Share

MAP USANG

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-07 14:46:38

"Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?" 

tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing.

 

"Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku.

 

"Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit.

 

"Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit. 

 

"Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya. 

 

"Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rumah sakit nanti." 

 

"Coba ditelpon ulang bentar lagi, Mas. Mungkin baru di charge handphonenya," kataku

 

"Iya." Dia mengangguk.

 

Namun nihil, bahkan sampai sekitar jam 3 sore pun ponsel Rita tetep tak bisa dihubungi, begitupun ponsel suaminya. Akhirnya Mas Daru berinisiatif menelpon Intan.

 

"Tan? Kamu bisa ke rumah Rita sekarang nggak? Iya, aku hubungi dari siang nggak bisa. HP nya mati semua, punya si Iwan juga. Coba kamu kesana, mungkin dia sudah pulang, minta tolong Iwan suruh nganterin Ibu ke rumah sakit dengan mobilnya. Ya? Ya sudah cepet ya, Tan, aku tunggu. Soalnya udah jam segini takutnya nanti dokternya keburu pulang kalau telat datang. Cepet lho ya?" 

 

Setengah jam kemudian Intan memberi kabar bahwa Rita dan keluarganya tidak ada di rumah. Itu artinya mereka belum pulang. 

 

"Duh, ini anak-anak kenapa nggak pada mikir sih kalau hari ini Ibuk harus kontrol." Mas Daru mulai mengomel. 

 

"Pake taksi online aja, Mas," usulku.

 

"Nggak bisa, Ris, susah bawanya. Ibu kan belum bisa duduk. Kalo bawa mobil sendiri kan lebih enak. Coba mobil kita dulu masih ada yaa." Mas Daru nampak tertegun sebentar. Aku ikutan ngenes mengingat masa-masa itu.

 

"Habisnya gimana lagi, yang punya mobil malah pergi gitu kok," ucapku ikutan jengkel.

 

"Apa kita sewa mobil aja ya, Ris?" 

 

"Ada uangnya?"tanyaku.

 

"Tinggal ini." Mas Daru mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dari dompetnya yang baru saja diambilnya dari saku celana.

 

"Sewa mobil berapa emang sekarang bayarnya?" tanyaku.

 

"Kalo sama nungguin antri periksa ya nggak cukup kalau cuma segini. Paling nggak 200 ribuan mungkin," kata suamiku. 

 

Kutaruh tangan kananku di dagu, berpikir. Mas Daru pun nampak melakukan hal yang sama.

 

"Kalau uang itu dipake sewa mobil, brarti besok kita nggak bisa beli lauk buat makan dong," kataku berguman ke Mas Daru. Dia pun mengangguk. Nampak dia termenung lagi.

 

"Sebenarnya ibuk punya simpanan sih, tapi aku nggak berani bilangnya," katanya tiba-tiba. 

 

"Simpanan apa?"

 

"Uang. Tadi nggak sengaja aku lihat dompet dia di lemari pas ngambilin baju ganti." 

 

"Ya pake itu aja," usulku.

 

"Ngomongnya gimana? Masa' iya pake uang ibuk? Nggak enak aku, Ris."

 

"Ya mau gimana lagi, Mas. Uang kita juga nggak cukup ini. Udah biar aku yang ngomong," tegasku.

 

"Eh Jangan, Ris!" Mas Daru nampak panik saat kubilang begitu.

 

"Udaaah nggak papa," kataku meyakinkannya.

 

Bergegasku ke kamar ibu diikuti Mas Daru di belakangku. Ibu yang sedang terjaga di atas ranjangnya nampak kaget melihatku tiba-tiba masuk. Lagi-lagi kulihat air mukanya nampak sedikit cemas menatapku, namun berangsur normal setelah melihat Mas Daru berjalan di belakangku. 

 

"Bu ..." panggilku. Mas Daru yang agak khawatir menowel lenganku, mungkin dia bermaksud mencegahku, tapi aku sudah bertekad.

 

"Ibu punya uang simpanan?" tanyaku tanpa basa-basi. Dia menoleh ke arah Mas Daru berdiri. Wajahnya kembali memucat. 

