"Mama ada di Jogja? Sejak kapan?" tanya Rizal yang bergegas ke parkiran motor Rumah Sakit, dia harus segera menuju hotel tempat kedua orangtuanya menginap.
Memasuki sebuah hotel berbintang lima di pusat kota Jogja, Rizal melangkahkan kakinya menuju restoran hotel itu. Wanita cantik berumur 50 puluh tahunan itu sedang berbincang dengan dua orang pria yang jelas sekali Rizal kenal, ayah dan pamannya. Entah dalam rangka apa ketiga orang yang dituakan ini datang tiba-tiba ke Jogja.
"Ma, Pa."
Rizal berdiri di antara mereka yang duduk di meja makan besar mengulurkan tangannya, menyalami kedua orangtuanya. Matanya melirik ke arah lelaki berkacamata dengan tatapan datar.
"Mamak, apa kabar?" Rizal kembali sedikit membungkuk, menyalami kakak pertama dari sang Ibu.
"Haa ...tumben Ichal langsuang tibo manamui Mama Papa, biasonyo tunggu sahari duo hari dulu baru ka tibo kamari, itupun kalau indak tapaso ndak ka tibo do," sindir Donna, ibu Rizal.(Tumben langsung nemuin Mama sama Papa, biasanya Mama Papa harus nunggu dua hari dulu baru bisa ketemu kamu, itu juga seperti terpaksa.)
"Perasaan Mama aja itu." Rizal menarik kursi di sebelah Donna.
"Gimana kuliah kamu? praktek dan lainnya?"
"Lumayan Pa, menyita waktu."
"Sampai enggan untuk pulang, sibuk sekali sepertinya." Donna kembali menyindir Rizal.
"Maleh Ma. Tiok pulang nan ditanyo ituuu se taruih. Bilo nikah ka bilo nikah se." (Males juga, Ma. Setiap pulang di tanya kapan nikah terus.) Rizal meneguk air minum di depannya.
"Umua awak tu alah kapalo tigo, tantu lah iyo itu nan Mama tanyo taruih, bilo Ichal nio manikah." (Umur kamu itu kepala tiga tahun depan, jelas lah Mama tanya kapan kamu mau nikah.)
"Rizal belom siap, Ma."
"Kapan siapnya, sementara waktu terus berjalan." Kali ini Dahlan, sang Paman angkat bicara.
"Alun adi pikiran Ichal ka situ lai, mancari jodoh ndak sagampang itu doh, Mak. (Ichal belum kepikiran, lagian nyari jodoh nggak segampang itu, Mak.) Rizal menelan salivanya kasar, memang butuh keberanian kalau berbicara dengan pamannya.
"Makonyo, makasuik kami datang ka Jogja ko, guno membahas soal perjodohan untuak Ichal," ucap Andreas. (Makanya, kami datang ke Jogja ini ingin membahas tentang perjodohan kamu.)
"Ck, ini lagi." Rizal mengusak rambutnya. "Pendidikan spesialis Ichal alun salasai lai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal salasaikan. Andai Ichal manikah jo pilihan Mama, Papa dan Mamak, sia yang bisa manjamin padusi tu sanggup manunggu Ichal. Alun lai karajo Ichal yang kadang indak mengenal waktu." (Pendidikan spesialis Ichal juga belum selesai, Pa. Masih banyak yang harus Ichal kerjakan, semisal Ichal menikah dengan pilihan Papa, Mama dan Mamak apa bisa menjamin gadis itu mampu menunggu Ichal. Belum lagi, pekerjaan Ichal yang kadang tak pandang waktu.)
"Kalo itu bisa saja semua dibicarakan, Chal. Tinggal kamu nya bersedia atau enggak?" Dahlan kembali menatap tajam ke arah keponakannya.
"Mak, ado apo Mak? Kok bantuaknyo Mamak basumangaik manga membahas perjodohan ko?" (Kenapa Mamak sepertinya menggebu sekali dalam perjodohan ini?)
