Sinta tidak pernah menyangka bahwa sore itu di Hutan Lambusango akan menjadi salah satu momen paling menentukan dalam hidupnya. Ia sedang memandu sekelompok kecil wisatawan melewati jalur hutan, menunjukkan berbagai keajaiban flora dan fauna yang menjadikan hutan ini salah satu ekosistem paling kaya di Indonesia. Namun, ada satu orang di antara para wisatawan yang menarik perhatiannya.
Seorang pria Korea berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian sederhana, tetapi dengan aura yang mencerminkan pengaruh besar. Wajahnya tenang, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Kim Jun-hoo, seorang pengusaha yang mengaku tertarik pada kayu jati dan kayu cendana di Indonesia, namun memiliki pendekatan yang berbeda.
“Bu Sinta,” katanya dengan bahasa Inggris yang fasih, “saya tidak di sini untuk menebang hutan ini. Saya di sini untuk berbicara tentang cara melindunginya”
Setelah perjalanan selesai, Jun-hoo meminta waktu untuk berbicara secara pribadi dengan Sinta. Mereka duduk di sebuah pondok kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh suara alam yang menenangkan. Sentuhan tangan Jun-hoo membuat napas Sinta berdetak kencang, memori lamanyanya terakses menuju pertemuannya dengan seseorang di bukit Lelemangura beberapa abad yang lalu, terbayang pada pamannya dari Mongol Dung Khu Cangia, wajah Jun-hoo mengingatkan itu kepada DNA yang terdalam dalam dirinya, jiwanya menghentak pada Lorong waktu yang panjang. Jiwa Ratu Wakaaka menguasai dirinya.
“Hutan Lambusango ini adalah salah satu permata yang masih tersisa di dunia,” kata Jun-hoo. “Tetapi seperti semua permata, ia terancam. Saya telah melihat apa yang terjadi di tempat lain—hutan dihancurkan untuk kayu atau lahan pertanian. Itu tidak boleh terjadi di sini. Saya juga mendengar bahwa hutan ini menyimpan banyak rahasia dan sekaligus harta warisan, tinggal generasi muda yang akan mengelola dan mengembangkannya”.
Sinta mengangguk. “Saya setuju, tetapi melindungi hutan ini bukan hal yang mudah. Banyak pihak yang tertarik pada kekayaannya, dan masyarakat lokal kadang merasa terjebak antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian alam.”
Jun-ho tersenyum tipis. “Itu sebabnya saya di sini. Saya ingin menawarkan cara baru untuk melindungi hutan ini—dengan uang dan mitos.”
Sinta mengernyitkan dahi. “Apa maksud Anda?”
Jun-ho membuka ponselnya dan menunjukkan akun di salah satu blockchain terkenal, yang menampilkan aset digital senilai jutaan bahkan milyaran dolar miliknya. Sinta terdiam, menyadari bahwa ia sedang berbicara dengan salah satu tokoh besar di dunia cryptocurrency—nama yang ia pernah dengar tetapi tidak pernah bayangkan akan bertemu langsung. Apalagi ini di tengah hutan, Sinta semakin penarasaran atas pertemuan itu, “Pasti ada yang hilang dalam diri Jun-hoo, mengapa harus datang sejauh ini. Ia sedang mencari dirinya, menemukan pengabdian, termasuk juga dengan belahan jiwanya” pikir Sinta lebih penasaran.
“Saya adalah bagian dari BCT,” kata Jun-hoo, menyebut nama komunitas besar yang mengelola cryptocurrency berbasis teknologi hijau. “Kami menggunakan teknologi blockchain untuk mendanai proyek-proyek konservasi. Dan saya ingin membawa teknologi itu ke sini.” Penjelasan itu membuat Sinta semakin penasaran, jangan sampai ia ingin menemukan sumber energi alam di sini, ia mungkin mencari Torium di dalam hutan ini. Ingin mengembangkan energi hijau di sini. Sinta yang merupakan jelmaan Ratu Wakaaka mengetahui banyak tentang potensi hutan ini, bahkan ia mengetahui candangan uranium dan torium yang ada di dalam hutan ini, terlebih emas, nikel, minyak, semua ada di sini, tetapi siapapun yang cari membutuhkan pintu masuk yang harus dipahami.
Sinta masih skeptis. “Bukankah dunia digital ini sering kali menjadi jebakan? Banyak masyarakat kecil yang kehilangan aset karena janji-janji manis investasi seperti ini.” Pikiran Sinta pada banyaknya masyarakat yang kehilangan tanah saat berbisnis di dalam dunia digital tersebut, entah membeli asset criptocarency ataukah itu adalah judi online.
Jun-hoo mengangguk, seolah memahami kekhawatirannya. “Itu benar. Banyak program yang gagal karena dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi kami berbeda. Kami tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang nilai. Blockchain yang kami kembangkan berbasis pada keterlacakan dan transparansi. Kami berhadap, sebagian aset yang dikumpulkan akan digunakan untuk melindungi Hutan Lambusango, dan masyarakat lokal akan menjadi bagian dari proses ini.”
