Beranda / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

Share

BAB 6: JARINGAN BAYANGAN

Penulis: Oceania
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-18 16:13:23

Hutan Lambusango, tempat Sinta biasa membimbing wisatawan dan peneliti, kini menjadi panggung lain dari dilema batinnya. Setelah pertemuannya dengan mahasiswa Eropa yang menggunakan teknologi untuk melestarikan budaya, ia mulai membuka pikirannya pada dunia modern. Namun, suatu sore yang tenang, Sinta bertemu dengan seorang pria yang membawa angin perubahan yang tidak sepenuhnya ia percayai.

Pria itu adalah Arya, seorang influencer terkenal dalam dunia cryptocurrency. Penampilannya menarik perhatian—dengan pakaian kasual, senyuman percaya diri, dan cara berbicara yang mengalir lancar. Ia mengunjungi Pulau Buton untuk mempromosikan sebuah program investasi berbasis blockchain yang disebut Ethernix.

Saat itu, Sinta sedang duduk di pondok kecil di tengah hutan, berbincang dengan beberapa penduduk lokal tentang potensi pariwisata berbasis budaya. Arya datang mendekat dengan langkah ringan, memperkenalkan dirinya dengan gaya penuh percaya diri.

“Sinta, saya dengar Anda adalah orang yang paling memahami budaya dan potensi Pulau Buton. Saya Arya. Saya yakin kita bisa berbicara tentang bagaimana mengembangkan ekonomi masyarakat di sini,” katanya sambil menjabat tangan Sinta.

Sinta tersenyum tipis, tetapi hatinya dipenuhi waspada. Nama Arya dan Ethernix tidak asing baginya. Ia ingat cerita dari beberapa penduduk yang menjual kebun mereka untuk membeli aset digital di platform serupa. Ketika banyak orang bergabung, situs itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan mereka tanpa apa pun.

“Apa yang ingin Anda bicarakan, Arya?” tanya Sinta dengan nada ramah namun berhati-hati.

Arya menjelaskan dengan penuh semangat tentang bagaimana blockchain dan cryptocurrency bisa menjadi masa depan ekonomi global. “Bayangkan jika masyarakat Buton bisa menjadi bagian dari revolusi digital ini,” katanya. “Dengan teknologi ini, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi pemain utama.”

Sinta mendengarkan dengan seksama, tetapi ingatannya tentang kerugian yang pernah dialami masyarakat Buton membuatnya tetap curiga. Ia merasakan energi yang berbeda dari Arya—sebuah energi yang mengingatkannya pada Bayangan Lautan. Bedanya, ancaman kali ini tersembunyi di balik jaringan internet, bukan kegelapan laut.

Setelah pertemuan itu, Sinta mulai menyelidiki lebih jauh tentang Arya dan Ethernix. Ia berbicara dengan penduduk yang pernah terlibat dalam bisnis serupa dan mendapati pola yang mengkhawatirkan: sebuah sistem yang terlihat menjanjikan, tetapi pada akhirnya mengorbankan masyarakat kecil demi keuntungan segelintir orang. “Judi Online” pikirnya dalam hati semakin mencurigai Arya.

“Bu Sinta,” kata seorang pemuda bernama Ilham, yang pernah kehilangan tanahnya akibat investasi digital. “Mereka bilang ini masa depan, tetapi kami malah kehilangan segalanya. Bagaimana kami bisa percaya lagi?”

Sinta merasa tanggung jawab besar di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia harus melindungi masyarakat dari ancaman seperti ini, tetapi ia juga menyadari bahwa perubahan teknologi tidak bisa dihindari. Dunia sedang berubah, dan ia tidak bisa menghalangi generasi muda untuk terlibat dalam dunia digital.

Sinta memutuskan untuk menghadapi Arya secara langsung. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di kota Baubau. Arya tampak tenang dan percaya diri, tetapi Sinta langsung memulai pembicaraan dengan nada serius.

“Arya, saya tahu apa yang terjadi dengan beberapa platform serupa sebelumnya,” katanya. “Masyarakat kehilangan aset mereka, tanah mereka. Apakah Ethernix benar-benar berbeda, atau hanya topeng baru untuk jaringan lama?”

Arya tersenyum tipis, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya. “Sinta, saya mengerti keraguan Anda. Tetapi teknologi seperti ini selalu menghadapi tantangan di awal. Kami di Ethernix ingin membangun kepercayaan dan membantu masyarakat lokal.”

