"Kamu sibuk besok malam?"
Isi pesan dari Rizal untuk Dara. Sudah hampir satu minggu ini lelaki itu tak mendapat kabar bahkan bertemu dengan Dara. Yang datang mengantarkan atau mengambil baju kotornya hanya Bagas. Bertanya pada Bagas pun, pemuda itu hanya mengatakan sang Kakak sedang sibuk.
"Kebetulan aku nggak ada jadwal jaga, kita bisa ketemu?"
Lagi pesan itu masuk namun belum mendapat balasan dari Dara. Hanya saja tanda centangnya sudah berwarna biru itu artinya Dara membaca pesannya.
Kesal menunggu, Rizal meraih jaketnya kemudian berjalan menuju parkiran motor rumah sakit. Untung saja hari ini jam jaganya hanya sampai setelah Magrib.
Motor sport itu berhenti di depan pagar rumah Dara. Lampu rumah pun sudah menyala, kios kecil tempat Bu Sum menerima pakaian laundry juga sudah di tutup. Hanya saja motor Mio milik Dara tak terlihat di sana, bisa jadi motor itu sedang di pakai oleh Bagas.
Rizal mendorong motornya masuk ke halaman rumah Bu Sum. Dia letakkan helm full facenya di meja yang berada di teras. Terdengar suara dari dalam ketika ketukan di pintu berbunyi sebanyak tiga kali.
"Dokter Rizal?' Bu Sum terkejut melihat Rizal berdiri di depan pintu rumahnya.
"Malam Bu Sum, maaf mengganggu, Dara nya ada?"
"Masuk dulu," ajak Bu Sum.
"Di teras aja, Bu ...," tolak Rizal.
"Ibu kira ada apa malam-malam." Bu Sum tersenyum. "Soalnya seingat Ibu, pakaiannya baru di ambil tadi, toh?"
"Iya, Bu." Rizal menunduk malu.
"Ternyata mau ketemu Dara. Sebentar ya, Ibu panggil dulu." Bu Sum masuk meninggalkan Rizal yang masih berdiri di sana.
"Dokter Rizal?" Dara berdiri di ambang pintu menggunakan daster sebatas lutut di balut kardigan rajut berwarna krem.
Rizal membalikkan tubuhnya, matanya terkesiap melihat gadis berkulit kuning langsat dengan rambut yang di cepol asal nampak begitu polosnya.
"Dara— mm ... gini eh. I—ini, aku ...."
"Apa?"
"Aku chat kamu, kenapa nggak di bales?" Setelah gugup ingin berkata apa, akhirnya Rizal pun mengutarakan kedatangannya malam itu.
"Oh, ponsel aku rusak. Masih di servis, belum ku ambil. Silahkan duduk."
"Tapi pesannya terbaca," ujar Rizal penasaran.
"Bisa jadi di baca yang servis kali ya." Dara pun ikut mengerutkan alisnya. "Coba besok aku kesana. Dokter kesini cuma mau tanya itu?" tanya Dara.
"Hah?" Rizal serba salah. Kalau seperti ini, jelas sekali tidak terlihat dia adalah seorang dokter PPDS.
"Sudah makan?" tanya Dara lagi.
"Belum," jawab Rizal cepat. Jelas saja sedari sorei dia belum menyentuh nasi.
"Sebentar aku ganti baju dulu," ujar Dara lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Selang berapa lama, gadis itu sudah muncul kembali di teras mengenakan celana jeans, kaos serta kardigan yang sebelumnya dia kenakan.
"Jalan kaki aja, ya? Di gang sebelah ada yang jual nasi goreng enak. Kali ini aku yang traktir." Dara berjalan menuju pagar, Rizal tersenyum melihat tingkah gadis itu.
"Memangnya Bu Sum nggak marah kamu keluar malem-malem, jalan kaki lagi." Rizal berjalan di sisi kanan Dara.
"Sama cowok lagi, ya kan." Dara melirik ke arah Rizal sambil tersenyum.
"Nah iya, untung cowoknya aku coba kalo yang lain."
