Share

6. SAMPAI JUMPA

Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.

Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.

Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.

Ketukan pelan itu terdengar lagi.

"Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya.

"Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.

Alessia berpikir sejenak, lalu mengeluarkan semprotan merica dari tasnya. Alessia ingat dia tertawa saat Allen memberikan itu padanya, tapi kini sepertinya benda ini akan berguna.

Alessia berpikir kembali. Dia sebenarnya sangat enggan membukakan pintu untuk pria itu, tetapi Alessia juga tidak ingin dia nekat dan mendobrak pintunya. Ia menyembunyikan tangannya di punggung setelah akhirnya membuka kunci pintu dan melihat pria itu masuk.

"Alessia! Kenapa lama sekali hah?" teriak pria itu. Matanya merah dan tubuhnya sedikit terhuyung-huyung. Bau alkohol menguar di sekelilingnya.

"Mau apa kau? Sudah kubilang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!" ucap Alessia dengan penuh penekanan.

"Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahmu! Dasar anak sialan!" kata pria itu semakin emosi.

"Pak Handoyo, segera angkat kaki dari rumah saya." Alessia berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Ia tidak ingin tenaganya terbuang percuma untuk meladeni pria di hadapannya ini. Handoyo memang ayahnya, tapi Alessia sudah kehilangan rasa hormat untuknya semenjak pria itu menghancurkan hidupnya dan mamanya. Handoyo sudah membuat Alessia sangat muak.

"Sialan! Ini juga rumahku!"

"Rumahmu?" tanya Alessia dengan gusar.

Alessia mulai kehilangan kesabarannya. Pria di hadapannya sangat tidak tahu diri. Bahkan setelah menghabiskan harta mamanya kemudian menceraikannya, sudah berkali-kali Alessia membayarkan hutang judinya karena para lintah darat itu terus datang ke rumah dan mengusik dirinya.

"Iya, rumahku!" Handoyo mengambil langkah mendekati Alessia.

"Sudah kubilang beberapa bulan lalu bahwa itu yang terakhir. Aku tidak akan sudi lagi membayar hutangmu. Aku hanya tinggal memiliki rumah dan mobil untuk kebutuhanku sehari-hari. Sekarang pergilah! Jangan pernah berani membawa para lintah darat itu kesini lagi!" Alessia sudah penuh dengan amarah saat ini. Napasnya mulai memburu.

"Kalau begitu jual mobilmu. Mudah, bukan?" Handoyo berkata ringan.

"Punya hak apa kau memintaku menjual hasil jerih payahku?"

"Kalau begitu jual saja rumah ini. Ini hasil jerih payah ibu kau, bukan kau. Mudah bukan?" Handoyo kini sudah berdiri tepat di hadapan Alessia. Ia mulai mencengkeram kedua lengannya berusaha mengintimidasi.

"Di mana sertifikat rumah ini ... Nak? Berikan pada Papa selagi aku memintanya dengan baik."

Alessia yang menyadari bahwa keadaannya sudah semakin berbahaya segera mengarahkan tangan kanannya tepat di depan wajah Handoyo.

Terdengar suara berdesis dari botol yang digenggamnya. Semprotan merica itu mendarat sempurna di kedua mata Handoyo yang tadi membelalak kepadanya.

"Dasar jalang! Apa yang kau lakukan?" Handoyo berteriak dengan histeris. Tubuhnya kelimpungan ke sana ke mari karena panik. Kedua tangannya mengusap matanya yang pastinya sedang kesakitan.

Ampuh juga, batin Alessia sambil memandangi botol yang masih digenggamnya tersebut.

"Dasar sialan!" Handoyo bergerak tidak tentu arah berusaha untuk menyerang Alessia. Handoyo yang masih belum bisa membuka matanya mengarah ke luar rumah. Tepat setelah tubuhnya melewati pintu, Alessia segera menutup pintu dan menguncinya.

"Wah wah lihat ada siapa ini," ucap sebuah suara yang terdengar asing bagi Alessia. Alessia yang penasaran mengintip dari jendela yang ada di sampingnya.

Terlihat segerombolan pria berbaju hitam. Mereka berjalan perlahan memasuki pekarangan rumahnya. Suara yang baru saja Alessia dengar berasal dari pria tinggi besar yang berjalan paling depan. Rokok beberapa kali dihisapnya selama berjalan mendekati Handoyo yang berada di teras. Tatapan pria itu sungguh tajam dan menakutkan bagi Alessia.

"Ternyata benar, kau kabur ke rumah anakmu. Tapi bagaimana ini, sepertinya anakmu pun sudah membuangmu," ucap pria itu lagi. Ia lalu tertawa kecil di wajah Handoyo yang sudah berada tepat di hadapannya. Alessia dapat melihat tubuh Handoyo yang mulai bergetar ketakutan.

Alessia merasakan gejolak di hatinya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya, melihatnya dalam keadaan seperti itu tetap menyakitkan bagi Alessia. Tapi apa boleh buat, Handoyo tidak pernah jera. Handoyo bahkan tidak segan berkali-kali menyeret Alessia ke dalam situasi seperti ini. Alessia sudah tidak boleh mengalah lagi, Handoyo sudah jauh melewati batas.

Keributan masih terjadi di luar. Beberapa pria memegangi tubuh Handoyo yang memberontak tidak mau diseret pergi.

"Alessia! Teganya kau melakukan ini pada ayahmu? Apa kau sungguh ingin aku mati?" teriak Handoyo dengan sedikit terisak.

Handoyo meronta-ronta, ia semakin gelisah. Ini semua di luar ekspektasinya. Handoyo tidak pernah menyangka Alessia akan menolak untuk membayarkan hutangnya, toh selama ini setiap kondisinya mendesak Alessia selalu menyelamatkannya. Alessia adalah satu-satunya harapan yang dimilikinya.

"Alessia! Dasar brengsek kau!" Handoyo kembali berteriak saat tubuhnya mulai diseret pergi. Dia sangat marah pada Alessia yang telah membiarkannya diseret lintah darat seperti ini.

Sebuah pukulan mendarat ke wajah Handoyo hingga tubuhnya terhuyung. Pukulan yang diberikan oleh pria yang sepertinya adalah pemimpin gerombolan itu.

"Kau yang brengsek. Kenapa bedebah sepertimu terus mengusik anakmu atas hal yang kau lakukan sendiri ha?" desisnya kepada Handoyo. Handoyo hanya terdiam tidak berani membantah, ia takut pukulan lain akan mendarat jika ia berucap meski hanya satu patah kata.

Mereka kembali berjalan dan menyeret Handoyo pergi. Tepat sebelum mereka hilang dari pandangan Alessia, pria si pemimpin rombongan itu membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum saat bertatapan mata dengan Alessia yang masih mengintip dari jendela. Pria itu melambaikan tangannya kepada Alessia.

"Sampai jumpa!" ucap pria itu pada Alessia.

Bulu kuduk Alessia seketika merinding mendengar ucapannya.

Pria itu melambaikan tangannya beberapa kali lagi sebelum membalikkan tubuhnya dan akhirnya pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status