Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku menyibak selimut yang menempel di tubuh. Tak kulihat keberadaan Mas Bayu. Mungkin sedang di kamar mandi karena pintu kamar mandi masih tertutup rapat.
Aku menggeser tubuh pelan. Takut Ali terbangun karena ranjang yang sedikit bergoyang. Sebenarnya ada box bayi dalam kamar. Namun putra bungsuku tak bisa tidur nyaman jika di letakkan di sana. Entah karena apa aku juga tidak tahu. Aku berjalan seraya mengikat rambut sekenanya. Lalu berhenti tepat saat Mas Bayu membuka pintu. Suamiku keluar hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Bahkan air masih membasahi dada bidangnya. Dulu pemandangan ini selalu membuatku bergetar. Namun tidak sekarang. Entah karena apa aku juga tidak tahu. "Mas tunggu,ya,kita shalat berjamaah." Aku mengangguk lalu segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin mampu membuka mata yang masih mengantuk. Semalam Ali terbangun sampai tiga kali. Dan hanya aku yang ikut bangun. Mas Bayu terlelap di samping Ali.Setelah wudu aku buka pintu kamar mandi. Mas Bayu sudah menungguku dengan koko dan sarung yang menempel di tubuhnya. Dia semakin tampak berkharisma jika memakai pakaian muslim seperti itu. Penampilan itu yang dulu membuatku langsung jatuh cinta. Segera aku memakai mukena dan berdiri di belakang suamiku. "Allahu Akbar...."Aku mengikuti setiap gerakan shalat yang diimami Mas Bayu. Suara Mas Bayu begitu merdu kalau melantunkan ayat suci. Seketika dadaku bergetar. Rasa bersalah lagi-lagi hadir dalam diri. Aku salah telah menolak keinginan suamiku semalam. Malaikat pasti murka dengan istri yang menolak keinginan suami. Meski secara halus. "Assalamu'alaikum Warahmatullah ...." Bulir bening akhirnya jatuh membasahi pipi. Ini salah satu alasanku meminta Mas Bayu menikah lagi. Jika aku tak sanggup melayaninya. Adik maduku pasti bisa. Memang dangkal pikiranku ini. Mau bagaimana lagi, aku tak memiliki solusinya lain. Menyewa babysitter? Aku tidak mau. Cukup trauma di masa lalu. Jangan sampai anak dan cucuku mengalami hal yang sama. Cukup aku saja. "Lho, sayang. Kenapa menangis?" tanya Mas Bayu lembut seraya menghapus jejak air mata dengan kedua tangannya. “Ma-maafkan aku,Mas.Aku ... aku ....”“Tak apa,kamu kelelahan menjaga anak-anak seharian. Mas yang harusnya minta maaf karena selalu merepotkan kamu setiap hari."Aku mengangguk. “Ayo,dek. Mumpung anak-anak masih tidur,” bisik Mas Bayu di telinga kananku.Perlahan Mas Bayu menuntunku ke sofa. Mas Bayu tenggelam dalam indahnya surga dunia. Namun aku tak merasakan sama sekali. “Makasih sayang,” ucapnya seraya mengecup keningku.“Sama-sama,Mas.” Kuberikan seulas senyum kepadanya. “Nanti malam lagi,ya,sayang!” pinta Mas Bayu sebelum akhirnya beranjak pergi dan masuk ke kamar mandi.Aku menghembuskan nafas kasar setelah Mas Bayu masuk ke kamar mandi. Suamiku seakan tak ada lelahnya. Entah pengaruh hormon atau memang libidonya tinggi. Aku sendiri sama sekali tak mengerti akan itu. Yang aku tahu Mas Bayu selalu meminta haknya setiap hari.*** Oweek ... oweek ....Aku segera berlari menuju ruang makan. Kuletakkan begitu saja potongan sayur di atas meja. Bik Leha sedang berbelanja ke pasar. Ali kutidurkan di stroller saat aku memasak. Sengaja kulakukan agar aku bisa memasak sambil mengawasi si kecil. Maklum aku tak memiliki babysitter,atau lebih tepatnya aku tak mau memakai jasa pengasuh bayi. Bukan ... bukan karena aku takut dengan rumor pengasuh menjadi selingkuh suami. Seperti kejadian yang sempat viral di media sosial. Namun rasa trauma yang membuatku kekeh tak mau memakai jasa pengasuh bayi itu.Aku gendong jagoan kecilku. Aku elus punggungnya pelan-pelan. Namun Ali tetap saja menangis. Segera