"Ya karena adat kita yang sudah turun temurun," jawab Dahlan. "Anak dipangku, kamanakan dibimbiang."
Rizal terdiam.
"Kamu tau artinya? Mamak perjelas di sini, tanggung jawab Mamak lebih besar pada kamu, keponakan Mamak daripada tanggung jawab Mamak ke anak Mamak sendiri."
"Kamu dengar kata Mamakmu, Chal. Ada baiknya kamu turuti kemauan kami, ini demi kebaikan kamu sendiri." Andreas beranjak dari tempat duduknya.
"Bisuak Mama ado maundang urang datang untuak makan malam samo2 jo awak, Inyo baru datang dari Jakarta. Tolong luangkan waktu Ichal untuak hadir bisuak." (Mama besok mengundang seseorang untuk makan malam dengan kita, dia baru datang dari Jakarta besok. Tolong luangkan waktu kamu, Chal.)
Donna meletakkan napkin di atas meja makan, dia ikut beranjak meninggalkan ruangan itu menyusul suaminya. Melihat kedua orangtuanya meninggalkan ruangan itu, Rizal pun meraih kunci motornya.
"Rumah sakit kita akan mengadakan kerjasama dengan perusahaan alat kesehatan bertaraf internasional. Besok jangan nggak dateng, Rumah Sakit itu nanti berada dalam kepemimpinan kamu," ujar Dahlan menatap Rizal.
"Ichal pulang dulu." Tanpa menoleh sedikitpun pada Dahlan, dia terus melangkah menuju lobby hotel dan tak berpikir untuk mampir terlebih dulu ke kamar orangtuanya.
*****
"Maaf semalam janji kita harus batal."
Dara membaca isi pesan Rizal pagi ini.
"Enggak apa-apa," balas Dara di sertai gambar ekspresi tersenyum.
"Mungkin beberapa hari ke depan kita bakal jarang ketemu." Rizal kembali mengirimkan pesan.
"Ok. Selamat bekerja ya, jangan lupa sarapan," balas Dara.
"Kamu juga."
Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan, di tambah lagi ini adalah akhir bulan. Dara di minta untuk mengelola database karyawan dua tahun terakhir oleh manager HRD.
"Sudah selesai?" tanya Sari, HRD manager tempat Dara bekerja.
"Sedikit lagi, Bu." Dara membereskan tumpukan file di atas mejanya.
"Kalo sudah selesai semua, tolong matikan semua lampu ruangan ini ya, Ra. Jangan malam-malam, ini udah lebih jam delapan."
"Baik, Bu. Ini sedikit lagi, selesai langsung saya email ke Ibu."
"Ok, saya duluan ya."
Di ruangan itu hanya tertinggal Dara seorang. Siapa sangka Dara bisa bekerja di hotel ini, meskipun hanya karyawan kontrak namun patut di syukuri untuk seorang fresh graduate seperti dirinya.
"Selesai."
Tepat pukul sembilan malam Dara selesai mengerjakan pekerjaannya. Sambil meluruskan otot-otot yang tegang selama seharian ini Dara meraih ponselnya yang sejak sore tak dia sentuh. Beberapa pesan baru dia baca diantaranya Bagas dan Bu Sum.
"Sibuk sepertinya," pikir Dara saat melihat tidak ada pesan masuk dari Rizal.
Dara meraih sweater rajutnya, dia berjalan ke arah parkiran motor khusus karyawan. Perlahan laju motor itu melewati jendela besar di sisi hotel yang merupakan restoran. Matanya sekejap melihat seorang pria yang sangat dia kenal. Tapi kali ini pria itu tidak sendirian, dia bersama lima orang lainnya. Dua diantaranya wanita.
Dara tetap melaju dengan motor Mio nya, meski pikirannya melayang ke restoran tadi.
"Dokter Rizal dengan siapa? Oh mungkin koleganya, bukankah dia seorang dokter."
