Share

MIMPI BURUK IBU

Aku sedang menunggui kedua anakku belajar di depan TV ruang tengah ketika Mas Daru menghampiri kami dan ikut duduk di karpet tempatku dan anak-anak berlesehan-ria.

 

"Apa sudah tidur? Kok ditinggal?"

 

"Sudah barusan. Tadinya nggak mau tidur, takut katanya."

 

"Takut? Takut kenapa, Mas?" tanyaku keheranan.

 

"Nggak tau, orang cuma bilang takut, gitu aja. Ditanyain takut apa, diem aja."

 

"Oooh." Aku manggut-manggut. Sejenak kemudian kurasa aku teringat sesuatu. "Eh Mas, jangan-jangan ibumu takut sama aku ya?" ujarku.

 

"Takut sama kamu? Memangnya kenapa?"

 

"Soalnya tadi tuh gini lho ... " Aku mulai nerocos menceritakan kejadian tadi siang ke suamiku saat dia sedang keluar menjemput anak-anak dari sekolah. Mas Daru kelihatan mengerutkan keningnya.

 

"Masa' gitu?" Reaksi Mas Daru sepertinya tidak percaya.

 

"Iya bener. Jadi kayak ketakutan gitu pas aku deketin, Mas. Kayak aku mau ngapain gitu lho," jelasku padanya.

 

"Ah itu perasaan kamu aja kali, Ris."

 

"Nggak tau juga sih, tapi pas kemarin sebelum aku kesini itu apa ya kayak gitu? Ngomong kalau takut?" Kulihat Mas Daru terdiam seperti berpikir.

 

"Enggak sih kayaknya, cuma lebih pendiam dari biasanya," jelas Mas Daru.

 

"Nah kan, jangan jangan bener Mas ibu takut sama aku. Emangnya mukaku serem banget apa ya?" omelku ke diri sendiri. 

 

"Wis lah jangan mikir macam-macam kamu tuh." Mas Daru memukul kepalaku pelan. "Ngomong-ngomong Ris, besok setelah kita jatahnya Rita apa Intan ya?" tanyanya.

 

"Mmmm ... Rita sih harusnya. Intan minggu depan."

 

"Ooo ya sudah aku kasih tau dia dulu biar siap-siap. Takutnya ntar dia malah terlanjur ada acara sama keluarganya. Anak itu kan suka plesiran" 

 

"Ya, sana!" 

 

Mas Daru segera mengambil ponselnya di atas meja makan tak jauh dari tempat kami ngobrol. 

 

"Buk, kita nginep ditempat nenek sampai kapan? Sampai nenek sembuh?" tanya si kecil Jody tiba-tiba. 

 

"Enggak Le ... kita disini dua hari saja, gantian sama Tante Intan dan Tante Rita jagain nenek," ucapku menjelaskan. Nggak tau deh anak 5 tahun itu ngerti apa nggak maksudku.

 

"Oooh, aku nggak suka disini, Buk," katanya.

 

"Ssst!!! Jangan keras keras ngomong gitunya, Le." Kutempelkan jari telunjukku ke bibir mungilnya. "Emangnya kenapa kok nggak suka disini?" tanyaku berbisik ke telinganya. Rendra balik membisikiku.

 

"Nggak ada temennya main, Buk. Kalau di rumah kita kan banyak," katanya polos.

 

Oalah itu ... kukira anakku mau ngomong kalau dia nggak suka sama neneknya. Ke Ge-eR an duluan aku. 

 

"Aku juga nggak suka, Buk, disini." Rendra, anakku yang sekarang sudah 7 tahun itu ikut nimbrung. "Habisnya nenek galak," katanya keras.

 

"???" Aku kaget mendengarnya. Segera kututupi mulut anak sulungku itu dengan telapak tangan. "E,e sssh Le, jangan ngomong begitu," kataku sedikit panik campur geli. Takut suamiku mendengarnya dan tersinggung, tapi terlambat karena dia memang sudah mendengar perkataan anak sulungnya itu.

 

"Apa? Siapa yang galak?" ucapnya dengan nada bercanda.

 

"Hehe .. enggak, Yah," kata Rendra takut-takut.

