Share

Tanggapan Mama

"Sebenarnya ada yang ingin Hanin bicarakan, Ma," ucap Mas Bayu.

Aku tatap tajam suamiku. Seketika perasaanku tak enak. Kukira Mas Bayu mengajak kemari untuk silahturahmi dengan Mama dan Raffi. Namun nyatanya ada udang dibalik batu.

"Apa itu, Nak? Sepertinya sangat penting."

"Em ... Itu, Ma," ucapku terbata, aku bingung harus menjawab apa?

"Hanin memintaku menikah lagi, Ma!" ucap Mas Bayu membuatku melotot.

"Apa!"

Aku telan saliva dengan susah payah. Tatapan mama membuatku bergidik ngeri. Apa yang harus kukatakan pada mertuaku? Seharusnya Mas Bayu cerita terlebih dulu padaku, bukan langsung memintaku menjelaskan pokok permasalahan kepada Mama.

“Nuri!Nuri!” teriak Mama memanggil asisten rumah tangganya.

Tak berapa lama Mbak Nuri masuk dengan napas ngos-ngosan,terlihat jelas ia berlari menuju kemari.

“Ada yang bisa saya bantu,Nyonya?” tanyanya dengan napas tersengal.

“Tolong jaga Ali sebentar,” ucap Mama seraya menyerahkan Ali ke dalam gendongan Mbak Nuri. Dengan cepat wanita itu pergi dari ruang keluarga.

Kami masih diam dengan suasana kian mencekam,sudah seperti berada di tengah kuburan pada tengah malam. Aku memilih menundukkan kepala. Aku takut beradu pandang dengan mama. Ibu Mas Bayu sangat menakutkan jika sedang marah,meski aku belum sempat melihatnya. Namun Mas Bayu pernah bercerita betapa tegas sikap mama saat mendidik Mas Bayu dan Raffi.

Ya, berkat ketegasannya membuat Mas Bayu dan Raffi menjadi sosok lelaki yang bertanggung jawab pada pekerjaan dan keluarga.

“Hanin, apa benar yang dikatakan Bayu?”

Sesaat aku diam lalu menganggukkan kepala,mulut ini mendadak kelu saat berhadapan dengan mama. Apa yang harus kukatakan? Hanya kalimat itu yang terlintas di kepalaku.

“Astagfirullahaladzim Hanin ... apa yang membuat kamu meminta Bayu menikah lagi?” aku mendongkakkan kepala,kulihat mama mantap diri ini seraya mengelus dadanya.

Lagi dan lagi aku memilih diam,aku takut salah bicara hingga membuat Mama murka. Bagaimana pun urusan ranjang adalah aib yang harus ditutup rapat,sekali pun pada orang tua. Seperti ceramah seorang Ustadz diacara pernikahan kami dulu. Bahwa istri adalah pakaian suami begitu pula sebaliknya. Jadi sudah sepantasnya aku menutup aib suamiku rapat.

"Apa Bayu melakukan KDRT padamu, Nin?"

"Tidak, Ma. Mas Bayu tidak pernah main tangan. Beliau sangat menyayangiku dan anak-anak."

"Lalu apa? Apa Bayu terlalu banyak permintaan?" Aku menggeleng.

"Dia jarang memberi nafkah batin padamu?" cecar Mama.

"Bukan kurang lagi, tapi lebih dari cukup. Berlebihan malah,dan itu yang membuatku lelah. Aku bahkan tak lagi menikmati indahnya surga dunia. Hanya ada lelah,lelah dan lelah,"ucapku hanya dalam hati.

"Lalu apa? Kamu sudah tak mencintainya?"

"Aku sangat mencintai Mas Bayu, Ma. Maka dari itu aku memintanya menikah lagi," ucapku pelan.

Lagi-lagi mama menggelengkan kepala, seakan tak percaya dengan permintaan yang aku katakan. Sebenarnya apa salahnya memiliki dua istri?

"Sadar, Hanin. Di luar sana banyak orang yang menolak poligami. Bahkan mereka memilih bercerai dibandingkan dimadu. Tapi kamu ...."

"Hanin hanya ingin menjadi istri yang bisa membahagiakan suami, karena Hanin belum mampu menjadi istri yang baik, Ma."

"Apa benar itu, Bayu? Hanin belum jadi istri yang baik?" Mama menatap Mas Bayu penuh selidik.

"Hanin sudah menjadi istri yang sempurna untuk Bayu, Ma. Hanya saja dia ...." Mas Bayu tak melanjutkan kata-katanya, dia justru menatapku. Seolah meminta aku yang menjelaskan kepada ibunya.

Mas Bayu saja tidak berani untuk menjelaskan apa lagi aku? Ya Allah... Kenapa begitu rumit? Aku hanya memintanya menikah lagi, tapi justru masalah ini kian panjang.

"Hanya saja apa, Bay? Jangan membuat mama pusing dengan kalimatmu yang berbelit-belit itu?"

"Em ... Itu ... Ma. Biar Hanin saja yang menjelaskan, Bayu takut salah bicara."

Astaga, apa yang harus kujelaskan? Haruskah aku berkata jujur tentang masalah ranjang kepada mama? Itu sungguh memalukan.

"Hanin...."

"I-itu, Ma. Ha-Hanin...." Mulut ini terasa begitu berat untuk mengatakan sebuah fakta. Aku takut kejujuran ini membuat mama membenciku. Aku takut mama akan tersinggung.

"Katakan, Hanin!"

"Ha-Hanin tak sanggup me-melayani hasrat Mas Bayu yang ...."

