Share

BAB 5

last update Last Updated: 2022-06-20 10:20:31

Aroma tumisan bumbu halus ditambah dengan daun salam, lengkuas dan serai memenuhi seisi dapur. Beberapa saat kemudian Hanin memasukkan ayam dan santan. Setelah itu menambahkan garam dan gula pasir, terakhir mencemplungkan nanas ke dalam kuah yang sedang mendidih.

Hanin tersenyum setelah mencicipi rasa masakannya. Sempurna. Wanita bercelemek hijau itu memindahkan opor ke dalam mangkok, kemudian menaburkan bawang goreng di atasnya. Opor ayam nanas, kesukaan Dimas. Hanin sengaja masak istimewa. Hari ini tepat dua tahun usia pernikahan mereka.

Jika semua memang harus berakhir, biarlah kelak Dimas mengenang semua tentangnya dengan indah. Andai bisa dipertahankan, Hanin akan berjuang semampunya.

Pernikahan adalah hal yang sakral baginya. Menikah bukan hanya sekedar perjanjian dua anak manusia. Saat ijab kabul terucap, langitlah yang menjadi saksinya.

Karena Perjanjian paling mengikat adalah Akad. Perjanjian tentang pertaruhan kehidupan Akhirat. Bukan hanya antara dua hati, tapi perjanjian dengan Illahi.

Mata Hanin memanas, setetes air mata perlahan mengalir mengingat percakapannya dengan Dimas selepas shalat shubuh tadi pagi.

"Nin …." Dimas tersenyum menyapa Hanin yang mencium tangannya. Pelan Dimas mengusap kepala wanita yang menggunakan mukena putih gading dengan renda-renda di bawahnya itu.

Hanin tersenyum, segera beranjak berdiri untuk menyiapkan sarapan. Namun dia urung melakukannya, karena Dimas menahan tangannya.

"Ya?" Hanin bersuara setelah sekian lama mereka terdiam. Lelaki di hadapannya itu tampak ragu untuk menyampaikan maksud di hatinya.

"Minggu lalu kau ke tempat Sita?" Hanin menggigit bibir. Rupanya wanita itu mengadu pada Dimas?

"Iya." Hanin menjawab singkat sambil melipat mukena yang baru saja dia gunakan.

"Kenapa?" Dimas lamat-lamat memperhatikan wanita berwajah teduh di hadapannya.

"Apanya yang kenapa?" Hanin tersenyum melihat suaminya itu sepertinya sedikit bingung memulai pembicaraan di antara mereka.

"Kenapa main ke rumah Sita?"

"Tidak boleh aku main ke sana?" Hanin mengulum senyum.

"Ya boleh-boleh saja, tetapi untuk apa?" Dimas meraih tangan Hanin, tangan yang selama dua tahun ini dengan rela mengurus segala keperluannya.

"Kalau kujawab untuk menyambung silaturahmi, Mas percaya?" Dimas mendesah mendengar jawaban Hanin.

"Kenapa harus sampai menyinggung foto kami yang masih dia pajang, Nin?"

"Kenapa tidak?" Hanin menatap Dimas lembut. Lelaki itu kembali menarik napas.

"Tidak pantas menyinggung tentang isi rumah orang lain."

"Lalu menurutmu pantas bercerita dan mengadu pada suami orang lain? Aku yang jelas-jelas istrimu saja tidak bercerita apapun." Hanin tertawa kecil. Pelan menarik tangannya dari genggaman Dimas.

"Mengadu apa lagi mantan cantikmu itu, Mas? Sebenarnya, kalau dia menyinggung masalah pantas atau tidak pantas. Menurutmu pantas menginginkan suami orang lain?" Hanin terkekeh. Sementara Dimas mengusap tengkuknya.

"Sudah ya? Aku harus menyiapkan sarapan, kan?" Hanin beranjak berdiri. Meletakkan mukena pada tempatnya. Meninggalkan Dimas yang masih duduk di posisinya semula.

"Boleh kuminta buku nikah dan kartu keluarga kita, Nin?" Langkah Hanin terhenti, hatinya tercubit. Secepat ini?

Dalam diam Hanin berjalan menuju lemari di sudut kamar, mengambil dokumen-dokumen surat penting yang tersimpan rapi.

Dimas berdiri, melipat sajadah dan mendekat pada Hanin.

Tanpa bersuara Hanin menyerahkan buku nikah dan kartu keluarga pada lelaki berbaju koko putih yang telah berdiri di sampingnya.

Sedikit gemetar tangan Dimas menerimanya. Sementara Hanin langsung memalingkan wajah saat dokumen itu berpindah tangan.

"Aku akan mengajukan gugatan siang ini, Nin." Suara Dimas terdengar serak.

Wanita berwajah teduh itu hanya mengangguk. Bergegas melangkah keluar kamar dan menutup pintu.

Haruskah berakhir? Air mata Hanin mengalir begitu saja.

Pun saat ini.

Entah untuk yang ke berapa kali Hanin mengusap air matanya. Suara mobil Dimas memasuki halaman terdengar. Menarik kesadaran Hanin dari ingatan tentang peristiwa shubuh tadi.

Cepat Hanin melangkah ke kamar. Membersihkan wajahnya yang sedikit sembab. Menaburkan bedak tipis dan memakai perona bibir berwarna peach. Membuat wajahnya terlihat lebih segar.

"Assalamualaikum." Suara Dimas terdengar.

"Waalaikumussalam, Mas." Hanin tersenyum menyambut kepulangan suaminya. Mengambil tangan Dimas dan menciumnya. Hal yang biasa dia lakukan saat suaminya berangkat dan pulang kerja.