Dara menyunggingkan senyuman, "Ibu itu orang yang selalu percaya sama anak-anaknya, apalagi cuma perkara jalan kaki beli nasi goreng. Yang penting pulangnya bawa nasi goreng juga buat ibu."
"Oh gitu, semacam sogokan?" Rizal ganti melirik Dara.
"Ya enggaklah, kan emang aku belom makan, ibu juga belom, jadi nggak ada istilah sogok menyogok."
Berjalan beriringan membuat keduanya semakin akrab, sesekali tangan mereka bersentuhan meski terhalang jaket dan kardigan yang mereka kenakan tapi tetap saja ada rasa yang menggelitik seru di hati mereka.
Memasuki sebuah warung nasi goreng yang tidak begitu ramai, Dara memesan dua nasi goreng dan dua es jeruk untuk mereka.
"Duduk dimana?" Dara melihat beberapa tempat duduk yang masih kosong.
"Kalo bisa sih menduduki hatimu," jawab Rizal sedikit menunduk mendekati tubuh Dara.
Dara lagi-lagi mengulum senyum, sepertinya dia akan terbiasa mendengarkan kata-kata gombalan dari Rizal yang sebenarnya memang membuat hatinya jadi meleleh.
"Lesehan, mau?"
"Dimana aja asal sama kamu, aku mau?"
Dara kali ini tak dapat menahan tawanya, reflek tangannya mencubit pinggang Rizal.
"Sekali lagi kayak gitu, beneran aku nggak bakal bales chat dari kamu," ujar Dara gemas.
"Pedes ternyata."
"Apanya? Oh nasi gorengnya mau yang pedas?"
"Cubitan kamu, sakit banget." Rizal meringis.
"Siapa suruh, rasain deh." Dara tertawa kecil.
Duduk di lesehan sambil menikmati nasi goreng yang memang terbilang enak di lidah, perlahan hujan pun turun meski hanya rintik.
"Gimana info kerjaan yang kamu bilang minggu lalu?" tanya Rizal sambil meraih tempat kaleng yang berisi kerupuk.
"Sudah mulai kerja dari dua hari yang lalu, ya hanya perbantuan sih sampai yang menempati posisi aku sekarang kembali masuk kerja."
"Kok gitu?"
"Melahirkan."
"Oh, setelah dia kembali terus kamu gimana?"
"Ya tergantung yang punya perusahaan, tapi aku nggak mau mikirin gimana-gimananya dulu, ya g penting udah kerja bisa bantu ibu. Itu udah cukup."
Rizal mengangguk angguk, baru kali ini dia bertemu dengan seorang gadis yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya.
"Kenapa?" tanya Dara.
"Salut aja sama kamu."
"Dokter juga kalo dari keluarga biasa-biasa seperti kami dan berada di posisi seperti aku juga akan melakukan hal yang sama. Jadi bukan sesuatu yang harus di kagumi."
Lagi-lagi Rizal hanya mengangguk, dia setuju dengan cara berpikir Dara. Sayangnya dia memang bukan dari keluarga biasa-biasa saja.
Orang tua Rizal adalah salah satu pengusaha ternama juga pemilik rumah sakit bertaraf internasional di daerahnya. Rizal bisa meneruskan pendidikan ke program spesialis saat ini pun bukan hanya sekedar keinginannya saja tapi juga keharusan demi kemajuan rumah sakit yang di pimpin oleh sang Ibu.
"Dokter sendiri pasti juga pakai beasiswa kan bisa meneruskan PPDS di sini?"
"Oh— eh, iya," bohong Rizal.
Jarak berjalan kaki menuju kembali ke rumah Bu Sum begitu singkat bagi Rizal. Rasanya enggan sekali dia membawa motornya keluar dari pekarangan rumah itu.
"Makasih makan malamnya ya, kali ini pilihan kamu benar-benar sesuai dengan keadaan perut aku," kekeh Rizal.
"Sama-sama, sekarang kita impas ya," ucap Dara.
"Maksudnya impas?"
"Ya aku nggak ada hutang sama kamu," jelas Dara.
"Hhmm ... gitu ya. Berarti setelah ini kita nggak ketemu lagi?"
Deg
Hati Dara kembali bergetar, lelaki dihadapannya ini tidak pantang menyerah.
