terpaksa mengambil satu-satu jalan untuk menebus kesalahannya pada Lena, saat tahu aya
12 Januari 2008 "Demi Tuhan aku menyesal, Lena. Aku menyesal meninggalkanmu, aku menyesal menempatkanmu dalam situasi sulit ini. Kalau saja saat itu aku tak pergi, kalau saja saat itu aku tak sengaja mengatakan tentang hubunganmu dengan Mas Hanung. Mungkin sekarang kita sudah hidup sebagai keluarga kecil yang bahagia. Amira tak perlu memalsukan tahun kelahirannya untuk mengelabui Mas Hanung. Kau tak perlu menderita sampai sejauh ini karena tekanan Mbak Dona." Di gudang tempat penyimpanan barang bekas itu, Hendra menghampiri Lena yang tengah membereskan barang-barang yang sudah bertumpuk tak tertata. Dengan tatapan sayu perempuan itu menoleh menatap mantan suaminya, lalu tersenyum kecil. "Tak perlu membahas hal yang sudah lama berlalu, Mas. Tetap jaga rahasia tentang Amira sama seperti saat aku merahasiakan tentang hubungan kita dari Mas Hanung dan keluargamu yang lain. Tetap bersikaplah layaknya ipar seperti biasa. Selama sepuluh tahun ini kita bisa, bukan? Demi Amira, tolong ...