Share

Sebelum Pergi Ke Kota

Radisha mempercepat langkahnya, hingga tiba sampai rumah 5 menit lebih cepat dari biasanya.

Namun, dia begitu terkejut begitu melihat dua anak buah juragan terkaya di kampungnya terlihat di depan rumah sambil berbisik-bisik.

"Ada apa ini?" batin Radisha panik.

Dia pun buru-buru masuk ke dalam rumah untuk memastikan pada Ibunya tentang apa yang terjadi. Bahkan, gadis yang biasanya sopan itu, tak menyapa sama sekali "anak buah sang juragan".

“Ibu,” panggil Radisha melihat ibunya sedang menangis di ruangan keluarga sambil menatap pada selembar kertas.

“Ibu kenapa, Buk?” Radisha mengulang kalimatnya.

Namun, Prasasti sepertinya tidak menyadari keberadaan Radisha. Dia masih saja menangis sambil bergumam. 

“Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini, Mas?” gumam Prasasti lirih.

“Uang?” Perlahan Radisha menghampiri ibunya, dan duduk di sampingnya. “Uang untuk apa Buk?”

Prasasti mendongakkan kepalanya menatap pada sang putri, ia buru-buru menyembunyikan kertas tagihan itu dari Radisha.

“Radisha?" gugup sang Ibu, "Bu--bukan apa-apa, Nak.”

Prasasti menyembunyikan surat perjanjian piutang itu dari Radisha.

Namun, Radisha segera merebut kertas itu dari tangan ibunya--memaksa untuk mengetahui,.

“Kertas apa ini Buk? Dan tadi, ada dua Anak Buah Juragan Komar datang ke mari. Mau apa mereka?” desak Radisha sambil mencoba membaca kertasnya.

“Jangan Nak, itu bukan—”

“Ini surat utang-piutang Buk? Lalu, rumah ini jadi jaminannya? Benarkan, Buk?”

Dengan raut wajah muram, Radisha terus mendesak ibunya agar menceritakan yang sebenarnya.

Prasasti tampak memejamkan mata. Pada akhirnya, Prasasti pun tidak bisa menyembunyikan dari putrinya.

Ia terpaksa harus memberitahu Radisha. “Iya, Nak. Itu surat utang-piutang antara ayahmu, dan Juragan Komar,” lirih Prasasti.

Radisha menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Buk. Kenapa Ayah tidak pernah cerita soal ini sama kita?”

“Ibu juga tidak tahu, Nak.” Prasasti lalu menangis.

Segera, Radisha pun kembali menyerahkan kertas itu pada Prasasti.

Ia pun ke kamarnya. Radisha berusaha berpikir keras mencari solusi supaya rumahnya tidak disita oleh juragan.

Ia berselancar dengan ponselnya mencari pekerjaan lewat jejaring sosial media.

Setelah mendapatkan pekerjaan yang sesuai kriterianya, Radisha pun kembali menemui Prasasti.

“Ibu,” ucapnya berdiri di depan ibunya yang sedang terduduk.

“Ada apa, Nak?” tanya Prasasti.

Ibu ... Radisha akan bekerja ke Kota, Ibu mau kan memberi Izin sama Radisha?”

Dengan penuh pertimbangan, Radisha meminta izin pada ibunya untuk pergi merantau.

Mendengar itu, Prasasti pun menangis tidak rela jika Radisha harus pergi merantau ke Jakarta.

“Radisha mohon Buk, untuk kali ini saja Ibu ijinkan Radisha untuk membantu perekonomian keluarga kita,” bujuk Radisha, sambil menggenggam tangan Prasasti, agar mengijinkannya.

“Ibu enggak mau kamu pergi ke kota Nak, sudah cukup Ibu dahulu merasakan pahitnya kehidupan di Kota.” Prasasti menatap sendu pada putri kesayangannya.

Meski ekonomi keluarganya terjun bebas paska kematian satu-satunya tulang punggung di keluarganya, tetapi Prasasti tak rela mengizinkan putrinya itu.

Melihat itu, Radisha kembali meyakinkan hati ibunya. 

Radisha bangkit, mencoba menjelaskan kepada ibunya bahwa nasib dia tidak akan sama dengan apa yang dialami oleh Prasasti di masa lalu.

“Buk ... kata pepatah, nasib itu tidak akan sama meskipun Radisha terlahir dari rahim Ibu. Radisha mohon. Izinkan Radisha, yah?”

Sambil memicingkan mata, dia menatap Prasasti meminta welas asih--supaya diberikan izin.

Prasasti semakin lama tidak tega melihat putri semata wayangnya itu. 

Dengan berat hati, dia mulai berdeham, "Ya sudah! Ibu izinkan kamu, tapi dengan satu syarat---,”

“Makasih Buk, Radisha seneng banget. Akhirnya Ibu mengijinkan Radisha.” Senyum merekah tersemat di bibir ranum perempuan berwajah polos nan cantik itu. Padahal, Prasasti belum selesai berbicara. 

“Eittt ... tunggu dulu! Jangan senang dulu. Ibu belum selesai berbicara, ya!” sela Prasasti terhadap putrinya itu.

“Ya sudah, syaratnya apaan Buk? Akan Radisha kabulkan jika itu mudah,” kata Radisha, tak sabar.

“Syaratnya sangat mudah, Ibu juga harus ikut ke Jakarta,” ucap Prasasti, singkat.

“Itu mah bukan syarat Buk ... Radisha malah seneng kalau Ibu juga mau ikut tinggal di Jakarta bareng Radisha,” sahut Radisha, tersenyum penuh kemenangan.

“Kalau begitu, ayo kita segera berkemas, kamu sudah balas email dari agensi tempat kamu melamar kerja kan?”

“Sudah Buk,” balas Radisha menimpali sang ibunda.

Alangkah senangnya Radisha pada hari itu, setelah membujuk ibunya berhari-hari akhirnya dia mengantongi izin yang ril dari sang ibunda. Mereka akan pergi secepatnya.

*****

Keesokan harinya, tepat jam delapan pagi tepatnya di kampung halaman Radisha.

Pagi itu Radisha, sudah bersiap akan pergi ke kota, dan di temani oleh ibunya.

Belum sempat mereka pergi, dua orang berbadan kekar datang menyatroni rumah kediaman Prasasti dan Radisha.

Terdengar seseorang tengah menggedor pintu, hingga terdengar ke dalam rumah, sontak saja Prasasti dengan Radisha terlonjak kaget.

Lantaran pada saat itu Radisha dan Prasasti sedang menikmati sarapan sebelum mereka pergi ke kota.

Radisha dan Ibunya saling menatap, kala menikmati makanan pagi itu, heran rasanya kepada seseorang yang menggedor pintu rumah, entah siapa?

“Siapa ya? Sepagi ini ada yang menggedor-gedor pintu rumah kita,” kata Prasasti sambil menatap Radisha.

“Entahlah Buk?” kata Radisha. “Biar Radisha yang membuka pintunya!” katanya lagi.

Perlahan Radisha berjalan membuka pintu rumah yang sudah tidak lagi kokoh itu.

Radisha buru-buru menggapai handel pintu dan membukanya, muncullah sosok pria paruh baya menatap kepadanya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan, sehingga tangan Radisha gemetar, lidahnya terasa kelu mulutnya seolah terkunci tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.

“Ju-Juragan?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status