หน้าหลัก / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

แชร์

Bab 109 — Ladang yang Menyimpan Doa dan Dunia yang Terbelah

ผู้เขียน: Oceania
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-18 06:00:13

Dedaunan gingko menari perlahan di sepanjang lembah Gangwon-do, seolah menyambut tamu dari arah khatulistiwa yang datang membawa rencana besar dalam kepalanya dan doa lembut dalam dadanya. Lintang berjalan di jalur tanah yang mengarah ke ladang pertanian, tempat para petani Korea masih menggantungkan hidup mereka dari tanah, air, dan musim yang tak selalu bersahabat.

Di antara ladang itu, berdiri seorang lelaki tua dengan topi bambu dan tangan penuh lumpur, namun senyum dan matanya jernih bak telaga.

“Annyeong haseyo,” sapa Lintang, sedikit kaku tapi tulus.

Petani itu mengangguk. “Kau dari Indonesia?” tanyanya, sambil meletakkan alat cangkul ke tanah. “Aku pernah bertemu peneliti dari Buton dulu, tentang metode tanam dengan bulan.”

Lintang tersenyum, seakan semesta mempertemukannya tepat dengan orang yang tak asing dengan tanah airnya.

“Aku datang membawa gagasan Madrasah Langit,” katanya pelan. &ldqu

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 110 — Air Mata di Bawah Pohon Ginkgo

    Langit Seoul berwarna kelabu saat Lintang melangkah keluar dari stasiun. Hujan tipis mengguyur jalanan kota yang sibuk, namun suara langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak menanggung beban masa silam yang belum benar-benar selesai. Di tangannya, ia menggenggam sekuntum bunga camellia putih—simbol kerendahan hati dan penyesalan.Alamat rumah sang nenek tertera di selembar kertas yang kini telah lecek di sakunya. Meski sebelumnya begitu yakin akan percakapan ini, kini dadanya berdebar, dan pikirannya berliku: Akankah neneknya menerima? Ataukah ambisi masa lalu masih tertinggal dalam darah perempuan tua itu?Rumah kayu tua di pinggir kota itu tampak seperti lukisan dari masa lalu: beranda kecil dengan tanaman bonsai, dan pintu geser dari kayu pinus tua. Aroma kayu dan hujan membaur di udara, menciptakan suasana yang melankolis namun sakral.Lintang mengatur napas. Ia mengetuk pelan. Satu... dua... tiga ketukan.Lalu suara lembut, r

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-18
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 111 – Madrasah Langit di Bawah Langit Jeju

    Langit di atas Pulau Jeju membentang luas, seolah menjadi kanvas bagi kisah-kisah dunia yang tak henti dituliskan. Awan-awan kelabu yang menari di ufuk timur tak bisa menutupi semarak warna dari hati manusia yang datang dari berbagai penjuru bumi, mencari makna, mencari akar, dan menemukan langit yang sama—madrasah tak bertembok, tak berbatas, yang mengajarkan keikhlasan melalui gerak alam.Lintang berdiri di antara ladang bunga canola yang menguning seperti cahaya, diapit oleh angin musim semi yang membawa aroma asin dari laut dan tanah yang baru saja digarap. Di sekelilingnya, wajah-wajah dari berbagai benua berkumpul—nelayan tua dari Jeju, sepasang petani dari hutan Kongo, seorang pelancong dari Brasil, dan gadis muda dari Taiwan. Semua hadir dalam diam yang penuh makna, menyambut Lintang seperti seorang guru tua yang kembali setelah perjalanan panjang, padahal sesungguhnya merekalah guru-guru sejati yang tengah Lintang cari.“Jeju bukan hanya tana

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 112 – Gema Langit dari Seoul ke Samudra

    Pagi merambat tenang di Seoul. Cahaya mentari musim semi jatuh lembut di jendela rumah tua yang berdiri kokoh di pinggir kota, milik nenek Lintang. Di dalamnya, aroma teh hijau dan kayu manis berpadu, mengisi ruangan seperti pelukan hangat dari masa silam. Neneknya duduk di sudut ruang, mengenakan hanbok warna pucat, membalik-balik halaman kitab tua bertulisan tangan. Diamnya bukan ketidakpedulian, tetapi tanda perenungan yang dalam.Lintang duduk bersila di lantai kayu, komputer jinjing terbuka di hadapannya. Di layar, wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia menyala satu per satu dalam ruang daring Madrasah Langit yang ia bangun. Hari itu, ia membuka sesi dialog lintas bumi—sebuah forum terbuka yang meniadakan waktu dan batas negara, sebuah sekolah langit yang memanggil jiwa-jiwa muda dari penjuru dunia untuk merajut hikmah.Suara pertama datang dari utara bumi, dingin namun penuh semangat.“Salam dari Nuuk, Greenland!” seru seorang anak muda