aku bawa Ali masuk kamar,menidurkan tubuhnya di atas ranjang. Aku beri dia ASI. Tapi Ali tetap saja tak mau. Putra bungsuku kian menangis kencang. Hingga aku bingung harus bagaimana?Suara tangis Ali mulai mereda hingga akhirnya dia tertidur karena kelelahan. Aku ikut merebahkan tubuh di samping putraku. Aku tak tega membiarkannya sendirian. Takut dia kembali menangis saat aku memasak. Biarkan tugas memasak Bi Leha yang menggantikan.Jarum jam sudah menunjukkan angka lima. Azha dan Alma sudah selesai kumandikan. Mereka tengah menonton televisi ditemani Bi Leha. Sementara aku dan Ali sudah duduk di teras sambil menunggu kedatangan Mas Bayu. “Ya Allah, Mas Bayu kenapa kamu lama sekali?” batinku kesal. Tak berapa lama sebuah mobil hitam masuk ke halaman rumah. Tentu saja itu mobil Mas Bayu. Dengan cepat aku masuk e dalam mobil. Mas Bayu melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Maklum ini jam ramainya lalu lintas.“Sejak kapan Ali panas,Nin?” tanya Mas Bayu dengan mata fokus ke depan.“Mulai panas saat aku telepon kamu,Mas. Tapi rewelnya sudah sejak pagi. Aku sampai tak bisa ngapa-ngapain.”“Semoga hanya panas biasa,Nin.” Aku mengangguk. Dam berharap begitu.Setelah sampai di rumah sakit,aku dan Mas Bayu segera membawa masuk Ali. Tak berapa lama dokter memeriksa keadaan putra kami. “Tidak apa-apa ,Bu,Pak. Adik kecil hanya demam biasa. Apa di rumah ada yang sedang pilek?” tanya dokter itu ramah.“Kakaknya batuk pilek,Dok.”“Kakaknya gemes sama adik,ya? Jadi cium-cium terus.” Dokter itu mengelus pipi cabi Ali.“Tapi tidak apaa-apa kan,Dok?”“Saya akan resepkan obat. sering diberi ASI,ya,Bu. Takut dehidrasi.” “Baik,Dok.”Sebenarnya ini bukan yang pertama kali melihat anak sakit. Namun tetap saja rasa khawatir dan panik selalu hadir.*** Aku menggendong Ali sambil bernyanyi lagu anak-anak.Perlahan mata Ali terpejam. Kutunggu beberapa saat hingga akhirnya putra kecilku tidur pulas dalam gendonganku. Dengan hati-hati kutiduran Ali di atas ranjang. Aku ikut merebahkan tubuh di samping Ali. Rasa kantuk mulai menyerang. Mataku kembali terbuka kala pintu kamar di buka. Mas Bayu berjalan mendekat ke arahku. Perasaanku mendadak tak enak. Aku takut Mas Bayu meminta haknya di saat tubuh dan ragaku merasa lelah. Ya Allah, aku salah jika berburuk sangka pada suamiku. Bukankah ini adalah kewajibanku? “Ali sudah tidur,Dek?” bisik Mas Bayu di telingaku.“Sudah,Mas. Baru saja aku tidurkan.”“Mas pengen,Dek. Sudah tak .... ”Aku menghembuskan napas kasar. Ya Allah ... badankku saja sudah capek tapi Mas Bayu kembali meminta haknya. Apa tidak bisa besok saja?"Aku... Ca...." Belum sempat aku melanjutkan perkataan Mas Bayu sudah membopong tubuhku. Kali ini aku merasa tersiksa. Aku lelah hati dan juga raga. Salahkah perasaan ini Ya Robb? Salahkan jika aku menolak keinginan suamiku. Meski aku tahu dosa menolak permintaan suami. "Terima kasih sayang, besok pakai baju dinas malam, ya."Bagaimana jika kalian menjadi Hanin? Apa yang akan kalian lakukan? Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komentar.Aku duduk di kursi makan sambil menggendong Ali. Sejak bangun tidur hingga sekarang putra bungsuku tidak mau ditidurkan di kasur atau stroller. Dia selalu minta gendong. Mungkin karena badannya masih tak enak hingga ia selalu saja rewel. Untung Alma sudah kumandikan sebelum Ali terbangun. Kalau tidak pasti akan terjadi drama di pagi hari.Merawat anak tanpa babysitter tidaklah mudah. Apa lagi jarak anak yang terbilang dekat. Aku harus ekstra sabar dalam menghadapi ketiga anakku. Tak jarang mereka terkena omelah saat tubuh ini terasa lelah. Setelah itu aku akan merasa menyesal.“Alma makan sendiri,ya,” bujukku pada putri keduaku. Namun dia justru menggelengkan kepala.“Mau disuapin bunda,” rengeknya sambil bergelayut di tangan kananku.“Sama Bi Leha,ya,Non,” rayu asisten rumah tanggaku lagi.“Gak mau,ya,gak mau! Alma mau sama Bunda,” rengek Alma dengan mata berkaca-kaca.Aku menghembuskan napas perlahan seraya menetralisir rasa kesal yang tiba- tiba hadir. Aku tau Alma merasa cemburu k
