"Mas." Sita nanar menatap Dimas yang sedang duduk di samping Hanin. Bahkan sisa derai tawa mereka masih terdengar jelas saat dia membuka pintu kamar."Sita …." Suara Dimas tercekat."Ayaaaah." Rindu berlari memeluk Dimas yang langsung menyambutnya."Tante Hanin sudah lahiran? Waaaaaah dedek bayinya ganteng seperti Ayah." Mata Rindu berbinar melihat bayi laki-laki yang berada dalam dekapan Hanin."Rindu, tunggu disini dulu jaga dedek sama Tante Hanin ya? Ibu keluar sebentar sama Ayah," ucap Sita sambil mengelus kepala putrinya.Rindu langsung mengangguk. Tentu saja dia mau. Anak kecil itu sudah sangat Rindu bercakap-cakap dengan "Tante Hanin-nya". Apalagi ada dedek ganteng yang baru saja lahir. Eh… dedeknya menguap. Rindu menyeringai. Gemas sekali dia melihatnya."Mas." Hanin memegang tangan Dimas saat lelaki itu akan melangkah ke luar mengikuti Sita."Ayo, Mas!" Sita menarik tangan Dimas. Membuat lelaki itu terjebak di tengah-tengah. Dimas memejamkan mata. Kepalanya tiba-tiba terasa s
Namun belum lama kehangatan itu mereka rasakan sebagai satu keluarga utuh, Sita datang. Mengacaukan momen yang seharusnya dapat menjadi indah."Jawab, Mas!" Sita sedikit berteriak karena Dimas terus membisu.Lengang. Lidah Dimas kelu. Tenggorokannya terasa kering. Suaranya seperti tidak mau keluar untuk menjawab tanya Sita.Sita menghentakkan kakinya kesal. Pergi begitu saja meninggalkan Dimas yang masih terpaku. Wanita itu membuka pintu dan segera menggandeng Rindu. Tanpa sempat berpamitan dengan siapapun, Rindu yang terlihat bingung, patah-patah mengikuti langkah ibunya.Lelaki itu menghembuskan napas kasar. Entah kenapa semakin lama Sita semakin membuatnya bingung. Bahkan secara sadar dia merasa, Sita mulai membenahi hatinya.Dimas sebenarnya tidak terlalu terkejut dengan kelakuan "ajaib" yang kadang dilakukan Sita. Dua tahun berpacaran dan tiga tahun membina rumah tangga membuatnya cukup mengenal bagaimana mantan istrinya itu.Sebagai anak tunggal yang lahir dari keluarga kaya, Si
Hanin mendengarkan semua percakapan Sita dan Dimas dari dalam. Pintu kamar yang tidak tertutup dengan rapat membuat suara mereka terdengar dengan jelas.Hatinya terasa sangat sakit saat mengetahui lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu begitu takluk pada wanita lain. Takluk pada seorang wanita bergelar mantan.Hanin tersadar dari pikirannya saat bayi kecil dalam pelukannya menggeliat pelan.Wanita itu terpana. Mata kecil itu menatapnya penuh pengharapan. Hanin menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Dia tertawa dalam tangisnya. Menyadari bayi mungil itu dari tadi memperhatikannya.Sesat kemudian Hanin menunaikan kewajibannya sebagai seorang ibu. Hatinya terasa hangat saat merasakan bibir kecil itu menyentuh kulitnya, mencari sumber kehidupan. Cinta Hanin berkecambah. Sungguh. Dia telah jatuh cinta pada makluk mungil yang berada di dekapannya, bahkan sejak mereka belum pernah berjumpa.Sedotan halus di sana membuat air mata Hanin kembali mengalir. Mata kecil itu masih terus
"Sal …." Dimas langsung berdiri tegak melihat adik iparnya itu datang"Untuk apa datang kemari jika kehadiran Mas hanya membuat Kak Hanin sedih? Mau seperti apa lagi Mas menyakiti kakakku? Mas Dim ceraikan Kak Hanin saat dia sedang hamil besar. Itu membuat Kak Hanin sangat tertekan, Mas. Setiap hari kerjaannya hanya di kamar. Alhamdulillah persalinan hari ini lancar, walau sempat ada pendarahan yang cuku parah." Saldi mengepalkan tangannya.Andai dia tidak ingat kalau orang yang ada di depannya ini masih suami kakaknya. Sudah sejak tadi bogem mentah itu melayang.Lima belas tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda. Namun karena ditempa oleh keadaan. Cara berpikir Saldi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dilahirkan dalam keadan tanpa Ayah, membuat dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah berusaha menggantikan peran itu. Dia betul-betul menjaga dan melindungi dua wanita yang sangat berharga dan berjasa dalam hidupnya. "Kok ngobrol di luar? Ayo ayo masuk. Kasian Hanin dit
