"Hanin?" Sita terkejut saat membuka pintu. Tidak menyangka orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya adalah Hanin. Tergesa Sita menutup keluar dan menutup pintu.
"Mas Dimas dan Rindu baru saja berangkat. Tadi kata Mas Dimas kau tidak ikut karena kurang enak badan, ternyata kau menyusul. Kenapa tidak mengabari Mas Dimas dulu?" Sita tersenyum ramah. Mempersilahkan Hanin duduk di kursi teras depan rumah.
"Aku memang menunggu mereka berangkat, Ta." Hanin tersenyum menatap wanita cantik di hadapannya.
Kening Sita berkerut mendengar jawaban Hanin. Ada perlu apa istri mantan suaminya ini kemari?
"Boleh kita bicara di dalam? Seingatku, setiap hari minggu aku dan Mas Dimas kemari selama hampir dua tahun ini, kau tidak pernah mempersilakan aku masuk." Senyum Hanin masih menghiasi wajah teduh itu.
"Ada perlu apa kemari, Nin?" Sita mengabaikan perkataan Hanin. Dia mulai tidak nyaman dengan kehadiran wanita berjilbab merah jambu itu.
"Kalian ada rencana rujuk?" Hanin menangkap rona tidak nyaman pada wajah Sita saat dia melempar pertanyaan.
"Mas Dimas yang memulai pembicaraan." Sita menarik napas. Berusaha mengendalikan kegugupannya. Entah kenapa, berhadapan dengan Sita yang hanya lulusan SMA dan pengalaman kerjanya hanya sebatas penjaga toko kue bisa membuat dia merasa sedikit terintimidasi.
"Bukannya kau yang memancing duluan?" Hanin tertawa kecil. Membenarkan jilbabnya yang diterpa hembusan angin.
Kening Sita berkerut.
"Mas Dimas menceritakan semua. Pembicaraan kalian empat bulan yang lalu." Hanin tersenyum. Menatap wajah Sita yang memerah.
"Hanin, aku …."
"Jawab saja pertanyaanku, Ta. Kalian berencana rujuk?" Hanin mengelus perlahan perutnya yang membuncit. Ada gerakan halus yang terasa di dalam sana.
"Kami tidak berencana rujuk. Tepatnya belum. Mas Dimas kemarin malam hanya bertanya apakah masih ada kesempatan untuk kami kembali bersama? Hanya itu." Sita menganggap sedikit dagunya. Detak jantungnya mulai beraturan. Dia sudah bisa menguasai keadaan.
"Lalu, apa jawabanmu?" Hanin mengamati dengan seksama wajah Sita. Cantik. Perempuan di sampingnya ini sungguh sedap dipandang mata.
Sita tertawa kecil mendengar pertanyaan Hanin. Membuat perempuan berwajah teduh itu menatapnya heran. Bagian sebelah mana dari pertanyaannya yang lucu?
"Kau datang kemari, tentu Mas Dimas sudah menceritakan semuanya, Nin. Termasuk jawabanku. Bukan begitu?" Sita mengulum senyum.
"Aku ingin mendengar langsung darimu." Hanin mengalihkan pandangan. Semakin lama dia menatap perempuan rupawan itu, semakin dia merasa rendah diri. Sita. Dilihat dari sisi sebelah manapun, wanita itu sempurna. Wajar jika Dimas tak bisa berpaling darinya.
"Apa yang ingin kau dengar, Nin?" Sita menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Apa jawabanmu kemarin malam?" Hanin menggigit bibir, bersiap menahan sakit yang entah untuk ke berapa kalinya.
"Aku mau, asalkan dia tidak terikat dalam status pernikahan dengan siapapun." Ringan saja kalimat itu meluncur dari mulut Sita.
"Kau mensyaratkan aku mundur?" Hanin kembali menatap wanita dengan wajah putih mulus bak porselen di sampingnya.
"Aku tidak terbiasa berbagi, Nin. Apalagi jika harus berbagi suami dengan wanita biasa saja sepertimu." Sita tersenyum menatap Hanin, mata wanita yang tengah mengandung tujuh bulan itu berkaca-kaca.
"Maksudmu?" Suara Hanin bergetar.
"Jangan naif, Nin. Bahkan aku yakin kau pun sepenuhnya menyadari kalau aku lebih segalanya darimu. Aku cantik sementara kau biasa saja, aku berpendidikan tinggi sementara kau hanya tamatan SMA, dan aku mempunyai karir yang bagus hingga saat ini, sementara karir tertinggimu hanya sebagai penjaga toko kue."
"Fisik dan jalan nasibku memang tak sebaik dirimu, Ta. Tapi aku bukan wanita murahan." Hanin menegakkan badannya.
"Jaga mulutmu, Hanin! Aku bisa melaporkanmu dengan pasal pencemaran nama baik karena memfitnahku yang tidak-tidak!" Merah padam wajah Sita mendengar Hanin menyebutnya wanita murahan.
"Lalu apa namanya seorang wanita yang menginginkan suami orang lain kalau bukan murahan?" Hanin berkata tenang, setenang hembusan angin yang menggoyangkan jilbabnya.
"Aku yang lebih dulu mengenal dan memilikinya, Nin. Dia mantan suamiku, dia ayah dari anakku!" Sita memajukan badannya, menunjuk dada Hanin saat setiap kata Keluar dari bibir ranumnya.
