"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk.
"Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.
Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.
Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?
Cinta? Ah…
Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?
Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya.
"Maafkan aku, Nin. Sita tidak ingin berbagi." Dimas mengangkat kepalanya. Menatap Hanin yang bersimbah air mata. Duh. Entah kenapa perasaanya tidak rela melihat wanitanya itu dibalut luka.
"Aku akan segera mengurus perceraian kita, Nin. Maafkan aku. Kita buat ini menjadi cepat saja. Aku takut kau menjadi semakin terluka jika terlalu lama." Dimas memejamkan mata. Tidak sanggup menatap mata sendu yang menatapnya tak percaya.
"Tidak inginkah kau melafazhkan adzan di telinga anak kita saat hari kelahirannya nanti, Mas? Menjadi orang pertama yang suaranya dia dengar saat anak kita perdana menyapa dunia?" Hanin memegang tangan lelaki di depannya.
"Akan sulit bagiku pergi, jika sempat melihat dedek, Nin." Dimas mengusap ujung matanya yang mendadak basah.
"Apa salah anakku sehingga kau sampai tidak ingin mengenalnya? Haruskah kutulis Batu sebagai nama Ayah di akta kelahirannya?" Wanita berkerudung coklat muda itu menatap putus asa suaminya.
"Tidak perlu kau tulis namaku di sana, Nin." Dimas menggeleng.
"Maksudmu?" Hanin menatap tak mengerti pada lelaki di depannya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, dedek in syaa Allah berjenis kelamin laki-laki. Dia tidak butuh wali untuk pernikahannya nanti. Itulah alasan kenapa aku merasa sedikit lebih mudah memilih Rindu daripada dia." Dimas semakin menunduk dalam. Tak mampu menatap Hanin yang semakin terluka.
"Anak bukan pilihan, Mas. Laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka mempunyai hak atas kasih sayang dari Ayah dan Ibunya." Hanin menatap Dimas nanar. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Dimas menggeleng lemah.
"Istighfar, Mas. Anak ini tidak bisa memilih dari orangtua mana dia akan dilahirkan. Kita yang meminta agar dia dititipkan dalam setiap sujud yang kita lakukan." Isak Hanin kembali mengeras.
"Kita mempunyai kewajiban untuk membesarkannya. Memberikan kecukupan nafkah, lahir dan bathinnya. Memastikan dia mendapatkan pendidikan yang baik, bagi dunia dan akhiratnya. Tak takutkah kau dituntut anakmu di Padang Mahsyar nanti saat hari pembalasan karena kelalaian yang sengaja kau lakukan, Mas?"
"Maafkan aku, Nin. Aku masih sangat mencintai Sita." Entah berapa kali kalimat itu Dimas ucapkan sepagi ini. Menghancurkan relung terdalam perasaan wanita yang selama hampir dua tahun ini menjadi istrinya.
Hanin memukul dadanya yang sesak. Tangis itu tumpah sudah. Sangat menyakitkan mendengar suara tangis penuh luka dari wanita yang tengah hamil tujuh bulan itu.
Tidak pantaskah dia dicinta? Bahkan untuk sekedar berbagi rasa pun dia tidak diberi kesempatan untuk mencobanya.
Hanin memejamkan mata. Ingatannya melayang ke masa dua tahun lalu. Saat dia dan Dimas pertama kali bertemu.
"Silahkan, Den."
Dimas mengerutkan kening mendengar suara halus yang menyapanya. Lelaki itu menoleh pada sosok wanita yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Siapa perempuan muda yang menggunakan jilbab biru ini?
"Ck!" Dimas berdecak sebal. Apa ini perbuatan Mama Desi lagi? Entah sudah berapa wanita yang Mamanya itu kenalkan sejak perceraiannya dengan Sita tiga tahun lalu.
Satu pun belum ada dari para wanita yang Mama Desi kenalkan itu mampu membuka hati Dimas. Kunci hatinya terlanjur disimpan oleh Sita. Akan tetapi Mama Desi tidak pernah putus asa. Gagal yang satu dia datang lagi dengan yang lainnya. Belum berhasil dengan yang itu dia kembali lagi membawa kenalan berikutnya.
"Kau disuruh Mama?" Dimas menatap kurang suka pada wanita yang tampak sibuk menata piring di atas meja. Lelaki itu mulai lelah dengan semua wanita yang Mama Desi kenalkan. Hanya karena dia menyayangi dan menghormati Ibunya, walau dengan berat hati dia tetap melakukannya.
"Ya?" Wanita itu mengerutkan kening. Tidak mengerti dengan pertanyaan Dimas barusan.
Dimas tanpa sengaja memperhatikan gadis yang tengah sibuk mengangkat berbagai macam lauk dari dapur ke meja makan itu. Perempuan ini berbeda dari mereka yang sebelum-sebelumnya Mama Desi kenalkan.
Para wanita itu biasanya selalu tampil modis, khas perempuan kota metropolitan. Akan tetapi perempuan yang sedang sibuk menyiapkan makan pagi ini terlihat berbeda.
