"Baiklah, sebenarnya, yang telah membikin vidio itu, adalah ... aku sendiri!" Aku mengakui, kalau akulah yang sebenarnya membuat vidio itu.
Mereka yang hadir pun langsung melongo, seakan tidak percaya, dengan apa yang mereka dengar. Namun ada pula yang geleng-geleng kepala, serta menghujat Mas Bagas serta Ratna.
Setelah apa yang aku utarakan, Mas Bagas dan Ratna malah saling pandang. Mereka mungkin tak percaya, dengan apa yang aku ucapkan. Mereka mungkin berpikir, dari mana aku mendapat Vidio, tentang mereka berdua.
"Baiklah, akan aku beritahu alasanya, bagaimana aku sampai membuat Vidio ini." Aku menghela napas terlebih dulu, kemudian melanjutkan ceritaku.
"Saat itu aku datang ke kantor, dengan niat membawakan makan siang, kesukaan pria yang ada di vidio itu. Aku sengaja tidak menelpon sekretarisnya, karena ingin memberi kejutan kepadanya."
"Tetapi aku beruntung, karena tidak menelpon terlebih dulu. Sehingga mendapatkan bukti, tentang perbuatan mereka berdua tanpa sepengetahuanku."
"Datang ke kantor, dengan niat ingin memberi kejutan, namun apa yang aku dapatkan, justru aku malah terkejut, dengan perbuatan mereka. Aku, sebenarnya mengharapkan ucapan terima kasih dari mulut kekasihku."
"Namun bukanlah sebuah ucapan terima kasih, yang aku dapatkan, tetapi bukti akan sebuah penghianatan, yang dilakukan mereka berdua." Aku berkata panjang lebar, membeberkan semua yang aku ketahui. Aku pun, kemudian menunjuk Mas Bagas dan juga Ratna.Aku menyeka air mata, yang tiba-tiba jatuh dari kedua mataku. Rasa sesak di dada pun, kini muai menghilang. Dada ini merasa plong, setelah mengungkapkan beban yang aku rasa. Kemudian aku pun melanjutkan ucapanku.
"Ternyata, mereka berdua berstatus sepasang kekasih, saat si perempuan yang bernama Ratna menjodohkanku dengan pacarnya yang bernama Bagas tersebut. Mereka berdua, sengaja melakukan semua itu karena berniat ingin menguasai, harta benda keluargaku, seperti yang terucap di vidio tadi.
"Jadi, vidio yang kalian tonton tadi, itu real. Bukannya hoax seperti yang pria itu bilang." Aku mengakhiri ucapanku, sambil menunjuk kedua orang yang kini menjadi bullyan para tamu undangan.
"Jadi, ini gimana? Pernikahannya batal, apa lanjut Pak Syamsul?" Penghulu kembali bertanya kepada Papaku.
"Tapi, Pah. Mas Bagas, itu 'kan sudah jelas-jelas bukan pria yang baik. Ia, hanya menginginkan harta kita saja. Masa iya, Papa tega nikahin aku, sama pria macam itu?" Aku bertanya, kepada Papa.
"Bagaimana, kehidupan rumah tanggaku nanti, kalau semua itu terjadi? Rumah tanggaku, hanya akan dipenuhi dengan kesengsaraan lahir batin." Aku berkata, panjang lebar karena tidak setuju, dengan keputusan Papa tersebut.
"Siapa bilang, kalau Papa mau nikahi kamu, sama si br*ngs*k itu?" tanya Papa, sambil menunjuk muka Mas Bagas. Ucapan Papa, membuat aku menjadi heran, serta bertanya apa maksud perkataan Papa itu.
"Terus, maksud Papa, aku mau dinikahkan sama siapa? Jangan ngaco, dong Pah, aku enggak mau nikah, sama orang yang belum aku kenal." Aku menolak, keinginan Papa. Aku juga meminta, supaya Papa tidak menikahkanku dengan orang asing.
Semua yang hadir pun pada bengong, dengan apa yang diucapkan Papa. Mereka pun sama sepertiku, merasa kaget mendengar keinginan Papa, melanjutkan pernikahan ini. Mereka saling bertanya, siapakah orang yang akan menggantikan pengantin prianya?
Jangan tanya, aku karena aku pun tidak tahu.
