Masuk
"Mbak Runa, bagaimana tanggapannya tentang film baru Anda?"
"Mbak Runa, dua menit saja, Mbak! Hanya dua menit, tolong jelaskan tentang ..." "Mbak, tunggu, Mbak!" Suara puluhan awak media saling bersahutan. Rupanya, mereka sudah menunggu di depan lobby hotel berbintang tempat Aruna menghadiri acara gala dinner. "Lewat sini, saja!" seru seorang laki-laki sambil menuntun lengan kurus Aruna. Gadis bertubuh tinggi semampai itu mengangguk. Dia segera melepas high heelsnya supaya lebih cepat berjalan menuju halaman parkir samping. Aruna tidak menghiraukan rasa perih di telapak kakinya yang menginjak kerikil. Pemandangan seperti itu selalu ditemui Aruna, ketika keluar rumah. Apalagi, semenjak beberapa bulan terakhir, Aruna menjalin hubungan dengan seorang atlet sepakbola. Tidak hanya tentang proyek film yang diincar para pemburu berita. Namun, juga tentang kisah asmara gadis itu. Aruna menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Dia memejamkan mata yang terasa penat. Sang sopir pribadi melirik sekilas center mirror, lalu menarik napas pelan. "Setelah ini, Mbak mau mampir ke mana?" tanya Pak Sopir. Aruna membuka mata sebentar dan melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Langsung pulang, Pak! Sudah malam. Nanti diceramahi Papa," jawabnya sambil terkekeh pelan. Meskipun sudah menjadi artis yang karirnya tengah meroket, Aruna tidak melupakan sosok ayahnya itu. Laki-laki tua itu cenderung cerewet dan posesif memperlakukan Aruna. Bahkan, tidak jarang dia selalu menganggap Aruna gadis kecil yang perlu dipantau 24 jam. Aruna memaklumi perlakuan sang ayah. Apalagi dia adalah anak perempuan satu-satunya. Kedua orang tua Aruna bercerai, ketika dia berusia belum genap satu tahun. Sang kakak dibawa pergi oleh ibunya yang menikah lagi dengan pria warga negara asing. Ciiit! Aruna tersentak kaget. "Ah! Ada apa, Pak?" tanyanya. Sang sopir berdecak kesal. "Itu, Mbak. Biasa, anak-anak random lagi keluyuran!" jawabnya sambil menunjuk segerombolan anak baru gede yang mengendarai motor secara zig zag. "Oh, ya sudah. Hati-hati saja, Pak!"ucap Aruna sabar. Gadis itu ikut menoleh ke arah luar kaca jendela mobil. Dia menggeleng samar kemudian menoleh pada Isma, asisten pribadinya. "Neng, sudah malam. Nggak usah pulang! Tidur saja di rumah, besok baru pulang!" "Iya, Mbak. Nanti aku telepon Mama," jawab Isma kemudian memejamkan mata lelah. Setiap hari, Aruna dan Isma disibukkan dengan jadwal shooting, pemotretan, dan undangan ke stasiun televisi. Aruna melirik handphonenya yang bergetar. Aruna memutar bola mata malas mendapati beberapa pesan masuk dari ayahnya. Yang semua intinya sama. Yakni, menanyakan kapan dirinya pulang. [Sebentar lagi, sampai rumah, Pa.] Aruna membalas singkat. Pak Sopir melirik spion kiri. Laki-laki 40-an tahun itu menggeleng samar dan mempercepat laju kendaraannya. Aruna dan Isma yang berada di jok belakang masih tidak menyadari ada dua sepeda motor mengikuti mereka. Pak Sopir kembali menggeleng samar. "Apa maunya mereka, perasaan sering banget mengikuti mobil kami," batin laki-laki itu. Dia melirik center mirror. Di sisi kiri, Aruna sibuk dengan handphone. Sedangkan di