"Maksud aku, kita masih bisa bertemu? Selain antar dan ambil baju laundry?" Kedua alis Rizal naik menunggu kepastian.
Helaan napas panjang dan senyum yang terkulum di bibir Dara seakan menjawab semuanya.
"Okeh, kalo gitu aku pamit ya. Titip salam untuk Bu Sum."
Dara mengangguk.
Sebelum menyalakan mesin motor dan memakai helmnya, Rizal kembali memberikan pertanyaan pada Dara da berharap jawaban itu adalah iya.
"Pulang kerja jam berapa? Besok aku nggak ada jam jaga malam, kita ketemu lagi, bisa?"
"Astaga."
"Aku takut kamunya kangen."
Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Dara. Pagi itu Bu Sum sedang menyapu halaman, sambil tersenyum Bu Sum meletakkan sapu lidi tersandar di sisi pagar."Pagi Bu Sum," sapa Teguh."Pagi, Nak Teguh.""Kinan ... sini," panggil Teguh pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun, yang masih bersembunyi di balik pagar. "Katanya mau kenalan sama Tante Dara, ini rumahnya," ucap Teguh sambil berjongkok membujuk anak perempuannya.Bu Sumi tersenyum, ada sesak di dadanya melihat seorang anak yang masih terlalu kecil sudah harus kehilangan ibunya. Membayangkannya saja sudah sesak apalagi gadis kecil itu yang merasakan bagaimana hidup tanpa seorang ibu."Ayo masuk, Uti punya coklat di dalam. Namanya siapa?" tanya Bu Sum lembut."Ditanya namanya siapa tuh, sama Uti. Teguh meraih jari-jari mungil itu mengajaknya melangkah masuk pekarangan."Kinan," ucapnya lirih."Ayo ikut Uti, Uti punya coklat dan biskuit, Kinan mau?""Mau," jawab Kinan sambil mengangguk-angguk."Nak T
Rizal melempar ponselnya ke atas ranjang, dadanya bergemuruh kesal. Bagaimana tidak dia kesal, hampir dua bulan dan dia tidak mendapatkan satu kabarpun tentang keberadaan dimana istrinya. "Ada apa sih ini sebenarnya!" BughTangannya menghantam tembok bercat putih di kamar mereka. "Arggh! Sialan, dimana kamu Ra!""Cal ... Ical, kamu kenapa?" Suara Donna dari balik pintu semakin menambah emosi Rizal."Cal ... kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Mama dengan ada suara keras dari dalam kamar. Cal—"Rizal masih tak bersuara, dadanya bergemuruh, nafasnya menderu."Bangsat!""Cal! Mama masuk ya ...." Donna mulai khawatir, dia berulang kali berusaha membuka pintu kamar Rizal."Pa ... Pa!" panggil Donna.Hanna dan suaminya berlari tergopoh-gopoh mendengar suara Donna yang memanggil Andreas. Sementara Andreas, keluar dari kamarnya dengan wajah panik."Ada apa?""Rizal, di dalam entah kenapa. Sepertinya dia sedang marah," ujar Donna."Cal, buka pintunya," ujar Hanna berusaha selembut mungkin untuk
Pintu pagar setinggi satu setengah meter itu masih terkunci. Kios tempat Bu Sum mencari rejekinya juga masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Rizal tiba di Jogja pukul 10 pagi tadi, menempuh perjalanan dari bandara ke rumah Bu Sum sekitar hampir satu setengah jam. Rizal akhirnya memutuskan untuk menemui istrinya meski larangan Donna saat itu cukup keras. Jauh di lubuk hati lelaki itu dia begitu merindukan Dara selama tiga minggu ini."Cari siapa?" tanya wanita bertubuh kurus yang kebetulan lewat. "Eh, Mas Rizal?" Dia terkejut saat mendapati pria yang berdiri lama di sana adalah Rizal."Mbak Siti? Mbak Siti, kan?""Iya, Mas," jawab Siti nampak sedikit ragu. "Mm—mbak Dara nya nggak ikut, Mas?" "Loh, Dara nggak di rumah?""Bukannya Mbak Dara di Padang?" Wajah Siti bingung."Oh, mm— begini Mbak Siti," ujar Rizal pun bingung ingin mengatakan apa. "Kalo Dara sudah datang, tolong suruh langsung hubungi Saya, karena nomer dia dan nomer Ibu nggak bisa Saya hubun
