Share

Nasihat Bi Leha

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-20 12:29:47

Aku duduk di kursi makan sambil menggendong Ali. Sejak bangun tidur hingga sekarang putra bungsuku tidak mau ditidurkan di kasur atau stroller. Dia selalu minta gendong. Mungkin karena badannya masih tak enak hingga ia selalu saja rewel. Untung Alma sudah kumandikan sebelum Ali terbangun. Kalau tidak pasti akan terjadi drama di pagi hari.

Merawat anak tanpa babysitter  tidaklah mudah. Apa lagi jarak anak yang terbilang dekat. Aku harus ekstra sabar dalam menghadapi ketiga anakku. Tak jarang mereka terkena omelan saat tubuh ini terasa lelah. Namun setelah itu aku akan merasa menyesal.

“Alma makan sendiri,ya,” bujukku pada putri keduaku. Namun dia justru menggelengkan kepala.

“Mau disuapin Bunda,” rengeknya sambil bergelayut di tangan kananku.

“Sama Bi Leha, ya, Non,” rayu asisten rumah tanggaku lagi.

“Gak mau ... ya, gak mau! Alma mau sama Bunda,” rengek Alma dengan mata berkaca-kaca.

Aku menghembuskan napas perlahan seraya menetralisir rasa kesal yang tiba- tiba hadir. Aku tau Alma merasa cemburu karena perhatianku cenderung lebih besar pada Ali. Untung saja si sulung sudah bisa dikondisikan. Sehingga aku tak terlalu kerepotan dibuatnya.

“Tolong ambilkan nasi dan lauknya, Bi. Biar Alma saya suapi.” Bi Leha mengangguk lalu segera memindahkan nasi dan sop ayam ke dalam piring dan meletakkan di depanku.

Hari ini Bi Leha juga yang memasak. Ali sedang tak bisa diajak kompromi. Aku beruntung memiliki asisten rumah tangga seperti beliau.

“Baca doa dulu sayang.”

Alma segera membaca doa sebelum makan dengan lantang. Setelah selesai dia membuka mulut lebar-lebar. Tanpa menunggu lama kumasukkan nasi ke dalam mulutnya.

“Pagi ...,” sapa Mas Bayu kemudian menjatuhkan bobot di kursi kesayangannya. Matanya tak pernah lepas memandang aku dan Alma.

Mas Bayu  mengambil nasi dan lauk sendiri. Aku tak dapat melayaninya seperti biasa. Aku sudah disibukkan dengan kedua anakku hingga menomor duakan dirinya.

"Kamu sudah makan, Bun?" tanya Mas Bayu sambil menatapku. Aku menggelengkan kepala. Boro-boro bisa makan. Duduk menyandarkan tubuh saja belum bisa sampai sekarang.

"Harusnya  kamu terima usulku, Bun." Mas Bayu mulai menyendok nasi. Sesekali dia melihat ekspresi wajahku.

Aku menghembuskan napas kasar.

"Makan yang bener dong! Jangan belepotan seperti ini! Capek tau ngurusin kamu dari tadi!" maki Mbak Nining seraya menatapku tajam.

Aku menundukkan kepala, air mata berduyun-duyun jatuh membasahi kaos yang kukenakan. Rasa sesak menyeruak memenuhi rongga dada.

"Kamu denger gak sih!"

"Aw... Sakit, Mbak." Aku menjerit saat tangan Mbak Nining mencubit paha ini. Namun dia bukannya melepaskan tangannya justru semakin mengencangkan cubitannya di pahaku.

"Sakit, Mbak ... Ampun!" isakku.

"Makannya makannya yang cepet! Dasar lelet!" Mbak Nining kembali memakiku.

Diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tak ada perlawanan yang mampu kuberikan. Bahkan aku tak bisa mengadu kepada mama dan papa. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melupakan aku, anaknya sendiri.

"Jangan pernah kamu lapor sama tuan dan nyonya! Atau kubuat kamu tak memiliki bapak!" ancam Mbak Nining dengan mata menatapku tajam.

"Aak... Bun! Ih, Bunda malah bengong!"  Suara Alma menyentak lamunanku.

"Maaf, Sayang," ucapku lalu menyuapi nasi sop terakhir untuknya.

Aku atur napas yang kian terasa sesak. Kisah kelam masa lalu bagai bayangan diri yang tak bisa lepas. Sekuat apa pun kucoba menghapus, justru kejadian itu kembali terlihat jelas.

"Bagaimana tentang usul ayah, Bun. Bukankah sebaiknya kita memakai jasa babysitter? Ayah tak ingin Bunda selalu kecapekan seperti ini," bujuk Mas Bayu lagi.

Aku hembuskan napas kasar. Permintaan Mas Bayu bagai pisau yang menyayat kembali bekas luka yang belum kering. Dan itu sangat menyakitkan.

