Aruna menatap punggung tegap Alexei. Gadis itu kembali mendengus kasar. Dia tidak menyangka, mata laki-laki itu teramat jeli. Aruna tidak habis pikir, kamera sebesar kelereng berwarna hitam itu bisa dilihat Alexei dari jarak lebih dari 10 meter. Sedangkan ART dan tukang kebun yang setiap hari membersihkan taman tidak melihatnya.
Ayahnya benar. Insting laki-laki lebih peka daripada insting perempuan mengenai hal keselamatan. Aruna semakin penasaran dengan latar belakang Alexei Yevgeny. Apakah seseorang yang ditempa mental dan fisiknya menjadi bodyguard itu harus memiliki insting setajam itu?Aruna memang sering berinteraksi dengan beberapa pengawal profesional. Pembawaan mereka kebanyakan selalu tenang, dingin, dan fokus. Seolah mata dan telinga mereka dilengkapi dengan sensor yang bisa menjangkau gerak-gerik mencurigakan dari jarak puluhan meter.Aruna bergerak mendekat. Gadis itu berdiri di samping Alexei. Aruna mendongak menatap wajah Alexei sekilas, kemudian mengikuti arah pandangan mata laki-laki kayu itu."Apa yang kamu lihat?" tanya Aruna datar.Alexei meliriknya setengah detik, kemudian kembali asyik dengan pemandangan di luar sana. Tidak ada jawaban, Aruna kembali menarik napas kasar."Apa orang Russia itu semuanya kaku sepertimu? Aku pernah punya teman dari Russia, tapi dia bilang mereka nggak seperti itu. Orang Russia akan ramah kalau sudah kenal. Tapi kenapa kamu tetap kaku?" tanya Aruna setengah mengejek. Alexei tidak menanggapi. "Em, kamu tahu? Miss Russia, Sandria Belnaya, itu teman aku!" lanjut Aruna bangga."Saya tidak kenal!" jawab Alexei datar.Aruna berdecak kesal. Manusia kayu berhati batu ini memang tidak tahu informasi. Atau memang di Russia rumahnya di tengah hutan dan hanya tinggal dengan sekumpulan beruang?Tanpa sadar, Aruna tertawa geli. Membayangkan kehidupan Alexei yang tinggal di tengah hutan ujung timur Russia. Ya, seperti itulah yang ada di benak Aruna mengenai laki-laki angkuh itu."Hm, berarti benar. Kamu itu paling tinggalnya di tengah hutan. Berarti tetangganya Masha and The Bear? Masa Miss Russia secantik itu, kamu nggak ken--""Apa orang Indonesia itu semua cerewet dan sok tahu sepertimu?" sergah Alexei sarkas. "Kamu itu selain ceroboh ternyata sangat cerewet, Nona Aruna!'' Nada suara Alexei berubah meninggi.Aruna melengos. Dia menoleh sekilas pada Alexei yang saat itu juga tengah meliriknya. Tatapan mata laki-laki itu datar tanpa ekspresi."Masuklah, waktunya tidur," ucap Alexei melunak.Aruna mengangguk pelan. "Okay, good night. Besok jam delapan pagi, kita siap-siap pergi!" beritahunya."I know! Good night!" sahut Alexei tanpa menoleh.Aruna kembali mengangguk samar. Mulai hari ini, selama 24 jam dirinya akan terus bersama Alexei. Benar-benar situasi yang sangat menyiksa.*Alexei berdiri di tepi jendela kamarnya yang sudah gelap. Pandangan laki-laki itu tertuju pada pos security di bawah sana. Dua orang security tengah bermain catur.Selanjutnya, Alexei mengalihkan pandangan ke sisi lain halaman rumah. Dari kamarnya di lantai dua, Alexei cukup leluasa menatap luasnya pekarangan rumah megah Bagaskara.Laki-laki itu mengeryit ketika melihat siluet tubuh yang bergerak menuju ke car port. Waktu menunjukkan pukul 01.15 menit. Sangat aneh rasanya, malam-malam begini ada orang memasuki car port tanpa diketahui pihak keamanan."Cepat, waktunya rikone, Jo!" perintah salah satu security setelah memindahkan bidak catur yang tersisa satu biji.Sementara itu, temannya masih sibuk berpikir. Beberapa saat kemudian, dia