Share

BAB 5

Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Hanin memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.

Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.

Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.

Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.

Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian dengan Illahi.

Mata Hanin memanas, setetes air mata perlahan mengalir mengingat percakapannya dengan Dimas selepas shalat shubuh tadi pagi.

"Nin …." Dimas tersenyum menyapa Hanin yang mencium tangannya. Pelan Dimas mengusap kepala wanita yang menggunakan mukena putih gading dengan renda-renda di bawahnya itu.

Hanin tersenyum, segera beranjak berdiri untuk menyiapkan sarapan. Namun dia urung melakukannya, karena Dimas menahan tangannya.

"Ya?" Hanin bersuara setelah sekian lama mereka terdiam. Lelaki di hadapannya itu tampak ragu untuk menyampaikan maksud di hatinya.

"Minggu lalu kau ke tempat Sita?" Hanin menggigit bibir. Rupanya wanita itu mengadu pada Dimas?

"Iya." Hanin menjawab singkat sambil melipat mukena yang baru saja dia gunakan.

"Kenapa?" Dimas lamat-lamat memperhatikan wanita berwajah teduh di hadapannya.

"Apanya yang kenapa?" Hanin tersenyum melihat suaminya itu sepertinya sedikit bingung memulai pembicaraan di antara mereka.

"Kenapa main ke rumah Sita?"

"Tidak boleh aku main ke sana?" Hanin mengulum senyum.

"Ya boleh-boleh saja, tetapi untuk apa?" Dimas meraih tangan Hanin, tangan yang selama dua tahun ini dengan rela mengurus segala keperluannya.

"Kalau kujawab untuk menyambung silaturahmi, Mas percaya?" Dimas mendesah mendengar jawaban Hanin.

"Kenapa harus sampai menyinggung foto kami yang masih dia pajang, Nin?"

"Kenapa tidak?" Hanin menatap Dimas lembut. Lelaki itu kembali menarik napas.

"Tidak pantas menyinggung tentang isi rumah orang lain."

"Lalu menurutmu pantas bercerita dan mengadu pada suami orang lain? Aku yang jelas-jelas istrimu saja tidak bercerita apapun." Hanin tertawa kecil. Pelan menarik tangannya dari genggaman Dimas.

"Mengadu apa lagi mantan cantikmu itu, Mas? Sebenarnya, kalau dia menyinggung masalah pantas atau tidak pantas. Menurutmu pantas menginginkan suami orang lain?" Hanin terkekeh. Sementara Dimas mengusap tengkuknya.

"Sudah ya? Aku harus menyiapkan sarapan, kan?" Hanin beranjak berdiri. Meletakkan mukena pada tempatnya. Meninggalkan Dimas yang masih duduk di posisinya semula.

"Boleh kuminta buku nikah dan kartu keluarga kita, Nin?" Langkah Hanin terhenti, hatinya tercubit. Secepat ini?

Dalam diam Hanin berjalan menuju lemari di sudut kamar, mengambil dokumen-dokumen surat penting yang tersimpan rapi.

Dimas berdiri, melipat sajadah dan mendekat pada Hanin.

Tanpa bersuara Hanin menyerahkan buku nikah dan kartu keluarga pada lelaki berbaju koko putih yang telah berdiri di sampingnya.

Sedikit gemetar tangan Dimas menerimanya. Sementara Hanin langsung memalingkan wajah saat dokumen itu berpindah tangan.

"Aku akan mengajukan gugatan siang ini, Nin." Suara Dimas terdengar serak.

Wanita berwajah teduh itu hanya mengangguk. Bergegas melangkah keluar kamar dan menutup pintu.

Haruskah berakhir? Air mata Hanin mengalir begitu saja.

Pun saat ini.

Entah untuk yang ke berapa kali Hanin mengusap air matanya. Suara mobil Dimas memasuki halaman terdengar. Menarik kesadaran Hanin dari ingatan tentang peristiwa shubuh tadi.

Cepat Hanin melangkah ke kamar. Membersihkan wajahnya yang sedikit sembab. Menaburkan bedak tipis dan memakai perona bibir berwarna peach. Membuat wajahnya terlihat lebih segar.

"Assalamualaikum." Suara Dimas terdengar.

"Waalaikumussalam, Mas." Hanin tersenyum menyambut kepulangan suaminya. Mengambil tangan Dimas dan menciumnya. Hal yang biasa dia lakukan saat suaminya berangkat dan pulang kerja.

"Mandi dulu? Air hangat sudah kusiapkan." Dimas mengangguk, mengusap lembut perut istrinya yang membuncit.

