Aku menatap Bang Amar yang menikmati makanan buatanku malam ini, ingin sekali rasanya membuka suara dan menanyakan siapa wanita itu.Bermodalkan rasa penasaran akhirnya kuberanikan bertanya, karena memang aku harus bertanya untuk meluruskan semuanya, aku harus bertanya untuk mengambil keputusan setelah ini."Siapa wanita itu Bang?" tanyaku tanpa basa basi.Bang amar tak menjawab hanya terus memasukan makanan dalam mulutnya. Entah ia tak dengar atau tak ingin membahasnya.Aku menghela nafas, kembali mengulang kata-kata itu."Siapa wanita itu, Bang?" Hanya denting sendok yang menyambut pertanyaanku, sementara Bang Amar seolah tak melihatku ada di depanya, apa aku hanya sebuah patung?"Siapa wanita itu Bang!" seruku tak dapat lagi mengontrol emosi."Apa pentingnya bagimu."Tak dapat lagi kutahan air mata yang hendak tumpah. Mataku sudah mengembun, sudut mata telah penuh oleh cairan bening."Demi Allah Bang, aku tak sanggup lagi. Pernikahan macam apa ini? Ini bukan sebuah bahtera rumah
Ketukan pintu membuatku segera beranjak dari kamar, tak sabar lagi ingin bertemu dengan Nara. Berjalan sedikit berlai menuruni anak tangga.Ternyata Mbok Darmi lebih dulu membukakan pintu, sementara aku berdiri di belakangnya."Assalamualaikum,’’Ah, ternyata umi yang datang bersama Amara."Waalaikumsalam’,’ aku bersama Mbok Darmi bersama menjawab salam umi dan Amara, segera meraih tangan umi lalu menciumnya."Kenapa tegang Bulan? Nungguin orang?’’tanya umi seperti mengerti yang sedang aku lakukan.Aku tersenyum dan menggandeng tanganya untuk masuk."Tadi Bulan pikir teman Bulan, eh… tahunya umi datang gak nelpon dulu. Maaf ya, Bulan teh belum bisa main Umi, Bang Amar masih sibuk di kampus belum lagi kegiatan bersama majelisnya.’’"Gak apa-apa, tadi kata Amar kamu demam jadi Umi ajak Mara buat jenguk sekalian periksa kamu.’’"Iya Mbak, Umi udah khawatir banget, udah gak sabar tuh buat ke sini.’’"Bulan cuma pusing sedikit, gak apa-apa kok Umi.’’Kami bercengkrama hingga sore, aku mas
Minggu pagi, ini adalah hari kelima aku tinggal bersama Bang Amar. Pagi ini aku berniat mengajak Bang Amar mengunjungi ayah sesuai permintaan beliau, aku tidak ingin ia kembali berpikir bahwa aku membencinya, terlebih sekarang aku melihat ia semakin memperbaiki ibadahnya, aku senang ia berubah dan menyesali semua perbuatan buruknya dulu. Meski tak bisa kupungkiri terkadang ada rasa benci setiap kali aku melihat wajahnya, selalu terbayang bagaimana aku dan ibu menghadapi hinaan sosial, di kucilkan dan sering tak dianggap ada oleh orang kampung. Hinaan dan cemoohan selalu menjadi makanan sehari-hari semasa aku kecil. Aku selalu dipaksa mengerti keadaan dan harus bersikap dewasa saat umurku masih belia.Aku menghampiri Bang Amar yang sedang duduk di halaman belakang menikmati udara pagi dengan secangkir teh dan koran di tangan. Membawakan empek-empek yang baru saja digoreng, masih hangat. Empek-empek ikan tuna yang masih hangat aromanya benar-benar menggugah selera.Kusodorkan semangku
“Besok Aku akan mengantarmu membuat paspor,” ucap Bang Amar memecah keheningan kami.Aku mengangguk, malas rasanya menjawab ucapan Bang Amar. Toh nantinya aku juga bakal di acuhkan, jadi selama perjalanan kembali ke rumah setelah dari rumah ayah aku lebih memilih diam.Kami sampai di rumah, hari belum terlalu sore. Setelah mengantarkanku bahkan Bang Amar tak berniat untuk turun entah akan pergi kemana dia. Bang Amar hanya mengatakan akan pulang sedikit terlambat.Mengetuk pintu dengan sedikit rasa malas, seharusnya weekend menjadi hari untuk berlibur bersama, tetapi aku justru ditinggalkan seorang diri.“Surprise!” Dari balik pintu Nara berteriak mengejutkanku.“Astagfirullah Nara, gimana kalau aku jantungan, heum?”Nara tak mengindahkan ucapakanku, ia berhambur memelukku.“Aku kangen banget tau gak sih.”“Udah lama? Kenapa gak telpon? Gimana kalau aku pulang malam coba?”“Aku baru datang kok. Eh, dimana Bang Amar? Apa dia gak ikut pulang?”“Dia sedang sibuk,” kilahkuKini kami sudah