Dara menepis jauh pikirannya, lagi pula kenapa dia harus berpikir jauh sedangkan dia dan Rizal hanya sebatas teman.
"Ah entahlah siapa mereka, tapi kenapa ada wanita cantik disana. Bahkan duduknya pun bersebelahan dengan dia."
Lagi-lagi rasa penasaran Dara memenuhi isi kepalanya.
"Siapa dia?"
"Nikah sudah lebih dari satu tahun tapi belum isi juga, sementara kamu sebentar lagi sudah mau melahirkan Han," ujar Donna pagi itu di taman samping menemani Hanna berjemur."Sabar aja, Ma. Mungkin memang belum rejeki mereka," ucap Hanna sambil mengusap perutnya yang sudah berusia delapan bulan.Sejak makan malam terakhir beberapa bulan lalu, Dara menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan positif, seperti ikut kegiatan berbagi dengan beberapa panti asuhan yang dibinanya."Banyak cara sebenarnya Han, sayang saja mereka berdua menolak. Kan bisa inseminasi atau in vitro fertilization. Ah, Mama gemas rasanya. Kenapa sih Rizal nurut banget sama istri."Hanna tertawa melihat wajah Donna yang kesal."Mama ... Mama ... sudahlah serahkan saja sama Rizal dan Dara. Mereka pasti tau yang terbaik untuk keluarga mereka.""Iya, tapi kan Mama bete aja liatnya. Teman-teman Mama sudah banyak yang gendong cucu.""Lah ini sebentar lagi cucu Mama lahir," ucap Hanna dengan satu alis yang terangkat."Iya
"Ada tamu ternyata," ujar Rizal menatap Synthia dan Dahlan bergantian."Apa kabar, Cal?" sapa Dahlan dengan senyum sekilas."Baik, Mamak," jawab Rizal tanpa memperhatikan lelaki yang masih nampak gagah di umur yang sudah tak muda lagi. "Sayang, sedikit aja," ucap Rizal pada Dara saat sang istri menaruh kuah kari di atas nasinya.Synthia memperhatikan interaksi keduanya dengan muka yang malas."Uni terlihat lebih berisi sekarang." "Hanna hamil, Syn," ujar Donna dengan bangganya."Wah, selamat Uni. Senang sekali dapat kabar ini." "Terimakasih, Syn.""Tinggal kamu, Cal," ucap Synthia melirik ke arah Dara."Iya, tunggu tanggal launching nya aja," jawab Rizal sembari meremas genggaman tangannya pada Dara. "Ya kan, Sayang?"Dara mengangguk dan tersenyum.Semakin malas saja Synthia melihatnya, dan sikapnya itu tidak luput dari perhatian Donna."Setelah makan malam, kita ngobrol di ruang kerja," ujar Andreas. "Kamu juga ikut, Cal.""Bukannya mau membicarakan tentang perusahaan tambang Papa?