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 113 – Tanah, Langit, dan Akar yang Menembus Waktu

    Di antara awan musim semi yang mulai mencairkan sisa dingin musim dingin, Seoul menyeruak sebagai kota penuh kenangan dan percakapan. Pagi itu, langit seolah menuliskan puisi dalam kabut tipis, sementara semesta bersiap membuka lembaran baru bagi Madrasah Langit. Bukan sekadar gagasan, melainkan jalinan rasa, akar, dan bintang yang kini bersinar dari berbagai sudut dunia.Lintang duduk di teras rumah neneknya, mendengarkan suara angin yang menyapu daun-daun tua. Di dalam rumah, Nyonya Choi tengah menyiapkan sesuatu. Sementara itu, jauh di sisi lain dunia, Sinta—sahabat Lintang yang sejak awal turut menabur benih Madrasah Langit—mengalami momen yang akan mengubah pandangannya tentang filosofi alam.Sinta berdiri di tengah sebuah taman sunyi di kaki pegunungan Himalaya, di sebuah desa kecil India yang dipenuhi pohon neem dan suara lonceng lembut dari kuil tua. Ia tengah menunggu seseorang yang disebut-sebut oleh penduduk lokal sebagai “Kakek Guru”

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 114 – Ketika Langit Menyentuh Tanah

    Udara pagi Seoul menyimpan keheningan yang tidak asing bagi mereka yang mampu mendengar. Lintang duduk di beranda rumah tua Nyonya Choi, menatap ranting-ranting gingseng liar yang tumbuh di kebun kecil milik keluarganya. Daun-daunnya bergetar lembut, seakan menirukan doa yang dilantunkan oleh angin dari pegunungan Goryeo. Di hadapannya, Nyonya Choi membuka sebuah buku tua yang kulitnya mulai terkelupas—buku warisan keluarga yang berisi filosofi gingseng: akar kehidupan, daya tahan, dan kesabaran."Gingseng," ujar Nyonya Choi sambil membelai halaman pertama yang ditulis tangan, "adalah akar yang tidak hanya tumbuh di dalam tanah, tapi juga di dalam jiwa bangsa ini. Ia tumbuh lambat, menembus bebatuan, menyerap luka bumi, dan menjadikannya daya hidup."Lintang menyimak dengan mata yang bersinar. Ia telah mendengar banyak hal dari gurunya, dari petani, dari para filsuf langit dan tanah. Tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang jauh lebih dalam—getaran pengetah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 115 – Simfoni Langit di Ujung Perjalanan

    Mentari merangkak perlahan dari balik pegunungan yang diselimuti kabut tipis, seperti lukisan tinta di atas kanvas pagi. Di kejauhan, daun-daun cemara Korea menggigil dalam embun, mengguratkan puisi sunyi yang hanya dimengerti oleh jiwa-jiwa yang telah belajar mendengarkan bisikan angin. Di beranda rumah Nyonya Choi yang menghadap ke timur, Lintang duduk bersila, memejamkan mata, meresapi getaran pagi seperti seorang pertapa yang menjahit makna dari setiap napas alam.Sudah sepekan lebih ia menetap di Seoul, namun waktu seolah tidak pernah berjalan seperti biasanya. Setiap hari adalah ruang kontemplasi, perenungan yang dalam, tentang makna hidup, peradaban, dan cita-cita baru umat manusia. Madrasah Langit bukan lagi sekadar ide, tapi telah menjelma gerakan, tumbuh dari percakapan dan keterhubungan lintas batas, lintas jiwa. Dari Jeju hingga Amazon, dari Papua hingga Sahara, gema madrasah langit menyatu seperti kidung yang melintasi cakrawala.Lintang mengingat kembali

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-19
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 116 – Di Gerbang Musim yang Baru

    Di Seoul, musim semi menggeliat dalam warna-warna lembut yang tak terucapkan. Bunga-bunga plum mulai merekah di sela-sela tembok tua, dan angin datang membawa aroma tanah yang basah oleh embun. Di taman di belakang rumah Nyonya Choi, Lintang berdiri menghadap langit, seolah mencari sesuatu yang lebih dari sekadar cahaya pagi. Ia mencari arah, atau mungkin gema sunyi yang mengantar manusia kembali ke dirinya sendiri.Hari itu, langit memanggilnya untuk bergerak lebih jauh. Tapi bukan langkah kaki yang akan ditempuh, melainkan gerakan hati dan pikiran. Madrasah Langit, kini menjelma menjadi poros baru dalam diskursus global yang kian tak menentu. Dunia tengah terpecah—antara yang hendak kembali kepada tanah, dan mereka yang masih terjebak dalam ambisi langit yang gersang.Lintang membuka layar laptopnya. Sebuah surat elektronik masuk, berisi undangan dari Universitas Kyoto, Jepang. Mereka tertarik menjadikan Madrasah Langit sebagai mata kuliah lintas disiplin: antara fil