Tampilannya sederhana, menggunakan gamis Dan kerudung biru muda, membuatnya terlihat sangat bersahaja. Wajahnya biasa saja, seperti gadis kebanyakan. Tidak cantik, tetapi tidak jelek pula, sedang saja. Berbeda dengan para wanita yang selama ini Mama Desi kenalkan, mereka terlihat cantik dan berkelas. Seperti Sita, mantan istrinya.
Ah! Dimas mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merutuki diri, kenapa pula sepagi ini dia sudah teringat Sita.
"Ini siapa, Ma?" Dimas langsung menodong Mama Desi dengan pertanyaan saat Ibunya itu tiba di meja makan.
"Ooh, ini Hanin. Anaknya Mbok Ti." Mama Desi tersenyum, segera membantu Hanin menuangkan air teh hangat ke dalam gelas-gelas yang telah disiapkan.
"Anak Mbok Ti? Mbok Ti kemana memangnya?" Dimas tersenyum pada Papa Roy yang baru bergabung untuk sarapan.
"Ada tetangga dekat rumahnya di Kampung yang akan menikahkan anaknya. Mbok Ti pulang untuk bantu-bantu. Tidak enak kalau tidak ikut membantu, tetangga dekat katanya."
Dimas mengangguk sambil mulai mengambil nasi serta lauk pauknya.
"Sementara Hanin yang akan menggantikan tugas Mbok Ti selama dia masih di kampung. Kebetulan Hanin bekerja sebagai salah satu penjaga toko kue di dekat sini. Jadi gampang." Mama Desi memberi penjelasan sambil mengambilkan lauk untuk Papa Roy yang hanya menjadi pendengar dalam percakapan mereka.
Kehadiran Hanin membawa suasana yang berbeda di rumah mereka. Gadis itu pintar membawa diri. Walau hanya lulusan SMA, Hanin cukup mampu mengimbangi setiap percakapan dengan Mama Desi dan yang lainnya.
Perlahan hati Dimas terketuk. Kesederhanaan Hanin mampu mencairkan hatinya yang beku. Perasaannya yang selama ini hampa, mulai bergetar saat mereka tidak sengaja bertatap muka. Walau perasaannya masih sangat dalam pada Sita, Dimas yakin, seiring berjalannya waktu, Hanin mampu menggantikan posisinya.
Tepat dua bulan perkenalan mereka, Dimas memberanikan diri melamar Hanin. Setelah sedikit berjuang meyakinkan keluarga. Mereka akhirnya resmi membina rumah tangga.
Hanin membuka mata. Gerakan halus dari janin di perutnya membuat dia tersadar dari kenangan masa lalu.
Wanita itu akhirnya mengangguk. Dengan suara bergetar Hanin kembali bersuara.
"Baiklah. Aku terima jika kau tetap memaksa untuk berpisah, Mas. Maafkan segala kekuranganku selama mendampingimu. Maafkan aku, jika aku tak secantik mantan istrimu." Suara Hanin mengambang di antara mereka.
Dimas terpana. Seperti ada yang hilang dari jiwanya, saat Hanin akhirnya menerima.
"Hanin?" Sita terkejut saat membuka pintu. Tidak menyangka orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya adalah Hanin. Tergesa Sita menutup keluar dan menutup pintu."Mas Dimas dan Rindu baru saja berangkat. Tadi kata Mas Dimas kau tidak ikut karena kurang enak badan, ternyata kau menyusul. Kenapa tidak mengabari Mas Dimas dulu?" Sita tersenyum ramah. Mempersilahkan Hanin duduk di kursi teras depan rumah."Aku memang menunggu mereka berangkat, Ta." Hanin tersenyum menatap wanita cantik di hadapannya.Kening Sita berkerut mendengar jawaban Hanin. Ada perlu apa istri mantan suaminya ini kemari?"Boleh kita bicara di dalam? Seingatku, setiap hari minggu aku dan Mas Dimas kemari selama hampir dua tahun ini, kau tidak pernah mempersilakan aku masuk." Senyum Hanin masih menghiasi wajah teduh itu."Ada perlu apa kemari, Nin?" Sita mengabaikan perkataan Hanin. Dia mulai tidak nyaman dengan kehadiran wanita berjilbab merah jambu itu."Kalian ada rencana rujuk?" Hanin menangkap rona tidak nyaman
Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Hanin memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian d
"Ayaaaaaah." Rindu berteriak riang saat melihat Dimas turun dari mobil. Berlari kencang menyongsong kedatangan ayahnya.Dimas tertawa. Lelaki itu segera berjongkok dan merentangkan tangan. Menyambut putrinya ke dalam pelukan."Tante Hanin." Rindu tersenyum menyadari ada Hanin di dekat mereka. Gadis manis berbando merah itu melepaskan pelukan Dimas, bergegas meraih tangan Hanin. Salim.Hanin tertawa kecil melihat Rindu menggerak-gerakkan kepalanya. Gadis kecil itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.Hanin dekat dengan Rindu, malah pernah mereka sangat dekat, melebihi kedekatan Rindu dan Sita. Beberapa kali Sita sempat menitipkan Rindu pada Hanin saat dia bekerja. Namun semenjak Sita merasa kedekatan mereka semakin intens, Sita membatasinya.Sebagai sesama wanita Hanin menyadari Sita merasa sedikit tidak nyaman Sejak saat itu Hanin sedikit menjaga jarak. Berinteraksi seadanya dengan anak sambungnya itu. Padahal bagi Hanin, anak Dimas adalah anaknya juga. Tetapi karena Sita kurang be
