Besoknya.
Seperti biasa meja makan dalam kediaman Adijaya itu diisi lima orang keluarga inti. Pagi ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan tenang, hingga hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar beradu dengan piring."Wah ... ini adalah sarapan ternikmat semenjak dua pekan kepergian anak sial itu. Walaupun sempat kesal karena dia membawa pergi semua makanan catering pesananku. Tapi, tak apa. Sepertinya semua itu untuk bekal mereka berkemah di hutan selama dua pekan." Dona memulai percakapan dengan komentarnya tentang kepergian Amira dan Azriel selama dua pekan tanpa pamit."Jangan terlalu percaya diri, Dona. Kau lihat saja nanti. Besok atau lusa Amira akan kembali," timpal Heru setelah meneguk air putih di gelas."Kenapa kau begitu yakin, Heru?""Entahlah, hanya feeling.""Sudahlah. Kita berangkat sekarang. Tak boleh telat untuk menjemput kekuasaan," cetus Hanung sembari bangkit lebih dulu."Ah, kau benar, Sayang. Aku sudah tak sabar untuk mengetahui susunan organisasi perusahaan yang baru. Tak sabar juga rasanya melihatmu duduk di bangku Dirut menggantikan tua bangka yang sudah membusuk di liang lahat." Dona berujar manja sembari memburu Hanung dan bergelayut di lengannya."Jangan berlebihan, Dona. Dia ayah mertuamu.""Hoho, iya, iya. Maaf. Aku hanya terlalu senang.""Kita berangkat sekarang, Yah?" sahut Rendy yang akhir-akhir ini terlihat murung dan kurang sehat."Ya, kau berangkat dengan Rama. Sembunyikan wajah lelah itu, Rendy. Ini hari penting!" tegas Hanung menegur anak sulungnya yang terlihat ogah-ogahan.Mereka pun berangkat beriringan. Memasuki mobil mewah yang sudah berjejer dengan supir yang siap mengantar satu per satu. Tanpa beban, bersemangat, dan penuh suka cita. Karena berpikir sebentar lagi akan ada di puncak kekuasaan.***"Kok, banyak wartawan?" cetus Rendy setelah turun dari mobil, sesampainya mereka di pelataran gedung bertingkat lima belas yang menjulang mencakar langit."Kamu undang wartawan, Mas?" sahut Heru.Lelaki paruh baya itu menggeleng."Tidak, untuk apa? Walaupun salah satu dari pemegang saham perusahaan kita adalah publik figur. Tapi, meeting ini bersifat privat," papar Hanung yang mulai keheranan."Oh, astaga. Mana hari ini aku memakai tas yang sama dengan yang dipakai saat interview terakhir kali lagi." Dona bergumam sendiri.Sementara Rama masih tetap stay dengan ekspresi masa bodonya.Satu per satu dari mereka mulai berjalan menembus kerumunan. Jepretan kamera terdengar sahut menyahut dengan cahaya blitz yang menyoroti satu objek yang sama."Wah, aku baru tahu kalau keluarga Adijaya mempunyai keturunan perempuan?""Ya Tuhan dia cantik sekali dari dekat.""Oh, jadi ini sang putri yang sempat hilang?""Ya ampun semua bodiguardnya bahkan keren-keren.""Publik speakingnya bahkan begitu mumpuni. Tak heran dia menjadi salah satu dari anggota keluarga Adijaya yang terkenal cerdas-cerdas."Kepalan tangan Hanung terlihat sudah mengetat di kedua sisi tubuhnya."Anak kurang aj--""Ayah ....!" Perempuan dengan setelan kantor menawan itu bangkit dari tempatnya. Dia memburu Hanung, lalu memeluknya erat.Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu akhirnya hanya bisa tersenyum meringis saat paparazzi berganti menyoroti mereka."Jadi, begini teman-teman. Alasan Ayah menyekolahkan saya di luar negeri itu agar posisi saya bisa setara dengan kakak-kakak yang lain. Dalam rapat pemegang saham hari ini juga ayah sudah menyiapkan posisi yang cukup tinggi untuk saya dalam pembaharuan organisasi perusahaan yang baru."Deg!Hanung merasakan kakinya mulai melemas. Bahkan dia bisa saja terjatuh bila Amira yang tersenyum miring dalam diam tak menahan tubuh tambunnya."Pegangi mama, Rendy. Mama mau pingsan."