Share

MAP USANG

"Lagi ngapain sih Mas Kok mondar mandir?" 

tanyaku keheranan saat kulihat Mas Daru siang itu hanya bolak balik dari kamar ibunya ke teras, ke kamar lagi, lalu ke dapur, ke kamar lagi, ke dapur lagi, ke teras hingga membuatku ikutan pusing.

 

"Duh, aku lupa, Ris. Gimana ya enaknya?" Dia malah balik bertanya padaku.

 

"Apanya yang gimana?" Dahiku mengernyit.

 

"Nanti sore waktunya kontrol Ibuk. Ini Rita aku hubungi malah HP nya nggak aktif," katanya. Dari ketiganya, memang hanya suami Rita yang saat ini memiliki mobil, mungkin maksud Mas Daru dia mau minta bantuan Iwan, suaminya Rita, untuk membawa Ibunya kontrol ke rumah sakit. 

 

"Lha kan kemarin dia sudah bilang katanya ada acara keluarga," kataku mengingatkannya. 

 

"Iya tapi kan barangkali nggak sampe sore acaranya. Jadi bisa kuminta tolong Iwan buat ngantar Ibuk ke rumah sakit nanti." 

 

"Coba ditelpon ulang bentar lagi, Mas. Mungkin baru di charge handphonenya," kataku

 

"Iya." Dia mengangguk.

 

Namun nihil, bahkan sampai sekitar jam 3 sore pun ponsel Rita tetep tak bisa dihubungi, begitupun ponsel suaminya. Akhirnya Mas Daru berinisiatif menelpon Intan.

 

"Tan? Kamu bisa ke rumah Rita sekarang nggak? Iya, aku hubungi dari siang nggak bisa. HP nya mati semua, punya si Iwan juga. Coba kamu kesana, mungkin dia sudah pulang, minta tolong Iwan suruh nganterin Ibu ke rumah sakit dengan mobilnya. Ya? Ya sudah cepet ya, Tan, aku tunggu. Soalnya udah jam segini takutnya nanti dokternya keburu pulang kalau telat datang. Cepet lho ya?" 

 

Setengah jam kemudian Intan memberi kabar bahwa Rita dan keluarganya tidak ada di rumah. Itu artinya mereka belum pulang. 

 

"Duh, ini anak-anak kenapa nggak pada mikir sih kalau hari ini Ibuk harus kontrol." Mas Daru mulai mengomel. 

 

"Pake taksi online aja, Mas," usulku.

 

"Nggak bisa, Ris, susah bawanya. Ibu kan belum bisa duduk. Kalo bawa mobil sendiri kan lebih enak. Coba mobil kita dulu masih ada yaa." Mas Daru nampak tertegun sebentar. Aku ikutan ngenes mengingat masa-masa itu.

 

"Habisnya gimana lagi, yang punya mobil malah pergi gitu kok," ucapku ikutan jengkel.

 

"Apa kita sewa mobil aja ya, Ris?" 

 

"Ada uangnya?"tanyaku.

 

"Tinggal ini." Mas Daru mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dari dompetnya yang baru saja diambilnya dari saku celana.

 

"Sewa mobil berapa emang sekarang bayarnya?" tanyaku.

 

"Kalo sama nungguin antri periksa ya nggak cukup kalau cuma segini. Paling nggak 200 ribuan mungkin," kata suamiku. 

 

Kutaruh tangan kananku di dagu, berpikir. Mas Daru pun nampak melakukan hal yang sama.

 

"Kalau uang itu dipake sewa mobil, brarti besok kita nggak bisa beli lauk buat makan dong," kataku berguman ke Mas Daru. Dia pun mengangguk. Nampak dia termenung lagi.

 

"Sebenarnya ibuk punya simpanan sih, tapi aku nggak berani bilangnya," katanya tiba-tiba. 

 

"Simpanan apa?"

 

"Uang. Tadi nggak sengaja aku lihat dompet dia di lemari pas ngambilin baju ganti." 

 

"Ya pake itu aja," usulku.

 

"Ngomongnya gimana? Masa' iya pake uang ibuk? Nggak enak aku, Ris."