Aku terbangun saat mendengar ponsel menjerit-jerit berulang kali. Dengan cepat kuambil benda pipih yang ada di atas nakas lalu menggeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. “Assalamualaikum,” salamku sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali.“Wa’alaikumsalam. Bu Hanin sudah sampai mana? Alma sudah menunggu dari tadi,” ucap Ustadzah Fatimah dari sambungan telepon.“Astagfirulloh,maaf Ustadzah saya ketiduran. Tolong jaga Alma sebentar,saya akan segera ke sana.”Sambungan telepon segera kumatikan setelah mengucapkan salam. Dengan hati-hati kusambar outer hitam dan hijab lalu keluar kamar. Aku tak ingin membangunkan Ali yang masih terlelap. Akan timbul masalah besar jika Ali sampai terbangun. Bisa-bisa aku akan semakin terlambat menjemput Alma. Mobil kulajukan perlahan hingga keluar gerbang,setelah itu kecepatannya kunaikkan. Jiwa pembalapku mendadak muncul disaat-saat seperti ini. Apa seperti ini seorang ibu yang terlambat menjemput anaknya di sekolah?Mobil melesat
Pov BayuAstagfirullah.... Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Aku masih tak menyangka Hanin memiliki ide gila itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikah lagi. Bagaimana bisa? Ya Allah .... Sudah dua hari kami saling diam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut masing-masing. Kami bagai orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Kehangatan yang selalu ada seakan hilang. Memang benar kata orang istri pewarna keluarga dan marahnya istri adalah bencana. Namun bukannya aku yang marah di sini? Tapi kenapa terkesan aku yang salah?Aku segera merebahkan tubuh di atas ranjang, tak kuhiraukan Hanin yang tengah menyusui Ali. Sesekali kulirik dia, tiba-tiba hasrat ini hadir lagi. Dua hari tak mendapatkan sentuhan darinya membuatku tersiksa. Apa benar yang dikatakan Hanin? Libidoku terlalu tinggi hingga membuatnya kelelahan? Ya Allah.... Apa aku suami yang tak peka? Hingga istriku lelah dan memintaku menikah lagi?Ali sudah terlelap di tengah-tengah ranjang kami. Dia bagai pembatas
"Sebenarnya ada yang ingin Hanin bicarakan, Ma," ucap Mas Bayu. Aku tatap tajam suamiku. Seketika perasaanku tak enak. Kukira Mas Bayu mengajak kemari untuk silahturahmi dengan Mama dan Raffi. Namun nyatanya ada udang dibalik batu. "Apa itu, Nak? Sepertinya sangat penting.""Em ... Itu, Ma," ucapku terbata, aku bingung harus menjawab apa? "Hanin memintaku menikah lagi, Ma!" ucap Mas Bayu membuatku melotot. "Apa!"Aku telan saliva dengan susah payah. Tatapan mama membuatku bergidik ngeri. Apa yang harus kukatakan pada mertuaku? Seharusnya Mas Bayu cerita terlebih dulu padaku, bukan langsung memintaku menjelaskan pokok permasalahan kepada Mama. “Nuri!Nuri!” teriak Mama memanggil asisten rumah tangganya.Tak berapa lama Mbak Nuri masuk dengan napas ngos-ngosan,terlihat jelas ia berlari menuju kemari.“Ada yang bisa saya bantu,Nyonya?” tanyanya dengan napas tersengal.“Tolong jaga Ali sebentar,” ucap Mama seraya menyerahkan Ali ke dalam gendongan Mbak Nuri. Dengan cepat wanita itu pe