***Para wartawan dari berbagai jenis media masa masih berkerumun mengitari pelataran gedung kantor PT. AJ. Cahaya blitz dan jepretan kamera tetap mendominasi konferensi pers pagi ini. Terlihat pula microphone yang berebut diarahkan pada satu objek yang sama. Membuat lima orang yang duduk sejajar dengan perempuan yang tengah menjadi sorotan itu menunjukkan berbagai ekspresi beragam.Kedua tangan Hanung masih terkepal di kedua paha. Rahangnya mengeras saat diminta duduk tepat di samping Amira. Tak habis pikir ia bagaimana putrinya bisa merencanakan hal segila ini, hanya satu jam sebelum rapat pemegang saham. Hanung juga tak mengerti dari mana Amira bisa mendapatkan akses masuk perusahaan juga menghubungi pers untuk klarifikasi kedatangannya.Ini jelas jebakan. Kalau publik sudah tahu kehadirannya, Hanung tak bisa lagi memperlakukan Amira semena-mena. Dengan terpaksa pula ia harus memberikan satu posisi kosong di perusahaan untuk ditempatinya."Maaf, apa benar kabar yang dulu pernah beredar bahwa Anda terlahir dari ibu yang berbeda?" Seorang wartawan yang diketahui mewakili salah satu infotainment itu mengajukan tanya.Amira tersenyum."Ya. Saya memang terlahir dari ibu yang berbeda. Tapi harus kalian ketahui bahwa ayah begitu adil membagi cintanya. Dia tak pernah membeda-bedakan kami bertiga. Antara saya dan kedua kakak, semuanya sama rata." Ada sedikit nada getir yang terdengar dari penuturannya, tapi Amira berhasil menutupinya dengan senyuman. "Benar begitu, kan, Yah?" Dia menoleh ke arah Hanung yang susah payah mengukir seulas senyum."Ibu Dona juga sangat baik." Serentak kamera beralih menyorot pada Dona yang kelabakan menyembunyikan wajah gugupnya. "Dia bahkan menganggap saya seperti anaknya sendiri dengan selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang. Sungguh mencerminkan seorang wanita yang berpendidikan dan terhormat. Oh, iya. Beliau juga bahkan sangat setia pada suaminya walaupun ayah sering kali sibuk dan jarang di rumah."Dona hanya bisa menunduk mendengar penuturan Amira. Di balik meja tangannya sudah meremas-remas dress berwarna hitam yang dikenakan."Begitu pula Mas Rendy." Seketika Rendy tersentak dari lamunan. Dengan jantung yang sudah berdebar lebih cepat dari biasanya dia melihat semua pandangan mulai mengarah padanya."Dia juga figur seorang kakak yang sangat penyayang, sabar, dan tak pernah kasar. Yang saya tahu beliau juga sangat menyayangi istrinya.""Apa benar tentang berita yang sempat beredar, bahwa salah satu kader di partai Anda terlibat skandal, Pak Rendy?"Tubuh Rendy sontak menegang. Keringat mulai bercucuran membasahi pelipisnya."A--""Wah. Sepertinya hoaks itu." Dengan cepat Amira menyahut. "Kalau pun ada itu sudah pasti bukan Mas Rendy. Bagaimana mungkin lelaki gagah dan penyayang wanita sepertinya terjebak skandal seperti itu."Kepala Rendy tertunduk. Mati-matian dia berpikir keras tentang tujuan sandiwara yang tengah Amira jalankan."Ah, iya. Paman Heru juga tak luput dari perhatian. Dia sangat sopan dan menjaga saya dengan baik sebagai satu-satunya keponakan perempuan." Mata Amira menyorot tajam menatap Heru yang duduk di posisi paling ujung."Apalagi Mas Rama. Dia itu diam-diam menghanyutkan." Lagi-lagi ekspresi lelaki tampan itu tak terbaca."Intinya sebagai tokoh publik juga keluarga terpandang. InsyaAllah keluarga Adijaya bisa dijadikan panutan. Jadi, bila ada berita buruk yang mengatasnamakan kami, itu sudah bisa dipastikan tidak benar. Kami ini satu kesatuan. Jadi, bila ada salah satu yang melakukan kesalahan, imbasnya bisa pada semuanya. Ibarat sebuah bangunan. Bila pondasinya kuat, bangunan kecil pun akan terus berdiri kokoh meski ditimpa banyak beban. Sebaliknya bila pondasinya rapuh, meski bangunanya menjulang tinggi. Setitik beban saja bisa mengakibatkannya rubuh dan porak-poranda."Deg!Semua anggota keluarga Adijaya yang lain membisu. Penuturan Amira meskipun terdengar begitu bijaksana, tapi mengandung arti tersirat. Perempuan itu bangkit dari kursi, lalu membungkukkan tubuh sedikit."Terima kasih untuk semua waktu, teman-teman. Karena sebentar lagi ada meeting, kami undur pamit." Amira mengakhiri sesi wawancaranya. Perempuan itu memutari kursi dan berjalan mendahului.Para wartawan mulai membubarkan diri. Beberapa dari mereka terlihat masih diskusi dan memeriksa hasil rekaman kamera. Dari kerumunan itu terlihat satu orang wartawan berlari menembus kerumunan, melewati kelima anggota keluarga Adijaya yang terlihat lesu, lalu menghadang jalan Amira untuk memasuki lobi kantor."Sebentar Nona Amira!"Amira berhenti di ambang pintu, begitu pun kelima bodiguardnya di belakang."Ya?" Amira berdiri menghadap wartawan wanita yang diketahui berasal dari salah satu majalah ternama."Maaf kalau saya lancang mempertanyakan ini. Apa benar, ibu kandung Anda itu adalah tersangka rahasia yang terlibat dalam pembunuhan Hendra Adijaya, sekitar sepuluh tahun lalu?"Seketika senyum di wajah Amira sirna. Dia mengedarkan pandangan menatap para wartawan yang hendak membubarkan diri--tiba-tiba kembali ke posisinya lagi dan mulai menyalakan kamera."Mampus." Dona tersenyum miring, seolah begitu puas mendengarnya.Untuk beberapa saat Amira tertegun. Sejenak kepalanya menengadah sebelum berujar tegas."Ya.""Wah.""Astaga ternyata dia anak pembunuh.""Aih, malang sekali nasibnya.""OMG.""Wallahualam. Tak ada yang tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Saya yakin suatu saat kebenaran akan terungkap. Lagi pula ibu sudah meninggal. Bukannya tak baik membicarakan seseorang yang sudah tiada?" tambahnya.Wartawati itu seketika terbungkam. Dia menunduk, lalu minta maaf."Maaf, Nona. Silakan." Kemudian memberi jalan untuk Amira.Dengan pandangan lurus ke depan, Amira berjalan tegap dengan pandangan semua karyawan yang mengikuti langkahnya sampai masuk ke dalam lift bersama lima pengawalnya....Bersambung."Haaahhh ...." Tepat ketika pintu lift tertutup tubuh Amira tiba-tiba limbung dan kehilangan keseimbangan hingga harus berpegangan pada dinding lift. "Nggak usah cari kesempatan!" Salah satu pengawal Amira yang bertubuh paling tinggi menepuk tangan temannya, yang bertubuh agak kurus saat hendak meraih tubuh Amira yang nyaris terjatuh. "Nona Mimi mau jatoh, Brai. Sebagai pengawal yang baek, ya gue kudu siap tanggaplah," belanya. "Ya, nggak gitu juga. Barusan lu jatohnya malah mau peluk-peluk. Lagian sejak kapan Nona Amira namanya ganti jadi Mimi?""Fix, mereka bukan temen gue." Teman yang ada di sebelahnya memutar bola mata. "Hadeuh, si Jojo mulai." Sementara yang lain menggeleng. "Berisik kalian semua! Nona Amira bisa dengar!" Al melerai perdebatan para anak buahnya. Lelaki itu terlihat geram sendiri. "Ingat. Attitude," tekannya."Siap, Bang Bos. Sorry." Amira yang mendengar semua itu, lantas berbalik dan menghadap lima pengawalnya yang terlihat gagah dengan setelah hitam-hitam