Jun-hoo melanjutkan, “Selain teknologi, kita juga perlu menggunakan kekuatan budaya. Masyarakat di seluruh dunia menghargai cerita dan mitos. Kita bisa menggabungkan mitos lokal Pulau Buton dengan pendekatan konservasi modern. Misalnya, kita bisa menciptakan program wisata yang tidak hanya menampilkan keindahan hutan ini, tetapi juga legenda-legenda seperti Ratu Wakaaka, legenda La Ode Wuna bahkan menarik adalah Legenda Oputa yi Koo.”
Sinta termenung. Ide itu terdengar logis, tetapi ia masih merasa ada risiko besar. “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa masyarakat akan menerima ini? Tidak semua orang percaya pada teknologi, terutama di sini. Beberapa tahun lalu, banyak masyarakat yang rugi pada program criptocarency, mereka masih trauma mengenai itu”, bahkan mereka hampir tidak dapat membedakan dengan judi online.
Jun-hoo tersenyum. “Itu tugas kita untuk mendidik. Kita tidak hanya membawa teknologi, tetapi juga pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan bijak. Dan Anda, Bu Sinta, adalah kunci dari semua ini. Anda adalah penghubung antara dunia tradisional dan modern. Tanpa Anda, ini tidak akan berhasil.” Jun-hoo terbayang pada banyaknya warga negaranya yang berinvestasi pada crypto sehingga mereka mendapatkan banyak dana untuk membiayai bisnis mereka.
Setelah pertemuan itu, Sinta menghabiskan malam di pinggir Hutan Lambusango, di sebuah pondok di Desa Labundo-bundo, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata Jun-hoo terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa dunia digital memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif, tetapi ia juga sadar akan bahaya yang mengintai di balik teknologi itu.
Di sisi lain, gagasan menggabungkan mitos lokal dengan konservasi modern terasa seperti panggilan takdir baginya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan budaya. Namun, apakah ia siap untuk membuka jalan baru yang penuh risiko ini?
“Dua dunia,” gumamnya, “tradisi dan teknologi, seperti dua sisi dari satu koin. Jika aku bisa menyatukan mereka, mungkin kita bisa melindungi hutan ini dan masyarakatnya.”
Keesokan harinya, Sinta memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat lokal, pemimpin adat, dan generasi muda di sebuah balai desa. Ia ingin mendengar pendapat mereka sebelum membuat keputusan.
Jun-hoo juga hadir, tetapi ia memilih untuk mendengarkan tanpa berbicara. Ia tahu bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diperoleh dengan waktu dan tindakan nyata.
Sinta memulai pembicaraan dengan menjelaskan gagasan konservasi modern yang didukung teknologi. Ia juga berbicara tentang pentingnya menjaga mitos lokal sebagai bagian dari identitas budaya.
“Ini bukan tentang meninggalkan tradisi atau mengadopsi teknologi secara buta,” katanya. “Ini tentang bagaimana kita menggunakan keduanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Hutan kita adalah kekuatan satu-satunya yang kita miliki. Selama hutan ini dapat kita lindungi, maka semua orang akan datang ke sini, siswa-siswa Eropa dan bahkan dari berbagai belahan bumi akan datang ke sini untuk riset di Hutan Lambusango. Kita semua sudah mendapatkan nilai uang, dan saya juga tahu banyak pertukaran budaya sudah terjadi, bahkan lebih dalam, ada cinta di lokasi ini” ungkap Sinta pagi itu. Sinta membayangkan seorang temannya yang pernah bekerja sebagai guide dan ia menjadi santapan cinta dari wisatawan yang didampinginya. Ia melayani semunya.
Seorang perempuan cantik, yang sedang KKN di tempat itu tertegun, “Begitu banyak yang terjadi di sini, kearifan lokal dalam konservasi, crypto di sisi yang lain, serta hadirnya mahasiswa internasional di sini, saya sangat beruntung untuk hadir di sini”, pikirnya. Ia hanya bergumam, tanpa mengatakan apa apa, tetapi tatapan mata Jun-hoo membuat dia lebih nyaman, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa apa. Melihat wajah Sinta yang mirip artis Korea adalah ruang lain dalam pikiran Ananda.
“Seorang kakek yang sangat diharagai di daerah itu, mebayangkan cerita Togo Motondu, kisah pernikahan sedarah yang mengutuk daerah ini, dan terbayang pada legenda Togo Motondu, “Wajah Sinta dan Jun-hoo sangat mirip”. Ia hanya membayangkan perjalanan cinta yang pernah terjadi di negeri ini dan menjadi kutukan. Tetapi ia membayangkan bahwa kemiripan itu adalah jejak genetik yang mungkin datang dari daratan China, Mongol.
Di akhir pertemuan, sebagian masyarakat tampak tertarik, sementara yang lain masih skeptis. Namun, Sinta tahu bahwa langkah pertama telah diambil. Dengan hati-hati, ia mulai merancang program konservasi yang menggabungkan mitos Ratu Wakaaka, teknologi blockchain, dan partisipasi aktif masyarakat lokal. Jun-hoo hanya terdiam, namun ia penasaran mengapa Hutan Lambusango masih tetap bertahan di tengah masyarakat lokal yang selalu bersinergi dengan hutan.
