Home / Romansa / KAWIN LARI / Bab 8. Siapa Dia?

Share

Bab 8. Siapa Dia?

Author: Chida
last update Huling Na-update: 2024-10-28 10:04:18

"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.

Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja. 

"Ma, Pa." 

Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar.

"Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu.

"Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Mama Papa harus nunggu dua hari dulu baru bisa ketemu kamu, itu juga seperti terpaksa.)

"Perasaan Mama aja itu." Rizal menarik kursi di sebelah Donna.

"Gimana kuliah kamu? praktek dan lainnya?" 

"Lumayan Pa, menyita waktu."

"Sampai enggan untuk pulang, sibuk sekali sepertinya." Donna kembali menyindir Rizal.

"Maleh Ma. Tiok pulang nan ditanyo ituuu se taruih. Bilo nikah ka bilo nikah se." (Males juga, Ma. Setiap pulang di tanya kapan nikah terus.) Rizal meneguk air minum di depannya.

"Umua awak tu alah kapalo tigo, tantu lah iyo itu nan Mama tanyo taruih, bilo Ichal nio manikah." (Umur kamu itu kepala tiga tahun depan, jelas lah Mama tanya kapan kamu mau nikah.)

"Rizal belom siap, Ma."

"Kapan siapnya, sementara waktu terus berjalan." Kali ini Dahlan, sang Paman angkat bicara.

"Alun adi pikiran Ichal ka situ lai, mancari jodoh ndak sagampang itu doh, Mak. (Ichal belum kepikiran, lagian nyari jodoh nggak segampang itu, Mak.) Rizal menelan salivanya kasar, memang butuh keberanian kalau berbicara dengan pamannya.

"Makonyo, makasuik kami datang ka Jogja ko, guno membahas soal perjodohan untuak Ichal," ucap Andreas. (Makanya, kami datang ke Jogja ini ingin membahas tentang perjodohan kamu.)

"Ck, ini lagi." Rizal mengusak rambutnya. "Pendidikan spesialis Ichal alun salasai lai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal salasaikan. Andai Ichal manikah jo pilihan Mama, Papa dan Mamak, sia yang bisa manjamin padusi tu sanggup manunggu Ichal. Alun lai karajo Ichal yang kadang indak mengenal waktu." (Pendidikan spesialis Ichal juga belum selesai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal kerjakan, semisal Ichal menikah dengan pilihan Papa, Mama dan Mamak apa bisa menjamin gadis itu mampu menunggu Ichal. Belum lagi, pekerjaan Ichal yang kadang tak pandang waktu.)

"Kalo itu bisa saja semua dibicarakan, Chal. Tinggal kamu nya bersedia atau enggak?" Dahlan kembali menatap tajam ke arah keponakannya.

"Mak, ado apo Mak? Kok bantuaknyo Mamak basumangaik manga membahas perjodohan ko?" (Kenapa Mamak sepertinya menggebu sekali dalam perjodohan ini?)

"Ya karena adat kita yang sudah turun temurun," jawab Dahlan. "Anak dipangku, kamanakan dibimbiang."

Rizal terdiam.

"Kamu tau artinya? Mamak perjelas di sini, tanggung jawab Mamak lebih besar pada kamu, keponakan Mamak daripada tanggung jawab Mamak ke anak Mamak sendiri."

"Kamu dengar kata Mamakmu, Chal. Ada baiknya kamu turuti kemauan kami, ini demi kebaikan kamu sendiri." Andreas beranjak dari tempat duduknya. 

"Bisuak Mama ado maundang urang datang untuak makan malam samo2 jo awak, Inyo baru datang dari Jakarta. Tolong luangkan waktu Ichal untuak hadir bisuak." (Mama besok mengundang seseorang untuk makan malam dengan kita, dia baru datang dari Jakarta besok. Tolong luangkan waktu kamu, Chal.)

Donna meletakkan napkin di atas meja makan, dia ikut beranjak meninggalkan ruangan itu menyusul suaminya. Melihat kedua orangtuanya meninggalkan ruangan itu, Rizal pun meraih kunci motornya.

"Rumah sakit kita akan mengadakan kerjasama dengan perusahaan alat kesehatan bertaraf internasional. Besok jangan nggak dateng, Rumah Sakit itu nanti berada dalam kepemimpinan kamu," ujar Dahlan menatap Rizal.

"Ichal pulang dulu." Tanpa menoleh sedikitpun pada Dahlan, dia terus melangkah menuju lobby hotel dan tak berpikir untuk mampir terlebih dulu ke kamar orangtuanya.

*****

"Maaf semalam janji kita harus batal." 

Dara membaca isi pesan Rizal pagi ini. 

"Enggak apa-apa," balas Dara di sertai gambar ekspresi tersenyum.

"Mungkin beberapa hari ke depan kita bakal jarang ketemu." Rizal kembali mengirimkan pesan.

"Ok. Selamat bekerja ya, jangan lupa sarapan," balas Dara.

"Kamu juga."

Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, di tambah lagi ini adalah akhir bulan. Dara di minta untuk mengelola database karyawan dua tahun terakhir oleh manager HRD.