"Sudah Bunda jelaskan, sekali tidak mau! Tetap tidak mau!" Aku beranjak berdiri lalu melangkahkan kaki menuju taman belakang.

Aku duduk perlahan di kursi sambil melihat kumpulan bunga anggrek yang tersusun rapi. Melihat tanaman itu membuat pikiranku sedikit tenang.

Terdengar langkah kaki mendekat kemari. Aku masih duduk, enggan melihat siapa yang ada di balik pintu itu. Rasa kesal dan marah sudah memenuhi pikiranku.

"Maafkan aku, Sayang." Mas Bayu menjatuhkan bobot di kursi yang berada di sebelahku.

Aku bergeming, malas menanggapi permintaan maaf darinya. Entahlah, hari ini aku begitu kesal.

"Aku tahu kamu memiliki trauma dengan babysitter tapi tidak semuanya sama, kan?"

"Aku tidak mau, Mas. Cukup... Cukup aku saja yang merasakan. Jangan sampai anak-anakku mengalami hal yang sama sepertiku," ucapku parau dengan linangan air mata membasahi pipi putihku.

Kenangan Mbak Nining mencubit, membentak dan memukul kembali menari-nari dalam angan. Rasa takut kembali hadir kala mengingat perlakuan babysitter-ku dulu. Aku memang masih kecil saat kejadian itu terjadi,enam tahun usiaku kala itu. Namun kejadian yang berulang membuatku selalu mengingat dengan jelas berapa kejam seorang pengasuh anak.

"Mas hanya tak ingin kamu terlalu lelah," ucapnya seraya mengelus rambutku yang kuikat sembarangan.

"Menikahlah agar ada orang yang membantuku mengurus kamu dan anak-anak."

"Konyol! Kamu benar-benar konyol, Hanin!" Mas Bayu mengusap wajahnya dengan kasar lalu meninggalkan aku begitu saja.

Aku kembali ke dalam. Tak kulihat keberadaan Azha, Alma dan Mas Bayu. Mereka pasti sudah berangkat tanpa berpamitan denganku. Lagi dan lagi aku merasa menjadi ibu dan istri yang tidak berguna. 

"Makan dulu, Bu." Aku menoleh ke samping, Bi Leha sudah berdiri dengan membawa sepiring nasi dan lauk di tangan kanannya. 

"Bapak meminta saya mengingatkan ibu agar makan tepat waktu." 

Mas Bayu, semarah apa pun kamu padaku, tak sekali pun kamu memperlakukan aku dengan kasar. Namun aku tak bisa melayanimu dengan baik. Mungkin dengan kamu menikah lagi rasa bersalah ini akan sedikit berkurang. 

"Ali biar saya gendong, Bu." Aku mengangguk lalu menyerahkan putra bungsuku pada Bi Leha. 

Aku duduk lalu meletakkan piring berisi nasi dan lauk di atas meja. Perlahan aku masukkan makanan itu ke dalam mulut. Dengan cepat aku menghabiskan makanan itu. Aku memang lapar karena mengurus Ali yang sedang rewel membutuhkan tenaga ekstra. 

"Bibi boleh bicara, Bu?" Aku mengangguk lalu menatap lekat manik bening asisten rumah tanggaku.

"Maaf sebelumnya karena Bibi tak sengaja mendengar permintaan Ibu pada Bapak. Em...." BI Leha menjeda kalimatnya. Nampaknya beliau tengah menyusun kalimat yang pas agar tak menyakiti atau menyinggung perasaanku. 

"Lanjutkan, Bi."

"Apa ibu yakin mau di poligami? Membagi hati dan raga dengan wanita lain itu tidaklah mudah. Di luar banyak wanita yang tak ingin dimadu. Tapi kenapa Ibu memintanya?"

"Karena aku tak bisa mengimbangi Mas Bayu," ucapku tapi hanya di dalam hati. 

"Saya tahu betul bagaimana sifat Pak Bayu. Tak mungkin Pak Bayu mau menikah lagi karena di hatinya hanya ada Ibu seorang."

Bi Leha adalah pembantu keluarga Mas Bayu. Beliaulah yang ikut mengasuh suamiku di waktu kecil. Dari mulai remaja Bi Leha sudah mengabdi pada keluarga Mas Bayu. Jadi setelah Mas Bayu menikah beliau ikut ke mari. 

"Bu, tolong urungkan niat Ibu."

Aku menghembuskan napas kasar. Mulut ini mendadak kelu, aku tak mampu menjawab permintaan Bi Leha karena aku sendiri tak tahu harus menjawab apa? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Ending season 1

    "Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Dia Datang

    Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Meninggal Dunia

    "Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Hanin Masuk Rumah Sakit

    Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Hanin Tak Sadarkan Diri

    "Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah

  • KEINGINAN BERLEBIH SUAMIKU   Ancaman Natasya

    Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status