 

"Bu, nggak usah khawatir. Aku bukan mau ngambil uang Ibu. Gini lho ..." Aku duduk di pinggir tempat tidur, mencoba menjelaskan padanya. "Nanti sore Ibu harus kontrol. Rita dan suaminya dihubungi belum bisa, sedangkan kita butuh mobil untuk bawa Ibu ke rumah sakit. Mas Daru uangnya nggak cukup, Bu. Jadi, kalau Ibu nggak keberatan, uang Ibu dipakai dulu buat bayar sewa mobil ya. Gimana?" tanyaku di ujung kalimat.

 

Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya tetap menatap ke arah suamiku. 

 

"Maaf ya Buk, uang Daru nggak cukup. Cuma tinggal 100 ribu buat persiapan makan anak-anak besok," jelasnya. Kulirik wajah orang tua itu terlihat seperti kecewa, tapi dia mengangguk.

 

"Ada disana," katanya lirih menunjuk ke arah lemari. Mas Daru berniat beranjak tapi tanganku reflek mencegahnya. Aku bangkit lalu beranjak ke lemari yang dimaksud. Entah kenapa kulakukan itu, aku hanya berpikir Ibu pasti akan panik kalau aku yang mengambil uangnya, bukannya Mas Daru. Dan dengan jahilnya aku sengaja melakukan itu. (Ya Allah jahatnya aku)

 

Kuambil dompet berwarna pink milik ibu dari dalam lemari. Lumayan tebal, pasti isinya banyak, pikirku. Sambil berjalan kembali ke tempat tidur aku memperhatikan wajah panik ibu mertuaku dengan menyungging senyum. Gendheng!! Kok aku malah merasa puas bisa melihat itu. 

 

"Ini, Mas." Kuserahkan dompet itu ke Mas Daru. 

 

"Aku ambil 200 ribu ya, Buk. Nanti kalau sisa aku kembalikan lagi," kata suamiku. Wanita itu mengangguk pelan.

 

***

 

Akhirnya Mas Daru membawa Ibu kontrol dengan meminta bantuan seorang temannya yang memiliki persewaan mobil. Dia baru kembali malam hari karena katanya banyak sekali antrian pasien. Dalam hati kukutuki kedua adik iparku itu. 'Benar-benar manusia tidak ada tanggung jawabnya. Awas saja besok kalau ketemu,' ancamku. 

 

Ibu tertidur pulas setelah minum obatnya malam itu. Tepat jam 10 malam sebuah mobil berhenti di depan rumah. Mas Daru bergegas ke depan saat pintu diketuk seseorang. Rita dan suaminya datang. Penampilan mereka nampak seperti baru pulang dari bepergian jauh. 

 

"Ya allah, dari mana saja sih kalian ini?" Mas Daru nampak kesal dan sedikit emosi.

 

"Maaf Mas aku lupa e kalau hari ini jadwal Ibu kontrol," kata Rita yang lalu di-iya-kan oleh anggukan suaminya. 

 

"Emangnya kalian dari mana?" 

 

"Dari Solo, Mas, ada teman yang menikah," jawab Iwan.

 

"Lah, cuma teman to? Kemarin bilangnya saudara," celetukku. 

 

"Teman atau saudara kan sama aja, Mbak. Namanya diundang ya wajib datang," kata Rita membela diri dengan sinisnya.

 

"Tapi kalau ada yang lebih penting ya harusnya diutamakan yang lebih penting dong. Ini Ibu sendiri lho," nyinyirku kambuh.

 

"Sudah, Ris, sudah. Nggak usah diributkan lagi," ujar Mas Daru.

 

"Iya, Mbak, lagipula ini mobil saya, ya terserah saya mau saya bawa kemana," kata Iwan dengan nada sangat menyebalkan. Jadi pengen muntah aku dengarnya. 

 

"Ya terserah kalian lah. Terutama kamu Rit. Ini Ibumu, mau kamu urus atau ndak ya itu urusanmu sama Yang Di Atas," kataku sebal sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Mendingan kutemani anak-anakku tidur. Dia sama suaminya sebelas duabelas, sama saja sablengnya. Dasar sudah jodoh, gerutuku jengkel.

 

***

 

"Udah pulang mereka, Mas? Tanyaku

 

"Udah, Ris." 

 

"Kayak begitu tuh kelakuan adikmu, Mas. Bahkan nengokin Ibunya ke kamarnya aja enggak. Datang pergi begitu saja nggak ada rasa bersalahnya sama sekali." Aku mulai mengomel.

