Lama menanti balasan, yang tidak kunjung ada, sampai akhirnya kantuk pun datang. Aku pun mematikan televisi dan naik ke atas spring bed king size milikku. Lampu kamar pun di ganti dengan lampu tidur, serta tidak lupa memakai selimut super tebal, tetapi bahannya tidak panas. *****"Nis, kapan calonmu, akan menemui Papa?" Papa kembali bertanya kepadaku, tentang calon suamiku kapan akan menemuinya. Papa bertanya kepadaku, pada saat kami akan sarapan bersama."Nanti Nisa akan menanyakannya dulu ya, Pah. Kapan waktunya dia bisa menemui Papa," jawabku.Aku menjawab pertanyaan Papa dengan perasaan yang lumayan lega, soalnya aku merasa yakin, kalau Mas Bagas telah siap menemui Papa."Ok, Nisa, Papa tunggu ya," ujar Papa, sambil menyendok nasi."Iya, Pah, pokoknya Papa tenang saja ya. Anisa pasti akan membawa calon suami Anisa ke hadapan Papa," sahutku."Iya, Anisa, Papa akan tetap menunggu kapanpun itu. Ayo kita sarapan dulu," ajak Papa.Setelah itu kami pun makan dengan tenang, selesai maka
[Iya silahkan, Nisa! Kebetulan sekali, Mas juga belum ada kegiatan di kantor.] balasan dari Mas Bagas. Rupanya ia sudah berada di kantor saat ini.'Anak, yang baik," gumamku. Aku pun menganti chat dengan vidio call dan panggilan pun berdering. Mas Bagas pun menerima sambungan vidio dariku, wajah Mas Bagas kini berada di layar handphone milikku. Ternyata betul apa kata dia, kalau kini dia sedang berada di kantor, tepatnya berada di depan meja kerjanya."Ada apa, Nis? Kamu kangen ya sama, Mas?" tanya Mas Bagas, saat vidio kami telah tersambung."Ih ... apaan sih kamu, Mas?" tanyaku. Aku berpura-pura tidak kangen dengannya, padahal sebenarnya aku juga sedang merindukannya.'Kok dia tau saja sih, kalau aku sedang kangen sama dia,' kataku dalam hati."Kamu jangan bohong deh, Nis. Soalnya Mas tau kok ekspresi orang yang sedang kangen," ujarnya.Perkataannya membuat aku tambah malu, aku menjadi salah tingkah, sebab malu dibilang begitu oleh Nas Bagas. Dia juga pasti melihat wajahku langsun
"Iya, Pah ini calon suaminya, Nisa." Aku menjawab pertanyaan Papa."Sudah berapa lama, kalian berhubungan?" tanya Papa.Papa bertanya, tentang hubungan kami sudah berjalan berapa lama. Aku pun menjadi bingung, aku juga merasa takut, kalau Mas Bagas bilang baru dua hari. Jika berkata seperti itu, pastinya nanti Papa akan curiga kepadaku."Kami sudah berhubungan sekitar satu bulan yang lalu, Pah." Aku sengaja menjawab duluan, supaya jawaban Mas Bagas nanti bisa akurat."Lho, kok kamu yang jawab sih, Nisa. Papa kan nanyanya sama, Dia? Siapa tadi namanya, Papa lupa?" Papa bertanya nama Mas Bagas, ia juga protes kenapa aku yang menjawab pertanyaan darinya."Namanya Bagas, Pah," sahutku.Aku kembali menjawab pertanyaan dari Papa, mewakili Mas Bagas."Oh iya, Nak Bagas, kamu kerja di mana?" tanya Papa pura-pura tidak tahu."Mas Bagas, kerja di perusahaan Papa. Kan tadi, Anisa sudah bilang sama Papa. Aku kembali menjawab pertanyaan yang Papa lontarkan untuk Mas Bagas."Nisa, Papa nanya sama
Aku sampai bengong, mendengar Papa mempertanyakan hal tersebut kepada Mas Bagas. Ternyata dibalik sikap Papa yang tegas, Papa juga begitu mengkhawatirkan aku. Papa tidak rela, jika aku seorang anak gadis satu-satunya, menderita karena cinta."I ... iya, Om, sa ... saya sanggup." Mas Bagas berkata sampai terbata, mungkin karena saking gugupnya."Kenapa bicaranya gugup begitu, Nak Bagas? Apa bukan dari hati mengatakannya?" tanya Papa kepada Mas Bagas."Ti-tidak, Om. A-aku benar-benar mencintai anak om kok, dari hatiku yang paling dalam." Mas Bagas menjawab pertanyaan Papa.Mas Bagas terus berkata gugup, hingga membuat Papa bertanya. Aku pun heran sama dia, kenapa menjawab pertanyaan Papa saja sampai gugup? Padahal kalau memang benar ia menyukaiku, seharusnya tidak perlu merasa gugup seperti itu, justru seharusnya ia harus bersikap tegas."Baiklah, Bagas, kita lihat saja nanti. Kalau sampai ucapan kamu tidak sesuai dengan kenyataannya, jangan salahkan, Om, kalau Om sendiri yang akan tur
