Home / Urban / KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN / 4. HABISI MEREKA SEMUA

Share

4. HABISI MEREKA SEMUA

Author: White Lies
last update Last Updated: 2022-08-31 09:29:39

Alessia membeku di depan kamar rawat inap Allen. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu.

"Hmm, yaudah aku bakal pindah ke ibukota sama Papa."

Kata-kata Allen tersebut terus terngiang di telinga Alessia. Allen sudah menerima Om Ronald dan kini akan pindah mengikuti papanya.

Allen akan meninggalkan kota ini.

Allen akan meninggalkan kota ini.

Allen akan ... meninggalkannya.

Alessia merasakan dadanya berdesir. Ada perasaan takut dan kecewa mendengar keputusan Allen tersebut.

Bagaimana pun Allen telah menjelma menjadi sosok yang begitu penting bagi Alessia. Ia adalah 'sahabat' terbaiknya. Allen yang tidak lagi berada di dekatnya pasti akan memberi pengaruh besar bagi hidupnya. Alessia sadar betul saat ini ia sangat egois bila menginginkan Allen tetap tinggal di sisinya.

Alessia sudah diberitahu oleh Ronald mengenai latar belakangnya dan juga rencananya untuk masa depan Allen.

Allen adalah calon pewaris tunggal dari AW Group, perusahaan milik Ronald.

Kepergian Jonathan, putra pertama Ronald membuat Allen menjadi harapan satu-satunya bagi Ronald. Dan sebagai masa depan AW Group, ada begitu banyak hal yang harus mulai dipersiapkan oleh Allen. Hal tersebut membuat keputusan Ronald untuk membawanya menjadi keputusan yang sangat masuk akal.

Nggak boleh egois ini yang terbaik untuk Allen, Alessia terus berusaha meyakinkan dirinya.

"Nona Alessia?" tanya sebuah suara berat di dekat Alessia.

Alessia mendongak untuk mengetahui siapa yang mengajaknya bicara tersebut. Ferdy berdiri di hadapannya dan menenteng dua buah paper bag di tangannya.

"Nona Alessia baik-baik saja?" Ferdy kembali bertanya setelah Alessia hanya terdiam menatapnya.

"Oh. Hm. Iya Pak. Saya baik-baik saja. Barusan mau masuk tapi kepala saya tiba-tiba sedikit pusing." Alessia berkilah.

"Oh maaf buburnya lama, barusan ada sesuatu yang genting terjadi. Saya baru kembali setelah menyelesaikannya. Ini silakan dimakan dulu Non, mari masuk." Ferdy membukakan pintu untuk Alessia. Alessia bergegas masuk dan berusaha tersenyum seperti tidak ada apa-apa.

"Oh Nak Alessia, ayo dimakan dulu. Buburnya sudah dapat kan, Ferdy?"

"Sudah Tuan, ini saya siapkan dahulu." jawab Ferdy yang bergegas menyiapkan makanan yang baru saja ia beli.

"Hmm, tidak perlu Pak Ferdy. Ini saya mau pulang dulu. Mau ngecek rumah. Mau ambil baju ganti untuk Allen juga." cegah Alessia.

"Oh begitu. Ya sudah biar diantar Ferdy saja ya. Ferdy, tolong antarkan Nak Alessia pulang ya."

"Ti-tidak usah, Om. Saya bawa mobil, biar dipanasin sekalian hehe."

"Kamu yakin, Nak?" Ronald kembali bertanya.

"Iya, Om." Alessia tersenyum kepadanya.

Alessia segera menuju ke lemari dan mengambil tasnya. Dia juga membawa beberapa baju gantinya selama ini. Setelah selesai ia segera berpamitan kepada yang lain.

"Om Ronald, Pak Ferdy, saya permisi. Allen aku balik ya!"

Sebelum mendapat jawaban, Alessia sudah berbalik dan menuju pintu. Allen terus memandangi Alessia. Ia merasa Alessia menunjukkan gelagat yang aneh. Ia masih terus memandangi pintu bahkan setelah beberapa menit kepergian Alessia.

"Ada apa, Allen?" Ronald bertanya keheranan.

"Tidak apa-apa." jawab Allen yang kini mengalihkan pandangannya ke televisi. Sebuah acara berita sedang ditayangkan di sana.

Suasana menjadi hening. Hanya suara pembawa berita yang terdengar di ruangan itu hingga Ronald kembali memecah keheningan.

"Nak, mengenai keputusanmu, kapan kamu akan memberitahu Alessia?"

"Secepatnya." jawab Allen singkat.

***

Sekelompok pria dengan setelan jas memasuki kantor tempat Alessia dan Allen bekerja. Mereka menunjukkan tanda pengenal dan segera masuk. Mereka segera memasuki lift dan menekan tombol 4.

Begitu lift berhenti di lantai 4 dan pintunya terbuka, mereka bergegas keluar dan menuju ke salah satu ruangan yang ada di ujung dan langsung memasukinya.

Di dalam ruangan terlihat Anggoro yang sedang minum kopi di meja kerjanya.

"Siapa kalian? Berani-beraninya kalian masuk ke ruanganku seenaknya!" bentak Anggoro. Pria itu menatap mereka dengan nyalang. Ia bahkan menyenggol cangkir kopinya hingga jatuh dan pecah di lantai.

Seorang pria lain memasuki ruangan tersebut. Pria itu adalah Ferdy, yang membuat para anak buahnya tersebut menunduk sejenak dan memberinya jalan.