"Andre ... kamu mau 'kan Nak, menikah dengan anak Om? Kamu itu 'kan sudah dewasa, serta sudah mapan. Kamu lebih pantas, menyandang status menantuku, jika harus dibandingkan dengan si Bagas itu." Papa bertanya kepada Andre, mau atau tidak menikah denganku.
"Andre, bukankah kamu petnah bilang, kalau kamu sedang mencari calon istri? Mungkin, ini saatnya buat kamu untuk melepas status lajang," ucap Papa, sambil memegang kedua pundak Andre, dengan kedua tangannya.
"Kamu udah siap 'kan, Nak Andre, buat menjaga putri Om satu-satunya ini? Hanya kamulah, orang yang Om percaya untuk mendampingi putri Om. Tolong jaga Anisa, sayangi serta lindungi dia. Bimbing dia kejalan yang benar, kalau pun ada sifatnya yang kekanakan, kamu tolong maklumi. Mungkin, sifatnya seperti itu karena ia kurang kasih sayang seorang Ibu." Papa panjang lebar berkata, meminta Mas Andre untuk menerimaku sebagai istrinya. Ia bahkan menceritakan semua kekuranganku, kepadanya.
"Enggak bisa gitu, dong, Om! 'Kan di undangan sudah tertulis jelas, kalau Bagas dan Anisa yang bakal jadi mempelai. Masa iya, nikahnya malah sama Andre, yang notabene tidak ada sangkut pautnya. Itu enggak adil, Om. Itu semua merugikan saya. Namanya baik, serta harga diri saya merasa terinjak," ucap Mas Bagas tidak terima.
"Apa yang membuat kamu merasa rugi, Bagas? Bukankah, semua biaya pernikahan ini, saya yang tanggung? Apa karena kamu, gagal nikah sama Anisa? Sehingga, gagal pula untuk mengambil harta saya. Itu'kan yang membuat kamu merasa rugi?" Papa bertanya, kepada Mas Bagas, apa yang di maksud rugi olehnya.
Papa berkata dengan nada tinggi. Nada suaranya pun, sampai naik satu oktaf. Seperti itulah sifat Papa, kalau ada keluarganya yang diusik. Dia akan baik jika orang itu baik, dan akan lebih jahat jika dijahatin. Kata bijak mengatakan 'baikku jangan ditanya, tetapi jahatku boleh coba.
"Lebih baik, kalian pergi! Sebelum saya bawa, kasus ini ke jalur hukum." Aku menyuruh kedua benalu itu, untuk segera pergi dari hadapan kami.
"Silakan, kalian pergi! Sebelum saya berubah pikiran. Kalian berdua juga harus ingat, jangan pernah mendekati anak saya lagi. Siapa pun, yang berani menyakiti anak saya. Maka kalian harus berhadapan dulu dengan saya." Papa memberi peringatan kepada mereka berdua, supaya menjauhiku.
Papa juga mengingatkan, kepada siapa pun, supaya tidak seenaknya menyakitiku. Papa pun mengusir kedua benalu itu, sambil menunjuk pintu keluar.
"Ayo, Mas, kita pergi saja dari sini. Daripada, nanti kita di penjara," ajak Ratna. Ia mengajak Mas Bagas untuk segera pergi, dari ballroom hotel bintang lima milik Papa ini.
Mas Bagas pun, akhirnya menuruti ajakan Ratna. Mungkin, ia takut jika nanti akan di penjara, kalau sampai mereka tidak segera pergi. Mereka pun melangkah keluar, meninggalkan kami.
Namun, baru dua langkah mereka berjalan, aku menghentikan langkah mereka. Aku sengaja, menyuruh mereka berhenti karena masih ada, yang mau dibicarakan olehku.
"Kalian berdua, berhenti!" seruku. Aku memerintahkan mereka, supaya berhenti.
Bersambung ...