"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya."Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu."Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring."Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya."Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita."Kit
"Assalamualaikum." Dimas membuka pintu kamar."Waalaikumussalam, Mas." Hanin yang tengah melipat mukena setelah shalat maghrib menjawab salam Dimas. Keningnya berkerut. Menatap heran lelaki yang sedang berjalan ke arahnya itu."Mas tidak jadi menginap di tempat Mama?" Hanin melempar tanya.Dimas menggeleng. Ikut duduk di sajadah tempat Hanin duduk. Perlahan lelaki itu merebahkan tubuhnya. Tidur dipangkuan Hanin dengan tubuh meringkuk. Sebelah tangannya mengelus perut Hanin."Maaf." Suara Dimas gemetar saat kata itu keluar dari mulutnya. Hanin dapat merasakan air mata suaminya itu membasahi bajunya.Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak ikut tumpah. Kejadian siang tadi di rumah Papa Roy dan Mama Desi kembali berputar di kepalanya."Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!""Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang ta
"Dim, kamu ta ….""Keputusan Dimas sudah bulat, Ma, Pa." Dimas memotong ucapan Mama Desi."Sita, sebagai sesama perempuan, kamu tega pada Hanin?" Mama Vania memegang bahu Sita."Kamu memang pernah menjadi bagian keluarga kami, Ta, dan selamanya akan begitu karena ada Rindu sebagai benang merah di antara kamu dan Dimas." Lembut suara Mama Desi terdengar."Setidak setuju apapun dulu Mama dengan pernikahan Dimas dan Hanin, nyatanya kini Hanin adalah satu-satunya menantu keluarga ini. Saat ini dia sedang mengandung calon cucu kami. Gunakan perasaanmu, Ta." Mama Desi menatap Sita yang membisu."Kalau menggunakan perasaan, Dimas dan Sita masih sangat saling mencintai, Ma. Mama tahu sendiri kami berpisah bukan karena keinginan kami." Dimas menoleh pada Hanin di sampingnya.Perempuan itu membisu. Menatap kosong ke arah meja. Tangannya pelan mengelus kandungannya. Tidak ada isak tangis sedikitpun dari wanitanya itu. Hanin hanya diam. Entah mendengarkan atau tidak semua pembicaraan ini.Dimas m
Dimas menghempaskan badannya ke kasur. Sepi. Tidak ada lagi celoteh Hanin yang biasa menyambutnya saat pulang kerja. Bertanya apa saja, kadang bercerita apa saja. Sering dia hanya menanggapi tanya dan cerita Hanin dengan senyuman. Wanita itu tidak ambil pusing. Tetap melanjutkan ceritanya.Hening.Rumah itu terasa sangat hampa tanpa kehadiran Hanin.Lepas shubuh tadi Hanin pamit. Dimas memejamkan mata. Mengingat wajah Hanin yang menunduk, saat meminta izin pagi tadi."Mas …." Hanin membuka suara setelah kegiatan rutin mereka tadarus setelah shalat shubuh.Dimas mengelus kepala Hanin, kemudian pindah ke perutnya yang semakin membuncit."Aku izin pamit, pulang ke rumah Ibu pagi ini." Hanin menunduk.Dimas tertegun. Gerakan tangannya di perut Hanin terhenti. Pelan di angkatnya wajah Hanin dengan kedua tangan. Mata mereka bertatapan.Aduh! Dimas menggigit bibir. Mata istrinya basah. Wajah teduh itu menyiratkan luka yang teramat sangat."Kenapa?" Serak suara Dimas bertanya."Aku menunggu p
"Kau sedang mengandung anakku, Nin. Biarkan aku mengantarmu.""Akhirnya kau mengakui ini anakmu, Mas?" Hanin tertawa kecil."Sudahlah, aku bisa pulang sendiri." Hanin beranjak, meletakkan mukena dan bergegas keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapan.Dimas termenung mengingat kejadian itu. Pagi tadi adalah terakhir kalinya dia bisa menikmati masakan Hanin.Lelaki itu menarik bantal yang biasa Hanin gunakan saat tidur. Memeluknya erat. Menghirup dalam-dalam aroma Hanin yang masih tertinggal di sana.Ponsel Dimas bergetar. Bergegas lelaki itu merogoh kantong celananya. Berharap Hanin yang menelpon atau sekedar mengirimkan pesan."Sita," desisnya saat membaca nama yang tertera di layar ponsel.Dimas meremas ponsel itu, kemudian melemparkannya sembarangan ke kasur. Entah kenapa dia kecewa saat mengetahui Sita yang menelpon.Sungguh, dia sangat berharap Hanin menghubunginya. Lelaki itu mendadak rindu pesan-pesan Hanin yang selama ini sering dia abaikan.Diambilnya ponsel yang tadi dilempa