Share

Nasihat Bi Leha

Aku duduk di kursi makan sambil menggendong Ali. Sejak bangun tidur hingga sekarang putra bungsuku tidak mau ditidurkan di kasur atau stroller. Dia selalu minta gendong. Mungkin karena badannya masih tak enak hingga ia selalu saja rewel. Untung Alma sudah kumandikan sebelum Ali terbangun. Kalau tidak pasti akan terjadi drama di pagi hari.

Merawat anak tanpa babysitter  tidaklah mudah. Apa lagi jarak anak yang terbilang dekat. Aku harus ekstra sabar dalam menghadapi ketiga anakku. Tak jarang mereka terkena omelah saat tubuh ini terasa lelah. Setelah itu aku akan merasa menyesal.

“Alma makan sendiri,ya,” bujukku pada putri keduaku. Namun dia justru menggelengkan kepala.

“Mau disuapin bunda,” rengeknya sambil bergelayut di tangan kananku.

“Sama Bi Leha,ya,Non,” rayu asisten rumah tanggaku lagi.

“Gak mau,ya,gak mau! Alma mau sama Bunda,” rengek Alma dengan mata berkaca-kaca.

Aku menghembuskan napas perlahan seraya menetralisir rasa kesal yang tiba- tiba hadir. Aku tau Alma merasa cemburu karena perhatianku cenderung lebih besar pada Ali. Untung saja si sulung sudah bisa dikondisikan. Sehingga aku tak terlalu kerepotan dibuatnya.

“Tolong ambilkan nasi dan lauknya,Bi. Biar Alma saya suapi .” Bi Leha mengangguk lalu segera memindahkan nasi dan sop ayam ke dalam piring dan meletakkan di depanku.

Hari ini Bi Leha juga yang memasak. Ali sedang tak bisa diajak kompromi. Aku beruntung memiliki asisten rumah tangga seperti beliau.

“Baca doa dulu sayang.”

Alma segera membaca doa sebelum makan dengan lantang. Setelah selesai dia membuka mulut lebar-lebar. Tanpa menunggu lama kumasukkan nasi ke dalam mulutnya.

“Pagi ...,” sapa Mas Bayu kemudian menjatuhkan bobot di kursi kesayangannya. Matanya tak pernah lepas memandang aku dan Alma.

Mas Bayu  mengambil nasi dan lauk sendiri. Aku tak dapat melayaninya seperti biasa. Aku sudah disibukkan dengan kedua anakku hingga menomor duakan dirinya.

"Kamu sudah makan, Bun?" tanya Mas Bayu sambil menatapku. Aku menggelengkan kepala. Boro-boro bisa makan. Duduk menyandarkan tubuh saja belum bisa sampai sekarang.

"Harusnya  kamu terima usulku, Bun." Mas Bayu mulai menyendok nasi. Sesekali dia melihat ekspresi wajahku.

Aku menghembuskan napas kasar.

"Makan yang bener dong! Jangan belepotan seperti ini! Capek tau ngurusin kamu dari tadi!" maki Mbak Nining seraya menatapku tajam.

Aku menundukkan kepala, air mata berduyun-duyun jatuh membasahi kaos yang kukenakan. Rasa sesak menyeruak memenuhi rongga dada.

"Kamu denger gak sih!"

"Aw... Sakit, Mbak." Aku menjerit saat tangan Mbak Nining mencubit paha ini. Namun dia bukannya melepaskan tangannya justru semakin mengencangkan cubitannya di pahaku.

"Sakit, Mbak ... Ampun!" isakku.

"Makannya makannya yang cepet! Dasar lelet!" Mbak Nining kembali memakiku.

Diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tak ada perlawanan yang mampu kuberikan. Bahkan aku tak bisa mengadu kepada mama dan papa. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga melupakan aku, anaknya sendiri.

"Jangan pernah kamu lapor sama tuan dan nyonya! Atau kubuat kamu tak memiliki bapak!" ancam Mbak Nining dengan mata menatapku tajam.

"Aak... Bun! Ih, Bunda malah bengong!"  Suara Alma membuatku tersentak dari lamunan.

"Maaf sayang," ucapku lalu menyuapi nasi sop terakhir untuknya.

Aku atur napas yang kian terasa sesak. Kisah kelam masa lalu bagai bayangan diri yang tak bisa lepas. Sekuat apa pun kucoba menghapus, justru kejadian itu kembali terlihat jelas.

"Bagaimana tentang usul ayah, Bun. Bukankah sebaiknya kita memakai jasa babysitter? Ayah tak ingin Bunda selalu kecapekan seperti ini," bujuk Mas Bayu lagi.

