Share

Jujur Pada Mama

Pov Bayu

Astagfirullah....

Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Aku masih tak menyangka Hanin memiliki ide gila itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikah lagi. Bagaimana bisa? Ya Allah ....

Sudah dua hari kami saling diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Kami bagai orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Kehangatan yang selalu ada seakan hilang. Memang benar kata orang istri pewarna keluarga dan marahnya istri adalah bencana. Namun bukannya aku yang marah di sini? Tapi kenapa terkesan aku yang salah?

Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang, tak kuhiraukan Hanin yang tengah menyusui Ali. Sesekali kulirik dia, tiba-tiba hasrat ini hadir lagi. Dua hari tak mendapatkan sentuhan darinya membuatku tersiksa. Apa benar yang dikatakan Hanin? Libidoku terlalu tinggi hingga membuatnya kelelahan?

Ya Allah....

Apa aku suami yang tak peka? Hingga istriku lelah dan memintaku menikah lagi?

Ali sudah terlelap di tengah-tengah ranjang kami. Dia bagai pembatas antara aku dan Hanin. Setelah selesai menyusui putra bungsu kami, ia segera membalikkan badan, memunggungiku.

Aku semakin gelisah, hasrat ini ingin segera dituntaskan. Namun aku tak berani meminta Hanin. Segera aku beranjak kemudian duduk di sofa.Kualihkan pikiran dengan berselancar di dunia maya,tapi bukannya hilang, perasaan itu justru kian menjadi. Kupijit kepala yang terasa pusing,menahan rasa ini membuatku tersiksa.

Berkali-kali kulirik istriku, berharap ia melihat dan mau mengobati rasa ini. Namun sayang, Hanin justru terlelap.

Ya Allah... Aku harus bagaimana?

Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas, aku masih duduk di sofa sambil memikirkan perkataan Hanin. Sejatinya poligami diperbolehkan, tapi suami harus adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak, suami itu akan dzalim dan terancam masuk ke neraka.

Ya Allah....

Membayangkan memiliki dua istri saja sudah menakutkan, apa lagi jika menjadi kenyataan?

Suami bisa disebut dzalim jika condong pada salah satu istri dan mengabaikan istri lainnya. Itu yang membuatku tak mau menikah lagi, aku tak mau dzalim karena sejujurnya aku tak mampu membagi hati dan raga untuk wanita lain. Hanya Hanin yang aku cinta.

Namun melihat permintaan Hanin berulang kali membuatku yakin jika Hanin sungguh-sungguh memintaku menikah lagi. Bagaimana caraku menyadarkannya? Tak mungkin kami selalu bertengkar karena masalah yang sama. Ini tak bagus untuk hubungan kami dan perkembangan anak-anak.

Mama. Ya, aku yakin mama bisa membantuku. Senyum menggembang di bibir ini, aku sudah memiliki jawaban atas kegelisahanku.

***

Hanin mulai sibuk di dapur, suara spatula beradu dengan wajan bagai irama musik di pagi hari. Belum lagi teriakan Alma meminta gendong atau tangis Ali yang meminta asi. Sungguh nikmat memiliki tiga orang anak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Hanin merawat ketiga buah hatiku tanpa bantuan babysitter, pasti sangat melelahkan.

"Bunda! Seragam Azha mana?" tanya putra sulungku yang masih memakai handuk.

"Ada di dalam lemari, kak, di tempat biasa," jawab Hanin dengan mata fokus melihat wajan.

"Gak ada, Bun."

"Minta tolong Bi Leha, kak. Bunda baru goreng ikan, nanti gosong kalau ditinggal."

"Ah, Bunda ...!" Azha meninggalkan dapur sambil menghentak-hentakkan kaki.

Apa momen seperti ini akan terus terjadi setelah aku memenuhi permintaan Hanin?

Kurasa tidak, anak-anak pasti bingung jika memiliki dua ibu dah itu berpengaruh pada psikisnya.

"Bi Leha!" teriak Hanin sambil melirik ke kanan kiri mencari sosok wanita paruh baya itu.

Bi Leha bergopoh-gopoh lari ke dapur. Aku menahan tawa kala melihat asisten rumah tanggaku berlari sambil membawa sapu. Bahkan benda panjang itu menyulitkan gerakan kakinya. Namun tetap saja ia bawa ke mana-mana.

"Bi, tolong lanjutkan goreng ikan, ya, Azha rewel," ucap Hanin lalu berlari meninggalkan dapur. Celemek masih menempel di tubuhnya.

"Semoga lelahmu digantikan surga oleh-Nya, " batinku.

Nasi dan lauk sudah tertata rapi di atas meja. Bi Leha sudah meletakkan piring dan sendok di atas meja di depan kursi masing-masing. Drama mandi pagi telah selesai, kini akan berganti dengan drama sarapan.

Hanin mulai memindahkan nasi ke piringku dan anak-anak kemudian meletakkan lauk sesuai kesukaan masing-masing. Tak meletakkaa salah memberikan lauk. Dia sungguh istri dan ibu sempurna. Lalu untuk apa ia memintaku menikah lagi?