"Selamat pagi."Synthia masuk ke ruangan yang dominan berwarna putih itu. Melengkok berjalan mendekati meja kerja Rizal."Pagi, Syn.""Aku bawain kamu sandwich dan ...." Synthia meletakkan dua cangkir berisi kopi kesukaan Rizal. “Sarapan dulu, yuk.”"Makasih, Syn." Rizal meraih roti sandwich yang sudah dibuka oleh Synthia. "Kamu bikin sendiri?"Synthia tertawa. "Ya nggak mungkin, Zal."“Sudah kutebak.” Rizal ikut tertawa."Bagaimana Dara? Sudah menghubungi kamu?" tanya Synthia penasaran."Belum, entah mau nya apa," jawab Rizal sedikit kesal. Sebersit senyuman memikat sudut bibir Synthia. Perlahan tapi pasti dia yakin, lelaki yang berada di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya.“Tapi mungkin aku akan ke Jogja, setelah urusan pekerjaan di rumah sakit selesai.”"Oh." Hati Synthia mencelos, tadinya dia berharap Rizal akan masa bodo akan kepergian Dara."Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Rizal membuat Synthia kembali sadar dari lamunan."Untuk tempat tidur di gedung baru
"Selamat bergabung." Dara menerima uluran tangan Andi seorang HRD manager tempatnya bekerja. Atas bantuan Winda, Dara diterima bekerja di hotel milik Mr. Richard."Gimana, Ra?""Makasih ya, Win ... sampaikan terimakasihku pada Mr. Richard. Kalau nggak ada kalian pasti aku akan kesusahan dapet kerjaan di sini.""Mr. Richard bilang apa sih yang enggak buat kamu," ujar Winda tertawa renyah."Jangan mulai deh," ucap Dara ikut tertawa. "Kapan ke Bandung, Win?""Nantilah, kalo kerjaan agak longgar aku juga pengin ambil cuti buat healing, kali aja bisa dapet jodoh.""Hhmm ... itu lagi.""Ra, aku tutup dulu ya. Bos besar manggil nih.""Ok, makasih ya Win ...."Baru saja Dara mengakhiri pembicaraannya, sebuah pesan masuk dari Bu Sum."Jangan lupa makan, Ra. Ibu takut maag kamu kumat lagi.""Iya, Bu. Ini Dara mau ke apotik sekalian beli obat untuk stok di rumah, Ibu mau titip apa?""Ibu nggak titip apa-apa, kamu cepat pulang ya."Tanpa membalas kembali pesan Bu Sum, Dara memasuki sebuah apotik
"Apa nggak sebaiknya kamu menghubungi suamimu, Ra?"Bu Sumi menyusun satu per satu lipatan baju Dara ke dalam lemari. Sudah satu minggu ini, anak perempuannya itu hanya berdiam menatap keluar jendela kamar."Apa kata mertuamu nanti, nggak baik, Ra. Walau bagaimanapun kamu masih berstatus istri Nak Rizal, menantu dari Pak Andreas. Sepelik apapun masalah kalian, pantang seorang istri lari dari rumah, apalagi masih tinggal di rumah mertua.""Kasih aku waktu, Bu. Biarkan aku menenangkan pikiranku dulu, kalau sekarang dibicarakan nanti malah menambah emosiku saja.""Terserah kamu kalo begitu. Cuma yang namanya masalah nggak baik kalo berlarut-larut di diamkan." Bu Sum melangkah mendekati Dara, menepuk pundak anak perempuannya. "Ibu mau telpon ke Jogja dulu. Biar loundry dibereskan semua, dan stop terima loundry untuk sementara waktu sampai Ibu pulang.""Bu," panggil Dara menghentikan langkah kaki Bu Sum yang sudah mendekati pintu."Ya?""Maafin Dara jadi merepotkan Ibu."Bu Sum hanya terse