Aku terbangun saat mendengar ponsel menjerit-jerit berulang kali. Dengan cepat kuambil benda pipih yang ada di atas nakas lalu menggeser gambar telepon berwarna hijau ke atas.
“Assalamualaikum,” salamku sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali.“W*’alaikumsalam. Bu Hanin sudah sampai mana? Alma sudah menunggu dari tadi,” ucap Ustadzah Fatimah dari sambungan telepon.“Astagfirulloh,maaf Ustadzah saya ketiduran. Tolong jaga Alma sebentar,saya akan segera ke sana.”Sambungan telepon segera kumatikan setelah mengucapkan salam. Dengan hati-hati kusambar outer hitam dan hijab lalu keluar kamar. Aku tak ingin membangunkan Ali yang masih terlelap. Akan timbul masalah besar jika Ali sampai terbangun. Bisa-bisa aku akan semakin terlambat menjemput Alma.Mobil kulajukan perlahan hingga keluar gerbang,setelah itu kecepatannya kunaikkan. Jiwa pembalapku mendadak muncul disaat-saat seperti ini. Apa seperti ini seorang ibu yang terlambat menjemput anaknya di sekolah?Mobil melesat melewati jalan raya. Jarak rumah dan sekolah Alma lumayan jauh. Aku membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke sana. Itu pun jika jalan tidak macet.Beberapa kali kulirik jam di layar ponsel,aku sudah terlambat hampir satu jam. Semalam kurang tidur membuatku ikut terlelap bersama Ali,untung saja wali kelas Alma mau menunggu kedatanganku meski lama.Mobil kuparkirkan di halaman sekolah,dengan cepat aku berlari menuju kelas Alma. Sekolah putriku sudah sepi, tak ada tawa dari anak-anak yang berlari ke sana kemari. Teman-teman Alma pasti sudah dijemput dari tadi. Tinggal putriku seorang diri. Ya Allah, ibu macam apa aku ini? Sampai lupa menjemput anaknya."Bunda!" teriak Alma seraya berlari ke arahku. Aku jongkok sambil merentangkan kedua tangan. Putri kecilku memelukku erat sambil terisak."Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda ketiduran jagain dedek Ali. Maaf, ya, Nak.""Bunda lama, Alma sendirian di sekolah. Teman-teman Alma sudah pulang," ucapnya dengan wajah cemberut."Maaf, ya, Sayang. Lain kali Bunda akan jemput tepat waktu," ucapku sambil menatap matanya lekat."Iya," jawabnya dengan wajah ditekuk."Maaf Bunda, tadi Alma menangis karena terlalu lama menunggu," ucap seorang wanita yang sudah berdiri di depan kami.Aku mengernyitkan dahi kala melihat wanita dengan hijab menjutai tersenyum manis ke arahku. Wanita itu bukan salah satu guru di sini. Setahuku tak ada guru muda berkulit putih dengan bulu mata lentik di sekolah ini."Perkenalkan saya Nisa, saya guru baru di sini," ucapnya seperti mengerti apa yang ada di kepalaku."Saya Hanin, Bundanya Alma," jawabku sambil menerima uluran tangan darinya."Ini Ustadzah baru Alma, Bunda. Dia cantik, ya," ucap Alma antusias. Terlihat jika ia begitu cocok dengan guru baru itu."Terima kasih sudah menjaga putri saya, Ust. Maaf saya terlambat," ucapku tak enak hati.""Tidak apa-apa, Bunda. Maaf Ustadzah Fatimah sedang ada acara dinas, jadi saya yang menemani Alma menunggu ibunya," ucapnya lembut. Aku hanya mengangguk mengerti.Setelah berpamitan aku dan Alma segera masuk ke mobil. Sepanjang jalan putri kecilku selalu bercerita tentang guru barunya. Dia terlihat nyaman dengan guru baru itu meski baru dua hari bertemu.Biasanya Alma selalu menceritakan kegiatan di sekolah termasuk gurunya. Mungkin karena dari kemarin aku sibuk dengan Ali sehingga tak terlalu memperhatikan dia. Sungguh aku merasa semakin bersalah padanya.