jok kanan, Isma sudah terlelap dalam mimpi. Pak Sopir kembali melirik spion. Dua sepeda motor tadi masih membuntuti mereka. "Mbak Isma!" panggil Pak Sopir. Isma langsung mengerjap kaget dan mencondongkan badan ke depan. "Ada apa, Pak?" tanyanya bingung. "Kamu telepon polisi, Mbak! Sepertinya ada yang membuntuti kita," titah laki-laki itu. Isma dan Aruna langsung menoleh. Benar saja, di sisi kiri, pengendara motor itu tampak mengacungkan sesuatu ke arah mobil. "Menunduk, Mbak Runa. Mbak Isma, cepat hubungi polisi!" perintah Pak Sopir lagi. Tangan Isma bergetar memegang handphone. Di sisi kiri, Aruna meringkuk di jok. Gadis itu melirik ketakutan, ketika mendengar kaca mobil digedor dengan kuat. "Berhenti! Serahkan benda berharga kalian!" teriak salah seorang pengendara motor. Aruna semakin ketakutan. Sedangkan Pak Sopir tetap fokus pada kemudi. Di belakangnya, Isma tampak pucat. "Pak, lemparkan tas ini keluar supaya mereka nggak ngejar kita lagi!" cetus Isma gemetaran. Isma mengulurkan tas ke depan setelah mengosongkan isinya. Pak Sopir berdecak dengan kepolosan gadis itu. Bukan itu yang diinginkan dua pemotor tadi. Mereka menginginkan Aruna celaka! Entah apa yang mendasari mereka hendak mencelakai Aruna. Hal ini tidak hanya sekali. Aruna pernah mengalami insiden yang membuat lengannya cidera di lokasi pemotretan. Aruna juga sering diteror dengan paketan yang mengatasnamakan fans. Isma sedikit mengangkat wajah. Gadis itu memejamkan mata sejenak sembari menarik napas lega, ketika mendengar suara sirine mobil polisi dari kejauhan. "Sialan! Lolos lagi tuh perempuan. Kita harus segera kabur sebelum polisi menangkap kita!" cetus seorang pembonceng motor. Kedua motor itu hendak berbelok. Namun, salah satu dari mereka mengacungkan pistol pada mobil yang ditumpangi Aruna. "Jangan bodoh! Kamu mau, polisi menemukan kita lewat peluru itu? Kabur! Masih banyak waktu untuk menghabisi Aruna!" teriak laki-laki berbadan tegap. Mobil polisi semakin mendekat. Pak Sopir menghentikan mobil di bahu jalan. Seorang polisi turun dari mobil dan menatap ke dalam mobil Aruna. "Terima kasih, Pak!" ucap Isma lega. Di sebelah kiri, Aruna masih meringkuk ketakutan meskipun kedua pemotor tadi sudah kabur entah ke mana. Gadis itu mendongak pelan, lalu membekap wajahnya dengan telapak tangan. "Apa alasan mereka ingin mencelakaiku?" tanyanya retoris. Isma mengusap pelan lengan Aruna. "Mungkin itu hanya ulah fans yang nggak suka sama Mbak Runa. Jangan khawatir, Mbak! Kita semua pasang badan untuk Mbak," hiburnya. Aruna tidak menanggapi. Dia benar-benar frustasi. Kepopuleran yang dia gapai tidak diiringi dengan keselamatan dirinya. Jutaan fans mengidolakan Aruna, tetapi segelintir orang menginginkan dirinya celaka. Sesampai di rumah, Aruna langsung diinterogasi oleh ayahnya karena terlambat pulang. Mau tidak mau, Isma menjelaskan apa yang terjadi. Laki-laki tua itu mengusap kasar dahinya yang keriput. "Papa harus cari bodyguard untuk kamu!" ucap sang ayah tegas. Aruna langsung mendongak dengan tatapan protes. Bodyguard? Dia tidak menyukai itu. Dia tidak ingin privasinya diganggu oleh kehadiran orang asing. "Nggak usah, Pa! Ini cuma