tertawa lirih. "Skak!" serunya bangga."Sialan, kalah maning inyonge, Jo," gerutu security itu kemudian bangkit.Laki-laki itu bersiul-siul sembari memasuki kamar kecil yang berada di belakang pos security. Sedangkan satu temannya membereskan catur-catur yang berantakan di sekitar papan."Nah, beres. Besok berita infotainment akan membahas kematianmu, Nona Aruna. Dan aku akan mendapatkan duit banyak. Maaf, Nona," ucap seorang laki-laki sembari tersenyum puas melihat hasil kerjanya.Laki-laki itu mengambil handphone dan memfoto hasil kerjanya. Dia tidak sabar menunggu sampai besok pagi. Aruna, Isma, Alexei, dan Pak Sopir akan berada di dalam mobil itu.Mereka dipastikan tidak akan lolos dari maut, saat mobil itu membawa keempat orang tersebut ke Puncak Bogor. Masih dengan senyum puas, laki-laki tersebut memasukkan handphone ke saku celana.Gleg!Uhuk, uhuk!"Laki-laki itu meringis merasakan pitingan kuat di lehernya. Dia terbatuk-batuk. Hidungnya mengendus. Aroma tubuh itu? Aroma maskulin milik bodyguard baru. Alexei Yevgeny."What are you doing here, ha?" desis Alexei tanpa melepaskan lengannya dari leher laki-laki itu.Tidak ada jawaban. Entah tidak mengerti atau memang tidak ingin bicara. Laki-laki tersebut memegangi lengan Alexei. Penyusup itu bersusah payah menahan supaya Alexei tidak melepaskan penutup wajahnya."Arrgh, arrgh!"Laki-laki itu hanya bisa mengerang lirih. Tenaga Alexei sangat kuat. Kedua matanya bergerak, menatap mata Alexei. Sementara Alexei melirik ke arah mobil Porsche Macan berwarna abu-abu itu. Dia tahu, laki-laki itu telah melakukan sesuatu pada mobil tersebut.Tiba-tiba...Sreet!Alexei meringis ketika pahanya ditusuk gunting oleh laki-laki itu. Alexei menghentakkan kakinya yang terasa perih. Saat itu, pitingan Alexei juga sedikit mengendor. Laki-laki berhoodie hitam itu menggigit lengan Alexei sebelum berusaha melarikan diri."Shit!"Alexei tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia meluruskan sebelah kakinya, menghadang laki-laki berhoodie itu sehingga jatuh tersungkur. Alexei meraih bahu laki-laki tersebut. Tidak ingin aksinya diketahui seisi penghuni rumah, penyusup tersebut melemparkan tepung ke wajah Alexei.Alexei kembali mengumpat. Rupanya, laki-laki penyusup itu telah mengantisipasi segala kemungkinan. Dia tidak ingin berurusan dengan orang-orang yang berusaha menggagalkan aksinya. Dia hanya punya satu tujuan, yaitu menyingkirkan Aruna secara halus.Dari gerak-geriknya, Alexei bisa menduga laki-laki tersebut telah hafal seluk beluk rumah ini. Dia memasuki pekarangan rumah lewat pintu belakang yang terhubung dengan dapur. Hal itu terlihat dari ketenangannya saat memasuki garasi dan saat kabur dari Alexei. Bahkan penyusup itu tidak melakukan perlawanan pada Alexei karena dia tahu, bodyguard muda itu jago beladiri.Alexei mengusap-usap wajahnya. Dia memang sengaja tidak mengejar penyusup tersebut. Alexei mengepalkan kedua telapak tangan geram sembari tersenyum miring."Mas Sinyo? Malam-malam begini, ngapain di sini?" tanya seorang security rumah.Alexei mengeryitkan dahi tidak mengerti. Dia hanya menggeleng sekilas, tanpa menjawab apa pun, dia memasuki rumah."Sombong banget euy, ditanya diem saja, Mas Sinyo!""Heh, dia itu nggak bisa bahasa Indonesia. Seharusnya riko yang belajar bahasa Inggris!" sahut temannya sembari terkekeh.Alexei menghentikan langkah tepat di anak tangga paling atas. Dia menatap tanpa ekspresi pada Aruna yang berdiri di depannya. Alexei hendak melewati Aruna, tapi gadis itu menahan lengannya.Alexei menyingkirkan pelan lengan Aruna dan kembali menatap gadis itu. "Why?" tanyanya datar."What happen?" tanya Aruna sembari memindai penampilan Alexei.Alexei menggeleng. Dia beranjak meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Namun, lagi-lagi Aruna menahan langkah laki-laki jangkung itu. Aruna merentangkan sebelah tangan di depan pintu kamar Alexei."Tidurlah Aruna. Bukankah besok kita pergi?" tanya laki-laki itu pelan."Kamu kenapa Alex? Kakimu berdarah dan wajahmu putih-putih? Kamu dari mana?" tanya Aruna beruntun."Kita bicarakan besok pagi. Sekarang tidurlah." Alexei kembali memerintah.Aruna mengangguk. Bagaimanapun, Alexei adalah type laki-laki yang tidak bisa didebat. Membantah Alexei sama saja mencari keributan. Aruna melangkah ke kamarnya sendiri."Wait, Aruna. Wait!"Kening Aruna mengernyit. Dia menatap heran pada Alexei yang langsung memasuki kamarnya tanpa meminta persetujuan lebih dahulu. Lagi-lagi, sikap Alexei seenaknya sendiri.* * *Dor! Bagaskara mengerang kesakitan dan tubuhnya ambruk ke tanah. Semua tersentak. Aruna dan Alexei kompak menatap ke arah Elang yang berdiri di belakang Bagaskara dengan pistol terarah ke laki-laki tua itu. "Begini, kan, yang kamu lakukan pada papaku dulu? Kamu ingat Bagaskara? Setelah kamu berhasil menyingkirkan aku dan Mama dari keluarga Sasmito, kamu juga menghabisi Papa Hendra. Apa salahnya Papa padamu? Bukankah Papa sudah mengalah segala-galanya dan membiarkanmu mengambil Mama? Tapi kamu justru mengkhianatinya, Bagaskara!" cecar Elang dengan suara bergetar. "Bay ... Bayu ...." Bagaskara mendesis merasakan nyeri luar biasa di bahunya. Aruna tersentak. Dia menatap tubuh Bagaskara yang bersimbah darah. Wanita itu bangkit lalu mendekat. Pistol Bayu masih mengarah pada Bagaskara. Melihat Bagaskara tidak berdaya, hatinya terasa sakit. Kini, dendam itu memang telah terbayar, tetapi dia juga menyesal telah menyakiti orang yang pernah menyayanginya. "Kakak, sudah! Jangan bunuh Papa!"
Tangan Aruna gemetar memegang benda dengan jenis Glock 17 berwarna hitam itu. Kedua matanya terpejam rapat tidak berani menatap objek yang merupakan boneka di depan sana. "Jangan tegang, Aruna. Fokus, konsentrasi pada satu titik yang akan kamu tembak. Kamu harus bisa menentukan waktunya secepat mungkin sebelum musuh menembakmu!" Bagaskara terus menyemangati. Aruna menggeleng pelan. Dia meluruhkan tubuhnya di depan Bagaskara dan mendongak dengan tatapan memohon. Bagaskara masih berusaha bersabar menghadapi sikap Aruna yang dinilai sangat lemah itu. "Aku nggak mau, Papa! Aku nggak mau jadi pembunuh!" Bagaskara menarik napas lelah. "Papa nggak memintamu jadi pembunuh, Aruna. Papa hanya ingin kamu bisa membela dirimu sendiri ketika orang-orang yang membenci Papa hendak mencelakaimu. Apa kamu ingin terus dikawal? Nggak, kan?" rayu Bagaskara lagi. "Ayolah, Sayang. Papa menyayangimu dan melindungimu dari bayi dengan segenap cinta Papa, Runa. Lakukan hal ini untuk Papa. Papa nggak ingin j
"Aruna, ini Papa, Sayang! Kenapa kamu pergi nggak kasih kabar, Aruna?" Aruna mundur selangkah sambil menggeleng pelan. Dia semakin ketakutan ketika dua orang laki-laki itu memepetnya. Di depannya, laki-laki berwujud lain, namun aslinya Bagaskara itu, tersenyum. Bagaskara merentangkan kedua tangan meminta Aruna memeluknya. Akan tetapi, Aruna justru kembali mundur selangkah dan tubuhnya menabrak salah satu pria pengawal Bagaskara. "Jangan takut. Kita akan menyelamatkan Anda dari keluarga Yevgeny yang hendak mencelakaimu, Nona!" Aruna menggeleng berkali-kali. Dia benar-benar dalam situasi yang sulit. Aruna ingin mempercayai ucapan Alexei, tetapi pembicaraan dengan kedua orang tuanya, memupus keyakinan Aruna. Sedangkan untuk percaya pada Bagaskara, nyatanya laki-laki itu pimpinan mafia yang tengah diburu Interpol dan kepolisian Indonesia. "Nggak, Anda bukan Papa. Anda bukan Bagaskara!" teriak Aruna ragu. Dia menoleh pada laki-laki yang memegang kedua lengannya. "Lepaskan saya! Let's