 

"Ya mau gimana lagi, Mas. Uang kita juga nggak cukup ini. Udah biar aku yang ngomong," tegasku.

 

"Eh Jangan, Ris!" Mas Daru nampak panik saat kubilang begitu.

 

"Udaaah nggak papa," kataku meyakinkannya.

 

Bergegasku ke kamar ibu diikuti Mas Daru di belakangku. Ibu yang sedang terjaga di atas ranjangnya nampak kaget melihatku tiba-tiba masuk. Lagi-lagi kulihat air mukanya nampak sedikit cemas menatapku, namun berangsur normal setelah melihat Mas Daru berjalan di belakangku. 

 

"Bu ..." panggilku. Mas Daru yang agak khawatir menowel lenganku, mungkin dia bermaksud mencegahku, tapi aku sudah bertekad.

 

"Ibu punya uang simpanan?" tanyaku tanpa basa-basi. Dia menoleh ke arah Mas Daru berdiri. Wajahnya kembali memucat. 

 

"Bu, nggak usah khawatir. Aku bukan mau ngambil uang Ibu. Gini lho ..." Aku duduk di pinggir tempat tidur, mencoba menjelaskan padanya. "Nanti sore Ibu harus kontrol. Rita dan suaminya dihubungi belum bisa, sedangkan kita butuh mobil untuk bawa Ibu ke rumah sakit. Mas Daru uangnya nggak cukup, Bu. Jadi, kalau Ibu nggak keberatan, uang Ibu dipakai dulu buat bayar sewa mobil ya. Gimana?" tanyaku di ujung kalimat.

 

Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya tetap menatap ke arah suamiku. 

 

"Maaf ya Buk, uang Daru nggak cukup. Cuma tinggal 100 ribu buat persiapan makan anak-anak besok," jelasnya. Kulirik wajah orang tua itu terlihat seperti kecewa, tapi dia mengangguk.

 

"Ada disana," katanya lirih menunjuk ke arah lemari. Mas Daru berniat beranjak tapi tanganku reflek mencegahnya. Aku bangkit lalu beranjak ke lemari yang dimaksud. Entah kenapa kulakukan itu, aku hanya berpikir Ibu pasti akan panik kalau aku yang mengambil uangnya, bukannya Mas Daru. Dan dengan jahilnya aku sengaja melakukan itu. (Ya Allah jahatnya aku)

 

Kuambil dompet berwarna pink milik ibu dari dalam lemari. Lumayan tebal, pasti isinya banyak, pikirku. Sambil berjalan kembali ke tempat tidur aku memperhatikan wajah panik ibu mertuaku dengan menyungging senyum. Gendheng!! Kok aku malah merasa puas bisa melihat itu. 

 

"Ini, Mas." Kuserahkan dompet itu ke Mas Daru. 

 

"Aku ambil 200 ribu ya, Buk. Nanti kalau sisa aku kembalikan lagi," kata suamiku. Wanita itu mengangguk pelan.

 

***

 

Akhirnya Mas Daru membawa Ibu kontrol dengan meminta bantuan seorang temannya yang memiliki persewaan mobil. Dia baru kembali malam hari karena katanya banyak sekali antrian pasien. Dalam hati kukutuki kedua adik iparku itu. 'Benar-benar manusia tidak ada tanggung jawabnya. Awas saja besok kalau ketemu,' ancamku. 

 

Ibu tertidur pulas setelah minum obatnya malam itu. Tepat jam 10 malam sebuah mobil berhenti di depan rumah. Mas Daru bergegas ke depan saat pintu diketuk seseorang. Rita dan suaminya datang. Penampilan mereka nampak seperti baru pulang dari bepergian jauh. 

 

"Ya allah, dari mana saja sih kalian ini?" Mas Daru nampak kesal dan sedikit emosi.

 

"Maaf Mas aku lupa e kalau hari ini jadwal Ibu kontrol," kata Rita yang lalu di-iya-kan oleh anggukan suaminya. 

 

"Emangnya kalian dari mana?" 

 

"Dari Solo, Mas, ada teman yang menikah," jawab Iwan.

 

"Lah, cuma teman to? Kemarin bilangnya saudara," celetukku. 