"Sini, Mas, Ali biar aku suapi. Kamu sarapan dulu gih, nanti kesiangan ke kantornya!" ucapnya seraya mengambil Ali dari gendonganku. Putra kecilku ia dudukan di kursi bayi. Perlahan ia suapi Ali dengan bubur tim saring. Entah sejak kapan ia membuatnya.

Segera aku menikmati ikan goreng dengan sambal bawang buatannya. Sementara anak-anak makan dengan telur ceplok kesukaan mereka. Ah masakan Hanin memang tak ada duanya,selalu menggugah selera makan.

Anak-anak sudah berangkat diantar supir dan Bi Leha, Ali pun ikut bersamanya. Sengaja meminta Bi Leha membawa serta putra kecilku. Aku ingin berbicara empat mata dengan Hanin.

"Hanin," panggilku setelah dia selesai makan. Dia berjalan lalu duduk di sampingku.

"Mau bicara apa, Mas?" tanyanya sambil menatap lekat netra ini.

"Mas sudah memiliki jawaban untuk permintaan kamu. Mas tetap tak ingin menikah lagi."

Hanin membuang napas kasar.

"Apa kami tak memikirkan keadaanku, Mas? Aku sudah lelah dengan ...." Dia menggantung kalimatnya. Namun aku tahu apa yang ingin dia ucapkan. Sebegitu lelahkah dirimu, Nin?

"Aku belum siap memiliki istri dua, Nin. Aku harus bisa adil, bukan hanya materi tapi juga adil dalam memberi nafkah batin juga cinta. Aku tak sanggup membagi cintaku untuk wanita lain. Tolonglah mengerti," ucapku mengiba.

"Tolong juga mengerti keadaanku, Mas. Aku tak sanggup melayanimu setiap hari. Aku lelah, bukan hanya tubuh tapi juga hati. Aku tahu Mas selalu tesiksa saat aku tak bisa memenuhi kebutuhanmu. Lalu apa salahnya jika Mas menikah lagi?" Hanin masih kekeh dengan pendiriannya.

Ya Allah ... Bagaimana lagi aku menolak permintaannya?

Aku menghirup napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Sebisa mungkin kuatur emosi yang sudah memenuhi ubun-ubun. Kukira pernikahan ini akan baik-baik saja sampai ajal menjemput tapi nyatanya harus tertimba badai saat usia pernikahan hampir sembilan tahun.

Sesaat kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hanin ...." Hanin menoleh ke arahku hingga kata kami saling bertemu. Kucoba menyelami arti sorot mata itu. Namun lagi dan lagi aku tak mampu. "Jika Mas menikah lagi, apa kamu yakin bisa melihatku berbagi hati dan raga untuk wanita lain?" Hanin mengalihkan padang lalu menatap langit-langit rumah. Aku tahu dia menangis.

Semua wanita pasti tak ingin berbagi suami? Poligami adalah ujian terberat dalam sebuah rumah tangga. Jika Hanin tak sanggup kenapa terus memintaku menikah lagi?

"Aku tahu kamu tak bisa melihatku bersama wanita lain. Aku tahu itu, Sayang. Jadi tolong jangan memintaku menikah lagi." Kusentuh pundaknya. Namun Hanin masih diam membisu.

"Aku yakin dengan keputusanku, Mas. Menikahlah, aku ikhlas." Hanin berjalan meninggalkan aku.

Aku pijit pelipis yang kian terasa berdenyut. Kenapa masalah ini tak ada ujungnya?

***

Libur telah tiba, kuajak Hanin dan ketiga anakku ke rumah mama. Mungkin jika di sana Hanin akan berubah pikiran.

"Kita mau ke mana, Yah?" tanya Alma antusias.

"Ke rumah Oma, Nak."

"Hore! Hore!" Teriak mereka serempak.

Kendaraan roda empatku sudah berhenti di halaman rumah mama. Kedua anakku segera turun dan berlari ke dalam.

"Hati-hati, Kak!" teriak Hanin tapi tak digubris keduanya.

"Cucu-cucu Oma," ucap mama seraya merentangkan kedua tangan lalu memeluk Alma dan Azha bergantian.

"Ayo masuk, Hanin." Aku dan Hanin melangkah mengikuti mama.

Azha dan Alma asyik bermain dengan Raffi di taman belakang. Raffi adalah adikku satu-satunya. Dia seorang youtuber. Dan itu salah satu alasan dia tak mau mengurusi perusahaan mendiang papa.

"Tumben datang ke mari tidak bilang dulu?" tanya Mama sambil menggendong Ali. Saat ini kami sedang berada di ruang keluarga.

"Sebenarnya ada yang ingin Hanin bicarakan, Ma." Hanin menatapku tajam.

"Apa itu, Nak? Sepertinya sangat penting."

"Em ... Itu, Ma."

"Hanin memintaku menikah lagi, Ma."

"Apa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status