"Ada apa, Anisa, sayang? Apa kamu sudah berubah pikiran?" tanya Mas Bagas.Mas Bagas, sudah kegeeran karena aku menghentikan mereka. Mas Bagas mengira, kalau aku menyuruh mereka berhenti karena aku telah berubah pikiran. I am sorry, Mas Bro, itu tidak akan pernah lagi terjadi padaku. Karena aku sudah tidak sudi jika harus terus bersama dengannya."Nisa, maafin semua kesalahan, Mas, ya! Mas, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mas, menyesal, Anisa. Jika kamu meminta kepada, Mas, supaya Mas memutuskan Ratna. Mas akan lakukan semua permintaanmu itu, Nisa. Asalkan kamu bisa kembali lagi kepada, Mas." Mas Bagas memelas meminta maaf kepadaku, kalau ternyata ia tidak mau putus denganku.Dia bahkan berkata, kalau dia rela meninggalkan Ratna hanya demi aku. Padahal dulu dia jelas-jelas menghinaku, di hadapan kekasihnya itu. Mas Bagas berharap, kalau aku akan memintanya kembali. Padahal, bermimpi kembali padanya pun, aku sudah tid
"Ya sudahlah, Mas, ayo kita pergi! Nggak ada gunanya lagi, kita berlama-lama disini. " Ratna mengajak Mas Bagas untuk pergi.Tetapi sebelum mereka benar-benar pergi, aku segera menyuruhnya untuk tetap di tempat semula. Aku masih belum selesai bicara, masih ada hal yang ingin aku sampaikan lagi kepada mereka."Tunggu, kalian jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara, dasar pasangan tidak tahu etika! Kalian, jangan pernah meninggalkan tempat ini, sebelum aku perintahkan! Kalian berdua paham?" tanyaku. Aku meminta mereka, supaya tetap di tempat. Karena aku masih ada pembicaraan yang belum selesai."Apalagi sih, Anisa? Bukannya tadi kamu, yang menyuruh kami untuk segera pergi? Kenapa sekarang kamu malah melarang kami pergi?" Ratna bertanya kepadaku, ia juga malah membalikan semua ucapanku.Ratna, sekarang berubah menjadi sangat sinis, jika sedang berbicara denganku. Sangat berbeda dari biasanya, dulu ia selalu lemah lembut dala
"Kenapa kamu bilang begitu, Anisa? Apa kamu tidak menyukaiku? Padahal aku ini pria baik-baik lho, Nia. Berbeda sekali dengan mantan pacarmu tadi," ujar Mas Andre."Iya, Nis, kenapa kamu menolak Nak Andre? Apa alasan kamu menolak dia?" tanya Papa."Karena Mas Andre galak, Pah. Pasti kalau nanti kami sampai menikah, setiap hari aku akan dikasarin terus sama dia, Pah! Makanya, Anisa nggak mau nikah sama, Mas Andre. Pah, nggak usah dilanjut ya nikahnya! Biar nanti, Anisa sendiri yang mencari calon suami buat Anisa." Aku menolak keinginan Papa, aku pun meminta Papa, supaya membatalkan niatnya itu.Aku tidak mau, kalau sampai nanti setelah menikah. Rumah tangga kami berdua, hanya akan dihiasi dengan pertengkaran. Karena tidak didasari rasa cinta, yang tumbuh di dalam hati sanubari kami berdua."Anisa, sudah sejak lama Papa mau menjodohkanmu dengan Nak Andre, tetapi waktu itu kamu bilang sudah ada, Bagas. Makanya, Papa menurut
"Sah ...," ucap mereka serempak."Alhamdulillah," ucap Pak Penghulu. Kemudian, beliau melanjutkannya, dengan doa.Setelah itu, Mas Andre membaca sighat taklik pernikahan. Kemudian dilanjutkan dengan acara yang lainnya, serta di susul dengan acara resepsi pernikahan. Alhamdulillah, acara pernikahanku pun berlangsung khidmat dan lancar. Rupanya, mas kawin yang diberikan Mas Andre kepadaku. Tadinya untuk kado untukku, tetapi sekarang ia alih fungsikan, dengan menjadikan sebagai mas kawin untukku. Acara resepsi pernikahan, yang digelar pun dengan begitu mewah dan meriah. Walaupun kini berganti mempelai pria, tetapi semuanya tetap berjalan dengan lancar."Bu Anisa, Pak Andre selamat ya. Semoga kalian berdua, menjadi keluarga yang samawa." Mirna, mengucapkan selamat, kepadaku, saat acara resepsi berlangsung."Iya, Mirna, terima kasih ya," sahutku."Iya, Bu. Maafkan saya ya, Bu! Karena, saya telah menutupi kejahat