Aku yang mendengarkan setiap perkataan Papa, begitu terharu dan tidak dapat membendung air mata yang memaksa keluar. Ternyata sebesar itu rasa sayangnya Papa padaku. Aku tidak menyangka karena demi aku, Papa rela menduda, sampai puluhan tahun."Papa, maafin Anisa ya. Anisa tidak tahu, kalau selama ini ternyata Papa begitu mengedepankan perasaan Anisa, ketimbang egonya Papa. Maafin semua salah Anisa ya, Pah!" ucapku."Iya, Nisa, Papa maafin kamu kok. Bahagia Papa itu gampang, Anisa. Asalkan kamu bahagia, Papa pun ikut bahagia. Tetapi sebaliknya, jika kamu terluka. Maka Papa yang akan lebih terluka dari pada kamu. Paham kan, Nisa?" tanya Papa."Iya, Pah, Anisa paham sekarang," jawabkuAku berkata, sambil menghambur ke dada Papa. Papa pun membalas dengan memelukku erat. Ia mencium pucuk kepalaku yang terbungkus kerudung, sambil mengusapnya dengan lembut."Syukurlah kalau kamu sudah paham," ungkap Papa."Iya. Pah, Anisa paham. Anisa akan tetap bahagia, Anisa tidak akan bersedih lagi demi
"Lagian juga, jika nanti kalian berdua berjodoh, rumah ini juga akan menjadi rumah kalian juga. Makanya kalimantan sungkan-sungkan, Nak Bagas." Papa, menyuruh Mas Bagas untuk makan dan menganggap rumah Papa sebagai rumahnya sendiri."Terima kasih, Om," sahut Mas Bagas."Iya, Mas, kamu jangan sungkan ya," timpalku.Kami pun akhirnya makan dengan tenang, tanpa bersuara sedikitpun. Mas Bagas juga kelihatannya begitu menikmati, masakan yang dihidangkan ini. Aku pun merasa bahagia melihatnya, apalagi sudah mendapat restu dari Papa.*****"Ratna, hari iniaku sedang bahagia ... banget," kataku memulai pembicaraan."Memangnya ada apa, Nisa? Kamu baru menang lotre atau apa?" tanya Ratna dengan raut wajah heran."Bukan begitu, Ratna, tetapi ada hal lainnya. Ratna terima kasih ya, kamu sudah memperkenalkan aku sama Mas Bagas. Kini kami telah resmi menjadi pasangan kekasih, Papa juga sudah merestui." Aku menceritakan isi hatiku kepada Ratna.Aku curhat dan juga berterima kasih, saat dia berkunjun
"Eng ... enggak, kok, Nis. ATMnya gak kenapa-napa, cuma saja ...!" Ratna, menggantung ucapannya."Cuma apa, Ratna? Kamu kalau ngomong yang jelas dong , biar aku bisa paham," desakkuAku meminta Ratna, supaya ia berbicara yang jelas dan jangan bertele-tele. Karena aku tidak suka, jika ceritanya sengaja dibelit-belit seperti benang kusut. "Tapi, Nisa, kamu jangan marah ya," pintanya."Kenapa juga aku mesti marah sama kamu, Ratna? Memangnya kamu berbuat salah ya sama aku?" tanyaku.Aku semakin heran dengan sikap Ratna, yang tidak biasa. Entah mengapa dia terus berkata seperti itu, sebab aku merasa kalau Ratna tidak memiliki salah kepadaku."Jadi begini, Nis. Saldo di dalam ATMnya, cuma tersisa satu juta. Tadinya 'kan, saldomu ada lima puluh satu juta terus kemaren dibeliin perlengkapan buat Bagas. Total semuanya habis empat puluh juta, termasuk beli handphone," terang Ratna. "Iya, Ratna, terus yang sepulu jutanya kemana ?" tanyaku lagi."Uang yang sisa sebelas juta, aku pake sepuluh ju
Ia pikir karena Papa banyak uang, maka aku akan bebas untuk menghamburkannya sesukaku. Tanpa dia tahu, kalau uang yang ada di ATM-ku tersebut, adalah uang hasil aku menyisihkan, dari jatah bulanan yang Papa berikan."Iya, Ratna, tidak apa kok. Tapi benar ya, nanti kamu ganti uangku." pintaku. Aku meminta supaya Ratna mengganti tangerang ia pakai dari ATM-ku. Padahal aku tahu, kalau selama ini dia tidak pernah mengembalikan apapun dan sepeserpun. Walaupun dia bilang meminjam uang, ataupun barang kepadaku. Ratna tidak pernah berniat untuk mengembalikannya kepadaku. Ia menganggap semua yang diucapkannya dengan kata meminjam, tetapi kenyataannya itu adalah memintanya dariku. Semua itu ia sering lakukan kepadaku ataupun kepada Papa. Tetapi aku ataupun Papa, selalu tidak pernah jera untuk membantunya. Kami selalu merasa simpati melihatnya."Baiklah, Anisa, aku pasti akan membayarnya kok. Kamu memang sahabat terbaik, yang aku miliki, Nisa. Kamu selalu mengerti, dengan kondisiku," ujar Ratna