Air mata Hanin hampir meleleh. Ini pertama kalinya Dimas mengelus perutnya dengan suka rela. Biasanya Hanin yang akan mengambil tangan Dimas, meletakkannya ke atas perutnya. Dulu suaminya itu hanya menanggapi dengan senyum saat mendengar dia berceloteh. Mengajak janin dalam rahimnya berbicara.

"Nakal dedek hari ini, Nin?" Dimas membalikkan tubuh Hanin. Merangkulnya dari belakang, tangan Dimas pelan mengusap perut istrinya itu. Janin di rahim Hanin bergerak. Menendang tepat di posisi tangan Dimas berada.

"Wowww," seru Dimas lumayan kencang. Hanin tertawa mendengar teriakan antusias suaminya.

"Anak Abi lagi main bola ni ceritanya?" Dimas tertawa, membalik tubuh Hanin, berlutut dan mencium perutnya.

'Abi?' Hanin membathin, benarkah barusan Dimas mengatakan Abi? Mata Hanin berkaca. Hatinya hangat. Sehangat dekapan Dimas yang kembali memeluknya.

Entah kenapa. Hari ini Dimas begitu merindukan Hanin. Istri biasa-biasa sajanya itu. Selepas memasukkan dokumen gugatan ke Pengadilan Agama siang tadi, pikiran Dimas terus tertuju pada Hanin.

"Mas jadi mau mandi? Nanti keburu kemalaman." Suara lembut Hanin menyadarkan Dimas.

"Oh iya, Abi mandi dulu ya, Jagoan." Dimas melepaskan pelukan mereka. Menoel perut Hanin. Mereka kemudian tertawa bersama.

Hanin merapikan baju kotor Dimas. Meletakkannya pada keranjang pakaian kotor. Mengambil tas kerja dan menaruhnya di meja samping tempat tidur.

Tidak sengaja mata Hanin menangkap layar gawai Dimas yang menyala. Tidak ada nada dering, juga tidak ada getar. Mungkin suaminya itu sengaja mengaktifkan mode senyap.

"Sita," bisik Hanin lirih.

Hatinya mendadak sakit. Semua kehangatan yang baru dia rasakan tadi mendadak menguap.

Bergegas wanita itu keluar dari kamar. Lebih baik menyiarkan makan malam pikirnya.

'Untuk apa Sita menelepon suaminya? Seringkah mereka saling telepon? Seringkah mereka berbalas pesan? Atau Dimas sering mampir ke sana saat pulang kerja?' Pikiran Hanin terus berputar.

Dadanya mendadak sesak. Dimas bahkan tidak pernah membalas pesannya kalau itu tidak penting. Selama ini selalu dia yang mengirimkan pesan pada suaminya itu.

"Jangan lupa makan siang, Mas."

"Jangan lupa shalat dzuhur, Lelaki tampanku ❤️."

"Rapat dimana hari ini, Yang?"

"Jadi bertemu dengan rekanan bisnis dari luar kota? Jangan pulang malam-malam yaaa, aku masak enak 😉."

Pesan-pesan itu tidak pernah berbalas.

Hanin menarik napas. Mengatur perasaannya agar tidak kembali buncah oleh air mata. Tidak-tidak. Dia tidak boleh menangis lagi di depan Dimas. Cukup.

"Masak apa hari ini?" Dimas tiba-tiba muncul. Memeluk Hanin dari belakang sambil melongok ke meja makan.

"Waaaah, masak istimewa ini." Wajah Dimas sumringah. Air liurnya bahkan hampir menetes melihat opor ayam nanas buatan Hanin. Istrinya itu memang pandai sekali memasak.

Hanin tertawa melihat wajah suaminya yang begitu antusias. Menarik napas sekali lagi. Berusaha menetralisir perasaannya.

"Ada angin apa ini masak segini banyak?" Dimas menatap Hanin saat melihat meja makan dipenuhi lauk pauk lengkap dan cemilan.

"Hari ini tepat dua tahun pernikahan kita, Mas. Aku cuma ingin membuat hari ini berbeda. Terima kasih selama dua tahun ini kau sudah menjadi suami yang baik bagiku. Kalau seandainya nanti jodoh kita berakhir. Setidaknya ada kenangan indah tentang hari ini yang bisa kita ingat." Suara Hanin lembut terdengar. Wajah teduh itu tersenyum manis menatap Dimas

Dimas terpaku. Hatinya basah.

Saat Hanin mempersembahkan semua yang terbaik di dua tahun pernikahan mereka, dia justru memberikan hadiah gugatan cerai yang pasti menimbulkan luka.

Sudah benarkah keputusan yang dia ambil hari ini? Ragu itu kembali menyelimuti hati Dimas.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cukup sdh menangisi laki2 bajingan itu hanin. apa tanpa dimas kamu g bisa hidup
goodnovel comment avatar
jerry baby
mewek akunya thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status