"Jadi mantumu belum hamil?" "Belum, Etek. Hanna juga kemarin nunggu sampai enam bulan akhirnya hamil." "Iya, tapi Hanna itu kan anak angkat mu. Sedangkan Rizal itu anakmu sendiri, jadi dia harus punya keturunan untuk meneruskan adat istiadat kita, hartamu dan banyak lagi semuanya, Don. Cukup sekali saja kau gagal dalam menjodohkan Rizal dengan anak konglomerat itu, jangan juga kau gagal mendapatkan cucu, darah daging Rizal." "Sudah berapa lama mereka menikah?" "Delapan bulan sepertinya," ujar Donna lalu menyeruput secangkir teh hangat sore itu di taman belakang. "Hampir satu tahun ... lalu wanita yang dulu mau kau jodohkan dengan Rizal, bagaimana kabarnya?" "Perusahaan Andreas masih bekerjasama dengan perusahaan orangtuanya. Kenapa Etek?" "Enggak ada, aku cuma tanya. Tapi ada baiknya kau pertimbangkan kata-kata Etek mu ini. Bisa jadi Rizal akan lama mendapatkan keturunan dari istrinya." "Maksud, Etek?" "Ya kau cari caralah bagaimana istri Rizal itu hamil. Atau kau cadangkan s
Synthia melenguh, suaranya mendesah berkali-kali, tubuhnya sudah polos dan berada di dalam kungkungan Matthew. Pria itu terkejut saat membuka pintu apartemennya malam itu. Melihat Synthia berdiri di ambang pintu dengan melempar senyum padanya.Malam setelah resepsi pernikahan Dara dan Rizal, Synthia memutuskan untuk terbang ke Jakarta. Tempat dimana dia bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas lagi. Ini malam kedua dia menghabiskan waktunya bersama Matthew, selain menjadi teman bisnis, Matthew juga merupakan partner di atas ranjang, saat dibutuhkan."Akh ...." Desahan lembut itu kembali keluar dari bibir sensual Synthia."Sebentar lagi," ucap suara parau Matthew. Hentakan terakhir Matthew membawa pelepasan bersama mereka.Napas yang memburu dari keduanya setelah menghabiskan banyak energi malam itu. Suhu ruangan pun masih terasa panas, peluh keringat membasahi keduanya.Matthew menarik pinggang ramping yang membelakanginya itu mendekat pada tubuh telanjangnya."Mau lagi?" tanya Matthe
“Rancak bini si Rizal ... kamek (cantik istri Rizal)," ucap seorang kerabat jauh keluarga Rizal."Iyo, santun pulo anaknyo. Cocok dan patuik bana jo si Rizal yang gagah coga berwibawa.” (Iya, santun juga anaknya. Cocoklah dengan Rizal, ganteng dan berwibawa," ujar yang lain.)“Iyo batua, dibandiang nan ka dijodohan kapatang ko, rancak iko lai. Nampak elok dari raut mukonyo.” (Bener, dibandingkan dengan yang dijodohkan dengan Rizal waktu itu, ini lebih baik kelihatan dari wajahnya.)“Oh anak Datuak Basri Alam tu yo? Nan itu banyak urang mangecek kalau inyo suko pai ka klub malam dan hura2 se karajonyo. Ma cocok samo si Rizal ko.” (Oh anaknya Datuk Basri Alam itu? Ah kalo dia itu banyak yang bilang suka ke club, mungkin masih suka hura-hura. Mana cocok dengan Rizal.)“Iyo kan, padahal anak urang tapandang juo nak, tapi parangainyo di lua nagari awak kabanyo ndak elok." (Ah iya, padahal anak orang terpandang juga tapi kelakuannya di luar kota kita ini, gosipnya nggak bagus.)"Beruntungla
"Ya, Ical akan kembali ke rumah ini dengan syarat Dara ikut tinggal di sini. Kalian terima, layaknya seperti anggota keluarga yang lain."Andreas menelan ludahnya kasar, dia seperti membuat kesepakatan bisnis dengan putranya sendiri. Di sisi lain, Andreas menginginkan keluarganya kembali utuh namun di sisi lain dia masih berat menerima menantu barunya dari kalangan orang biasa."Papa nggak ada masalah, selagi semua berjalan baik-baik saja.""Secepat itu Papa merubah pendirian Papa, nggak ada maksud lain kan, Pa?""Ah, Cal ... Papa ini sudah tua. Setelah Papa pikir lagi, hidup Papa juga sudah nggak lama lagi. Jadi ya, mungkin Papa harus berdamai dengan keadaan." Andreas lalu menatap Dara."Rizal bicarakan dulu dengan istri Ical. Bulan depan Ical ujian kelulusan.""Setelahnya kembali lah," ujar Andreas penuh harap.Perbincangan antara Rizal, Dara dan Andreas pagi itu seperti membawa titik terang. Dara hanya bisa mengikuti apa yang suaminya yakini benar. Mereka tetap perlu berbicara dari