Share

BAB 3

"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk.

"Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.

Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.

Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?

Cinta? Ah…

Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?

Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya.

"Maafkan aku, Nin. Sita tidak ingin berbagi." Dimas mengangkat kepalanya. Menatap Hanin yang bersimbah air mata. Duh. Entah kenapa perasaanya tidak rela melihat wanitanya itu dibalut luka.

"Aku akan segera mengurus perceraian kita, Nin. Maafkan aku. Kita buat ini menjadi cepat saja. Aku takut kau menjadi semakin terluka jika terlalu lama." Dimas memejamkan mata. Tidak sanggup menatap mata sendu yang menatapnya tak percaya.

"Tidak inginkah kau melafazhkan adzan di telinga anak kita saat hari kelahirannya nanti, Mas? Menjadi orang pertama yang suaranya dia dengar saat anak kita perdana menyapa dunia?" Hanin memegang tangan lelaki di depannya.

"Akan sulit bagiku pergi, jika sempat melihat dedek, Nin." Dimas mengusap ujung matanya yang mendadak basah.

"Apa salah anakku sehingga kau sampai tidak ingin mengenalnya? Haruskah kutulis Batu sebagai nama Ayah di akta kelahirannya?" Wanita berkerudung coklat muda itu menatap putus asa suaminya.

"Tidak perlu kau tulis namaku di sana, Nin." Dimas menggeleng.

"Maksudmu?" Hanin menatap tak mengerti pada lelaki di depannya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan, dedek in syaa Allah berjenis kelamin laki-laki. Dia tidak butuh wali untuk pernikahannya nanti. Itulah alasan kenapa aku merasa sedikit lebih mudah memilih Rindu daripada dia." Dimas semakin menunduk dalam. Tak mampu menatap Hanin yang semakin terluka.

"Anak bukan pilihan, Mas. Laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka mempunyai hak atas kasih sayang dari Ayah dan Ibunya." Hanin menatap Dimas nanar. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Dimas menggeleng lemah.

"Istighfar, Mas. Anak ini tidak bisa memilih dari orangtua mana dia akan dilahirkan. Kita yang meminta agar dia dititipkan dalam setiap sujud yang kita lakukan." Isak Hanin kembali mengeras.

"Kita mempunyai kewajiban untuk membesarkannya. Memberikan kecukupan nafkah, lahir dan bathinnya. Memastikan dia mendapatkan pendidikan yang baik, bagi dunia dan akhiratnya. Tak takutkah kau dituntut anakmu di Padang Mahsyar nanti saat hari pembalasan karena kelalaian yang sengaja kau lakukan, Mas?"

"Maafkan aku, Nin. Aku masih sangat mencintai Sita." Entah berapa kali kalimat itu Dimas ucapkan sepagi ini. Menghancurkan relung terdalam perasaan wanita yang selama hampir dua tahun ini menjadi istrinya. 

Hanin memukul dadanya yang sesak. Tangis itu tumpah sudah. Sangat menyakitkan mendengar suara tangis penuh luka dari wanita yang tengah hamil tujuh bulan itu.

Tidak pantaskah dia dicinta? Bahkan untuk sekedar berbagi rasa pun dia tidak diberi kesempatan untuk mencobanya.

Hanin memejamkan mata. Ingatannya melayang ke masa dua tahun lalu. Saat dia dan Dimas pertama kali bertemu. 

"Silahkan, Den."

Dimas mengerutkan kening mendengar suara halus yang menyapanya. Lelaki itu menoleh pada sosok wanita yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Siapa perempuan muda yang menggunakan jilbab biru ini?

"Ck!" Dimas berdecak sebal. Apa ini perbuatan Mama Desi lagi? Entah sudah berapa wanita yang Mamanya itu kenalkan sejak perceraiannya dengan Sita tiga tahun lalu.

Satu pun belum ada dari para wanita yang Mama Desi kenalkan itu mampu membuka hati Dimas. Kunci hatinya terlanjur disimpan oleh Sita. Akan tetapi Mama Desi tidak pernah putus asa. Gagal yang satu dia datang lagi dengan yang lainnya. Belum berhasil dengan yang itu dia kembali lagi membawa kenalan berikutnya.

"Kau disuruh Mama?" Dimas menatap kurang suka pada wanita yang tampak sibuk menata piring di atas meja. Lelaki itu mulai lelah dengan semua wanita yang Mama Desi kenalkan. Hanya karena dia menyayangi dan menghormati Ibunya, walau dengan berat hati dia tetap melakukannya.

