Share

Jujur Pada Mama

last update Last Updated: 2022-07-20 12:31:04

Pov Bayu

Astagfirullah....

Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Aku masih tak menyangka Hanin memiliki ide gila itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikah lagi. Bagaimana bisa? Ya Allah ....

Sudah dua hari kami saling diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Kami bagai orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Kehangatan yang selalu ada seakan hilang. Memang benar kata orang istri pewarna keluarga dan marahnya istri adalah bencana. Namun bukannya aku yang marah di sini? Tapi kenapa terkesan aku yang salah?

Ya Allah....

Apa aku suami yang tak peka? Hingga istriku lelah dan memintaku menikah lagi?

Ali sudah terlelap di tengah-tengah ranjang kami. Dia bagai pembatas antara aku dan Hanin. Setelah selesai menyusui putra bungsu kami, ia segera membalikkan badan, memunggungiku. Hanin benar-benar marah padaku.

Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas, aku masih duduk di sofa sambil memikirkan perkataan Hanin. Sejatinya poligami diperbolehkan, tapi suami harus adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak, suami itu akan dzalim dan terancam masuk ke neraka.

Ya Allah... membayangkan memiliki dua istri saja sudah menakutkan, apa lagi jika menjadi kenyataan?

Suami bisa disebut dzalim jika condong pada salah satu istri dan mengabaikan istri lainnya. Itu yang membuatku tak mau menikah lagi, aku tak mau dzalim karena sejujurnya aku tak mampu membagi hati dan raga untuk wanita lain. Hanya Hanin yang aku cinta.

Namun melihat permintaan Hanin berulang kali membuatku yakin jika Hanin sungguh-sungguh memintaku menikah lagi. Bagaimana caraku menyadarkannya? Tak mungkin kami selalu bertengkar karena masalah yang sama. Ini tak bagus untuk hubungan kami dan perkembangan anak-anak.

Mama. Ya, aku yakin mama bisa membantuku. Senyum menggembang di bibir ini, aku sudah memiliki jawaban atas kegelisahanku.

***

Hanin mulai sibuk di dapur, suara spatula beradu dengan wajan bagai irama musik di pagi hari. Belum lagi teriakan Alma meminta gendong atau tangis Ali yang meminta asi. Sungguh nikmat memiliki tiga orang anak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Hanin merawat ketiga buah hatiku tanpa bantuan babysitter, pasti sangat melelahkan.

"Bunda! Seragam Azha mana?" tanya putra sulungku yang masih memakai handuk.

"Ada di dalam lemari, Kak, di tempat biasa," jawab Hanin dengan mata fokus melihat wajan.

"Gak ada, Bun."

"Minta tolong Bi Leha, kak. Bunda baru goreng ikan, nanti gosong kalau ditinggal."

"Ah, Bunda ...!" Azha meninggalkan dapur sambil menghentak-hentakkan kaki.

Apa momen seperti ini akan terus terjadi setelah aku memenuhi permintaan Hanin?

Kurasa tidak, anak-anak pasti bingung jika memiliki dua ibu dah itu berpengaruh pada psikisnya.

"Bi Leha!" teriak Hanin sambil melirik ke kanan kiri mencari sosok wanita paruh baya itu.

Bi Leha bergopoh-gopoh lari ke dapur. Aku menahan tawa kala melihat asisten rumah tanggaku berlari sambil membawa sapu. Bahkan benda panjang itu menyulitkan gerakan kakinya. Namun tetap saja ia bawa ke mana-mana.

"Bi, tolong lanjutkan goreng ikan, ya, Azha rewel," ucap Hanin lalu berlari meninggalkan dapur. Celemek masih menempel di tubuhnya.

"Semoga lelahmu digantikan surga oleh-Nya, " batinku.

Nasi dan lauk sudah tertata rapi di atas meja. Bi Leha sudah meletakkan piring dan sendok di atas meja di depan kursi masing-masing. Drama mandi pagi telah selesai, kini akan berganti dengan drama sarapan.

Hanin mulai memindahkan nasi ke piringku dan anak-anak kemudian meletakkan lauk sesuai kesukaan masing-masing. Tak meletakkaa salah memberikan lauk. Dia sungguh istri dan ibu sempurna. Lalu untuk apa ia memintaku menikah  lagi?

"Sini, Mas, Ali biar aku suapi. Kamu sarapan dulu gih, nanti kesiangan ke kantornya!" ucapnya seraya mengambil Ali dari gendonganku. Putra kecilku ia dudukan di kursi bayi. Perlahan ia suapi Ali dengan bubur tim saring. Entah sejak kapan ia membuatnya.

