"Sadarlah Rio, perempuan itu masih bersuami, mana punya anak 3 lagi." Maria menasehati dengan suara pelan. Tatapan matanya luruh pada wajah gusar sang anak.
"Mama diam! Jangan mengurusi rumah tanggaku, urusi saja rumah tangga Mama sendiri!" bentak Rio seraya bangkit dan berlalu ke luar. Beberapa saat kemudian deru mesin mobil terdengar, kemudian kian menjauh. Entah ke mana perginya laki-laki itu. Tangan yang telah dipenuhi keriput itu mengusap kuat dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. Ini entah kali keberapa Rio membentaknya dengan bentakan menggores luka di hati. Namun, meski demikian Maria tetap rutin mengunjungi anaknya itu meski jaraknya paling jauh dari anak-anak yang lain. Apalagi kalau bukan karena uang. Ya, Rio adalah anaknya yang memiliki gaji tertinggi dibandingkan yang lain, serta yang paling royal memberikan uang padanya. Tentu saja, jika hanya bergaji 4 juta perbulan seperti anak keduanya, mana mungkin mampu memberinya uang dengan jumlah lumayan setiap bulannya, sedangkan tanggungan anak keduanya itu ada istri dan dua anak balitanya. Uang bisa membuat manusia memaksa menyembuhkan luka hati oleh ulah orang beruang. Itu pula yang Maria rasakan terhadap anak sulungnya itu. Ia rela mengorbankan harga dirinya sebagai ibu demi rupiah yang diberikan Rio setiap bulannya. *Seminggu sudah kejadian di pagi itu. Kejadian di mana Rio menoreh luka yang bahkan sampai matipun akan Hana ingat. Kejadian di mana Hana merasakan dirinya tak lagi memiliki harga diri di hadapan sang suami. Sejak saat itu, satu-persatu luka lama kembali menguar perih yang kian bertambah, hingga membuat Hana seperti mati rasa terhadap laki-laki yang masih sah berstatus suaminya itu. Tepat hari ini, hari minggu. Sejak setengah jam lalu Rio izin ke kantor dengan alasan lembur, alasan yang sangat klasik menurut Hana. Ia tak ingin berlebihan mencari tahu tentang apa yang dilakukan Rio di kantor, mengingat Inez tinggal berbeda pulau dengan mereka. Ya, Inez tinggal di pulau bahkan kota yang sama dengan Maria. Meski tak menutup kemungkinan mereka akan membuat janji temu. Namun, Hana tak terlalu merisaukan. Ia tak ingin mencari tahu karena akan menambah lelah hatinya, tapi jika seandainya ketahuan, maka tak akan ada kata maaf lagi. Ini adalah kesempatan terakhir, itu pun jika Rio mampu berubah menjadi suami yang memang pantas untuk dipertahankan, bukan seperti Rio yang selama ini ia kenal. Hana sibuk merapikan susunan pakaian di dalam lemari. Kebiasaan Rio yang suka menarik asal saat mengambil pakaian membuat lemari pakaian miliknya mudah berantakan meski dirapikan berulang kali. "Bubur ayam di atas meja punya siapa, Ma?" tanya Abi yang kini berdiri di ambang pintu. "Makan saja, Bang. Itu sisa dua, punya Mama sama Abang. Yang lain udah selesai sarapan," jawab Hana melirik sekilas anak laki-lakinya itu. "Ira sama Ica di mana?" tanya Abi kemudian. "Di rumah Nenek. Oma juga di sana," jawab Hana tanpa menoleh. Anak laki-laki dengan tinggi badan 165 sentimeter berhidung lancip itupun berlalu ke dapur, meninggalkan sang mama yang masih sibuk di depan lemari. Tangan Hana dengan terampil menyusun kembali lembar demi lembar pakaian milik sang suami sesuai jenisnya. Setelah dirasa cukup ia beralih membersihkan debu dari bawah lemari, kemudian beralih ke sisi kanan kiri dan terakhir membersihkan atas lemari. Hana menaiki kursi plastik, membersihkan bagian atas lemari menggunakan kemoceng. Namun, tangan perempuan itu terhenti ketika matanya menangkap bentuk benda yang tak asing baginya. Tanpa menunggu lebih lama, tangan kirinya terulur. Degub jantungnya beradu ketika tangannya meraih benda yang ternyata sebuah ponsel jadul, yang belum dilengkapi kamera serta fitur canggih lainnya. Dengan tangan bergetar Hana menggenggam ponsel berukuran kecil yang sedikit lebih tebal dari miliknya itu. Menatap benda persegi panjang bersudut tak lancip itu dengan perasaan kian kacau. Ponsel itu berada dalam keadaan mati. Namun tidak setelah Hana memencet tombol on off bergambar gagang telepon berwarna. Benda itu menyala sempurna. Ponsel itu masih sangat baru, bahkan Hana hampir tak menemukan goresan sedikitpun di casingnya. Ibu jari kanan Hana mengutak-atik benda itu. Tak ada pesan dalam daftar pesan masuk maupun ke luar. Sepertinya Rio sudah mengantisipasi. Hana beralih ke kontak tersimpan, tak ada nomor kontak tersimpan. Hingga akhirnya Hana membuka log panggilan masuk, ke luar, maupun tak terjawad. Ia menemukan 2 panggilan tak terjawab di jam 6 pagi tadi. Benarlah, jika sebuah kebohongan akan segera terbongkar cepat atau lambat. Satu kebohongan yang disembunyikan manusia, Allah memiliki seribu cara untuk membongkarnya. Tanpa pikir panjang Hana menekan tombol panggil, hatinya berdesir tak karuan. Tuuuuuut … tuuuuuut … tuuuuuut. Panggilan tersambung. Memperdengarkan suara manja perempuan dari seberang sana. "Jangan lupa jemput aku, ya. Pesawatnya akan take off jam 09.45. Aku nggak mau kamu telat menjemputku," ucap suara itu sambil terkekeh pelan. Sangat jelas tergambar bagaimana suasana hati dan apa hubungan perempuan di seberang sana dengan si empunya ponsel. Hana mematung dengan tungkai terasa lemas. Ia terduduk di sisi ranjang dengan ponsel masih menempel di telinganya. Tak ada lagi harapan untuk menyembuhkan hatinya dan satu-satunya cara agar luka ini tak sampai mematikan hatinya adalah, berpisah."Sayaaaang! Aku udah mengajukan gugatan ke pengadilan, aku nggak mau, ya, kalau sampai aku resmi bercerai dari suamiku, kau tak kunjung meninggalkan perempuan itu." Lanjut suara dari seberang sana membuat harga diri Hana kian terinjak-injak. Hana memutus telepon secara sepihak. Ia tak ingin lebih muak lagi jika terlalu lama mendengar suara bernada manja perempuan murahan yang dibanggakan suaminya itu. Sekarang Hana tau apa yang membuat Rio izin lembur hari ini. Ya, lembur, lembur untuk menikmati waktu bersama perempuan murahan itu. "Tak akan ada maaf lagi untuk kali ini," desis Hana dengan wajah penuh murka. Tangan dengan jari-jemari lentik itu menggenggam kuat ponsel kecil itu. Jika benda itu hanya sekeras tempe, maka dapat dipastikan kini tak lagi berbentuk. Hana memejamkan mata untuk beberapa saat dengan wajah menengadah ke langit-langit kamar. Amarah di dadanya kian menumpuk, beban berat di hatinya seakan tak mampu lagi ia tampung. Hampir saja ponsel milik Rio itu menghantam