Aku hembuskan napas kasar. Permintaan Mas Bayu bagai pisau yang menyayat kembali bekas luka yang belum kering. Dan itu sangat menyakitkan.

"Sudah Bunda jelaskan, sekali tidak mau! Tetap tidak mau!" Aku beranjak berdiri lalu melangkahkan kaki menuju taman belakang.

Aku duduk perlahan di kursi sambil melihat kumpulan bunga anggrek yang tersusun rapi. Melihat tanaman itu membuat pikiranku sedikit tenang.

Terdengar langkah kaki mendekat ke mari. Aku masih duduk, enggan melihat siapa yang ada di balik pintu itu. Rasa kesal dan marah sudah memenuhi pikiranku.

"Maafkan aku, sayang." Mas Bayu menjatuhkan bobot di kursi yang berada di sebelahku.

Aku bergeming, malas menanggapi permintaan maaf darinya. Entahlah, aku begitu kesal.

"Aku tahu kamu memiliki trauma dengan babysitter tapi tidak semuanya sama, kan?"

"Aku tidak mau, Mas. Cukup... Cukup aku saja yang merasakan. Jangan sampai anak-anakku mengalami hal yang sama sepertiku," ucapku parau dengan linangan air mata membasahi pipi putihku.

Kenangan Mbak Nining mencubit, membentak dan memukul kembali menari-nari dalam angan. Rasa takut kembali hadir kala mengingat perlakuan babysitter-ku dulu kala. Aku memang masih kecil saat kejadian itu terjadi,enam tahun usiaku kala itu. Namun kejadian yang berulang membuatku selalu mengingat dengan jelas berapa kejam seorang pengasuh anak.

"Mas hanya tak ingin kamu terlalu lelah," ucapnya seraya mengelus rambutku yang kuikat sembarangan.

"Menikahlah agar ada orang yang membantuku mengurus kamu dan anak-anak."

"Konyol! Kamu benar-benar konyol, Hanin!" Mas Bayu mengusap wajahnya dengan kasar lalu meninggalkan aku begitu saja.

Aku kembali ke dalam. Tak kulihat keberadaan Azha, Alma dan Mas Bayu. Mereka pasti sudah berangkat tanpa berpamitan denganku. Lagi dan lagi aku merasa menjadi ibu dan istri yang tidak berguna. 

"Makan dulu, Bu." Aku menoleh ke samping, Bi Leha sudah berdiri dengan membawa sepiring nasi dan lauk di tangan kanannya. 

"Bapak meminta saya mengingatkan ibu agar makan tepat waktu." 

Mas Bayu semarah apa pun kamu padaku, tak sekali pun kamu memperlakukan aku dengan kasar. Namun aku tak bisa melayanimu dengan baik. Mungkin dengan kamu menikah lagi rasa bersalah ini akan sedikit berkurang. 

"Ali biar saya gendong, Bu." Aku mengangguk lalu menyerahkan putra bungsuku pada Bi Leha. 

Aku duduk lalu meletakkan piring berisi nasi dan lauk di atas meja. Perlahan aku masukkan makanan itu ke dalam mulut. Dengan cepat aku menghabiskan makanan itu. Aku memang lapar karena mengurus Ali yang sedang rewel membutuhkan tenaga ekstra. 

"Bibi boleh bicara, Bu?" Aku mengangguk lalu menatap lekat manik bening asisten rumah tanggaku.

"Maaf sebelumnya karena Bibi tak sengaja mendengar permintaan Ibu pada Bapak. Em...." BI Leha menjeda kalimatnya. Nampaknya beliau tengah menyusun kalimat yang pas agar tak menyakiti atau menyinggung perasaanku. 

"Lanjutkan, Bi."

"Apa ibu yakin mau di poligami? Membagi hati dan raga dengan wanita lain itu tidaklah mudah. Di luar banyak wanita yang tak ingin dimadu. Tapi kenapa Ibu memintanya?"

"Karena aku tak bisa mengimbangi Mas Bayu," ucapku tapi hanya di dalam hati. 

"Saya tahu betul bagaimana sifat Pak Bayu. Tak mungkin Pak Bayu mau menikah lagi karena di hatinya hanya ada Ibu seorang."

Bi Leha adalah pembantu keluarga Mas Bayu. Beliaulah yang ikut mengasuh suamiku di waktu kecil. Dari mulai remaja Bi Leha sudah mengabdi pada keluarga Mas Bayu. Jadi setelah Mas Bayu menikah beliau ikut ke mari. 

"Bu, tolong urungkan niat Ibu."

Aku menghembuskan napas kasar. Mulut ini mendadak kelu, aku tak mampu menjawab permintaan Bi Leha karena aku sendiri tak tahu harus menjawab apa? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status