Di villa yang menjadi basecamp tempat perkumpulan para pengawalnya-- ditemani Zara, petang itu Amira tiba dengan dua kantong besar berisi makanan yang sengaja dipesannya dari salah satu restoran Nusantara.Pelan-pelan mereka melangkah agar tak menimbulkan suara, saat menyadari para pemuda yang tengah bersantai itu sama sekali belum menyadari kehadiran keduanya.Ada yang duduk di atas sandaran kursi, ada yang dengan santainya jalan ke sana ke mari tanpa atasan. Ada yang ngemil kuaci di atas meja. Bahkan ada yang tertidur di lantai. "Primitif. Sepertinya tatak rama belum diajarkan di sini." Amira hanya terkekeh mendengar sindiran Zara. Brak!Perempuan bertubuh tinggi berisi itu menggebrak pintu."Astagfirullah. Ini villa mewah bukan kos-kosan, woy," teriaknya. Semua orang terlonjak. Bahkan Al yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada membelalak seketika saat bersitatap dengan Amira. Lalu berlari masuk lagi untuk mengenakan pakaian."Astaga. Beginikah kelakuan ex
"Dasar anak pelakor.""Cewek sial.""Tak habis pikir kenapa bisa perempuan sepertimu lahir ke dunia!""Lonte."Amira tersenyum miring dalam diam. Betapa ironis kala ia membayangkan kata-kata makian juga bentakan yang dulu kerap kali Rendy lontarkan dengan ringan itu--kembali terngiang dan berputar-putar di kepalanya. Lelaki yang sebelumnya sering kali mendongakkan dagu angkuh setiap mereka bertemu, sering kali memaki dengan kata-kata kejam yang begitu menyakitkan, juga melayangkan tamparan tanpa perasaan--hari ini, tiba-tiba berlutut di hadapan Amira memohon belas kasihan. Bukan hanya dagu yang dia turunkan, tapi juga kepalanya menunduk dalam. Bahkan untuk pertama kalinya sejak Amira menyandang status sebagai keluarga Adijaya setelah dua puluh tahun, Rendy memanggil namanya dengan ratapan dan sorot mata penuh penyesalan. "Ini pertama kalinya kau memanggil namaku tanpa embel-embel kata-kata makian, Mas," ujarnya sarkastis. Tubuh Rendy menegang. Sedikit demi sedikit dia mengangkat k
"Tepatnya kita akan pergi ke mana, Nona?" Al bertanya pada Amira yang sepanjang jalan hanya bisa menatap lurus ke depan dengan bibir terbungkam. Setelah membaca pesan dari pengirim misterius di kantor tadi, Amira langsung meminta Al untuk menyetir ke Bandung, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang tujuan sebenarnya. Entahlah. Sekarang pikiran Amira begitu kalut. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, tapi tak ada satu pun jawaban yang dia dapatkan. Bagaimana bisa Hanung mandul, sedangkan ada tiga penghuni rumah mewah itu yang mengaku sebagai anaknya? Amira benar-benar tak mengerti, sebenarnya seberapa banyak rahasia yang disembunyikan keluar Adijaya? Semakin Amira berusaha memikirkannya, semakin pening kepalanya. Bahkan setelah sepanjang perjalanan berpikir Amira masih belum juga menemukan titik terang."Eh, itu. Ke arah utara Al-- daerah Pangalengan. Omong-omong Dede sudah kau suruh pulang, kan?" Amira beralih menatap Al setelah sekian lama larut dalam dunianya sen