Sepasang mata bulat Aruna semakin terbuka lebar. Perencanaan pembunuhan pada dirinya? Jadi, dia dan Alenadra memang benar diincar orang yang sama? Tatapan mata Alexei berubah sendu. Dalam hati yang terdalam tidak tega mengatakan pada Aruna tentang sepak terjang Bagaskara. Apalagi dalam keadaan Aruna hamil besar. Tangan laki-laki itu bergerak mengusap-usap perut Aruna. "Orang yang sama? Jadi, kecurigaanku dari dulu itu benar, Alex?" tanyanya parau. Alexei tidak langsung menjawab. Laki-laki itu justru memeluk istrinya dan mengerjapkan mata menyembunyikan air mata di kepala Aruna. "Jangan takut. Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu, Milyy. Ada aku dan Elang. Julio juga membantu kita. Sekarang, laki-laki itu diburu Interpol," jelasnya hati-hati. Aruna langsung mendorong dada Alexei. "Julio? Nggak, nggak!" sahutnya dengan wajah mendadak marah. "Julio itu pengkhianat! Kamu pikir dia setia padamu dan Elang? Dia yang memberikan informasi kedatanganku ke Russia sehingga Tuan Rus
"Chto oni s toboy sdelali, Milyy?"Air mata Aruna tiba-tiba mengambang. Dia bangkit perlahan, lalu mengerjap berkali-kali. Aruna menoleh pada sang mama, seolah menyakinkan jika penglihatannya tidak salah. Kinasih tersenyum lalu bangkit dan mengusap-usap bahu Aruna.Alexei menatap nanar pada istrinya, lalu turun ke perut besar wanita itu. Alexei merentangkan kedua tangan menyambut sang istri ke dalam pelukan. "Aku kangen kamu, Alexei. Aku kangen kamu!" ucap Aruna emosional."Me too, Milyy. I am sorry, Milyy!" Alexei menciumi pipi sang istri, lalu mengusap perut wanita itu. "Bagaimana kabarnya?" tanyanya dengan suara bergetar. Manik kebiruan itu berkabut saat menatap perut Aruna. Alexei merasa bersalah karena tidak bisa menemani Aruna menjalani masa-masa kehamilan. "Dia juga merindukanmu, Alex! Apa kabarmu, Milyy?" Alexei melepaskan pelukan, kemudian memindai penampilannya sendiri. "Masih seperti dulu, Alexei mantan bodyguardmu yang kaku dan menyebalkan, Aruna!" kekehnya.Aruna ters
"Pak Bagaskara, kami hitung sampai tiga, mohon kerjasamanya!" "Satu ... dua ... tiga!" Tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Namun, suara mencurigakan itu masih terdengar dari lantai atas. Dua orang polisi lantas naik ke sana. Mereka menyisir beberapa sudut ruangan. Dua kamar di lantai dua rumah megah itu juga kosong. Masih ada satu kamar dalam keadaan tertutup. Dari dalam kamar itu terdengar asal muasal suara mencurigakan. "Aah! Ouh ... iya, terus! Jangan berhenti, sedikit lagi, Babe!" Dua orang polisi itu pun saling pandang dan menggaruk tengkuk mereka. Suara desahan diiringi suara pekikan kenikmatan masih terdengar cukup menggelitik telinga. Tok ... tok ... tok! Pintu diketuk dari luar, tetapi rupanya mereka yang di dalam tidak menghiraukan suara ketukan pintu. Atau mereka memang enggan mendengarkan karena merasa terganggu dan tanggung? Entahlah! Beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda mereka menyudahi aktivitas panas di siang hari yang terik ini. Suara desahan itu m