"Sudah selesai?" tanya Sari, HRD manager tempat Dara bekerja.

"Sedikit lagi, Bu." Dara membereskan tumpukan file di atas mejanya.

"Kalo sudah selesai semua, tolong matikan semua lampu ruangan ini ya, Ra. Jangan malam-malam, ini udah lebih jam delapan."

"Baik, Bu. Ini sedikit lagi, selesai langsung saya email ke Ibu."

"Ok, saya duluan ya." 

Di ruangan itu hanya tertinggal Dara seorang. Siapa sangka Dara bisa bekerja di hotel ini, meskipun hanya karyawan kontrak namun patut di syukuri untuk seorang fresh graduate seperti dirinya.

"Selesai." 

Tepat pukul sembilan malam Dara selesai mengerjakan pekerjaannya. Sambil meluruskan otot-otot yang tegang selama seharian ini Dara meraih ponselnya yang sejak sore tak dia sentuh. Beberapa pesan baru dia baca diantaranya Bagas dan Bu Sum.

"Sibuk sepertinya," pikir Dara saat melihat tidak ada pesan masuk dari Rizal.

Dara meraih sweater rajutnya, dia berjalan ke arah parkiran motor khusus karyawan. Perlahan laju motor itu melewati jendela besar di sisi hotel yang merupakan restoran. Matanya sekejap melihat seorang pria yang sangat dia kenal. Tapi kali ini pria itu tidak sendirian,  dia bersama lima orang lainnya. Dua diantaranya wanita.

Dara tetap melaju dengan motor Mio nya, meski pikirannya melayang ke restoran tadi. 

"Dokter Rizal dengan siapa? Oh mungkin koleganya, bukankah dia seorang dokter." 

Dara menepis jauh pikirannya, lagi pula kenapa dia harus berpikir jauh sedangkan dia dan Rizal hanya sebatas teman.

"Ah entahlah siapa mereka, tapi kenapa ada wanita cantik disana. Bahkan duduknya pun bersebelahan dengan dia."

Lagi-lagi rasa penasaran Dara memenuhi isi kepalanya.

"Siapa dia?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (9)
goodnovel comment avatar
DyazRini Janardhani
penasaran ya dara,, kasihan
goodnovel comment avatar
Muti
bibit pesaing ini
goodnovel comment avatar
Anies
siapa hayoooo??? drama keluarga ningrat nih ternyata
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • KAWIN LARI    62. Kecewa

    Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Dara. Pagi itu Bu Sum sedang menyapu halaman, sambil tersenyum Bu Sum meletakkan sapu lidi tersandar di sisi pagar."Pagi Bu Sum," sapa Teguh."Pagi, Nak Teguh.""Kinan ... sini," panggil Teguh pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun, yang masih bersembunyi di balik pagar. "Katanya mau kenalan sama Tante Dara, ini rumahnya," ucap Teguh sambil berjongkok membujuk anak perempuannya.Bu Sumi tersenyum, ada sesak di dadanya melihat seorang anak yang masih terlalu kecil sudah harus kehilangan ibunya. Membayangkannya saja sudah sesak apalagi gadis kecil itu yang merasakan bagaimana hidup tanpa seorang ibu."Ayo masuk, Uti punya coklat di dalam. Namanya siapa?" tanya Bu Sum lembut."Ditanya namanya siapa tuh, sama Uti. Teguh meraih jari-jari mungil itu mengajaknya melangkah masuk pekarangan."Kinan," ucapnya lirih."Ayo ikut Uti, Uti punya coklat dan biskuit, Kinan mau?""Mau," jawab Kinan sambil mengangguk-angguk."Nak T

  • KAWIN LARI    61. Mencari

    Rizal melempar ponselnya ke atas ranjang, dadanya bergemuruh kesal. Bagaimana tidak dia kesal, hampir dua bulan dan dia tidak mendapatkan satu kabarpun tentang keberadaan dimana istrinya. "Ada apa sih ini sebenarnya!" BughTangannya menghantam tembok bercat putih di kamar mereka. "Arggh! Sialan, dimana kamu Ra!""Cal ... Ical, kamu kenapa?" Suara Donna dari balik pintu semakin menambah emosi Rizal."Cal ... kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Mama dengan ada suara keras dari dalam kamar. Cal—"Rizal masih tak bersuara, dadanya bergemuruh, nafasnya menderu."Bangsat!""Cal! Mama masuk ya ...." Donna mulai khawatir, dia berulang kali berusaha membuka pintu kamar Rizal."Pa ... Pa!" panggil Donna.Hanna dan suaminya berlari tergopoh-gopoh mendengar suara Donna yang memanggil Andreas. Sementara Andreas, keluar dari kamarnya dengan wajah panik."Ada apa?""Rizal, di dalam entah kenapa. Sepertinya dia sedang marah," ujar Donna."Cal, buka pintunya," ujar Hanna berusaha selembut mungkin untuk