Pangalengan, 10 Januari 1990Brak!Sruuuk!Suara benda berat yang terperosok jatuh dari atas jalan besar, terlihat menggantung di tepi jurang perkebunan Teh seluas lima hektare. Seorang pria paruh baya yang diketahui petani Teh yang tengah menggembala kambing di sekitar perkebunan pun dibuat terkejut sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi. Dengan hati-hati dia menyisir tanah merah yang dikenal licin agar bisa mendekati benda jatuh yang baru bisa dilihat dari dekat ternyata sebuah mobil, dengan pengendara yang sudah pingsan di dalam. Pria paruh baya yang kebingungan itu menoleh ke kanan dan kiri. Namun, dia tak menemukan satu pun orang yang sekiranya bisa membantu, kebetulan hari memang sudah beranjak petang, saat mobil ini terjatuh pun dia sudah berniat pulang.Setelah melewati berbagai pertimbangan dan pemikiran yang matang, mengingat rasa kemanusiaannya jauh lebih besar daripada ketakutan akan nyawa yang dipertaruhkan, pertani teh bernama Dadang itu berinisiatif untuk melepas t
Jakarta, 10 Januari 1998Pertengkaran hebat terjadi di kediaman utama keluarga konglomerat Adijaya yang melibatkan anak pertama dan kedua Harun Adijaya yaitu Hanung dan Hendra. Sementara putra bungsunya Heru, serta istri dan anak-anak Hanung Rendy dan Rama menjadi saksi di mana dua bersaudara itu adu mulut, hingga keluarlah kata-kata yang membuat semua orang tercengang. Saat Hendra mengungkap tentang Lena dan rahasia yang dia simpan rapat selama delapan tahun itu.“Bajingan! Kau itu kakak yang sama sekali tak bisa dijadikan panutan. Pecundang egois yang hanya bisa mementingkan diri sendiri. Masihkah kau ingat Lena Aprilia? Pak Dadang, Bu Imas, serta anak yang kau tinggalkan, Sialan?”Hanung tercenung, begitu juga semua orang yang menyaksikan.“Jadi, Lena hamil saat aku tinggalkan?” Dia bergumam.“Ya, brengsek. Istri malangmu itu selama ini menderita sendirian saat membesarkan anak kalian!” Hendra terpaksa mengambil satu-satu jalan untuk menebus kesalahannya pada Lena, saat tahu aya
12 Januari 2008 "Demi Tuhan aku menyesal, Lena. Aku menyesal meninggalkanmu, aku menyesal menempatkanmu dalam situasi sulit ini. Kalau saja saat itu aku tak pergi, kalau saja saat itu aku tak sengaja mengatakan tentang hubunganmu dengan Mas Hanung. Mungkin sekarang kita sudah hidup sebagai keluarga kecil yang bahagia. Amira tak perlu memalsukan tahun kelahirannya untuk mengelabui Mas Hanung. Kau tak perlu menderita sampai sejauh ini karena tekanan Mbak Dona." Di gudang tempat penyimpanan barang bekas itu, Hendra menghampiri Lena yang tengah membereskan barang-barang yang sudah bertumpuk tak tertata. Dengan tatapan sayu perempuan itu menoleh menatap mantan suaminya, lalu tersenyum kecil. "Tak perlu membahas hal yang sudah lama berlalu, Mas. Tetap jaga rahasia tentang Amira sama seperti saat aku merahasiakan tentang hubungan kita dari Mas Hanung dan keluargamu yang lain. Tetap bersikaplah layaknya ipar seperti biasa. Selama sepuluh tahun ini kita bisa, bukan? Demi Amira, tolong ...
"Apa Mas Hanung tahu kalau kau selalu pergi padaku di saat-saat seperti ini?" cibir Heru saat melihat Dona tengah menggunakan gaun tidurnya dengan cepat, lalu menyisir rambut di tepi ranjang. Perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat awet muda berkat suntikan-suntikan dokter kecantikan itu melirik adik iparnya dengan tajam. "Kau pikir kita masih bisa hidup kalau dia tahu, hah?" cetusnya. Heru terkekeh. "Mungkin." senyumnya tersungging miring. "Lagi pula tak ada yang luput dari rahasia di rumah ini, Dona." "Maksudnya?" Dona mengernyitkan dahi seolah tak suka dengan penuturan Heru. "Coba kau pikir, setiap hari kita berkumpul di satu tempat makan yang sama, mengobrol berbagai hal tentang bisnis dan keluarga. Tapi, apakah kita benar-benar tahu tentang satu sama lain?" Dona tertegun lama. "Mari kita saling terbuka. Kukatakan satu rahasia. Alasan kenapa aku tak mau menikah. Kau penasaran, bukan?" Dona memalingkan pandangan. "Tidak. Simpan saja rahasia itu untuk dirimu sendiri,