 

"Nenek itu nggak galak, Ren. Nenek itu sayang sama kamu, jadi kalau salah ditegur, bukannya galak," kata suamiku mencoba mengajarkan kebaikan pada anak sulung kami. Aku hanya tersenyum kecut mendengar itu. Tapi benar memang sih kami tidak boleh menularkan racun ke anak-anak. Mereka tidak boleh tumbuh dalam kebencian.

 

"Rita bilang besok minggu dia nggak bisa katanya. Ada resepsi saudaranya Iwan." Mas Daru memberikan informasi hasil wawancara, eh telepon dengan adiknya, maksudku.

'Halah alasan,' batinku. "Ya udah kalau gitu hubungi Intan saja, nanti Rita gantian minggu depan," usulku.

 

"Ya bentar coba kutelpon Intan." 

 

Menit berikutnya Mas Daru terlihat berbicara dengan Intan di telepon. 

 

"Wis beres, Ris. Intan bisa katanya."

 

***

 

Kami memutuskan untuk tidur rame-rame di depan TV dengan beralaskan bed busa besar yang kami ambil dari bekas kamar kami dulu. Ruang TV memang tempat paling strategis dari kamar ibu. Dari tempat itu bisa langsung terdengar jika ibu memanggil. 

 

Aku, suami, dan anak-anakku sudah terlelap malam itu saat tiba tiba aku dan Mas Daru melompat kaget dari kasur hampir bersamaan mendengar suara jeritan seseorang yang lumayan keras. 

 

"Ibu, Ris!!" teriak Mas Daru panik seketika melompat setengah berlari menuju kamar ibunya. Aku mengikuti di belakangnya. Dan benar saja ibu mertuaku sedang berteriak-teriak histeris di atas tempat tidurnya dengan mata masih terpejam. Sepertinya dia sedang bermimpi buruk.

 

Mas Daru menepuk nepuk pelan pipi ibunya.

 

"Buk, bangun, Buk. Buk, Ibuk!" Wanita tua itu membuka mata, tatapannya terlihat bingung dan nafasnya tersengal-sengal. 

 

Kuambil air minum di dalam botol di dekatnya, ku ulurkan ke Mas Daru setelah kubuka tutupnya. Diminumkannya air putih itu kepada ibunya.

 

"Ibuk kenapa?" tanya Mas Daru setelah melihat ibunya sediÄ·it tenang. "Ibu mimpi?" tanyanya. 

 

"Ndak tau, Ru." Dia menjawab dengan menggeleng.

 

"Jangan mikir macam-macam to, Buk. Istirahat saja yang tenang. Daru sama Riris kan disini jagain Ibuk." Sejenak kulihat dia menatapku sekilas, tapi langsung memalingkan mukanya ke arah lain. Hatiku jadi tidak enak. Sepertinya dia memang ketakutan padaku.

 

"Lebih baik kamu tidur disini aja, Mas. Ambil kasur busa kecil yang ada di kamar Rita," usulku. Suamiku mengangguk menuruti saranku. 

 

Setelah Mas Daru pindah ke kamarnya, tak lagi kudengar ibu mertuaku menjerit lagi. Pagi harinya suamiku bercerita kalau ibunya tidur pulas sampai pagi. Tapi kejadian dia menjerit-jerit ketakutan masih membuatku penasaran.

 

***

 

Kami sudah bersiap pulang hendak berganti tugas dengan Intan saat tiba-tiba ponsel suamiku berbunyi.

 

"Halo? Kok belum kesin ..." belum sempat dilanjutkan kata-katanya kulihat mulut Mas Daru menganga lebar. "Duuuh gimana sih kamu, Tan? Katanya bisa? Gitu kok nggak ya nggak bilang dari kemarin sih? Kita sudah siap-siap mau pulang lho ini ... " omelnya di telepon.

 

'Hmmmm, bikin ulah lagi deh tuh anak,' batinku. 

 

"Kenapa Mas? Intan nggak bisa?" tanyaku sewot.

 

"Iya tuh katanya sakit perut, gimana sih? Nggak konsisten!" omelnya lagi.

 

"Trus gimana?" tanyaku.

 

"Ya terpaksa kita nggak jadi pulang sekarang, Ris. Gimana lagi, kasian Ibu kalau nggak ada yang nungguin." Aku mendengus kesal. Dua adik iparku itu memang benar-benar sialan, umpatku.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status