Menjalani hidup bersamanya selama lebih dari 8 tahun membuatku cukup bisa merasakan suasana hatinya saat itu. Sedih dan kecewa sudah pasti. Di usia 35 tahunnya bahkan dia baru mengetahui hal mengenai siapa dirinya yang sebenarnya tanpa sedikitpun dia tahu atau setidaknya ada tanda maupun sedikit petunjuk selama ini.Seharian aku hanya bisa menemaninya dalam diam di kontrakan kami tak berani mengajaknya bicara. Mas Daru pun nampak enggan mengeluarkan suara sejak kami pulang dari rumah ibunya. Bahkan pagi itu saat kami pulang, dia tidak sanggup mengucapkan pamit pada orang tua itu, wanita yang biasanya sangat dia hormati.Seolah ingin sedikit memberikan ruang untuknya sedikit bernafas, aku membiarkannya berdiam diri seharian di kamar. Kusiapkan makan, minum, dan segala kebutuhannya hari itu tanpa bersuara. Anak-anakku pun tak kuijinkan mendekati ayahnya agar dia bisa berpikir dengan tenang.
Di rumah Ibu mertuaku hari itu tak seperti minggu kemarin. Mas Daru terlihat sedikit canggung, lebih banyak diam dan justru banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dibanding menemani ibunya.Saat sampai disana pagi itu, tak seperti sebelumnya, Mas Daru juga tak langsung ke kamar ibunya. Dia malah memilih untuk berdiam diri di halaman belakang rumah menikmati rokoknya."Biasa aja to Mas, nggak usah begitu sikapnya," tegurku. "Nanti ibumu malah jadi bertanya-tanya," lanjutku."Aku nggak papa kok," katanya."Kuantar makanan ini dulu ke kamar ibu ya?" pamitku menunjukkan senampan bubur dan teh hangat di tanganku."Biar aku saja," cegahnya buru buru berdiri dari kursi kayu tua yang tadi didudukinya."Benar nggak papa?" tanyaku memastikan."Iya nggak papa, kamu
Wajah kami berempat terlihat tegang saat ibu mertuaku menjulurkan tangannya ke samping tempat tidur."Tolong ambilkan kunci di bawah kasur ibuk," katanya pada Mas Daru.Mas Daru berjalan lebih mendekat, lalu melakukan apa yang disuruh oleh ibunya. Sebuah kunci kecil berwarna perak yang disembunyikan ibu di bawah tempat tidurnya."Ini buk?" tanya Mas Daru. Ibu mengangguk."Iya, Ru. Kamu buka laci paling bawah di lemari itu. Ibu masih punya beberapa simpanan perhiasan disana."Mas Daru menurut, dia membuka laci lemari dan mengambil sekotak perhiasan yang ternyata disimpan ibu di laci kecil yang terletak tersembunyi di bagian paling bawah lemari pakaiannya.Diserahkannya kotak perhiasan itu pada ibunya. Aku, Intan dan Rita hanya bisa terdiam di tempat masing-masing. Hatiku masih sangat dongkol dengan
"Ada perlu apa dengan ibu saya?" kata pemuda yang sepertinya sepantaran dengan Mas Daru itu pada kami setelah mempersilahkan kami duduk di teras rumahnya yang kecil namun asri.Mas Daru nampak bingung. Mungkin dia tak tahu harus bicara apa."Gini, Mas, kami datang ingin menanyakan tentang panti asuhan Mutiara Bunda pada beliau," jelasku hati-hati."Tapi ibu saya sudah lama tidak bekerja disana, Bu.""Panggil saja saya Riris, Mas," ucapku padanya karena tidak nyaman dia memanggilku dengan sebutan 'Bu'. "Ini suami saya, Mas Daru." Aku memperkenalkan suamiku juga padanya."Oh ya, Saya Eko, Mbak, Mas," katanya memperkenalkan diri."Ngomong-ngomong saya sudah tahu, Mas, kalau Bu Dirga sudah tidak bekerja di panti lagi. Kemarin kami sempat ke alamat panti itu dan ternyata sekarang