  • KAWIN LARI    60. Antara Senang atau Sedih

    Pintu pagar setinggi satu setengah meter itu masih terkunci. Kios tempat Bu Sum mencari rejekinya juga masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Rizal tiba di Jogja pukul 10 pagi tadi, menempuh perjalanan dari bandara ke rumah Bu Sum sekitar hampir satu setengah jam. Rizal akhirnya memutuskan untuk menemui istrinya meski larangan Donna saat itu cukup keras. Jauh di lubuk hati lelaki itu dia begitu merindukan Dara selama tiga minggu ini."Cari siapa?" tanya wanita bertubuh kurus yang kebetulan lewat. "Eh, Mas Rizal?" Dia terkejut saat mendapati pria yang berdiri lama di sana adalah Rizal."Mbak Siti? Mbak Siti, kan?""Iya, Mas," jawab Siti nampak sedikit ragu. "Mm—mbak Dara nya nggak ikut, Mas?" "Loh, Dara nggak di rumah?""Bukannya Mbak Dara di Padang?" Wajah Siti bingung."Oh, mm— begini Mbak Siti," ujar Rizal pun bingung ingin mengatakan apa. "Kalo Dara sudah datang, tolong suruh langsung hubungi Saya, karena nomer dia dan nomer Ibu nggak bisa Saya hubun

  • KAWIN LARI    59. Senyum Kemenangan

    "Selamat pagi."Synthia masuk ke ruangan yang dominan berwarna putih itu. Melengkok berjalan mendekati meja kerja Rizal."Pagi, Syn.""Aku bawain kamu sandwich dan ...." Synthia meletakkan dua cangkir berisi kopi kesukaan Rizal. “Sarapan dulu, yuk.”"Makasih, Syn." Rizal meraih roti sandwich yang sudah dibuka oleh Synthia. "Kamu bikin sendiri?"Synthia tertawa. "Ya nggak mungkin, Zal."“Sudah kutebak.” Rizal ikut tertawa."Bagaimana Dara? Sudah menghubungi kamu?" tanya Synthia penasaran."Belum, entah mau nya apa," jawab Rizal sedikit kesal. Sebersit senyuman memikat sudut bibir Synthia. Perlahan tapi pasti dia yakin, lelaki yang berada di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya.“Tapi mungkin aku akan ke Jogja, setelah urusan pekerjaan di rumah sakit selesai.”"Oh." Hati Synthia mencelos, tadinya dia berharap Rizal akan masa bodo akan kepergian Dara."Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Rizal membuat Synthia kembali sadar dari lamunan."Untuk tempat tidur di gedung baru

  • KAWIN LARI    58. Pertemuan Yang Tak Disangka

    "Selamat bergabung." Dara menerima uluran tangan Andi seorang HRD manager tempatnya bekerja. Atas bantuan Winda, Dara diterima bekerja di hotel milik Mr. Richard."Gimana, Ra?""Makasih ya, Win ... sampaikan terimakasihku pada Mr. Richard. Kalau nggak ada kalian pasti aku akan kesusahan dapet kerjaan di sini.""Mr. Richard bilang apa sih yang enggak buat kamu," ujar Winda tertawa renyah."Jangan mulai deh," ucap Dara ikut tertawa. "Kapan ke Bandung, Win?""Nantilah, kalo kerjaan agak longgar aku juga pengin ambil cuti buat healing, kali aja bisa dapet jodoh.""Hhmm ... itu lagi.""Ra, aku tutup dulu ya. Bos besar manggil nih.""Ok, makasih ya Win ...."Baru saja Dara mengakhiri pembicaraannya, sebuah pesan masuk dari Bu Sum."Jangan lupa makan, Ra. Ibu takut maag kamu kumat lagi.""Iya, Bu. Ini Dara mau ke apotik sekalian beli obat untuk stok di rumah, Ibu mau titip apa?""Ibu nggak titip apa-apa, kamu cepat pulang ya."Tanpa membalas kembali pesan Bu Sum, Dara memasuki sebuah apotik

  • KAWIN LARI    57. Mulai dari Nol

    "Apa nggak sebaiknya kamu menghubungi suamimu, Ra?"Bu Sumi menyusun satu per satu lipatan baju Dara ke dalam lemari. Sudah satu minggu ini, anak perempuannya itu hanya berdiam menatap keluar jendela kamar."Apa kata mertuamu nanti, nggak baik, Ra. Walau bagaimanapun kamu masih berstatus istri Nak Rizal, menantu dari Pak Andreas. Sepelik apapun masalah kalian, pantang seorang istri lari dari rumah, apalagi masih tinggal di rumah mertua.""Kasih aku waktu, Bu. Biarkan aku menenangkan pikiranku dulu, kalau sekarang dibicarakan nanti malah menambah emosiku saja.""Terserah kamu kalo begitu. Cuma yang namanya masalah nggak baik kalo berlarut-larut di diamkan." Bu Sum melangkah mendekati Dara, menepuk pundak anak perempuannya. "Ibu mau telpon ke Jogja dulu. Biar loundry dibereskan semua, dan stop terima loundry untuk sementara waktu sampai Ibu pulang.""Bu," panggil Dara menghentikan langkah kaki Bu Sum yang sudah mendekati pintu."Ya?""Maafin Dara jadi merepotkan Ibu."Bu Sum hanya terse

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status