"Hanya mantan, kan? Katamu kau wanita berpendidikan, tapi anehnya kau justru tidak paham pengertian mantan. Perlu lulusan SMA ini ajari apa artinya?" Hanin menarik napas panjang. Berusaha meredakan emosinya yang terasa akan bergejolak. Perlahan Hanin mendekat ke arah Sita.
"Mantan berarti orang lain, Sita. Itu maksudnya kau sudah bukan siapa-siapa." Bisikan Hanin menghujam tepat di hati Sita. Membuatnya terdiam sekian lama.
"Perlu kau tahu, Nin. Aku tidak pernah merayu Mas Dimas untuk rujuk denganku. Aku hanya menjawab pertanyaannya apakah ada yang dekat denganku. Ya andai dia masih sendiri, tentu aku akan memilih untuk kembali. Bukan salahku kalau dia menafsirkan berbeda maksud perkataanku." Sita menjauh dari Hanin. Merapikan rambut panjang yang sedikit berantakan.
"Kau kira aku tidak tahu, di ruang tamumu ini masih terpajang dengan jelas foto pernikahan kalian?" Hanin tersenyum kecil melihat wajah pias Sita. Hanya sesaat. Sedetik kemudian Sita sudah berhasil kembali menguasai keadaan.
"Dia ayah dari anakku, wajar kalau fotonya masih terpampang di rumahku." Sita berdehem. Berusaha mengendalikan degup jantungnya. Ternyata selama ini Hanin tahu.
"Aku tahu dia ayah Rindu. Memangnya kalian tidak punya foto keluarga sampai harus foto pernikahan yang kau pajang?"
"Sudah lah, Nin. Aku malas berdebat. Kau pasti sangat menyadari, Mas Dimas masih sangat mencintaiku, begitu pun aku. Kami berpisah karena terpaksa, bukan karena kami sudah tidak saling cinta." Sita menerawang jauh.
"Untuk apa bertahan dengan lelaki yang sama sekali tidak mencintaimu, Nin? Maaf, sebelumnya aku tidak ingin mengatakan ini. Tetapi sepertinya harus kuucapkan agar kau sadar diri. Kau tidak pantas bersanding dengan Mas Dimas. Kau hanya anak pembantu yang kebetulan sempat mencicipi hidup enak dengan anak majikan."
"Sita. Pantas atau tidak pantas bukan ditentukan oleh harta atau pun jabatan seseorang. Dinilai dari sisi sebelah manapun, apakah bisa dibenarkan dirimu yang menginginkan suamiku? Bukan berarti kau mulia karena dilahirkan dari keluarga kaya, dan tidak juga aku menjadi hina karena dilahirkan dari rahim seorang pembantu." Hanin menatap Sita yang terlihat semakin salah tingkah di hadapannya.
"Tadinya aku ke sini hanya ingin meminta agar kau mengizinkan Mas Dimas tetap membersamai proses pengasuhan anak yang sedang kukandung ini. Sama seperti selama ini aku mengizinkan Mas Dimas menemui Rindu, w* …."
"Jangan terlalu berbangga diri, Hanin. Tidak kau izinkan pun Mas Dimas tetap akan menemui Rindu." Cepat saja Sita memotong ucapan Hanin.
Hanin tersenyum. Sungguh, kecantikan rupa wanita di depannya, tidak sebanding dengan kecantikan hatinya.
"Aku tidak akan menyerah, Ta. Kini aku tahu siapa dirimu. Kau tidak sesempurna yang ku bayangkan selama ini. Kau tidak lebih dari seorang pencuri yang berusaha mengambil hak orang lain!"
"Apapun itu, aku tidak peduli, Nin. Maaf aku sibuk." Sita berdiri meninggalkan Hanin. Namun langkahnya tertahan karena Hanin entah kapan tiba-tiba sudah berdiri menghalangi langkahnya.
"Akan kutunjukan padamu, Ta. Wanita biasa saja ini akan membuat Mas Dimas melupakanmu. Perempuan yang kau anggap kalah segalanya dari dirimu ini, akan membuatmu menyadari tak harus sempurna untuk menjadi pemenangnya." Hanin berkata lembut sambil membenarkan rambut Sita yang berantakan tertiup angin.
"Omong kosong, Hanin. Kau bermimpi? Selama ini kau tidak bisa membuat Mas Dimas berpaling, lalu dalam hitungan bulan kau berharap semua berubah? Sadarlah, jangan berkhayal terlalu tinggi!" Sita mendesis di depan wajah Hanin.
"Kita lihat saja nanti, Ta. Aku tidak sedang bermimpi. Mas Dimas masih suamiku dan kupastikan akan terus begitu! Kau yang harusnya sadar, jangan mengharapkan suami orang. Aku pamit, maaf membuat harimu menjadi buruk. Assalamualaikum."
Sita tertegun menatap punggung Hanin yang perlahan menjauh. Sementara di sana, Hanin perlahan mengusap air mata. Sungguh, dia tidak menyangka, wanita itu tega menyakitinya. Dia yang selama ini sudah Hanin anggap sebagai saudara, ternyata tidak menganggap sebaliknya. Sita bahkan tidak memandang sama sekali dirinya yang sedang berbadan dua.
"Allah, mampukan aku melangkah. Mampukan aku berdiri di atas kakiku. Jika memang takdir ini yang kau gariskan untukku, semoga aku kuat dan ikhlas menerimanya."
Setetes lagi air mata Hanin terjatuh. Wajah teduh itu terlihat mendung, sama seperti cuaca yang tiba-tiba mulai gerimis. Semesta sepertinya menyadari. Hari ini, ada satu hati yang tersakiti.
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik