Share

Bukti Baru

"Sadarlah Rio, perempuan itu masih bersuami, mana punya anak 3 lagi." Maria menasehati dengan suara pelan. Tatapan matanya luruh pada wajah gusar sang anak. 

"Mama diam! Jangan mengurusi rumah tanggaku, urusi saja rumah tangga Mama sendiri!" bentak Rio seraya bangkit dan berlalu ke luar. Beberapa saat kemudian deru mesin mobil terdengar, kemudian kian menjauh. Entah ke mana perginya laki-laki itu. 

Tangan yang telah dipenuhi keriput itu mengusap kuat dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. Ini entah kali keberapa Rio membentaknya dengan bentakan menggores luka di hati. Namun, meski demikian Maria tetap rutin mengunjungi anaknya itu meski jaraknya paling jauh dari anak-anak yang lain. 

Apalagi kalau bukan karena uang. Ya, Rio adalah anaknya yang memiliki gaji tertinggi dibandingkan yang lain, serta yang paling royal memberikan uang padanya. Tentu saja, jika hanya bergaji 4 juta perbulan seperti anak keduanya, mana mungkin mampu memberinya uang dengan jumlah lumayan setiap bulannya, sedangkan tanggungan anak keduanya itu ada istri dan dua anak balitanya. 

Uang bisa membuat manusia memaksa menyembuhkan luka hati oleh ulah orang beruang. Itu pula yang Maria rasakan terhadap anak sulungnya itu. Ia rela mengorbankan harga dirinya sebagai ibu demi rupiah yang diberikan Rio setiap bulannya. 

*

Seminggu sudah kejadian di pagi itu. Kejadian di mana Rio menoreh luka yang bahkan sampai matipun akan Hana ingat. Kejadian di mana Hana merasakan dirinya tak lagi memiliki harga diri di hadapan sang suami. 

Sejak saat itu, satu-persatu luka lama kembali menguar perih yang kian bertambah, hingga membuat Hana seperti mati rasa terhadap laki-laki yang masih sah berstatus suaminya itu. 

Tepat hari ini, hari minggu. Sejak setengah jam lalu Rio izin ke kantor dengan alasan lembur, alasan yang sangat klasik menurut Hana. 

Ia tak ingin berlebihan mencari tahu tentang apa yang dilakukan Rio di kantor, mengingat Inez tinggal berbeda pulau dengan mereka. Ya, Inez tinggal di pulau bahkan kota yang sama dengan Maria. 

Meski tak menutup kemungkinan mereka akan membuat janji temu. Namun, Hana tak terlalu merisaukan. Ia tak ingin mencari tahu karena akan menambah lelah hatinya, tapi jika seandainya ketahuan, maka tak akan ada kata maaf lagi. Ini adalah kesempatan terakhir, itu pun jika Rio mampu berubah menjadi suami yang memang pantas untuk dipertahankan, bukan seperti Rio yang selama ini ia kenal. 

Hana sibuk merapikan susunan pakaian di dalam lemari. Kebiasaan Rio yang suka menarik asal saat mengambil pakaian membuat lemari pakaian miliknya mudah berantakan meski dirapikan berulang kali. 

"Bubur ayam di atas meja punya siapa, Ma?" tanya Abi yang kini berdiri di ambang pintu. 

"Makan saja, Bang. Itu sisa dua, punya Mama sama Abang. Yang lain udah selesai sarapan," jawab Hana melirik sekilas anak laki-lakinya itu. 

"Ira sama Ica di mana?" tanya Abi kemudian. 

"Di rumah Nenek. Oma juga di sana," jawab Hana tanpa menoleh. 

Anak laki-laki dengan tinggi badan 165 sentimeter berhidung lancip itupun berlalu ke dapur, meninggalkan sang mama yang masih sibuk di depan lemari. 

Tangan Hana dengan terampil menyusun kembali lembar demi lembar pakaian milik sang suami sesuai jenisnya. Setelah dirasa cukup ia beralih membersihkan debu dari bawah lemari, kemudian beralih ke sisi kanan kiri dan terakhir membersihkan  atas lemari. 

Hana menaiki kursi plastik, membersihkan bagian atas lemari menggunakan kemoceng. Namun, tangan perempuan itu terhenti ketika matanya menangkap bentuk benda yang tak asing baginya. 

Tanpa menunggu lebih lama, tangan kirinya terulur. Degub jantungnya beradu ketika tangannya meraih benda yang ternyata sebuah ponsel jadul, yang belum dilengkapi kamera serta fitur canggih lainnya. 

Dengan tangan bergetar Hana menggenggam ponsel berukuran kecil yang sedikit lebih tebal dari miliknya itu. Menatap benda persegi panjang bersudut tak lancip itu dengan perasaan kian kacau. 

Ponsel itu berada dalam keadaan mati. Namun tidak setelah Hana memencet tombol on off bergambar gagang telepon berwarna. Benda itu menyala sempurna. 

Ponsel itu masih sangat baru, bahkan Hana hampir tak menemukan goresan sedikitpun di casingnya. 

Ibu jari kanan Hana mengutak-atik benda itu. Tak ada pesan dalam daftar pesan masuk maupun ke luar. Sepertinya Rio sudah mengantisipasi. 

Hana beralih ke kontak tersimpan, tak ada nomor kontak tersimpan. Hingga akhirnya Hana membuka log panggilan masuk, ke luar, maupun tak terjawad. Ia menemukan 2 panggilan tak terjawab di jam 6 pagi tadi. 

Benarlah, jika sebuah kebohongan akan segera terbongkar cepat atau lambat. Satu kebohongan yang disembunyikan manusia, Allah memiliki seribu cara untuk membongkarnya. 

Tanpa pikir panjang Hana menekan tombol panggil, hatinya berdesir tak karuan. 

Tuuuuuut … tuuuuuut … tuuuuuut. 

Panggilan tersambung. Memperdengarkan suara manja perempuan dari seberang sana. 

"Jangan lupa jemput aku, ya. Pesawatnya akan take off jam 09.45. Aku nggak mau kamu telat menjemputku," ucap suara itu sambil terkekeh pelan. Sangat jelas tergambar bagaimana suasana hati dan apa hubungan perempuan di seberang sana dengan si empunya ponsel. 

Hana mematung dengan tungkai terasa lemas. Ia terduduk di sisi ranjang dengan ponsel masih menempel di telinganya. Tak ada lagi harapan untuk menyembuhkan hatinya dan satu-satunya cara agar luka ini tak sampai mematikan hatinya adalah, berpisah. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rindhie
Udah Hana, jngn mau ditindas trs sm Rio & selingkuhannya .. mantapkan cerai dr Rio .. pasti nanti dia akan menyesal
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Brengsek banget Rio ternyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status