Mas Daru mengajakku ke rumah Rita pagi itu setelah mengantarkan anak-anak kami sekolah.Rumah adik iparku itu banyak perubahan, lebih mewah dan terlihat sudah banyak renovasi dimana-mana. Jauh lebih bagus dari terkahir kali kami berkunjung ke sini saat anaknya, Diva, lahir.Rita nampak kaget melihat kedatangan kami yang tiba-tiba. Raut mukanya terlihat agak gugup, berulang kali meninggalkan kami berdua sebelum Mas Daru sempat berbicara apapun padanya.Dan untuk kesekian kalinya dia baru menampakkan diri lagi setelah beberapa menit masuk ke dalam rumah. Waktu kami datang, dia mempersilahkan aku dan Mas Daru duduk di kursi tamu di teras rumah.Tak lama berselang setelah Rita muncul dari balik pintu kamar tamunya, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Dan aku mengenali mobil itu adalah milik Iwan, suami Rita. Iwan turun dari mobil dengan me
"Halo, Mas, Rita nggak kesini, ditelpon nggak diangkat. Ni aku masih di rumah ibuk. Gimana ini, Mas?" Aku mendengarkan suara ocehan dari seberang itu dengan sedikit kesal. Intan menelpon ke ponsel Mas Daru dengan nada panik, langsung ngoceh padahal belum sempat ku ucapkan salam."Mas Daru nya lagi mandi, Tan," ucapku sok anteng."Oooh, maaf Mbak," katanya."Nanti aku sampaikan ke Mas Daru," responku. Kukira sekarang dia pasti sedang kebingungan di seberang sana, tak ada kepastian. Rita sepertinya memang tidak akan datang ke tempat ibu setelah kejadian kemarin."Siapa, Ris?" Mas Daru muncul dari kamar mandi kontrakan kami yang sempit dengan balutan handuk dipinggangnya dan rambut yang masih basah."Kata Intan, Rita nggak datang ke tempat ibu," jawabku. Kulihat dia menghela nafas."Aku su
"Gimana, Ris? Kamu mau kan?" Mas Daru menunduk memegang kedua telapak tanganku dengan erat seolah sedang mengharapkanku untuk mengatakan 'iya'.Ini berat, luka itu sebenarnya belum sepenuhnya hilang. Tapi melihat kenyataan yang terjadi saat ini, akankah aku tega membiarkan wanita tua itu menjalani sisa hidupnya dengan penderitaan? Tega kah aku melakukan itu?"Tapi untuk sementara saja ya Mas?" kataku meminta."Maksudnya sementara?""Sampai ibu sembuh, kita kembali ke kontrakan. Atau kalau Rita apa Intan sudah mau merawat ibu lagi, aku mau kita kembali ke kontrakan lagi, Mas," kataku penuh harap. Mas Daru tersenyum, lalu mencium kedua punggung tanganku dengan lembut."Terima kasih, Ris. Aku janji kali ini nggak akan ada hal buruk apapun yang bisa menimpamu dan anak-anak selama kita berada di tempat ibu. Aku akan menjaga kalian,
Kedua anakku terbangun, kaget oleh suara ketukan sangat keras di pintu depan. Baru setengah jam yang lalu aku berhasil membuat mereka memejamkan mata, dan kini mereka sudah terbangun kembali. Aku bergegas keluar dari kamar dan berjalan ke kamar tamu. Disana sudah kulihat Mas Daru sedang berhadapan dengan Intan yang berdiri di ambang pintu rumah dengan wajah sangat menyedihkan."Kenapa kamu, Tan?" tanya Mas Daru dengan nada cemas. Tak ada jawaban, hanya tangis sesenggukan Intan yang memecah kesunyian malam. Dia berjalan sempoyongan ambruk di kursi kamar tamu."Ada apa, Ru? Siapa yang datang?" Teriakan suara ibu terdengar dari kamarnya."Intan, Buk," sahut suamiku dan kami berdua berjalan hampir bersamaan menghampiri wanita yang keadaannya sangat berantakan itu. Rambut acak-acakan, mata sembab, dan sangat memprihatinkan.