Hana menatap lekat wajah pias laki-laki itu dengan dada bergemuruh. Namun, tetap saja ia enggan bersikap seolah dirinya butuh laki-laki itu. "Benar ini yang kamu cari?" tanya Hana dengan nada membentak. "I—itu ponsel temen Papa, Ma. Kemaren ketinggalan di kantor dan minta Papa buat bawa pulang dulu," ucap Rio terbata. Kilatan amarah kian nampak mana kala mendengar kebohongan baru yang Rio ciptakan barusan. Tak ada lagi kepercayaan yang tersisa setelah semuanya terjadi. "Oh, ya? Kalau begitu, katakan pada temanmu kalau kekasihnya akan take off pukul sembilan 45 menit dan meminta dijemput," ucap Hana dengan mata tajam. Berusaha ia tahan emosi yang tengah meluap, meski hasilnya tetap saja berkobar. Rio tertunduk seketika. Kedua tungkainya melemah menyadari Hana telah berbuat sesuatu dengan ponsel barunya, ponsel yang ia khususkan untuk bertukar kabar dengan Inez. "Ceraikan aku sekarang juga!" Bentak Hana. Perempuan pendiam itu kini berubah bak singa kelaparan yang siap menerkam man
"Ti—tidak, Inez. Aku tak bisa menjemputmu. Kau pergi saja sendiri," ucap Rio terbata-bata. Sekilas ia dapat melihat betapa amarah Hana lewat wajahnya yang kian memerah. "Hah! Abang jangan aneh-aneh. Abang pikir aku bisa menerima ini. Nggak mau, pokoknya jemput aku! Bukankah Abang sudah janji akan menjemputku, bahkan tempat tinggal untukku sudah Abang sediakan. Atau Abang takut dengan istri berwajah lusuh Abang itu?" Inez menggerutu. Ia tak tahu jika di sini semua wajah tersulut amarah oleh kalimatnya barusan, terlebih Hana. Rio mengusap keringat dingin yang berjejalan keluar di dahinya. Inez sukses membuat laki-laki itu didera ketakutan. "Sudah—" Rio berusaha menyudahi pembicaraannya. Namun, dengan cepat perempuan di sana memotong kalimatnya. "Biasanya juga tak peduli dengan perempuan itu. Kalau memang nggak mau jemput, kenapa nyuruh aku dateng ke sana." Suara perempuan itu terdengar kesal. "Bukan—bukan begitu, Nez. Ah, aku—aku sibuk," ucap Rio sambil memejamkan mata. Ia benar-be
"Dapat bagian katamu? Lantas, rumah yang kau bangun di dekat rumah Mama?" tanya Hana dengan tatapan menantang. "Rumah yang kau bangun dengan menghabiskan uang ratusan juta dan dibuat atas nama kamu. Bahkan surat rumah pun tak kau izinkan aku menyimpannya di rumah ini. Kau lebih percaya orang tuamu, sedangkan surat rumah ini yang aku simpan di rumah Ibu kau paksa aku untuk memintanya. Apakah ini adil menurutmu?" tanya Hana dengan mata tajamnya. "Semuanya adalah jerih payahku, Hana. Kau hanyalah ibu rumah tangga yang sama sekali tak menghasilkan rupiah," ucap Rio tak tahu malu. "Oh, begitu. Kau memang sama persis dengan mamamu. Jika memang begitu, mari kita hitung apa yang telah kulakukan demi keluarga ini, dan apa yang telah kau lakukan untuk keluarga ini," ucap Hana dengan kalimat tegas dan jelas. Tak ada lagi kata mengalah dalam kamus kehidupannya kali ini terhadap laki-laki tak tahu balas budi itu. "Silakan. Dan kupastikan kau hanya benalu yang numpang makan selama bertahun-tahun
Tatapan tajam menghunus dari mata renta dengan tubuh yang masih nampak begitu kokoh itu terarah pada Rio. Hatinya sebagai orang tua meyakini jika laki-laki itulah sumber masalah dalam rumah tangga anak bungsunua itu sekarang. Rio memalingkan pandangan ke jendela. Rasa kesalnya pada Hana kian besar kala melihat raut wajah laki-laki yang selama ini tak pernah manis terhadapnya. Ia tak sadar jika apa yang dilakukan Husni terhadapnya adalah ulah dirinya sendiri, ulahnya yang kerap kali menyakiti hati Hana. "Ada apa ini?" tanya suara bariton itu dengan nada datar. Hana menatap wajah laki-laki berwajah sangar dengan hati hangat itu. Ya, terhadap anak cucunya, Husni adalah seorang kakek yang hangat. Hanya saja ia tegas dalam memutuskan sesuatu dan itulah yang membuat Husni dan Rio tak pernah akur sejak dulu. "Hana minta bantuan Ayah untuk menyelesaikan ini," adu Hana pada laki-laki dengan rambut yang mulai memutih itu. Husni terdiam sejenak. Mengedarkan pandangan ke semua wajah yang ke