"Bismillahirrahmanirrahiim. Pada hari ini, Jum'at, dua puluh sembilan November tahun dua ribu dua puluh satu. Saya, Dimas Abimana Bin Roy Abimana. Menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri saya Haninna Andhira binti almarhum Hasyim ….""Kak …." Saldi sedikit membungkuk ke depan, berbisik memanggil kakak perempuan satu-satunya itu.Hanin mengangkat kepala. Menoleh ke belakang, menatap Saldi dengan mata berkaca-kaca. Baru saja ikrar talak dibacakan Dimas. Resmi sudah secara hukum dan agama, mereka berpisah.Cepat Hanin menoleh lagi ke depan sebelum Saldi melihat air matanya jatuh. Wanita itu menggigit bibir. Sakit. Jiwanya terluka. Perasaannya mendadak hampa. Berakhir. Hari ini, kisahnya dan Dimas resmi berakhir.Cerita indah yang selama dua tahun mereka bina, berakhir begitu saja tanpa ada masalah apapun sebelumnya. Hanin ingat sekali. hari itu, hari yang seharusnya menjadi waktu mereka bersantai dan bersenda gurau bersama, justru menjadi yang membuat Hanin begitu terluka.Ingatan Hani
Sita membuang muka. Sebagai wanita, ada sedikit iba dalam hatinya. Namun egonya menutup itu semua. Dimas harus menjadi miliknya.Hanin tersenyum melihat Sita membuang muka. Wanita itu kembali menatap ke depan. Tidak lama dia menunduk. Semua kenangan selama dia dan Dimas berumahtangga menari-nari di pikirannya.Hanin menghembuskan napas dengan keras. Mengingat semua hal terbaik yang dia lakukan beberapa bulan terakhir. Mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap melayani Dimas dengan biasa. Wanita itu bahkan pura-pura tidak mendengar saat Dimas dengan sengaja bertelpon ria dengan Sita berjam-jam lamanya hampir setiap malam. Memilih mengabaikannya.Bahkan sampai detik terkahir dia tinggal bersama Dimas, dia masih menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Berharap sedikit saja lelaki itu menyadari besarnya perasaan yang dia punya.Hingga akhirnya Hanin memutuskan menyerah.Hari itu. Saat dia baru saja melahirkan buah hati mereka, badannya bahkan masih menggigil karena pengaruh obat bius dan
"Nin …." Ada getar di suara Dimas, saat menyebut nama wanita yang kini resmi menjadi mantan istrinya.Setelah mengalami perdebatan batin yang cukup alot, akhirnya Dimas memutuskan untuk menyapa Hanin begitu persidangan selesai.Tadi sekilas dia melihat Hanin menoleh ke arahnya saat ikrar talak selesai dibacakan. Namun dia terlalu pengecut untuk membalas tatapan wanita yang telah diceraikannya itu. Jadilah dia pura-pura membicarakan sesuatu dengan kuasa hukumnya.Entah mengapa. Ada yang hilang dari jiwanya, saat ikrar talak keluar dari lisannya. Hatinya mendadak kosong. Perasaanya hampa. Raganya bagaikan melayang, seolah hilang pegangan.Dimas merasa dadanya sesak. Badannya panas dingin. Ada apakah gerangan? Selalu beginikah perasaan seorang suami yang menceraikan istrinya?"Nin …." Kali kedua Dimas memanggil Hanin. Wanita itu tetap menunduk. Entah suaranya yang memang tidak keluar, atau hanin yang berpura tak mendengar.Sementara di sisi lainnya. Hati Hanin menjerit saat mendengar sua
Lagi pula, kenapa Hanin mau menatapnya berlama-lama? Dimas menggigit bibir. Dia merasa sangat bodoh sekali. Apa yang dia harapkan sebenarnya? Apakah dia berharap wanita berjilbab biru langit itu kembali mengemis cinta padanya?Hanin menggelang. Entah kenapa ujung tangannya terasa dingin. Berada didekat Dimas membuatnya merasa tidak nyaman."Aku tidak mau dalam usianya yang belum genap empat bulan, anak laki-lakiku itu sudah merasakan pengalaman pahit ini, Mas. Walaupun dia belum mengerti, tapi hatinya pasti merasakan apa yang kita alami hari ini."Dimas tercekat. Sulit rasanya dia menarik napas.Lelaki itu sebenarnya merindu. Ingin sekali rasanya dia memeluk tubuh kecil hangat yang dia adzankan waktu itu. Bahkan matanya sering basah, saat mengingat tubuh kecil itu menggeliat halus dalam dekapannya. "Anak kita sehat, Nin?" Ah … entah kenapa Dimas merasa janggal mengatakan itu. Anak kita? Dulu dia bahkan dengan lugas mengatakan tidak ingin mengenalnya.Hanin tersenyum kecil. Hatinya me