Sinta menatapnya tajam. “Kepercayaan itu tidak dibangun dengan kata-kata, Arya. Itu dibangun dengan tindakan.”

Di malam harinya, Sinta duduk di kamarnya, merenungkan pertemuan itu. Ia mulai merasa bahwa musuhnya kali ini bukan hanya Arya atau Ethernix, tetapi sistem besar yang tersembunyi di balik jaringan internet. Sebuah sistem yang sama seperti Bayangan Lautan—tidak terlihat, tetapi mampu memengaruhi kehidupan banyak orang.

Dalam meditasinya, Sinta kembali terhubung dengan sisi spiritualnya sebagai titisan Ratu Wakaaka. Ia melihat gambaran tentang gelombang elektronik yang mengalir seperti arus laut, membawa informasi sekaligus bahaya. Ia menyadari bahwa ancaman kali ini adalah pertempuran di dunia maya.

“Generasi muda harus dilindungi, tetapi mereka juga harus dipersiapkan,” gumamnya. “Jika mereka tidak memahami bahaya dunia digital, mereka akan tenggelam.”

Sinta mulai merancang sebuah program pelatihan untuk masyarakat lokal, terutama generasi muda. Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknologi seperti pemahaman tentang blockchain dan keamanan digital, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya Buton, seperti kejujuran, kebersamaan, dan tanggung jawab.

Ia mengundang para ahli teknologi untuk memberikan pelatihan, tetapi juga melibatkan tetua adat untuk berbagi cerita tentang kearifan lokal. “Teknologi itu seperti laut,” kata Sinta kepada para peserta pelatihan. “Ia bisa menjadi sumber kehidupan, tetapi juga bisa membawa bencana jika kita tidak tahu cara mengarunginya.”

Arya, yang mendengar tentang program ini, kembali menemui Sinta. “Saya kagum dengan apa yang Anda lakukan,” katanya. “Tetapi, Anda tidak bisa menghindari fakta bahwa masyarakat harus mengambil risiko untuk maju.”

Sinta menatap Arya dengan pandangan tegas. “Risiko itu harus dihitung, Arya. Dan yang lebih penting, itu harus adil. Masyarakat kecil tidak boleh menjadi korban sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang.”

Arya terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya harap Anda tidak salah menilai saya.”

Sinta berdiri di puncak bukit di Hutan Lambusango, memandang ke arah laut yang luas. Ia tahu bahwa pertempuran ini belum berakhir. Dunia terus berubah, dan ancaman seperti Bayangan Lautan kini hadir dalam bentuk yang berbeda—lebih halus, tetapi sama berbahayanya.

Namun, ia percaya bahwa dengan mengintegrasikan tradisi dan teknologi, ia dapat mempersiapkan masyarakat Buton untuk menghadapi dunia modern tanpa kehilangan identitas mereka.

“Dua dunia ini tidak harus bertabrakan,” pikirnya. “Aku adalah jembatan di antara mereka.”

Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango, pas di perkampungan La Bundo di pertigaan Kamaru Ereke, tepai di salah satu balai desa, akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan telah melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.

Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-ho, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.

“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya.”

Diskusi tentang Hutan

Setelah perjalanan selesai, Jun-ho meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan.

“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-ho. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini.”

Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”

Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”

Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”

Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan dolar. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung.

“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-ho, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.”

Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.”

Jun-ho mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Semua aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”

Jun-ho melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka.”

Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini.”

Jun-ho tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.”

Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di Hutan Lambusango, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-ho terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.

Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?

“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”

Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.

Jun-ho juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.

Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.

“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.”

Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal.

Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Di atas tebing Kapuntori yang dibawahnya ada persawahan yang indah apalagi di waktu senja. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.

“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 123 – Di Bawah Bayang Beruang Merah dan Makam Imam Bukhari

    Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 152 – Jaringan Waralaba Rakyat: Ketika Tanah Menjadi Ekonomi Hidup

    Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 151 – Politeknik Langit: Menenun Keterampilan, Membuka Pintu Dunia

    Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 150 – Harmoni Gerak, Resonansi Langit

    Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 149 — Dalam Sunyi, Bertemu Ratu Wakaaka

    Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 148 — Perampasan dan Kebangkitan

    Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status