Share

6. SAMPAI JUMPA

Author: White Lies
last update Huling Na-update: 2022-09-25 17:00:39

Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.

Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.

Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.

Ketukan pelan itu terdengar lagi.

"Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya.

"Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.

Alessia berpikir sejenak, lalu mengeluarkan semprotan merica dari tasnya. Alessia ingat dia tertawa saat Allen memberikan itu padanya, tapi kini sepertinya benda ini akan berguna.

Alessia berpikir kembali. Dia sebenarnya sangat enggan membukakan pintu untuk pria itu, tetapi Alessia juga tidak ingin dia nekat dan mendobrak pintunya. Ia menyembunyikan tangannya di punggung setelah akhirnya membuka kunci pintu dan melihat pria itu masuk.

"Alessia! Kenapa lama sekali hah?" teriak pria itu. Matanya merah dan tubuhnya sedikit terhuyung-huyung. Bau alkohol menguar di sekelilingnya.

"Mau apa kau? Sudah kubilang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!" ucap Alessia dengan penuh penekanan.

"Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahmu! Dasar anak sialan!" kata pria itu semakin emosi.

"Pak Handoyo, segera angkat kaki dari rumah saya." Alessia berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Ia tidak ingin tenaganya terbuang percuma untuk meladeni pria di hadapannya ini. Handoyo memang ayahnya, tapi Alessia sudah kehilangan rasa hormat untuknya semenjak pria itu menghancurkan hidupnya dan mamanya. Handoyo sudah membuat Alessia sangat muak.

"Sialan! Ini juga rumahku!"

"Rumahmu?" tanya Alessia dengan gusar.

Alessia mulai kehilangan kesabarannya. Pria di hadapannya sangat tidak tahu diri. Bahkan setelah menghabiskan harta mamanya kemudian menceraikannya, sudah berkali-kali Alessia membayarkan hutang judinya karena para lintah darat itu terus datang ke rumah dan mengusik dirinya.

"Iya, rumahku!" Handoyo mengambil langkah mendekati Alessia.

"Sudah kubilang beberapa bulan lalu bahwa itu yang terakhir. Aku tidak akan sudi lagi membayar hutangmu. Aku hanya tinggal memiliki rumah dan mobil untuk kebutuhanku sehari-hari. Sekarang pergilah! Jangan pernah berani membawa para lintah darat itu kesini lagi!" Alessia sudah penuh dengan amarah saat ini. Napasnya mulai memburu.

"Kalau begitu jual mobilmu. Mudah, bukan?" Handoyo berkata ringan.

"Punya hak apa kau memintaku menjual hasil jerih payahku?"

"Kalau begitu jual saja rumah ini. Ini hasil jerih payah ibu kau, bukan kau. Mudah bukan?" Handoyo kini sudah berdiri tepat di hadapan Alessia. Ia mulai mencengkeram kedua lengannya berusaha mengintimidasi.

"Di mana sertifikat rumah ini ... Nak? Berikan pada Papa selagi aku memintanya dengan baik."

Alessia yang menyadari bahwa keadaannya sudah semakin berbahaya segera mengarahkan tangan kanannya tepat di depan wajah Handoyo.

Terdengar suara berdesis dari botol yang digenggamnya. Semprotan merica itu mendarat sempurna di kedua mata Handoyo yang tadi membelalak kepadanya.

"Dasar jalang! Apa yang kau lakukan?" Handoyo berteriak dengan histeris. Tubuhnya kelimpungan ke sana ke mari karena panik. Kedua tangannya mengusap matanya yang pastinya sedang kesakitan.

Ampuh juga, batin Alessia sambil memandangi botol yang masih digenggamnya tersebut.

"Dasar sialan!" Handoyo bergerak tidak tentu arah berusaha untuk menyerang Alessia. Handoyo yang masih belum bisa membuka matanya mengarah ke luar rumah. Tepat setelah tubuhnya melewati pintu, Alessia segera menutup pintu dan menguncinya.

"Wah wah lihat ada siapa ini," ucap sebuah suara yang terdengar asing bagi Alessia. Alessia yang penasaran mengintip dari jendela yang ada di sampingnya.

Terlihat segerombolan pria berbaju hitam. Mereka berjalan perlahan memasuki pekarangan rumahnya. Suara yang baru saja Alessia dengar berasal dari pria tinggi besar yang berjalan paling depan. Rokok beberapa kali dihisapnya selama berjalan mendekati Handoyo yang berada di teras. Tatapan pria itu sungguh tajam dan menakutkan bagi Alessia.

"Ternyata benar, kau kabur ke rumah anakmu. Tapi bagaimana ini, sepertinya anakmu pun sudah membuangmu," ucap pria itu lagi. Ia lalu tertawa kecil di wajah Handoyo yang sudah berada tepat di hadapannya. Alessia dapat melihat tubuh Handoyo yang mulai bergetar ketakutan.

Alessia merasakan gejolak di hatinya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya, melihatnya dalam keadaan seperti itu tetap menyakitkan bagi Alessia. Tapi apa boleh buat, Handoyo tidak pernah jera. Handoyo bahkan tidak segan berkali-kali menyeret Alessia ke dalam situasi seperti ini. Alessia sudah tidak boleh mengalah lagi, Handoyo sudah jauh melewati batas.

Keributan masih terjadi di luar. Beberapa pria memegangi tubuh Handoyo yang memberontak tidak mau diseret pergi.

"Alessia! Teganya kau melakukan ini pada ayahmu? Apa kau sungguh ingin aku mati?" teriak Handoyo dengan sedikit terisak.

Handoyo meronta-ronta, ia semakin gelisah. Ini semua di luar ekspektasinya. Handoyo tidak pernah menyangka Alessia akan menolak untuk membayarkan hutangnya, toh selama ini setiap kondisinya mendesak Alessia selalu menyelamatkannya. Alessia adalah satu-satunya harapan yang dimilikinya.

"Alessia! Dasar brengsek kau!" Handoyo kembali berteriak saat tubuhnya mulai diseret pergi. Dia sangat marah pada Alessia yang telah membiarkannya diseret lintah darat seperti ini.

Sebuah pukulan mendarat ke wajah Handoyo hingga tubuhnya terhuyung. Pukulan yang diberikan oleh pria yang sepertinya adalah pemimpin gerombolan itu.

"Kau yang brengsek. Kenapa bedebah sepertimu terus mengusik anakmu atas hal yang kau lakukan sendiri ha?" desisnya kepada Handoyo. Handoyo hanya terdiam tidak berani membantah, ia takut pukulan lain akan mendarat jika ia berucap meski hanya satu patah kata.

Mereka kembali berjalan dan menyeret Handoyo pergi. Tepat sebelum mereka hilang dari pandangan Alessia, pria si pemimpin rombongan itu membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum saat bertatapan mata dengan Alessia yang masih mengintip dari jendela. Pria itu melambaikan tangannya kepada Alessia.

"Sampai jumpa!" ucap pria itu pada Alessia.

Bulu kuduk Alessia seketika merinding mendengar ucapannya.

Pria itu melambaikan tangannya beberapa kali lagi sebelum membalikkan tubuhnya dan akhirnya pergi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   17. KANDIDAT TERKUAT

    "Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   16. LEPASKANLAH

    "Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   15. JALAN PINTAS

    "Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   14. MAINAN

    Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   13. TANGAN KANAN

    "Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   12. RUMAH BARU

    Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status