 

"Wis lah, udah yang sabar saja," kata Mas Daru. "Oya, tadi si Topik cuma mau dibayar 150 ribu, yang 50 ribu dibalikin lagi. Sebentar aku balikin dulu ke ibuk," pamit Mas Daru kemudian berlalu ke kamar ibunya berniat mengambalikan sisa uang yang tadi diambilnya. 

 

Aku kembali menyibukkan diri dengan anak-anakku yang sudah tertidur pulas di depan TV. Kuamati wajah mereka satu persatu dan kupegang kepala mereka sambil kuucapkan doa-doa seperti biasanya.

 

Semoga kelak kalian memiliki hati selembut ayah kalian. Sabar dan ikhlas merawat ibu saat ibu tua nanti, kataku dalam doa. Ku usap rambut kedua anakku berulang-ulang sampai sepertinya aku ketiduran.

 

Beberapa saat kemudian aku dikagetkan dengan suara debuman lumayan keras di kasur samping tempatku tertidur. Mataku mengerjap sebentar dan terbelalak melihat suamiku tengah duduk meringkuk di dekatku. Wajahnya ditekuk ke lututnya, aku segera duduk.

 

"Mas, ngapain?" tanyaku. Tak ada sahutan. Mas Daru pun tak mengangkat wajahnya yang terbenam ke lututnya yang ditekuk. Aku makin penasaran.

 

"Mas, kenapa sih?" Tetap tak ada sahutan darinya, tapi justru isakan lemah darinya yang kudengar di telingaku.

 

Mas Daru menangis? Suamiku menangis? Ada apa? Aku mulai panik. 

 

"Mas, ada apa sih? Jangan membuatku takut!" kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya berusaha untuk tidak berteriak karena takut anak anakku terbangun. 

 

"Mas!" Aku terus menggoyangkan tubuhnya hingga dia akhirnya mendongakkan wajahnya. Pemandangan yang tampak di wajahnya itu benar benar membuatku sakit. Wajahnya memerah, matanya berair, suamiku benar-benar sedang menangis. 

 

Aku ingat selama hidup bersamanya belum pernah kulihat dia seperti itu. Satu-satunya hal yang pernah membuatnya menitikkan air mata hanya saat anak pertama kami, Rendra, lahir. 

 

"Ada apa?" tanyaku lirih sambil kupegang lembut wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Dan aku sangat terkejut saat dia menggerakkan tangan tangannya yang sedari tadi ternyata tak kusadari sedang memegang sebuah map berwarna biru. Map berukuran kertas folio yang terlihat sudah agak usang dan pudar warnanya. 

 

"Ini apa?" tanyaku. Mas Daru menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Dia tidak mengatakan apapun, tapi malah meletakkan tubuhnya ke pelukanku. Dia kembali terisak di dadaku. 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KARMA MERTUA   PART 25 (ENDING)

    "Udah dulu ya Kak Daru, Kak Riris. Hari minggu besok kita kesitu, Papa kangen pengen ketemu Rendra sama Jody katanya. See you ..." Shinta melambaikan tangannya pada kami. Lalu perlahan layar laptop Mas Daru menampilkan wajah beberapa orang; Shinta, Dewo, dan anak perempuan semata wayang mereka yang baru berusia 4 tahun, Livia, serta Papa. Kami saling melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan.Saat wajah-wajah itu menghilang dari layar, aku dan Mas Daru saling pandang, lalu direngkuhnya tubuhku ke dalam pelukannya. Senyum bahagianya mengembang. Sementara anak-anak kami, Rendra dan Jody segera berlari menjauhi kami."Yah, Bu, kita main lagi di belakang ya?" kata Rendra sambil berlari menuju kolam renang kecil di belakang rumah kami."Iya, Sayang. Hati-hati lho, jaga adik!" sahut suamiku.

  • KARMA MERTUA   PART 24

    Jody, anak bungsuku menghambur ke pelukanku ketakutan. Sementara Rendra, kakaknya, cepat-cepat merapatkan tubuhnya ke tubuhku."Takut, Bu," rengek si kecil Jody."Nggak papa, Sayang. Itu cuma petir," kataku mencoba menenangkannya."Ayah kenapa belum pulang, Bu?" tanya Rendra sambil mempererat pegangan tangannya pada selimut tebal kami.Malam itu hujan turun sangat lebat, seingatku yang terlebat sepanjang beberapa bulan terakhir. Suara gelegar petir juga seolah ingin memporak-porandakan seisi bumi. Berulang kali kupandangi jam dinding di kamar kami. Ini sudah lewat jam 10 malam dan Mas Daru belum juga sampai di rumah. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak pesan terakhirnya sebelum maghrib tadi, dia bilang bahwa sudah dalam perjalanan pulang.

