Share

Tempat Pelarian

“Aku sungguh minta maaf, tapi aku tidak dapat menemukan Naomi dimanapun, justru saat bertemu dengannya, dia—“ bibi Lucy memandang gadis berambut pirang itu penuh arti.

“Kau tenang saja, Noland. Aku bisa menjaga rahasia. Lagipula aku sudah tidak memiliki siapapun lagi, jadi kau dan juga pangeran tidak perlu merasa harus bertanggung jawab. Aku akan melakukannya” jawab Ravena Laine, gadis berambut pirang yang muncul dari balik bahu bibi Lucy.

“Tidak! Kau tidak bisa, kenapa harus dirimu?” Noland memutar matanya kemana saja, dia tidak ingin Ravena menyadari kegundahan hatinya saat ini.

Mereka baru dua kali bertemu, namun kedua pertemuan itu sudah mampu menumbuhkan perasaan suka di hati Noland. Dia menyukai Ravena pada pandangan pertama, saat dirinya menemukan gadis itu berada di padang pasir di ujung Selatan Caligo.

Sekarang, dia malah mendapati gadis itu menyerahkan diri dengan sukarela!

“Karena aku masih perawan. Bukankah pangeran mencari seorang perawan untuk ‘menyembuhkan’nya?” kali ini Noland tidak bisa berkata apapun lagi, melihat sikap Ravena yang tegas dan penuh keyakinan seperti itu, membuat nyalinya ciut.

Setelah ini, Noland tidak akan bisa melihat gadis itu dengan cara yang sama lagi. Karena dia tidak mungkin berebut seorang wanita dengan Harvey. Terlebih lagi, mungkin setelah malam ini, mereka tidak akan bertemu lagi. Setelah malam ini, dia akan kehilangan Ravena untuk selamanya.

Pria itu menahan agar air matanya tidak menetes. Tak lama kemudian dia meraih tangan Ravena dan membawanya pergi untuk menemui Harvey. Nyawa sang pangeran sedang berada di ujung tanduk sekarang, jadi mereka harus bergegas.

***

"Masuklah" Noland mempersilahkan Ravena masuk setibanya mereka di pondok.

"Hmm" Ravena hanya menggumam sembari mengangguk sebelum meninggalkan Noland yang lebih memilih duduk di kursi bambu, yang terletak tidak jauh dari pondok.

Noland tidak bisa pergi dari sana karena dia harus memastikan pangeran Harvey selamat dan tetap hidup. Meskipun dia tahu, itu akan menyakitinya.

Ravena berjalan tanpa suara saat memasuki pondok. Itu adalah tempat tinggal yang indah dan nyaman untuk ukuran letaknya yang di tengah hutan, sangat terawat dan lebih terlihat seperti ‘tempat pelarian’. 

Ravena meraih saklar terdekat untuk mematikan lampu, ini adalah pengalaman pertama baginya, wajar kalau dirinya merasa malu. Mereka hanya berdua saja di ruangan itu, menimbulkan atmosfer yang sedikit asing dan Ravena seketika merasakan dadanya berdesir dengan ritme yang semakin cepat. 

“Siapa namamu?” suara itu terdengar berat dan seksi sekaligus, Ravena juga bisa merasakan saat pria itu perlahan bergerak ke arahnya.

“Ravena” jawabnya singkat, jujur saja dirinya sangat gugup sekarang ini. Dia bahkan tidak melepaskan kedua telapak tangannya yang saling meremas sejak tadi.

“Ravena—?” Harvey mengangkat sebelah alisnya, sengaja menggantung pertanyaannya.

“Ravena saja, aku sebatang kara” jawab Ravena cepat saat memahami pertanyaan Harvey yang menggantung itu.

“Begitu rupanya. Kau sudah tahu kan untuk apa kau berada di sini?” Harvey menggunakan mata birunya yang tajam untuk menelusuri siluet tubuh Ravena yang berdiri di hadapannya.

Dalam hati mengumpati gadis itu karena berani mematikan lampu tanpa seijinnya.

“Tentu saja, dan aku akan menjaga rahasia ini sampai mati” Harvey menghembuskan napas berat, sepertinya Noland belum memberitahunya tentang kutukan itu, kalau tidak, dia tidak akan mengatakannya selantang itu.

“Apa kau perlu bersiap lebih dulu? Mandi mungkin?” Harvey mencoba mengulur waktu, namun napasnya yang terengah dan memburu disadari oleh Ravena.

Gadis itu berjalan mendekati Harvey dan menyentuhkan tangannya pada otot dada yang keras dan berlekuk. Pria itu tidak berpakaian, pikirnya. Meskipun sedikit gemetar, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ini adalah keputusannya dan Ravena siap menanggung apapun resikonya.

Harvey yang sudah lama menahan hasratnya pun, tanpa menunggu lagi langsung mengangkat tubuh Ravena dan membaringkannya di atas ranjang besar yang terletak di tengah ruangan, lalu menindihnya.

"Sudah terlambat untuk melarikan diri sekarang" Harvey menyeringai sebelum bibirnya menabrak bibir gadis itu dengan angkuh dan memagutnya dengan rakus.

Ravena, secara mengejutkan menikmati sentuhan pria itu. Dia merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutnya. 

“Ya Tuhan” tanpa sadar dia mengerang saat bibir pria itu melepaskan bibirnya dan berpindah untuk menelusuri leher dan lengannya.

Ravena tidak memiliki pengalaman dalam hal ini, dia masih perawan saat meninggalkan Feyre. Mantan tunangannya pun tidak pernah seberani ini. Sekarang, pria di atasnya itu, justru melakukannya lebih intim!

Perlahan, setelah dia berhasil mendapatkan kenyamanannya. Ravena mulai menyelaraskan diri untuk mengikuti permainan Harvey. Pria itu tampak ‘lapar dan rakus’.

“Kau menyukainya?” Harvey bertanya dengan napas terengah, tangannya sedang bermain-main di atas dada Ravena yang masih berbalut gaun malam berwarna biru.

“Ya” Ravena tak bisa lagi menahan erangannya saat tangan pria itu kini berpindah turun menyentuh pahanya, kemudian daerah paling sensitif di antara kedua pahanya.

“Ada apa?” Harvey mengernyit tak suka saat mendapati kedua kaki Ravena tertutup secara tiba-tiba.

“Aku hanya terkejut, ini adalah pertama kalinya bagiku” Harvey tak bisa menahan senyumnya, di jaman sekarang ini dia masih bisa menemukan seorang perempuan yang masih bisa bersikap malu-malu saat disentuh.

 “Aku pun sama” setelah mengatakan itu, Harvey menurunkan tubuhnya menuju Ravena, membuat gadis itu berteriak dan mengerang secara bersamaan.

Karena ruangan itu gelap, Harvey sampai tidak menyadari kalau darah segar yang keluar dari tubuh gadis itu bukanlah berwarna merah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status