"Jadi kau Anggoro." Ferdy mengucapkannya dengan dingin. Tatapannya yang begitu tajam membuat Anggoro yang sebelumnya berkacak pinggang tiba-tiba merasa sedikit gentar. Anggoro dapat merasakan aura membunuh yang begitu kental dari Ferdy.

"An-Anda siapa ha? Ada urusan apa kemari?" Anggoro terbata-bata saat mengucapkannya.

Anggoro terlihat semakin bergetar saat Ferdy mengambil langkah demi langkah ke arahnya.

Suara berdebam tiba-tiba terdengar.

Anggoro sudah tersungkur di lantai. Belum sempat ia berdiri pukulan dan tendangan lain sudah mendarat di tubuhnya.

"Hen-hentikan! Kenapa kalian melakukan ini padaku?" teriak Anggoro sambil berusaha melindungi diri dari pukulan dan tendangan Ferdy.

"Hentikan! Atau aku akan memanggil polisi!" Terdengar suara wanita berteriak dari arah pintu. Ferdy menoleh dan menatap wanita tersebut dengan dingin.

"Panggillah. Toh si brengsek ini akan segera kujebloskan ke penjara." jawab Ferdy tak acuh.

"A-apa maksudmu! Larissa cepat panggil keamanan!" Anggoro berteriak dan sedang berusaha untuk bangun. Larissa, atasan Alessia yang juga merupakan salah satu 'mainan' Anggoro bersiap keluar saat beberapa orang polisi tiba di depan ruangan.

Anggoro segera tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa di atas angin.

"Mati kau, brengsek! Aku akan menuntutmu dan membuatmu membusuk di penjara!" Anggoro lalu tertawa.

Tubuh Anggoro belum sepenuhnya bangkit saat tubuhnya kembali terjatuh di atas lantai. Ferdy menggunakan satu tangannya untuk mencengkeram kerah baju Anggoro dan menggunakan tangan lainnya untuk mengacungkan pecahan cangkir Anggoro yang tadi terjatuh di lantai. Ia mengacungkan pecahan itu ke leher Anggoro hingga lehernya mulai meneteskan darah.

"Kau yang mati brengsek! Kupastikan kau membusuk dan mati! Beraninya kau menyentuh Tuan Muda Allen!" Ferdy mendesis pelan di telinga Anggoro.

Anggoro tersentak mendengar lelaki di hadapannya menyebut Allen dengan sebutan 'tuan muda'.

"A-apa maksudmu Tuan Muda Allen?" tanya Anggoro lirih. Wajahnya pucat karena ketakutan.

Ferdy tidak menggubrisnya dan segera melepaskannya.

"Tangkaplah. Buat dia membayar apa yang telah ia lakukan kepada tuan muda!"

Para polisi tersebut mengangguk dan mulai menangkapnya sesuai prosedur. Ia dituntut dengan penganiayaan dan percobaan pembunuhan kepada Allen. Sesaat sebelum para polisi dan Anggoro pergi, beberapa orang yang merupakan tim audit perusahaan datang memasuki ruangan Anggoro tersebut. Mereka menunduk sebentar kepada Ferdy lalu segera melaksanakan tugasnya. Ia menggeledah ruangan Anggoro dan membawa berkas-berkas yang ada di sana.

Suasana kantor mulai menjadi gaduh. Mereka penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ferdy melihat ke sekelilingnya.

"Aku akan membuat siapapun yang terlibat dengan korupsi yang dilakukan Anggoro menerima akibatnya. Pasti akan kuhancurkan kalian! Siapapun itu!" Ferdy berkata dan menatap wajah para karyawan satu per satu.

Ferdy berhenti ketika ia melihat satu sosok pria dengan rambut yang mulai memutih menatapnya dengan ketakutan.

"Ingat itu Direktur Hadi! Si-a-pa-pun!" Ferdy mengatakannya dengan menatap lekat manik mata lelaki tersebut.

"To-tolong maafkan saya, Tuan Ferdy. Maafkan saya!" Hadi yang terbawa suasana semakin ketakutan dan berlutut di hadapan Ferdy.

Pemandangan itu membuat para karyawan yang menyaksikannya merasa tercengang. Mereka tidak menyangka Direktur Hadi yang merupakan salah satu orang dengan jabatan tertinggi di kantor ini berlutut dan bergetar di hadapan sosok Ferdy. Hadi dikenal sangat arogan di mata para karyawannya.

Mereka mulai bertanya-tanya siapakah gerangan pria yang dipanggil Ferdy ini?

Siapakah sebenarnya sosok tuan muda yang telah membuat Anggoro diperlakukan seperti ini?

Bisik-bisik para karyawan yang saling bertanya satu sama lain tersebut terus berlanjut hingga Ferdy dan para anak buahnya beranjak untuk meninggalkan kantor tersebut.

Di dalam mobil, Ferdy segera menghubungi Ronald untuk melapor.

"Tuan Ronald, saya sudah membereskan Anggoro. Pengacara kita akan memastikan ia mendapat hukuman maksimal. Saya juga sudah memastikan tim audit untuk memeriksa penyelewengan dana perusahaan yang dilakukan Anggoro dan kroni-kroninya. Saya rasa Direktur Hadi terlibat. Bagaimana Tuan?"

"Bagus. Habisi mereka semua!" Ronald menjawabnya dengan tegas.

"Baik, Tuan. Saya akan urus semuanya."

Telepon terputus.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   17. KANDIDAT TERKUAT

    "Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   16. LEPASKANLAH

    "Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   15. JALAN PINTAS

    "Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   14. MAINAN

    Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   13. TANGAN KANAN

    "Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya

  • KEMBALINYA, TUAN MUDA ALLEN   12. RUMAH BARU

    Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status