ulah fans. Nanti juga bosan sendiri!" tolak Aruna cemberut. Sang ayah berdecak kesal. "Ini bukan ulah fans, Runa! Tapi ulah orang yang ingin melihat kematianmu!" ucapnya lantang. Aruna tersentak. Begitu juga dengan Isma. Ternyata mereka tidak hanya ingin Aruna celaka. Namun, mereka ingin Aruna mati? * * *Tangan Aruna gemetar memegang Glock 17 warna hitam itu. Matanya terpejam rapat, tidak berani menatap objek boneka di depan sana. Bagaskara terus menyemangati. "Jangan tegang, Aruna! Fokus. Konsentrasi pada satu titik yang akan kamu tembak! Kamu harus bisa tentukan waktu secepat mungkin, sebelum musuh menembakmu!" Aruna menggeleng pelan. Tubuhnya meluruh di depan Bagaskara, mendongak dengan tatapan memohon. Bagaskara berusaha sabar menghadapi sikap lemah Aruna. "Aku nggak mau, Papa! Aku nggak mau jadi pembunuh!" Sekali lagi, Bagaskara menarik napas lelah. "Papa nggak menyuruhmu jadi pembunuh, Aruna. Papa hanya ingin kamu bisa membela diri, ketika orang-orang yang benci Papa hendak mencelakaimu. Apa kamu ingin terus dikawal? Nggak, kan?" rayu Bagaskara lagi. "Ayolah, Sayang! Papa menyayangi dan melindungimu dari bayi sepenuh cinta, Runa. Lakukan ini untuk Papa! Papa takut, kalau Papa mati, kamu jadi sasaran manusia-manusia pengecut itu!" lanjutnya lagi. Air mata Aruna tiba-tiba ja
"Argh!" Aruna terkejut, ketika seseorang memegang bahunya dari belakang. "Kamu bukan Papa. Kalau kamu papaku, kenapa wajahmu berubah?" tanyanya pada Bagaskara. Bagaskara menarik napas pelan. "Ceritanya panjang. Demi keselamatanmu, ikutlah Papa, Nak! Apa kamu nggak kasihan dengan anakmu, Aruna?" tanyanya lirih. Tangan Aruna bergerak mengusap perutnya. Dia berpikir sejenak. Nasibnya benar-benar konyol. Jika terus lari, Bagaskara akan mengejarnya. Letak stasiun metro masih beberapa ratus meter lagi. Berlari dengan perut besar sangat berbahaya. Aruna takut terjadi sesuatu dengan kandungan yang sudah berusia delapan bulan itu. Di tempat lain, Alexei kebingungan mencari istrinya. Berkali-kali dia menghubungi Aruna, tetapi nomornya sudah diblokir wanita itu. Alexei semakin cemas. "Aruna, pochemu ty eto delayesh'? Gde ty?" (Aruna kenapa kamu lakukan ini? Di mana kamu?) teriak Alexei geram bercampur takut. Ditatapnya miris dua bungkus shawarma pesanan Aruna. Lalu, Alexei melangkah cepat
Alexei tidak suka diragukan. Meskipun cintanya yang besar pada Aruna kembali menghadapi ujian. Tentangan orang tua. Namun, Alexei tidak akan melepas Aruna. Tekad itu sudah tertanam di hati Alexei sejak dia meninggalkan Aruna dulu. Penjara bawah tanah dan tugas ke perbatasan tidak menggoyahkan perasaan Alexei pada Aruna. Tidak pernah Alexei jatuh cinta segila ini. Dulu dia pernah punya kekasih saat masih kuliah. Namun, hubungan itu berakhir, setelah Alexei aktif di dunia militer. "Maafkan aku," lirih Aruna saat melihat perubahan raut wajah Alexei. Alexei mengusap perut Aruna, lalu merangkul posesif bahu wanita itu. "Aku tidak pernah berpikir untuk berpaling. Jangan membuatku marah karena keraguanmu, Milyy!" Aruna mengangguk. Diciumnya bibir Alexei dengan lembut. Lalu, Alexei memposisikan diri di atas Aruna. Selanjutnya, mereka menghabiskan waktu petang berbagi kenikmatan di kamar itu. "Jangan tidur, Alex! Bukannya nanti kita jalan-jalan?" Mata Alexei yang tadi terpejam, langsung