“Abang,” aku menatap nanar suamiku yang masih memegang erat jari jemari milik wanita itu.Sebisa mungkin kutahan air mata yang hendak menetes.Bang Amar dan wanita itu masih tak bergeming menatapku, di depan mereka aku seperti patung.“Diakah wanitanya?” tanya wanita itu dengan senyum mengejek.“Abang tolong jelaskan," ucapku sedikit parau.“Bulan ayo kita pulang,”Bang Amar menarik paksa tanganku, membawaku masuk ke dalam mobil tanpa mau menjelaskan lebih dulu siapa wanita yang ia genggam tangannya itu.“Itulah sebabnya Abang hanya mempermainkan pernikahan ini? Ada wanita lain?”Bang Amar masih diam, ia hanya terus fokus mengemudikan mobilnya.“Tolong beri aku penjelasan Bang? Aku atau dia yang menjadi duri diantara kita? Ah... sudah pasti aku, aku akan mengalah.”Aku tak lagi dapat menahan air mata yang sudah jatuh, sakit sekali. Pernikahanku baru satu minggu dan sekarang aku harus dihadapkan dengan kenyataan pahit ini.“Aku akan menjelaskan saat kita pergi ke tanah suci, kita safar
Mekkah, kini aku dan Bang Amar telah sampai di kota suci ini. Aku berdiri menatap indahnya pemandangan kota Mekkah dari Swissotel yang menghadap langsung ke kota Mekkah. Subhanallah, begitu terasa tenang dan damai setiap kali melihat indahnya Mekkah, aku tak henti berdecak kagum dan tak dapat mengalihkan pandangan. Allah, aku serahkan seluruh hidup dan semua takdirku kepada-Mu. Aku percaya Allah tak akan memberi cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuanya. Aku percaya Allah akan menolong setiap niat baik hambanya. Setelah dua hari kejadian terungkapnya hal yang menjijikan suamiku, aku masih bertahan. Tetap tinggal di dalam rumahnya sesuai keinginannya. Bang Amar berkali-kali memohon untuk menolongnya, aku tidak tahu harus bagaimana, sementara ia belum menceritakan detailnya.Berkali-kali aku Shalat Istikharah meminta petunjuk kepada Allah, dan juga meminta saran dari Nara juga Ustazah Aina, tetapi mereka memiliki jawaban yang sama, meminta menanyakan kepada hatiku. Bagaimana pe
“Abang tak perlu khawatir, nanti kita akan cari jalan sama-sama untuk mengatasi Farhan. Aku hanya butuh kesungguhan Abang untuk berubah, kembali ke jalan Allah Bang. Ingat dosa maksiat tidak hanya berdampak kepada Abang, tetapi juga orang tua Abang.”aku mendekati bang amar yang terduduk di atas ranjang.tatapan khawatir masih jelas terlihat di wajahnya.“Farhan ini orang yang nekat Dik,”“Allah akan selalu bersama hambanya yang berada di jalan Allah.”Masih tersisa enam hari lagi kami di Mekkah, aku harus mengambil hati Bang Amar bagaimanapun caranya, bismillahirohmanirohim.…..Terbangun saat adzan Subuh berkumandang. Kuguncang pelang Bang Amar yang masih tertidur pulas di sampingku, malam ini kami tidur bersama, meski hanya tidur bersama hatiku tetap merasa bahagia. Aku hanya berharap suamiku benar-benar berubah.Kami berjamaah bersama setelah itu membaca alquran seperti biasanya. Aku terus berdzikir meminta kekuatan karena aku tak bersaing dengan wanita, tetapi lelaki yang menjelm
“Keluarlah dan makan ini.”Bang Amar mengetuk pintu kamar mandi dan memanggilku seolah tidak ada yang terjadi.Aku duduk di sampingnya, menyambar jaket yang ada di kursi untuk menutup tubuhku yang hanya memakai baju kurang bahan ini.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Bang Amar.Seharusnya aku yang bertanya kepadanya, kenapa justru dia yang lebih dulu bertanya?“Seharusnya aku yang bertanya, bagaimana perasaan Abang?”“Abang belum merasakan apa-apa, bagaimana kalau mencobanya sekali lagi?”Aku mendelik menatapnya, apa dia bergurau?Bang Amar kembali mendekatiku, apa dia menantang? batinku. Aku segera berlari, kembali menyembunyikan tubuhku di balik selimut.Bang Amar tertawa.“Kenapa bersembunyi bukankah mau menolong Abang?”tanya Bang Amar menggoda.“Astagfirullah."Aku tersenyum di balik selimut.“Apa dia sudah normal? Apa orang berkelainan secepat itu sembuhnya?”Aku bergumam sangat pelan nyaris tak terdengar.“Bulan, Abang bukanya tidak bisa menyentuhmu, dan memberikan nafkah batin unt