  • KARMA MERTUA   PART 23

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas," kataku sambil kusenggol bahu suamiku saat kami memasuki gang ke rumah Bu Dirga."Nggak tepat gimana?" Nampaknya dia belum menyadari, tapi segera kutunjuk beberapa orang sedang bergerombol di sepanjang gang menuju rumah Bu Dirga itu."Kayaknya lagi ada acara di rumah Bu Dirga," kataku menebak-nebak."Iya ya?" Mas Daru segera menyuruhku turun dari motornya, dan dia sendiri mematikan mesin motor lalu mendorongnya perlahan menuju segerombol orang yang kami temui pertama kali."Assalamu'alaikum ... Maaf Pak, ada acara apa ya?" tanya mas Daru pada salah satu lelaki dalam kelompok itu."Ooh, santunan anak yatim piatu di rumah Bu Dirga, Mas," jawabnya."Oh." Ak

  • KARMA MERTUA   PART 22

    "Apa-apaan ini? Ngapain kalian dirumah ini?!!" Teriakan Intan yang sudah beberapa meter di depanku ke arah orang-orang itu sangat keras hingga aku menghentikan langkah. Aku berusaha mengenali orang-orang yang sedang diteriaki Intan itu, tapi tidak berhasil. Tak pernah kulihat salah satu pun dari mereka sebelumnya."Kamu ini siapa?" Si wanita paruh baya yang tadinya berdiri membelakangi Intan itu menoleh. Wajahnya nampak garang, mungkin dia marah ada orang datang yang tiba-tiba meneriakinya seperti itu."Harusnya aku yang nanya, kalian ini siapa dan ngapain di rumah ibuku?!" teriak Intan lagi tak kalah garang."Ooooo ... kamu pasti Intan kan?" Wanita itu terdengar terkekeh kecil mengulurkan tangannya ke arah Intan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau mau ambil barang-barang ibumu silahkan saja, santai saja, rumah ini belum mau ditempat

  • KARMA MERTUA   PART 21 (FIVE PARTS TO END)

    Pagi itu kususul Mas Daru ke rumah sakit setelah kutitipkan kedua bocahku ke budhe Endar, tetangga kontrakanku. Beruntungnya hari ini adalah hari minggu, jadi mereka libur sekolah. Dia mengirimiku pesan semalam dan bilang kalau aku harus kesana pagi-pagi, ada hal penting yang harus dibicarakannya, dan aku mengira itu pasti tentang ibunya.Saat tiba disana, kulihat Mas Daru sedang duduk menghadapi Intan yang sedang menangis sesenggukan. Mata wanita itu terlihat sangat merah, sepertinya menangisnya sudah lumayan lama. Sementara wajah suamiku terlihat sangat lelah, matanya pun memerah seperti dia tidak tidur semalaman. Kuhampiri Mereka yang duduk di sudut ruangan tunggu tak jauh dari ruang ICU."Ada apa?"Aku meletakkan goodie bag yang kubawa dari rumah untuk menaruh bekal. Pagi tadi kusempatkan memasakkan sarapan untuk suamiku dan a

  • KARMA MERTUA   IBU BUNUH DIRI (DARU P.O.V)

    Tak pernah kurasakan kegelisahan dan kesedihan yang sebesar ini selama hidupku, bahkan tidak saat aku menunggui bapak sakaratul maut beberapa tahun yang lalu. Melihat ibu terbaring kritis di ruang ICU membuatku merasa sepertinya dia akan pergi meninggalkanku. Dia memang bukan ibu kandungku, tapi takkan bisa kupungkiri bahwa aku mencintainya lebih dari diriku sendiri.Walaupun dia bukan wanita yang sempurna, karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Namun pengorbanan dan kasih sayangnya telah membawaku tumbuh menjadi sebesar ini tanpa kekurangan membuatku tak bisa menutup mata dengan kondisinya saat ini.Dia mungkin tak memiliki kesempurnaan cinta seorang ibu, tapi setidaknya sepanjang hidupku sebelum aku bertemu dengan Riris, istriku, dialah wanita pertama yang mencintai segala kekurangan dan kelebihanku.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status