"Mandi dulu? Air hangat sudah kusiapkan." Dimas mengangguk, mengusap lembut perut istrinya yang membuncit.

Air mata Hanin hampir meleleh. Ini pertama kalinya Dimas mengelus perutnya dengan suka rela. Biasanya Hanin yang akan mengambil tangan Dimas, meletakkannya ke atas perutnya. Dulu suaminya itu hanya menanggapi dengan senyum saat mendengar dia berceloteh. Mengajak janin dalam rahimnya berbicara.

"Nakal dedek hari ini, Nin?" Dimas membalikkan tubuh Hanin. Merangkulnya dari belakang, tangan Dimas pelan mengusap perut istrinya itu. Janin di rahim Hanin bergerak. Menendang tepat di posisi tangan Dimas berada.

"Wowww," seru Dimas lumayan kencang. Hanin tertawa mendengar teriakan antusias suaminya.

"Anak Abi lagi main bola ni ceritanya?" Dimas tertawa, membalik tubuh Hanin, berlutut dan mencium perutnya.

'Abi?' Hanin membathin, benarkah barusan Dimas mengatakan Abi? Mata Hanin berkaca. Hatinya hangat. Sehangat dekapan Dimas yang kembali memeluknya.

Entah kenapa. Hari ini Dimas begitu merindukan Hanin. Istri biasa-biasa sajanya itu. Selepas memasukkan dokumen gugatan ke Pengadilan Agama siang tadi, pikiran Dimas terus tertuju pada Hanin.

"Mas jadi mau mandi? Nanti keburu kemalaman." Suara lembut Hanin menyadarkan Dimas.

"Oh iya, Abi mandi dulu ya, Jagoan." Dimas melepaskan pelukan mereka. Menoel perut Hanin. Mereka kemudian tertawa bersama.

Hanin merapikan baju kotor Dimas. Meletakkannya pada keranjang pakaian kotor. Mengambil tas kerja dan menaruhnya di meja samping tempat tidur.

Tidak sengaja mata Hanin menangkap layar gawai Dimas yang menyala. Tidak ada nada dering, juga tidak ada getar. Mungkin suaminya itu sengaja mengaktifkan mode senyap.

"Sita," bisik Hanin lirih.

Hatinya mendadak sakit. Semua kehangatan yang baru dia rasakan tadi mendadak menguap.

Bergegas wanita itu keluar dari kamar. Lebih baik menyiarkan makan malam pikirnya.

'Untuk apa Sita menelepon suaminya? Seringkah mereka saling telepon? Seringkah mereka berbalas pesan? Atau Dimas sering mampir ke sana saat pulang kerja?' Pikiran Hanin terus berputar.

Dadanya mendadak sesak. Dimas bahkan tidak pernah membalas pesannya kalau itu tidak penting. Selama ini selalu dia yang mengirimkan pesan pada suaminya itu.

"Jangan lupa makan siang, Mas."

"Jangan lupa shalat dzuhur, Lelaki tampanku ❤️."

"Rapat dimana hari ini, Yang?"

"Jadi bertemu dengan rekanan bisnis dari luar kota? Jangan pulang malam-malam yaaa, aku masak enak 😉."

Pesan-pesan itu tidak pernah berbalas.

Hanin menarik napas. Mengatur perasaannya agar tidak kembali buncah oleh air mata. Tidak-tidak. Dia tidak boleh menangis lagi di depan Dimas. Cukup.

"Masak apa hari ini?" Dimas tiba-tiba muncul. Memeluk Hanin dari belakang sambil melongok ke meja makan.

"Waaaah, masak istimewa ini." Wajah Dimas sumringah. Air liurnya bahkan hampir menetes melihat opor ayam nanas buatan Hanin. Istrinya itu memang pandai sekali memasak.

Hanin tertawa melihat wajah suaminya yang begitu antusias. Menarik napas sekali lagi. Berusaha menetralisir perasaannya.

"Ada angin apa ini masak segini banyak?" Dimas menatap Hanin saat melihat meja makan dipenuhi lauk pauk lengkap dan cemilan.

"Hari ini tepat dua tahun pernikahan kita, Mas. Aku cuma ingin membuat hari ini berbeda. Terima kasih selama dua tahun ini kau sudah menjadi suami yang baik bagiku. Kalau seandainya nanti jodoh kita berakhir. Setidaknya ada kenangan indah tentang hari ini yang bisa kita ingat." Suara Hanin lembut terdengar. Wajah teduh itu tersenyum manis menatap Dimas

Dimas terpaku. Hatinya basah.

Saat Hanin mempersembahkan semua yang terbaik di dua tahun pernikahan mereka, dia justru memberikan hadiah gugatan cerai yang pasti menimbulkan luka.

Sudah benarkah keputusan yang dia ambil hari ini? Ragu itu kembali menyelimuti hati Dimas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
berharaplah pada ALLAH
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Hanin yang mau cerai kok aku yang nangis putuskan semua hubungan apapun itu Hanin jangan berharap lagi pada manusia DAJJAL berharaplah pad
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cukup sdh menangisi laki2 bajingan itu hanin. apa tanpa dimas kamu g bisa hidup
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   TAMAT

    "Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Akhir yang Tragis

    Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Wafat

    "Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Dimana Hati Kalian?

    "Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Tragedi Menyakitkan

    "Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Mendatangi Rumah Hanin

    "Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Melabrak Hadyan

    "Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Amarah

    "Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R

  • KAU RUJUK AKU MERAJUK   Keributan

    "Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status