"Aku mencintai perempuan itu," jawab Rio dengan nada lirih. Hana tersenyum sinis. Hatinya kian meringis mana kala di depan orang tuanya Rio mengutarakan perasaannya terhadap perempuan lain. Husni terdiam sesaat. Menarik napas panjang demi mengurai sesak. Pun dengan Diana. Orang tua mana yang akan baik-baik saja kala mendapati menantunya mencintai perempuan lain? Maria nampak membuang muka. Ia tak memiliki keberanian apa-apa karena sudah terlanjur malu pada kedua besannya itu. Jika waktu dapat diputar, ia lebih memilih untuk tak datang ke sini kali ini. "Lalu, kenapa kau tak mau melepaskan Hana? Bukankah Hana telah memberimu kebebasan hanya dengan melepaskannya?" tanya Husni berusaha bertenang, meski detik ini ingin rasanya ia menghantam kepala tanpa ot*k itu ke lantai keramik yang ia pijak. "Aku tak ingin berpisah dari anak-anak," ucap Rio sedikit melemah. Husni muak mendengar kalimat barusan setelah kata 'anak' dijadikan alat untuk mempertahankan egonya. "Baiklah. Dan kau Hana
Diana melempar sebuah jaket milik calon mantan menantunya itu ke sudut ruangan, berusaha menumpahkan kekesalan lewat benda mati tak bersalah itu. Hana tersenyum kecut melihat ulah sang ibu. "Sudahlah, Ma. Hana bersyukur akhirnya akan segera terbebas dari laki-laki itu. Hana tak akan pernah menyesal melepaskan Rio. Hana hanya akan fokus untuk masa depan anak-anak saja. Biarkan keadilan Allah akan bekerja sendiri tanpa campur tangan Hana. Cukuplah do'a hati yang terzolimi bergerak dengan titah-Nya." Hana tersenyum getir. "Kau terlalu sabar selama ini, Na." Diana berucap lirih. "Sabar tak akan pernah membuat kita rugi, Bu."Diana pun menurut. Sejak dulu Hana memang selalu begitu, meski akhirnya sabarnya menemukan titik akhir. "Baiklah, Na. Semoga setelah ini kau menemukan kebahagiaanmu sendiri."Hana kini duduk berhadapan dengan sang ibu setelah semua dirasa cukup. "Aamiin. Makasih, Bu. Hana masih mikir setelah ini Hana akan bekerja apa? Karena selama menikah, Rio memang tak pernah
Laki-laki mana yang akan diam saja ketika tahu wanitanya bermain gil* di belakangnya. Rasanya terlalu bod*h jika dirinya hanya akan diam saja. Itulah yang ada di kepala Marwan. Selama ini ia selalu menuruti keinginan Inez semampunya, bahkan saat pandemi ia rela bekerja siang malam apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang di masa sulit itu. Namun, apa balasan perempuan itu? Sebuah rasa sakit yang bahkna sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Marwan. Watak Inez yang ingin selalu mementingkan pujian membuat perempuan itu begitu sulit menerima jika harus hidup susah, bahkan pernikahannya dengan Marwan pun terjadi karena uang. Ya, Marwan dulunya bekerja sebagai di sebuah supermarket dengan jabatan lumayan. Inez yang sebelumnya memiliki hubungan dengan Rio tiba-tiba meminta berpisah dari laki-laki itu kala kenal dengan Marwan, hingga akhirnya keduanya menikah tak lama setelahnya.Tatapan laki-laki itu nampak nanar. Tangan dengan kulit kasar itu mengepal kuat hingga buku-buku tanga