"Kenapa, Alex? Kalian pasti menyembunyikan sesuatu!" Alexei tidak menjawab. Tatapannya tak terbaca pada Aruna. Alexei tersenyum kecil, lalu mencium jemari tangan Aruna. "Bukan, Milyy. Dia sangat licin dan licik. Sepertinya, tidak puas membunuh Alenadra dan Dita. Dia juga yang merencanakan pembunuhanmu, Milyy!" Mata bulat Aruna semakin terbuka lebar. "Ap-apa, maksudnya? Aku dan Alenadra diincar orang yang sama?" Tatapan Alexei berubah sendu. Dipeluknya Aruna sembari menyembunyikan genangan air mata. Alexei tidak ingin membuat Aruna syok. Lebih baik Aruna tidak tahu tentang kejahatan Bagaskara. "Jangan takut! Kamu sudah aman. Aku, Elang, dan Julio akan selalu melindungimu." Mendengar nama Julio disebut, Aruna langsung mendorong dada Alexei. "Julio? Nggak, nggak!" sahutnya marah. "Julio itu pengkhianat! Kamu pikir, dia setia padamu dan Elang? Dia memberi informasi pada Tuan Ruslanov hingga mereka tahu, aku pergi ke Russia. Kalau nggak ada Gorgory, mungkin aku masih ada di rumah mega
Mata Aruna terpejam erat. Dia takut hanya mimpi. Aroma maskulin itu masuk ke indera penciuman Aruna dengan familiar. "Chto oni s toboy sdelali, Milyy?" Air mata Aruna tiba-tiba mengambang. Dia bangkit perlahan, lalu mengerjap berkali-kali. Bergegas, Alexei memutari bangku taman dan berdiri di depan Aruna. Keduanya saling pandang beberapa saat. Pandangan Alexei turun ke perut besar istrinya. Tanpa bicara apa-apa, Alexei memeluk dan menciumi Aruna, melepas rindu. Di belakang sana, Kinasih tersenyum haru melihat pertemuan itu. "Aku kangen kamu, Alexei. Aku kangen kamu!" Aruna emosional sambil menangis. "Me too, Milyy. I am sorry, Milyy!" Alexei menciumi pipi sang istri, lalu mengusap perut wanita itu. "Bagaimana kabarnya?" tanyanya dengan suara bergetar. Manik kebiruan itu berkabut, saat menatap perut Aruna. Ada rasa bersalah, tidak bisa menemani Aruna menjalani masa-masa kehamilan. "Dia juga merindukanmu, Alex! Apa kabarmu?" Alexei melepas pelukan dan memindai penampilannya se
"Pak Bagaskara, kami hitung sampai tiga. Mohon kerja samanya!" "Satu ... dua ... tiga!" Tetap tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Namun, suara mencurigakan itu masih terdengar dari lantai atas. Dua orang polisi segera naik ke sana. Mereka menyisir beberapa sudut ruangan. Kamar di lantai dua rumah megah itu tampak kosong. Satu kamar dalam keadaan tertutup. Dari dalam kamar itu terdengar asal suara mencurigakan. "Aah! Ouh ... iya, terus! Jangan berhenti, sedikit lagi, Babe!" Dua orang polisi itu pun saling pandang dan menggaruk tengkuk mereka. Suara desahan dan pekik kenikmatan terdengar menggelitik telinga. Tok ... tok ... tok! Pintu diketuk dari luar. Namun, mereka tidak menghiraukan ketukan pintu. Atau enggan mendengarnya karena merasa terganggu dan tanggung? Entahlah! Beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda aktivitas panas di siang hari yang terik ini berakhir. Suara desahan masih saling bersahutan. Tidak ingin membuang waktu, salah satu polisi memegang handle pint







