Share

5. MEREKA KEMBALI

Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus.

"Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah.

"Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut.

"Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan.

"Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"

Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingkan senyumnya. Semenjak kematian mamanya, Alessia seorang yang mendukung dan melindunginya. Mendengar ada sosok lain yang tidak terima melihat ia disakiti nyatanya membuatnya merasakan sedikit kehangatan.

"Eh, tapi kalau diselesaikan diam-diam bisa tidak, Pa? Sebisa mungkin aku ingin merahasiakan identitasku sebagai anak Papa." Allen membuat permohonan kepada Ronald.

"Kenapa memangnya, Nak?" Ronald mengerutkan kedua alisnya tidak mengerti. Ia teringat Jonathan yang selalu membawa-bawa nama Ronald dan perusahaan mereka kemana pun Jonathan pergi. Jonathan ingin siapa pun mengetahui identitasnya yang merupakan putra salah satu orang terkaya di negeri ini.

"Papa ingin aku mulai belajar dan mempersiapkan diri untuk menjadi penerus perusahaan Papa bukan? Menurutku belajar dengan cara seperti ini akan jauh lebih efektif. Jika orang-orang tahu aku anak Papa, mereka akan berusaha menjilat kepadaku. Aku tidak suka hal-hal seperti itu." Allen panjang lebar menjelaskan alasannya kepada Ronald. Membayangkan orang-orang yang berusaha mendekatinya karena uang dan kekuasaan akan membuatnya merasa muak.

"Hm ...." Ronald masih berusaha mencerna alasan yang diutarakan oleh Allen.

"Aku juga ingin belajar di perusahaan pusat dari posisi yang memang aku mampu dahulu, Pa. Selain itu Papa tahu sendiri kan, kantorku yang ternyata salah satu anak perusahaan milik Papa banyak karyawan yang bermain busuk di belakang. Dengan bekerja dari posisi bawah tanpa karyawan lain mengetahui identitasku, akan lebih memudahkan untuk mengetahui pihak-pihak yang bermain kotor, Pa!" Allen kembali memberikan argumennya. Dia mengatakannya dengan semangat yang menggebu-gebu.

Ronald tersenyum simpul melihat Allen yang begitu semangat mengutarakan keinginannya. Dia lalu berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Allen benar adanya. Keberadaan Allen sebagai putranya bisa menimbulkan berbagai niatan jahat orang-orang yang dipenuhi keserakahan di sekelilingnya. Ia tiba-tiba teringat Magdalena yang kemungkinan akan berusaha menyingkirkan Allen jika tahu Allen sudah ditemukan. Alasan yang baru saja diutarakan Allen menjadi sangat masuk akal baginya.

Ronald mengeluarkan gawai miliknya dan menghubungi seseorang.

"Ferdy, urus Anggoro diam-diam. Untuk saat ini rahasiakan dari siapapun jika Allen sudah ditemukan. Kau berkelitlah dari Anggoro jika kau sudah terlanjur mengatakan tentang Allen padanya."

"Baik Tuan, saya mengerti."

Sambungan telepon keduanya tertutup.

"Sudah. Semua beres." Ronald berkata ringan pada Allen.

"Jadi, Papa juga menyetujui syarat keduaku itu?"

"Syarat kedua? Ah ... benar juga. Syarat pertama sudah kamu ajukan tadi. Iya papa menyetujui kedua syaratmu. Begitu dokter bilang sudah sembuh dan boleh pulang, kita langsung berangkat!"

"Dokter tadi bilang besok kemungkinan sudah boleh pulang kan, Pa. Ya sudah, langsung saja." ucap Allen. Mata Allen mulai terasa berat sehingga ia memejamkannya.

"Bagaimana dengan Alessia? Kamu sudah tanya pendapatnya memangnya?" Ronald bertanya pada Allen.

"Belum." jawab Allen yang kembali teringat dengan ekspresi aneh Alessia tadi sebelum pulang. Baginya Alessia terlihat sangat gelisah, entah kenapa.

"Segera katakan kepadanya." Ronald kembali mengingatkannya.

"Hmm." ucap Allen yang sudah setengah tertidur.

***

Alessia melajukan mobilnya dengan perlahan. Kondisi hujan yang lebat membuatnya dan para pengendara lain menjadi jauh lebih waspada. Perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu satu jam kini harus memakan waktu lebih dari dua jam. Alessia memijat tengkuknya sesaat setelah mobilnya terparkir sempurna di depan garasi rumahnya.

Alessia masih terdiam di dalam mobilnya. Beberapa hari terakhir telah menguras hati dan pikirannya. Saat ini tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lelah. Pikirannya tidak menentu. Matanya menatap kosong ke arah pintu garasi di hadapannya.

Suara petir yang menyambar dengan sangat kencang menyadarkan Alessia dari lamunannya. Jantungnya berdebar cepat karena terkejut. Ia yang sudah kembali tenang mengumpulkan barang-barang bawaannya dan bergegas turun. Alessia berlari kecil menuju ke pintu utama rumahnya.

'Dingin banget,' batin Alessia yang mulai menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menghangatkan diri.

Begitu sampai di teras depan rumahnya, mata Alessia tertuju ke jejak sepatu yang cukup banyak di sana. Jejak tersebut meninggalkan bekas lumpur yang cukup jelas terlihat di atas lantai yang berwarna putih. Di beberapa titik juga terdapat bekas abu rokok dan puntungnya yang dibuang sembarangan. Puntung yang jumlahnya lebih dari sepuluh itu membuat jantung Alessia mulai berdebar tidak karuan.

Alessia kembali menatap sekelilingnya. Beberapa kursi teras yang biasanya berjejer dengan rapi kini sudah berpindah tidak karuan. Alessia semakin merasa tidak nyaman dan segera membuka kunci pintu rumahnya. Ia bergegas masuk dan menguncinya kembali.

Mereka kembali.

Mereka kembali.

Semuanya akan terulang lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status