"Hasrat apa, Mbak?" tanya Natasya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Seketika semua membisu. Wajah mama dan Mas Bayu kian tegang, begitu pula aku.

Aku semakin takut aib suami terekspos keluar. Bagaimana kata orang jika aku meminta Mas Bayu menikah lagi karena libido suamiku yang terlalu tinggi. Pasti akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bisa jadi Mas Bayu atau aku akan dihujat netizen. Ya Allah, begitu berat mengizinkan suamiku menikah lagi. Ada saja ujian dan godaan yang menggoyahkan keputusan ini.

"Assalamu'alaikum Natasya, datang-datang ucapkan salam bukan kepo pembicaraan orang," ucap Mama mengalihkan pembicaraan.

Mama berusaha menutupi masalah yang tengah kami bahas kepada orang luar,meski Natasya tunangan Raffi tapi untuk saat ini dia belum resmi masuk menjadi bagian keluarga ini.

"Maaf, Ma," ucap Natasya sambil tersenyum, dia pun masuk lalu mencium tangan Mama dengan takzim. "Yang hasrat tadi apaan sih, Mbak?" tanyanya seraya melirik ke arahku kemudian menjatuhkan bobot di tepat di sampingku.

"Bukan apa-apa, kamu gak kangen sama Azha dan Alma?"

"Kangen banget dong, Mbak. Di mana mereka, Mbak?"

"Kalau sama Omnya kangen gak tu?" goda Mas Bayu membuat wajah Natasya bersemu merah.

"Ih, Mas Bayu apaan sih?" Natasya memanyunkan bibir. Pipinya merona karena malu.

"Azha dan Alma ada di taman belakang sama Raffi, Ta."

"Ya sudah, aku ke belakang dulu ya, Mbak, Mas, Ma," pamit Natasya lalu melangkah pergi meninggalkan kami dengan ketegangan yang masih menyelimuti.

Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut ini. Aku menundukkan kepala sambil memainkan ujung hijab yang kukenakan.

"Apa yang tadi kamu katakan,Hanin?" tanya mama lagi.

Kuhembuskan napas kasar. Mungkin ini saatnya mama tahu apa yang ada di dalam rumah tangga kami. Semoga beliau dapat memberikan solusi terbaik untuk aku dan Mas Bayu.

"Mas Bayu memiliki hasrat yang tinggi, Hanin tak sanggup menyamainya, Ma."

"Hasrat tinggi apa, Nin? Jangan buat Mama bingung."

"Mas Bayu selalu meminta haknya setiap hari tiga kali, Ma." Mama melotot dengan mulut terbuka lebar.

"Be-benar itu, Bay?" Mas Bayu tersenyum seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Kini aku seperti menguliti suamiku sendiri. Tak bisa kubayangkan betapa malu suamiku. Maafkan aku, Mas. Maafkan istrimu yang tak sempurna ini.

"Hanin lelah, Ma. Siang mengurus anak, malam ingin terlelap tapi Mas Bayu selalu meminta haknya. Dan Hanin merasa berdosa jika menolaknya sedang hati dan raga ingin istirahat. Hanin lelah pura-pura baik-baik saja, sedang batin ini tersiksa. Maaf... Maafkan Hanin yang tak bisa menjadi istri sempurna. Maka dari itu Hanin meminta Mas Bayu menikah lagi. Apa aku salah, Ma?" Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi hingga hijab yang kukenakan.

"Maafkan Mas, Sayang." Mas Bayu memeluk tubuh ini. Sekian menit aku terisak di dada bidangnya. Kulepaskan rasa sesak yang memenuhi rongga dada.

Mama diam, dia sandarkan tubuhnya di sofa. Netranya menatap langit-langit. Hingga tanpa sadar air mata jatuh dari sudut matanya.

Aku tak tahu apa yang Mama pikirkan tentang diri ini. Aku hanya berharap mama mengerti dan menyetujui permintaanku. Karena itu satu-satunya cara agar bebanku sedikit berkurang.

"Kamu rela jika Bayu berbagi hati dan raga dengan wanita lain?" tanya Mama. Pertanyaan yang sama seperti yang Mas Bayu katakan beberapa hari lalu.

Rela? Ah, entahlah. Aku sendiri bingung apakah nantinya aku akan rela jika suamiku membagi hati, perhatian, cinta dan raganya untuk wanita lain. Saat ini aku hanya memikirkan rasa lelah dan jenuh yang harus diobati, bahkan dihilangkan. Dan mempunyai madu adalah satu-satunya jawaban yang terlintas di kepalaku.

"Mama tahu kamu tak rela, kan?" Mama menatapku. "Tak ada wanita yang rela suaminya memiliki istri lagi, Hanin. Dan Mama melarang Bayu menikah lagi. Bagi Mama, kamu menantu yang sempurna, Nak." Mama mendekat lalu memeluk tubuh ini erat. Aku hanya bisa diam membisu, mencerna perkataan Mama yang benar adanya.

"Kenapa kalian tidak menambah asisten rumah tangga saja? Biar Bi Leha yang ikut menjaga anak-anak. Dan kamu Hanin, kamu bisa melayani Bayu dengan baik, tanpa merasa lelah dan terbebani lagi." Mama menatap kami bergantian.

"Benar itu, Sayang. Kenapa Mas tidak kepikiran dari kemarin, ya?" Mas Bayu berbinar mendengar solusi dari Mama. Namun entah mengapa ada keraguan dalam hati ini.

Bukankah harusnya aku bahagia? Ketika sudah mendapatkan solusi tanpa harus membagi cinta dan raga Mas Bayu untuk wanita lain?

Ya Allah... Perasaan apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status