"Ya?" Wanita itu mengerutkan kening. Tidak mengerti dengan pertanyaan Dimas barusan.

Dimas tanpa sengaja memperhatikan gadis yang tengah sibuk mengangkat berbagai macam lauk dari dapur ke meja makan itu. Perempuan ini berbeda dari mereka yang sebelum-sebelumnya Mama Desi kenalkan.

Para wanita itu biasanya selalu tampil modis, khas perempuan kota metropolitan. Akan tetapi perempuan yang sedang sibuk menyiapkan makan pagi ini terlihat berbeda.

Tampilannya sederhana, menggunakan gamis Dan kerudung biru muda, membuatnya terlihat sangat bersahaja. Wajahnya biasa saja, seperti gadis kebanyakan. Tidak cantik, tetapi tidak jelek pula, sedang saja. Berbeda dengan para wanita yang selama ini Mama Desi kenalkan, mereka terlihat cantik dan berkelas. Seperti Sita, mantan istrinya.

Ah! Dimas mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merutuki diri, kenapa pula sepagi ini dia sudah teringat Sita.

"Ini siapa, Ma?" Dimas langsung menodong Mama Desi dengan pertanyaan saat Ibunya itu tiba di meja makan.

"Ooh, ini Hanin. Anaknya Mbok Ti." Mama Desi tersenyum, segera membantu Hanin menuangkan air teh hangat ke dalam gelas-gelas yang telah disiapkan.

"Anak Mbok Ti? Mbok Ti kemana memangnya?" Dimas tersenyum pada Papa Roy yang baru bergabung untuk sarapan.

"Ada tetangga dekat rumahnya di Kampung yang akan menikahkan anaknya. Mbok Ti pulang untuk bantu-bantu. Tidak enak kalau tidak ikut membantu, tetangga dekat katanya."

Dimas mengangguk sambil mulai mengambil nasi serta lauk pauknya.

"Sementara Hanin yang akan menggantikan tugas Mbok Ti selama dia masih di kampung. Kebetulan Hanin bekerja sebagai salah satu penjaga toko kue di dekat sini. Jadi gampang." Mama Desi memberi penjelasan sambil mengambilkan lauk untuk Papa Roy yang hanya menjadi pendengar dalam percakapan mereka.

Kehadiran Hanin membawa suasana yang berbeda di rumah mereka. Gadis itu pintar membawa diri. Walau hanya lulusan SMA, Hanin cukup mampu mengimbangi setiap percakapan dengan Mama Desi dan yang lainnya.

Perlahan hati Dimas terketuk. Kesederhanaan Hanin mampu mencairkan hatinya yang beku. Perasaannya yang selama ini hampa, mulai bergetar saat mereka tidak sengaja bertatap muka. Walau perasaannya masih sangat dalam pada Sita, Dimas yakin, seiring berjalannya waktu, Hanin mampu menggantikan posisinya.

Tepat dua bulan perkenalan mereka, Dimas memberanikan diri melamar Hanin. Setelah sedikit berjuang meyakinkan keluarga. Mereka akhirnya resmi membina rumah tangga.

Hanin membuka mata. Gerakan halus dari janin di perutnya membuat dia tersadar dari kenangan masa lalu.

Wanita itu akhirnya mengangguk. Dengan suara bergetar Hanin kembali bersuara.

"Baiklah. Aku terima jika kau tetap memaksa untuk berpisah, Mas. Maafkan segala kekuranganku selama mendampingimu. Maafkan aku, jika aku tak secantik mantan istrimu." Suara Hanin mengambang di antara mereka.

Dimas terpana. Seperti ada yang hilang dari jiwanya, saat Hanin akhirnya menerima.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
utk apa laki2 yg g punya nurani itu kamu minta utk bertahan. g akan ada gunanya laki2 sampah yg menggampangkan perceraian itu ditangisi
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
biar kn Hanin Dimas pergi dgn cinta masa lalu nya kmu yg sabar apa lagi anak mu laki2 penerus dr klga Dimas .blum tentu dia bersama sinta bisa punya anak lagi Allo maha adil hukum karma berlaku .kmu besar kn anakmu jangan sampe mengenal ayah nya .Dimas akan terdiksa sendiri menzolimi anak dn istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status