Saking capeknya, sehingga rasa kantuk datang begitu cepat. Tidak terasa aku pun terlelap, walaupun hanya tidur di sofa.Saat dalam tidur, aku bermimpi. Aku bertemu dengan seorang pangeran berkuda. Ia menjadikanku istrinya, aku diperlakukan seperti seorang putri raja. Ia begitu lembut, memperlakukanku. Sang Pangeran, meletakkanku ke atas kasur, yang sangat empuk dan juga indah . Ia pun mengecup keningku, hati ini merasa bahagia mendapat perlakuan romantis dari sang pangeran. Berbeda sekali, dengan kenyataannya. Aku, malah bersuamikan Mas Andre, yang menurutku paling jutek di dunia. Dia tidak memberikan keromantisan untukku, seperti yang Pangeran kakukan dalam mimpiku.*****"Aa ... aa ... a," jeritku, saat aku membuka mata saking kagetnya.Bugh!"Aduh," kataku. Aku mengaduh, saat sebuah bantal
"Maaf ya, Mas, kalau membuatku menunggu lama," sahutku.Kemudian, kami pun shalat subuh berjamaah. Ternyata, Papa memang tidak salah dalam memilihkanku suami. Ia, seorang yang taat akan agamanya, walaupun sifatnya selalu jutek padaku. Mungkin semuanya ini butuh proses untuk kami, supaya kami bisa menjadi suami istri yang romantis. *****"Mas, aku izin sama kamu, aku mau pergi ke kamar Papa dulu ya! Aku mau bangunin Papa, barangkali saja Papa masih tidur karena kecapekan." Aku meminta izin kepada Mas Andre untuk membangunkan Papa."Nisa, kenapa kamu mesti nyamperin ke kamar, Papa? Kenapa, nggak bangunin Papa lewat telepon aja? Kamu mah segalanya di bikin ribet," ucap Mas Andre, ia juga bertanya alasannya kenapa aku mesti nyamperin Papa kekamarnya."Nggak, Mas, lebih baik aku s
"Iya, Nis. Ayo kita pergi ke kamarmu, sebab Papa mau pamit sama suamimu," sahut Papa, sambil menutup pintu kamarnya, kemudian mengajakku kembali ke kamarku.Aku dan Papa pun berjalan menuju kamarku, yang tidak berada jauh dari kamar Papa. Hanya perlu berbelok saja. Kami berdua berjalan berdampingan. Aku berjalan, sambil bergelayut manja di tangan Papa, kepalaku pun aku senderkan ke pundaknya Papa. Perlakuan seperti itulah, yang selalu membuatku nyaman, bila sedang bersama Papa.Aku memang sangat manja kepada Papa. Makanya, Mas Andre selalu bilang, kalau aku adalah seorang anak manja, yang hanya bisa berada di bawah ketiak Papa. Aku hanya memiliki Papa, jadi aku hanya bisa bermanja kepadanya. Andai Mama belum meninggal, mungkin aku juga akan manja kepada Mamaku."Nis, kamu yang baik ya, ladenin suamimu. Ia adalah imammu sekarang," pesan Papa, saat kami menuju kamarku."Iya, Pah, tapi Mas Andrenya saja yang suka n
Mendengar perkataan, Mas Andre dan Papa membuatku kesal dan juga malu. Saking kesalnya, aku pun tidak lagi berkata apapun. Aku tidak ikut berkomentar, dengan apa yang sedang dibahas Papa dan Mas Andre.'Ih lagian salah, Papa juga. Kenapa dia nikahin aku sama manusia dingin dan jutek macam begini? Coba kalau Papa cari orangnya yang lebih seru, mungkin akan asyik menikmati malam pertama tadi. Ini boro-boro berbuat yang asyik-asyik, tapi Mas Andre malah bikin aku naik darah melulu. Bagaimana aku mau punya anak, kalau suaminya saja jutekin aku melulu,' gumamku."Ya sudah, Papa pergi dulu ya! Kalian baik-baik di sini, yang akur-akur ya, biar cepet punya dede bayi." Papa pamit, sambil kembali berpesan tentang keinginannya untuk memiliki cucu."Iya, Pah. Papa nggak usah khawatir, Andre akan menjaga Anisa kok, Pah." Mas Andre menyahut ucapan Papa.Setelah pamit, Papa pergi dari kamar kami. Mas Andre pun, kembali memainkan