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 117 — Surat dari Kyoto, Surat dari Langit

    Senja di Seoul turun perlahan, seperti peluk lembut ibu yang lama tak bersua. Lintang duduk di ruang baca rumah Nyonya Choi, dikelilingi rak-rak kayu tua yang menyimpan buku-buku kuno dari berbagai penjuru dunia. Di atas meja, secangkir teh ginseng mengepul, dan di tangan Lintang, sebuah amplop bersegel merah dengan lambang bunga sakura—dikirim dari Kyoto.Jantungnya berdegup tenang, tapi dalam, seperti genderang yang ditabuh pelan di tengah upacara suci. Ia membuka surat itu perlahan, seolah tiap huruf adalah doa yang menyentuh cakrawala batin. Di dalamnya tertulis:“Saudari Lintang yang kami hormati,Dengan kerendahan hati dan penghargaan yang dalam atas perjalanan intelektual dan spiritual Saudari, Universitas Kyoto melalui Fakultas Studi Lintas Budaya dan Filsafat Bumi mengundang Saudari untuk bergabung dalam Program Penelitian Global mengenai ‘Hidup Berkelanjutan dalam Kearifan Lokal’. Dunia sedang mencari suara-suara ba

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-20

บทล่าสุด

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 152 – Jaringan Waralaba Rakyat: Ketika Tanah Menjadi Ekonomi Hidup

    Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 151 – Politeknik Langit: Menenun Keterampilan, Membuka Pintu Dunia

    Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 150 – Harmoni Gerak, Resonansi Langit

    Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 149 — Dalam Sunyi, Bertemu Ratu Wakaaka

    Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 148 — Perampasan dan Kebangkitan

    Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 147 — Kemenangan Tanah, Suara Langit

    Malam itu, langit di atas Wakatobi dipenuhi bintang. Laut tenang, dan angin membawa aroma garam yang lembut. Di sebuah ruang terbuka Madrasah Langit, di bawah pancaran lampu-lampu kecil bertenaga surya, Lintang duduk menghadap layar besar. Di sebuah kafe yang dikelola masyarakat adat, persis di Bukit Wungka Toliamba, ia duduk dengan beberapa anak muda, menikmati malam.Hari itu, ia tidak hanya merayakan kebebasan ibunya, Sinta.Ia merayakan kemenangan tanah.Kemenangan kehidupan.Kemenangan dari segala akar yang selama ini diam, tapi kini mulai bersuara.Lintang membuka pertemuan daring Madrasah Langit internasional. Wajah-wajah dari berbagai belahan bumi mulai bermunculan di layar:Seorang petani tua dari pinggir Sungai Nil tersenyum sambil mengangkat segenggam tanah berwarna merah. Seorang gadis muda dari pegunungan Ural, Rusia, mengibarkan kain bordiran nenek moyangnya, lambang perlindungan tanah. Seorang nelayan dari pantai Pasifik menunjukkan ikan-ikan yang ia tangkap dengan ban

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 146 – Membela Ibu, Menanam Langit

    Malam itu, Lintang duduk di bawah langit Lambusango yang kelam. Angin laut membawa aroma asin, bercampur bau tanah basah yang baru saja disiram hujan. Tapi pikirannya jauh, melayang ke sel tahanan kecil di kota: tempat di mana Sinta, perempuan yang ia panggil Ibu, sedang ditahan karena mempertahankan hak paling mendasar manusia: hak atas tanahnya sendiri.Lintang mengepalkan tangan. Ia tahu, ini bukan sekadar membela Sinta, ini membela kehormatan seluruh gerakan Madrasah Langit."Kalau aku tidak melindunginya," bisiknya, "maka aku telah mengkhianati semua yang kami perjuangkan."Pagi itu, di depan gedung pengadilan, ratusan orang berkumpul. Petani, nelayan, anak-anak muda, bahkan beberapa profesor idealis berdiri dalam barisan.Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Bebaskan Sinta. Tanah untuk rakyat."Di belakang mereka, suara drum bambu dan teriakan semangat menggema.Lintang berdiri di mimbar kecil, wajahnya tegas:

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 145 – Tangan Besi dan Lidah Tanah

    Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen untuk tidak tinggal diam melihat sahabat mereka di

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 144 – Tangan Besi dan Lidah Tanah

    Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status