Segera aku menikmati ikan goreng dengan sambal bawang buatannya. Sementara anak-anak makan dengan telur ceplok kesukaan mereka. Ah masakan Hanin memang tak ada duanya,selalu menggugah selera makan.

Anak-anak sudah berangkat diantar supir dan Bi Leha, Ali pun ikut bersamanya. Sengaja meminta Bi Leha membawa serta putra kecilku. Aku ingin berbicara empat mata dengan Hanin.

"Hanin," panggilku setelah dia selesai makan. Dia berjalan lalu duduk di sampingku.

"Mau bicara apa, Mas?" tanyanya sambil menatap lekat netra ini.

"Mas sudah memiliki jawaban untuk permintaan kamu. Mas tetap tak ingin menikah lagi."

Hanin membuang napas kasar.

"Apa kami tak memikirkan keadaanku, Mas? Aku sudah lelah dengan ...." Dia menggantung kalimatnya. Namun aku tahu apa yang ingin dia ucapkan. Sebegitu lelahkah dirimu, Nin?

"Aku belum siap memiliki istri dua, Nin. Aku harus bisa adil, bukan hanya materi tapi juga  adil dalam memberi nafkah batin juga cinta. Aku tak sanggup membagi cintaku untuk wanita lain. Tolonglah mengerti," ucapku mengiba.

"Tolong juga mengerti keadaanku, Mas. Aku tak sanggup melayanimu setiap hari. Aku lelah, bukan hanya tubuh tapi juga hati. Aku tahu Mas selalu tesiksa saat aku tak bisa memenuhi kebutuhanmu. Lalu apa salahnya jika Mas menikah lagi?" Hanin masih kekeh dengan pendiriannya.

Ya Allah ... Bagaimana lagi aku menolak permintaannya?

Aku menghirup napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Sebisa mungkin kuatur emosi yang sudah memenuhi ubun-ubun. Kukira pernikahan ini akan baik-baik saja sampai ajal menjemput tapi nyatanya harus tertimba badai saat usia pernikahan hampir sembilan tahun.

Sesaat kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hanin ...." Hanin menoleh ke arahku hingga kata kami saling bertemu. Kucoba menyelami arti sorot mata itu. Namun lagi dan lagi aku tak mampu. "Jika Mas menikah lagi, apa kamu yakin bisa melihatku berbagi hati dan raga untuk wanita lain?" Hanin mengalihkan padang lalu menatap langit-langit rumah. Aku tahu dia menangis.

Semua wanita pasti tak ingin berbagi suami? Poligami adalah ujian terberat dalam sebuah rumah tangga. Jika Hanin tak sanggup kenapa terus memintaku menikah lagi?

"Aku tahu kamu tak bisa melihatku bersama wanita lain. Aku tahu itu, Sayang. Jadi tolong jangan memintaku menikah lagi." Kusentuh pundaknya. Namun Hanin masih diam membisu.

"Aku yakin dengan keputusanku, Mas. Menikahlah, aku ikhlas." Hanin berjalan meninggalkan aku.

Aku pijit pelipis yang kian terasa berdenyut. Kenapa masalah ini tak ada ujungnya?

***

Libur telah tiba, kuajak Hanin dan ketiga anakku ke rumah mama. Mungkin jika di sana Hanin akan berubah pikiran. Semoga mama mau mengubah keputusan istriku. 

"Kita mau ke mana, Yah?" tanya Alma antusias.

"Ke rumah Oma, Nak."

"Hore! Hore!" Teriak mereka serempak.

Kendaraan roda empatku sudah berhenti di halaman rumah mama. Kedua anakku segera turun dan berlari ke dalam.

"Hati-hati, Kak!" teriak Hanin tapi tak digubris keduanya.

"Cucu-cucu Oma," ucap mama seraya merentangkan kedua tangan lalu memeluk Alma dan Azha bergantian.

"Ayo masuk, Hanin." Aku dan Hanin melangkah mengikuti mama.

Azha dan Alma asyik bermain dengan Raffi di taman belakang. Raffi adalah adikku satu-satunya. Dia seorang youtuber. Dan itu salah satu alasan dia tak mau mengurusi perusahaan mendiang papa.

"Tumben datang kemari tidak bilang dulu?" tanya Mama sambil menggendong Ali. Saat ini kami sedang berada di ruang keluarga.

"Sebenarnya ada yang ingin Hanin bicarakan, Ma." Hanin menatapku tajam.

"Apa itu, Nak? Sepertinya sangat penting."

"Em ... Itu, Ma."

"Hanin memintaku menikah lagi, Ma."

"Apa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Ending season 1

    "Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Dia Datang

    Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Meninggal Dunia

    "Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Hanin Masuk Rumah Sakit

    Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Hanin Tak Sadarkan Diri

    "Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Ancaman Natasya

    Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status