 

"Teman atau saudara kan sama aja, Mbak. Namanya diundang ya wajib datang," kata Rita membela diri dengan sinisnya.

 

"Tapi kalau ada yang lebih penting ya harusnya diutamakan yang lebih penting dong. Ini Ibu sendiri lho," nyinyirku kambuh.

 

"Sudah, Ris, sudah. Nggak usah diributkan lagi," ujar Mas Daru.

 

"Iya, Mbak, lagipula ini mobil saya, ya terserah saya mau saya bawa kemana," kata Iwan dengan nada sangat menyebalkan. Jadi pengen muntah aku dengarnya. 

 

"Ya terserah kalian lah. Terutama kamu Rit. Ini Ibumu, mau kamu urus atau ndak ya itu urusanmu sama Yang Di Atas," kataku sebal sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Mendingan kutemani anak-anakku tidur. Dia sama suaminya sebelas duabelas, sama saja sablengnya. Dasar sudah jodoh, gerutuku jengkel.

 

***

 

"Udah pulang mereka, Mas? Tanyaku

 

"Udah, Ris." 

 

"Kayak begitu tuh kelakuan adikmu, Mas. Bahkan nengokin Ibunya ke kamarnya aja enggak. Datang pergi begitu saja nggak ada rasa bersalahnya sama sekali." Aku mulai mengomel.

 

"Wis lah, udah yang sabar saja," kata Mas Daru. "Oya, tadi si Topik cuma mau dibayar 150 ribu, yang 50 ribu dibalikin lagi. Sebentar aku balikin dulu ke ibuk," pamit Mas Daru kemudian berlalu ke kamar ibunya berniat mengambalikan sisa uang yang tadi diambilnya. 

 

Aku kembali menyibukkan diri dengan anak-anakku yang sudah tertidur pulas di depan TV. Kuamati wajah mereka satu persatu dan kupegang kepala mereka sambil kuucapkan doa-doa seperti biasanya.

 

Semoga kelak kalian memiliki hati selembut ayah kalian. Sabar dan ikhlas merawat ibu saat ibu tua nanti, kataku dalam doa. Ku usap rambut kedua anakku berulang-ulang sampai sepertinya aku ketiduran.

 

Beberapa saat kemudian aku dikagetkan dengan suara debuman lumayan keras di kasur samping tempatku tertidur. Mataku mengerjap sebentar dan terbelalak melihat suamiku tengah duduk meringkuk di dekatku. Wajahnya ditekuk ke lututnya, aku segera duduk.

 

"Mas, ngapain?" tanyaku. Tak ada sahutan. Mas Daru pun tak mengangkat wajahnya yang terbenam ke lututnya yang ditekuk. Aku makin penasaran.

 

"Mas, kenapa sih?" Tetap tak ada sahutan darinya, tapi justru isakan lemah darinya yang kudengar di telingaku.

 

Mas Daru menangis? Suamiku menangis? Ada apa? Aku mulai panik. 

 

"Mas, ada apa sih? Jangan membuatku takut!" kataku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya berusaha untuk tidak berteriak karena takut anak anakku terbangun. 

 

"Mas!" Aku terus menggoyangkan tubuhnya hingga dia akhirnya mendongakkan wajahnya. Pemandangan yang tampak di wajahnya itu benar benar membuatku sakit. Wajahnya memerah, matanya berair, suamiku benar-benar sedang menangis. 

 

Aku ingat selama hidup bersamanya belum pernah kulihat dia seperti itu. Satu-satunya hal yang pernah membuatnya menitikkan air mata hanya saat anak pertama kami, Rendra, lahir. 

 

"Ada apa?" tanyaku lirih sambil kupegang lembut wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Dan aku sangat terkejut saat dia menggerakkan tangan tangannya yang sedari tadi ternyata tak kusadari sedang memegang sebuah map berwarna biru. Map berukuran kertas folio yang terlihat sudah agak usang dan pudar warnanya. 

 

"Ini apa?" tanyaku. Mas Daru menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Dia tidak mengatakan apapun, tapi malah meletakkan tubuhnya ke pelukanku. Dia kembali terisak di dadaku. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status