***Aku duduk di teras rumah sambil memangku Ali. Setelah beberapa kali minum obat putra kecilku semakin membaik. Dia sudah tak rewel seperti kemarin.Samar-samar terdengar suara mobil masuk ke halaman. Aku tersenyum kala melihat siapa pemilik mobil itu. Mas Bayu keluar sambil membawa tas kerjanya. Segera aku berdiri menyambut kedatangan suamiku. Ku ulurkan tangan seperti yang biasa kulakukan. Namun Mas Bayu mengabaikannya lalu masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam."Mas Bayu masih marah padaku," batinku bertanya- tanya.Aku berjalan mengekor Mas Bayu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Suamiku membisu dengan wajah masam bak kehilangan jatah bulanan. Seperti itulah sikapnya jika tengah marah. Dia memilih diam dari pada memarahiku."Ayah...." Alma berlari ke arah kami lalu memeluk erat Mas Bayu.Putri kecilku sangat dekat dengan ayahnya. Seperti anak perempuan pada umumnya. Dia selalu manja jika ada Mas Bayu, berbeda dengan abangnya."Alma sudah mandi?" tanya Mas Bayu sambil mengelus pucuk kepalanya."Udah sama Bunda.""Sudah makan?""Sudah sama kakak tadi. Ayah... Ayah... Alma mau cerita.""Biar ayah istirahat dulu, Nak," ucapku pelan, seketika wajah Alma ditekuk."Alma mau cerita apa?" tanya Mas Bayu sambil menggendong Alma, ucapanku bagai angin lalu saja."Kamu benar-benar marah, Mas," batinku.Mas Bayu menurunkan Alma di sofa ruang keluarga. Dia pun duduk di samping putri kecil kami. Tas yang ia pegang sudah diletakkan di atas meja. Dia sudah siap menjadi pendengar setia.Aku masih berdiri sambil menggendong Ali. Kutimang-timang si bungsu hingga perlahan ia mulai terlelap."Tadi Alma main dengan ustadzah baru, yah. Dia baik sekali.""O, ya, siapa namanya?""Ustadzah Nisa, dia cantik lho, Yah. Mau jagain Alma saat nangis," ucap Alma dengan bibir digerak-gerakkan, lucu sekali."Alma kenapa nangis?""Bunda jemputnya telat, Alma nangis deh." Mas Bayu menoleh ke arahku seakan meminta penjelasan.Aku telan air liur dengan suah payah lalu berjalan perlahan menaiki anak tangga. Aku yakin sebentar lagi Mas Bayu akan meminta penjelasan.Kreeek....Pintu dibuka dari luar, Mas Bayu berjalan mendekat ke arahku. Dengan hati-hati kuletakkan Ali di box bayi dan memberikan dua guling di samping kiri, kanannya."Duduk, Mas ingin bicara!" perintahnya lalu menjatuhkan bobot di sofa tak jauh dari box bayi.Aku hembuskan napas perlahan seraya mengatur rasa cemas yang tiba-tiba menelusup dalam hati."Kenapa kamu bisa terlambat menjemput Alma? Satu jam dia menunggu kamu hingga teman-temannya pulang satu persatu. Apa yang kamu kerjakan?"DEGAda yang berdenyut kala mendengar perkataan suamiku. Apa yang aku kerjakan katanya? Semalam mengurus Ali hingga tak tidur. Lalu ketiduran saat menyusui Ali, apa itu juga salah?"Aku ketiduran, Mas. Semalam Ali rewel jadi aku tidak tidur."Mas Bayu menghembuskan napas kasar lalu menatapku lekat. Tak berani beradu pandang, aku memilih menundukkan kepala."Hanin, apa tidak sebaiknya kita cari babysitter saja? Aku tak tega melihatmu seperti ini," ucapnya pelan."Aku tidak mau, Mas. Aku trauma. Tolong jangan paksa aku untuk itu.""Tapi Hanin ....""Menikahlah, Mas. Mungkin itu yang terbaik untuk kita," ucapku pelan."Astagfirullah... Kenapa kamu selalu memintaku menikah lagi? Apa kami sudah tak mencintaiku lagi?" tanyanya seraya menahan amarah yang ada di dalam dada."Disaat semua wanita anti poligami, tapi kamu justru mendukungnya. Ya Allah, apa yang ada di kepalamu itu!" Mas Bayu mengusap kasar rambutnya."A--aku...." Mulut ini mendadak kelu. Kenapa begitu sulit berkata jujur padanya."Jawab Hanin! Jangan diam saja!" bentaknya."Aku ... Aku tidak bisa melayanimu dengan baik, Mas. Di saat kamu menginginkannya tapi aku tak selalu bisa memberikannya. Aku tak tega melihatmu tersisa dengan hasrat yang belum tuntas. Aku ....""Ya Allah, Hanin ... Hanya karena itu kamu memintaku menikah lagi?" Mas Bayu menatapku tak percaya. "Aku tak pernah mempermasalahkan itu, Sayang. Yang terpenting kamu bisa menjadi ibu dan istri yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.""Bohong, kamu selalu tersiksa saat aku tak bisa melayanimu, dan aku tahu itu," ucapku hanya dalam hati."Mas mengerti keadaanmu, Sayang.""Bukan hanya itu,Mas." Mas Bayu menatapku tajam."Apa lagi? Kamu ingin masuk surga dengan cara itu? Alasan klise, Hanin.""Aku tak sanggup melayanimu, Mas. Aku tak bisa mengimbangi hasratmu yang berlebihan itu. Aku lelah."Mas Bayu melotot mendengar ucapanku. Seketika ia berdiri lalu meninggalkan aku di dalam kamar. Ya Allah, apa aku salah bila jujur padanya?Pov BayuAstagfirullah.... Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Aku masih tak menyangka Hanin memiliki ide gila itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikah lagi. Bagaimana bisa? Ya Allah .... Sudah dua hari kami saling diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Kami bagai orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Kehangatan yang selalu ada seakan hilang. Memang benar kata orang istri pewarna keluarga dan marahnya istri adalah bencana. Namun bukannya aku yang marah di sini? Tapi kenapa terkesan aku yang salah?Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang, tak kuhiraukan Hanin yang tengah menyusui Ali. Sesekali kulirik dia, tiba-tiba hasrat ini hadir lagi. Dua hari tak mendapatkan sentuhan darinya membuatku tersiksa. Apa benar yang dikatakan Hanin? Libidoku terlalu tinggi hingga membuatnya kelelahan? Ya Allah.... Apa aku suami yang tak peka? Hingga istriku lelah dan memintaku menikah lagi?Ali sudah terlelap di tengah-tengah ranjang kami. Dia bagai pembatas
"Sebenarnya ada yang ingin Hanin bicarakan, Ma," ucap Mas Bayu. Aku tatap tajam suamiku. Seketika perasaanku tak enak. Kukira Mas Bayu mengajak kemari untuk silahturahmi dengan Mama dan Raffi. Namun nyatanya ada udang dibalik batu. "Apa itu, Nak? Sepertinya sangat penting.""Em ... Itu, Ma," ucapku terbata, aku bingung harus menjawab apa? "Hanin memintaku menikah lagi, Ma!" ucap Mas Bayu membuatku melotot. "Apa!"Aku telan saliva dengan susah payah. Tatapan mama membuatku bergidik ngeri. Apa yang harus kukatakan pada mertuaku? Seharusnya Mas Bayu cerita terlebih dulu padaku, bukan langsung memintaku menjelaskan pokok permasalahan kepada Mama. “Nuri!Nuri!” teriak Mama memanggil asisten rumah tangganya.Tak berapa lama Mbak Nuri masuk dengan napas ngos-ngosan,terlihat jelas ia berlari menuju kemari.“Ada yang bisa saya bantu,Nyonya?” tanyanya dengan napas tersengal.“Tolong jaga Ali sebentar,” ucap Mama seraya menyerahkan Ali ke dalam gendongan Mbak Nuri. Dengan cepat wanita itu pe
Aku memperhatikan dua wanita yang kini duduk di hadapanku. Dina dan Lana, dua kakak beradik yang akan menjadi asisten rumah tanggaku. Masih muda, Dina seusiaku sedang Lana selisih empat tahun dari Dina. Mas Bayu mendapatkan mereka dari sebuah yayasan penyalur jasa asisten rumah tangga ternama di kota ini. Sebenarnya aku hanya meminta satu asisten rumah tangga saja. Namun suamiku justru mengambil dua sekaligus. Entah kenapa dia begitu. Dina sendiri sudah berkeluarga sementara Lana masih lajang. Mereka berdua hanya tamatan SMA. Aku sendiri tak terlalu memperdulikan pendidikan. Bagiku yang terpenting mereka memiliki attitude yang baik, jujur dan giat bekerja. Karena percuma pendidikan tinggi tapi tak memiliki akhlak yang baik. "Sudah berapa lama menjadi asisten rumah tangga?" tanyaku seraya menatap Dina dan Lana bergantian. "Saya sudah se....""Sayang...," panggil Mas Bayu sambil berjalan ke arah kami. Kedatangan suamiku membuat ucapan Dina terhenti. Mereka berdua justru membisu sam
Sudah satu bulan setelah kami memiliki asisten rumah tangga baru. Namun tak sedikit pun mengurangi rasa lelah yang mendera. Justru aku semakin kelelahan karena lembur tiap malam. Mas Bayu tak ada habisnya menghisap maduku. Dia juga tak kecapekan. Entah apa yang membuatnya sekuat itu? "Bu Hanin sudah bangun?" tanya Bi Leha saat aku keluar kamar sambil menggendong Ali. Dengan sigap wanita itu mengambil Ali dari gendonganku. Semenjak Mas Bayu selalu mengajakku begadang, aku jadi sering tidur setelah anak-anak berangkat sekolah. Rasa kantuk membuatku terlelap setelah menyusui Ali. Beruntung Bi Leha paham keadaanku. "Ibu terlihat pucat dan mengantuk, istirahat saja, Bu. Ali biar saya jaga," ucap Bi Leha kala melihat wajahku. Mata panda sudah tergambar jelas di wajahku. Itu semua karena Mas Bayu selalu meminta haknya hingga dini hari. Bahkan berat badanku turun satu kilo. Beruntung ASI-ku tak kering."Sudah tidak mengantuk, Bi." "Jangan capek-cepek, Bu." Aku mengangguk lalu berjalan pe
"Menikahlah dengan suamiku, La.""Apa!!" teriak Syahla kencang. Seketika semua mata tertuju pada kami. "Pelankan suaramu!" ucapku sambil menatap tajam ke arahnya. "Iya maaf... Maaf."Sesaat kami diam, Syahla sibuk mencerna permintaanku. Sementara aku bingung harus merangkai kata. Permintaan itu keluar begitu saja dari mulut ini. Jika Mas Bayu mau menikah lagi, aku ingin mengenal istri keduanya dengan baik. Tentu ia juga harus sayang kepada ketiga anakku, dan Syahla memiliki kriteria itu. Lagi pula ia ingin suami seperti Mas Bayu bukan? Akan kukabulkan itu. "Apa kamu gak waras, Nin? Kamu memintaku menikah dengan suamimu?" ucapnya penuh penekanan. Netranya menatapku penuh selidik. "Kamu jangan bercanda, Nin. Pernikahan itu bukan untuk main-main apa lagi bahan guyonan!"Aku menghembuskan napas kasar lalu menatap lekat manik hitam miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, La?" Syahla menatapku tajam lalu menggelengkan kepala. Persahabatan yang terjalin lama diantara kami membuat Syahla t
Pov Bayu"Ide gila apa lagi, Nin!" ucapku frustasi. Aku tak habis pikir dengan permintaan Hanin. Entah setan apa yang merasuki istriku, hingga ia memintaku menikahi sahabatnya. Disaat wanita lain melarang suaminya menikah lagi, tapi dia justru memintanya. Ya Robb... Aku pikir setelah memberinya dua asisten rumah tangga, dia akan melupakan keinginannya itu. Namun aku salah, dia justru memintaku menghalalkan Syahla, teman yang sudah ia anggap saudara itu. "Aku ingin kamu menikah lagi, Mas. Dan Syahla calon adik madu yang baik untuk kita. Kamu sudah mengenalnya, anak-anak juga sudah tahu dia. Apa lagi yang kamu pikirkan," ucapnya pelan. Aku acak rambut kasar, frustasi. Aku sudah tak tahu harus bagaimana menolak permintaan Hanin. Aku lelah dan bosan dia memintaku menikah lagi. "Sudah, aku capek!" Kutinggalkan Hanin sambil menggendong Ali. Percuma berdebat dengan orang yang tak mau mengalah. Malam kian larut tapi rasa kantuk tak jua datang. Ucapan Hanin selalu terngiang-ngiang di te
“Ini pesanannya,Mbak,” ucap pelayan memotong pembicaraan Syahla.Syahla mengangguk melihat pelayan itu meletakkan makanan dan minuman di atas meja."Dimakan dulu, Bay," ucapnya sambil memberikan piring berisi ayam geprek padaku. "Makasih, La." Aku mulai memasukkan nasi dan ayam ke dalam mulut. Nikmat masakan itu terasa hambar di lidahku. Mungkin karena suasana yang tidak mendukung. "Apa yang mau kamu katakan, La?" tanyaku setelah kami selesai makan. Syahla meletakkan gelas berisi jus jeruk di atas meja lalu menatap lekat mataku. "Apa Hanin memintamu menikah denganku?" tanyaku lagi karena dia masih diam. Syahla menghembuskan napas kasar. Tak ada raut kaget di sana. Itu berarti Hanin sudah mengatakan hal itu padanya. "Ya, kemarin dia memintaku menjadi adik madunya.""Lalu? Apa jawaban kamu?" tanyaku penasaran. "Sebelum aku menjawab...." Syahla menjeda kalimatnya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu," ucapnya serius."Apa?" Syahla terdiam, ada keraguan di sorot mata itu. Sikapny
Pov Bayu"Menikah lagi? Jangan-jangan kamu menerima permintaan Hanin kemarin?""Jangan gila kamu, Bay! Mana mungkin aku mau jadi duri dalam pernikahan kalian, sekali pun itu permintaan Hanin. Jangan mentang-mentang aku masih single kamu bisa seenaknya sendiri. Menuduhku yang bukan-bukan!" ucap Syahla kesal. Salah lagi, salah lagi. Apa lelaki memang selalu salah di mata perempuan? "Maaf, La. Bukan maksudku seperti itu. Aku hanya pusing memikirkan masalah dengan Hanin yang tak memiliki titik tengah." Syahla mencebikkan bibir. "Sepertinya tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku permisi!" ucapnya lalu berdiri meninggalkan aku. Aku pijit kepala yang kian terasa berdenyut, pusing. Kukira Syahla mau memberi solusi tapi justru menambah beban di kepalaku. Ya Ampun! "Assalamualaikum...," salamku lirih sambil membuka pintu. Sepi, tak ada tanda-tanda orang di rumah. Ke mana Hanin dan anak-anak? Dengan langkah gontai aku berjalan menuju dapur. Siapa tahu Dina dan Lana tahu di mana Hanin da