Aku memperhatikan dua wanita yang kini duduk di hadapanku. Dina dan Lana, dua kakak beradik yang akan menjadi asisten rumah tanggaku. Masih muda, Dina seusiaku sedang Lana selisih empat tahun dari Dina. Mas Bayu mendapatkan mereka dari sebuah yayasan penyalur jasa asisten rumah tangga ternama di kota ini. Sebenarnya aku hanya meminta satu asisten rumah tangga saja. Namun suamiku justru mengambil dua sekaligus. Entah kenapa dia begitu. Dina sendiri sudah berkeluarga sementara Lana masih lajang. Mereka berdua hanya tamatan SMA. Aku sendiri tak terlalu memperdulikan pendidikan. Bagiku yang terpenting mereka memiliki attitude yang baik, jujur dan giat bekerja. Karena percuma pendidikan tinggi tapi tak memiliki akhlak yang baik. "Sudah berapa lama menjadi asisten rumah tangga?" tanyaku seraya menatap Dina dan Lana bergantian. "Saya sudah se....""Sayang...," panggil Mas Bayu sambil berjalan ke arah kami. Kedatangan suamiku membuat ucapan Dina terhenti. Mereka berdua justru membisu sam
Sudah satu bulan setelah kami memiliki asisten rumah tangga baru. Namun tak sedikit pun mengurangi rasa lelah yang mendera. Justru aku semakin kelelahan karena lembur tiap malam. Mas Bayu tak ada habisnya menghisap maduku. Dia juga tak kecapekan. Entah apa yang membuatnya sekuat itu? "Bu Hanin sudah bangun?" tanya Bi Leha saat aku keluar kamar sambil menggendong Ali. Dengan sigap wanita itu mengambil Ali dari gendonganku. Semenjak Mas Bayu selalu mengajakku begadang, aku jadi sering tidur setelah anak-anak berangkat sekolah. Rasa kantuk membuatku terlelap setelah menyusui Ali. Beruntung Bi Leha paham keadaanku. "Ibu terlihat pucat dan mengantuk, istirahat saja, Bu. Ali biar saya jaga," ucap Bi Leha kala melihat wajahku. Mata panda sudah tergambar jelas di wajahku. Itu semua karena Mas Bayu selalu meminta haknya hingga dini hari. Bahkan berat badanku turun satu kilo. Beruntung ASI-ku tak kering."Sudah tidak mengantuk, Bi." "Jangan capek-cepek, Bu." Aku mengangguk lalu berjalan pe
"Menikahlah dengan suamiku, La.""Apa!!" teriak Syahla kencang. Seketika semua mata tertuju pada kami. "Pelankan suaramu!" ucapku sambil menatap tajam ke arahnya. "Iya maaf... Maaf."Sesaat kami diam, Syahla sibuk mencerna permintaanku. Sementara aku bingung harus merangkai kata. Permintaan itu keluar begitu saja dari mulut ini. Jika Mas Bayu mau menikah lagi, aku ingin mengenal istri keduanya dengan baik. Tentu ia juga harus sayang kepada ketiga anakku, dan Syahla memiliki kriteria itu. Lagi pula ia ingin suami seperti Mas Bayu bukan? Akan kukabulkan itu. "Apa kamu gak waras, Nin? Kamu memintaku menikah dengan suamimu?" ucapnya penuh penekanan. Netranya menatapku penuh selidik. "Kamu jangan bercanda, Nin. Pernikahan itu bukan untuk main-main apa lagi bahan guyonan!"Aku menghembuskan napas kasar lalu menatap lekat manik hitam miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, La?" Syahla menatapku tajam lalu menggelengkan kepala. Persahabatan yang terjalin lama diantara kami membuat Syahla t
Pov Bayu"Ide gila apa lagi, Nin!" ucapku frustasi. Aku tak habis pikir dengan permintaan Hanin. Entah setan apa yang merasuki istriku, hingga ia memintaku menikahi sahabatnya. Disaat wanita lain melarang suaminya menikah lagi, tapi dia justru memintanya. Ya Robb... Aku pikir setelah memberinya dua asisten rumah tangga, dia akan melupakan keinginannya itu. Namun aku salah, dia justru memintaku menghalalkan Syahla, teman yang sudah ia anggap saudara itu. "Aku ingin kamu menikah lagi, Mas. Dan Syahla calon adik madu yang baik untuk kita. Kamu sudah mengenalnya, anak-anak juga sudah tahu dia. Apa lagi yang kamu pikirkan," ucapnya pelan. Aku acak rambut kasar, frustasi. Aku sudah tak tahu harus bagaimana menolak permintaan Hanin. Aku lelah dan bosan dia memintaku menikah lagi. "Sudah, aku capek!" Kutinggalkan Hanin sambil menggendong Ali. Percuma berdebat dengan orang yang tak mau mengalah. Malam kian larut tapi rasa kantuk tak jua datang. Ucapan Hanin selalu terngiang-ngiang di te