Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
"Papa ingin menikah lagi, Ma!"Rio yang tengah duduk di kursi makan berucap lirih, membuat sang istri yang kini tengah sibuk membuatkan sarapan untuk keluarga kecil mereka mematung dengan hati hancur berkeping. Hana Humayra—perempuan cantik dengan hidung bangir berusia akhir 35 tahun itu menghentikan gerakan tangannya yang tengah menyiapkan sarapan. Namun, tak berlangsung lama, sesaat kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya, bersikap seolah baik-baik saja meski emosi seketika meluap. Ingin rasanya ia melempar wajan di tangannya itu ke sembarang arah.Setelah selesai, kaki jenjangnya melangkah mendekati sang suami. Meletakkan mangkuk berisi penuh nasi goreng di atas meja. Hana menduduki kursi yang berada persis di hadapan sang suami, dengan bibir terkunci dan sorot mata begitu dingin. Menatap lekat wajah laki-laki yang telah menikahinya selama empat belas tahun itu hampir tak berkedip. Hana tengah memaksa agar luka di hatinya tak membuat air matanya tumpah. Beberapa detik berl
"Lepaskan aku!" ucapnya dengan suara bergetar. Susah payah ia menahan agar sesak yang kini menghimpit dada tak membuatnya lemah. "Apa alasanmu meminta berpisah, Ma? Bukankah poligami adalah sunnah. Kau bisa mendapat pahala besar dari ikhlasmu melakukannya."Semudah itukah para laki-laki berucap? Apakah hatinya buta ataukah mati rasa, hingga dengan lantangnya menyuarakan sunnah tanpa ia sendiri paham bagaimana sunnah itu seharusnya ditunaikan. "Benarkah poligami itu sunnah?" tanya perempuan dengan warna kulit kuning langsat itu. Hana masih sangat cantik di balik wajah kelelahan dengan mata panda-nya. Namun, cukup banyak laki-laki yang memang tak pernah merasa puas meski telah memiliki istri secantik apapun. "Aku rasa kaupun tahu tentang itu," ucap Rio lemah. "Lantas hukum shalat lima waktu?" tanya Hana bermakna sindiran. Rio menegakkan posisi duduknya. Susah payah ia menelan ludah sendiri setelah mendengar kalimat Hana barusan. Hening. Keduanya bungkam. Hana dengan setia menant
"Jangan, Ma. Jangan sampai keluarga Mama tahu tentang ini." Wajah Rio memucat. Ia menyesali dirinya yang tak mampu bersabar lebih lama lagi. "Lantas, aku harus memendamnya sendiri? Begitu? Belum cukupkah selama 14 tahun bersama kau membuat wajahku persis seperti perempuan 10 tahun lebih tua dari usianya?" Hana mengerutkan dahi. Mata dengan kelopak menghitam karena beban hati dan pikiran itu sedikit membulat. "Ceritakan pada Mama saja, jangan pada Ibu atau Ayah," ucap Rio tanpa merasa bersalah. Mama adalah panggilan terhadap ibu dari Rio. "Tak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan jika aku menceritakan ini padanya. Aku akan diminta untuk bertahan dan bersabar menghadapimu, persis seperti selama ini. Sekali lagi kukatakan, aku tetap akan mengatakan ini pada orang tuaku, karena tempat ternyaman bagiku hingga saat ini adalah mereka. Aku tak akan berniat lagi mempertahankan biduk rumah tangga ini seperti yang sudah-sudah." Hana bersikeras. "Ya, sudah, kalau begitu biar anak
Matahari mulai menguning ketika Hana memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Rumah yang hampir tak berjarak dari rumahnya. Ya, rumah mereka berdampingan, bahkan tanah di mana rumah yang Hana tempati dibangun adalah milik orang tua Hana. Tepatnya, tanah yang diberikan oleh orang tuanya untuknya. Suara riuh tawa Ica dan Ira yang kini tengah bermain boneka tak jauh dari Hana duduk bersama sang mama, membuat suasana terasa begitu hangat. Di rumah inilah mereka merasakan surganya keluarga, sedang di rumah mereka, mereka dituntut untuk bersikap selalu baik dan tak boleh melakukan kesalahan jika tak ingin mendapat bentakan kasar dari laki-laki yang mereka panggil 'Papa'. "Kau sudah matang dengan keputusanmu ini, Na?" tanya Diana, perempuan berusia 65 tahun itu dengan wajah sendu. Sejak lama ia tahu bagaimana perlakuan sang menantu terhadap anak yang mereka sayangi. Bahkan tak jarang suara benda-benda membentur lantai karena kemarahan Rio terdengar sampai ke rumah ini. Sejak lam
Berkali-kali menarik napas dalam mengembusnya ke luar, berharap hatinya sedikit lebih tenang.Melirik sekilas pada Ica yang kini sibuk berceloteh di depan cermin lebar pada pintu lemari. Beberapa detik kemudian kedua ibu jari Hana menari di layar ponsel. Menumpahkan emosi lewat huruf demi huruf yang terangkai menjadi kata pada layar datar ponselnya. [Terima kasih telah mengambil laki-laki itu dariku. Katakan padanya untuk segera mencaraikanku karena aku sama sekali tak membutuhkannya lagi. Jika dia tak melakukannya berarti kau tak begitu berarti baginya.]Hana terduduk di kasur setelah pesan balasan baru saja ia kirim. Kedua tangannya terasa bergetar seiring kesadaran yang mulai pulih. Ia tak percaya ketika menyadari perempuan itu seberani ini terhadapnya, seolah dirinyalah yang menjadi pengganggu hubungan mereka. "Kamu kenapa, Ma?" tanya Rio yang baru saja masuk ke kamar. Hana menggeleng pelan. mendorong pelan tubuh Ica untuk ke luar. "Ica main sama Kak Ira dulu, ya, nanti Mama
Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini. Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. "Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. "Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir
Maria sama sekali tak menyangka jika menantu kebanggaannya itu akan berucap hal menyakitkan barusan. Ya, diantara dua menantunya, Hana adalah menantu idaman baginya, menantu yang selalu ia puji di depan menantu lainnya. Sangat wajar jika Maria bersikap demikian karena Lina, istri dari anak keduanya adalah tipe perempuan yang ceplas-ceplos dan tak suka diatur-atur. Rio nampak memasang wajah kesal. Namun, berusaha ia tahan karena posisinya sekarang dalam keadaan genting. Laki-laki itu sedikit bersyukur karena hari ini ia mengambil cuti, jika tidak, sudah dipastikan perdebatan dua perempuan barusan akan berakhir fatal. "Kenapa kau berbicara begitu, Hana?" tanya Maria dengan tatapan tak percaya. Hana tak langsung menjawab, kini fokusnya terarah pada Ica yang sibuk menghabiskan makanannya, sedangkan Ira pura-pura tak paham dengan pembicaraan tiga orang dewasa di hadapannya itu, meski ia mulai sedikit tahu ke mana topik pembicaraan mereka. "Ira udah kelar makannya?" tanya Hana lembut.