Saat malam tiba, ia berdiri di tepi hutan, memandang langit berbintang. Serta ketika tatapannya ke arah teluk Lawele, ia menemukan kelap-kelip lampu perahu nelayan. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia berada di jalan yang benar. Terbayang olehnya kisah perang antara La karambau dengan Kapten Kapal Belanda, perang yang kedalaman motivnya adalah Hutan Lambusango.
“Jika aku bisa menyatukan dua dunia ini,” pikirnya, “Maka kita bisa melindungi apa yang benar-benar berharga. Hutan Lambusango, bukan hanya tentang kayu, tetapi tentang kearifan lokal masyarakat Buton”.
Sinta berdiri di tepi hutan kuno, angin berdesir melalui kanopi pepohonan yang menjulang tinggi. Rasa tenang menyelimutinya saat dia merenungkan hamparan hijau yang luas. Hutan, dengan rahasia dan keajaibannya, selalu memiliki tempat khusus di hatinya. Sekarang, itu akan menjadi panggung untuk konvergensi dunia, yang lama dan yang baru.
Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Jun-hoo, pengusaha misterius, telah kembali ke pulau itu, kali ini dengan tim ahli. Mereka dipersenjatai dengan teknologi terbaru, siap untuk memulai proyek terobosan yang akan memadukan tradisi dengan inovasi. Memadukan kearifan lokal masyarakat Buton dengan teknologi modern.
"Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."Kita akan membuat kembaran digital dari hutan ini," Jun-hoo menjelaskan, matanya berbinar karena kegembiraan. "Representasi virtual yang akan memungkinkan kami untuk memantau kesehatannya, memprediksi ancaman, dan melibatkan orang-orang dari seluruh dunia."
Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?" dia bertanya. Sinta tertarik. Dia telah mendengar tentang teknologi seperti itu, tetapi dia skeptis tentang dampak potensialnya pada esensi spiritual hutan. "Tapi bagaimana dengan sihir, mitos, jiwa tempat ini?" tanyanya.
Jun-hoo tersenyum. "Kami di sini bukan untuk menggantikan sihir, tetapi untuk meningkatkannya. Kami ingin menggunakan teknologi untuk berbagi cerita dan tradisi tempat ini dengan dunia. Kami dapat menciptakan pengalaman imersif, tur virtual, dan program pendidikan yang akan menginspirasi orang untuk melindungi hutan ini." Jun-hoo tersenyum.
Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Saat hari-hari berubah menjadi minggu-minggu, tim bekerja tanpa lelah, memasang sensor dan kamera di seluruh hutan. Mereka mengumpulkan data tentang segala hal mulai dari kelembaban tanah hingga pola satwa liar. Sementara itu, Sinta sibuk mengorganisir masyarakat setempat, mengajari mereka tentang proyek dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Suatu hari, saat menjelajahi bagian hutan yang tersembunyi, Sinta menemukan sebuah gua kuno. Di dalamnya, dia menemukan serangkaian ukiran yang menggambarkan sejarah hutan dan penjaganya. Di antara ukiran-ukiran, dia melihat kemiripan yang mencolok dengan Jun-hoo. Rasa dingin mengalir di punggungnya. Mungkinkah ada hubungan yang lebih dalam antara dia dan hutan?
Ketika kembaran digital hutan mulai terbentuk, menjadi jelas bahwa Jun-hoo memiliki tujuan yang lebih dalam. Dia bukan hanya seorang pengusaha; Dia adalah seorang penjaga, pelindung alam. Dia datang ke Pulau Buton, tertarik oleh energi kuno hutan dan potensinya untuk menyembuhkan planet ini.
Sinta dan Jun-hoo, dua individu dari dunia yang berbeda, dipersatukan oleh hasrat bersama mereka terhadap hutan. Mereka menyadari bahwa dengan menggabungkan kearifan tradisional dengan teknologi modern, mereka dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi pulau dan penduduknya. Sinta membayangkan bahwa masyarakat dekat hutan juga masih membutuhkan makanan untuk melanjutkan kehidupan.
"Jun," sapa Sinta dengan lembut, matanya menatap mata indah itu, lelaki dua tahun di atasnya. "Bagaimana kita mengantisipasi masyarakat di sekitar hutan?
"Iya, saya sudah membayangkan untuk membangun masyarakat dengan menyuruh mereka untuk kembali kepada habitat mereka, mereka bisa mengembangkan industri rotan, serta gula aren dan madu sebagai produk hutan ini", Jun hoo meyakinkan dirinya dan Sinta serta timnya. Sinta semakin penasaran, "Yah, mungkin kita akan mendorong bisnis hutan non kayu. "Kita bisa mengekspor itu ke luar negeri, tanpa merusak hutan ini", jawab Jun-hoo. Semuanya terdiam, masing-masing tetap membayangkan bagaimana cara mereka menyatukan antara hutan, mitos dan criptocarency.Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi
Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but
Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa
Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara
Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan
Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel