Share

Pergi Dari Kampung

“Ju-Juragan?” ucap Radisha terbata-bata.

Ia tahu sekarang, bahwa keselamatan dia dan ibunya sedang terancam.

“Mau apa Juragan datang kemari?” tanya Radisha memberanikan diri.

Raut wajah ketakutan terlihat sangat jelas dari aura wajah gadis desa itu.

Sementara juragan Komar menatapnya dengan teliti dari bawah hingga ke atas, sambil menyeringai menyesap cerutu di tangannya.

“Mau ke mana Dek Radisha manis? Jangan coba-coba pergi dari kampung ini ya! Jangan sekali-kali menghindar dari pernikahan kita!” ujar Komar menatap gadis cantik yang kini berdiri di hadapannya.

Mata Radisha membulat sempurna, setelah mendengar penuturan dari Komar, bulu kuduknya berdiri seperti sedang menyaksikan hantu.

“Me-menikah?” Radisha sangat gugup dan ketakutan setelah mendengar ucapan juragan Komar yang terkenal sadis dan bengis.

“Iya sayang ... sebentar lagi kita akan menikah!” balas Komar menyeringai.

DEG.

Sementara dua orang berkepala plontos dan yang satunya berambut gondrong tertawa terbahak-bahak menertawakan Radisha yang tengah ketakutan.

“Mau apa kalian ke sini? Jangan pernah kalian ganggu Anakku!” ucap Prasasti datang menghampiri mereka.

Seketika pandangannya beralih kepada Komar si lintah darat, yang tiba-tiba saja datang ke rumahnya.

“Mau apa kamu datang ke Rumah saya Komar?” tegas Prasati menatap tajam kepada Komar si rentenir tua yang mencoba mengusik kehidupannya.

“Tentu saja saya akan menagih hutang Suamimu Prasasti! Cepat lunasi hutang Suamimu, atau Putrimu sebagai gantinya!” sambil melirik ke arah Radisha, memberikan surat piutang kepada Prasasti.

Dengan tangan gemetar Prasasti membaca surat piutang atas nama suaminya yang berjumlah tidak sedikit. Ternyata, ada bunga yang sangat tinggi!

"Kami akan membayarnya nanti. Berikan kami waktu sebentar," ucap Prasasti menahan sedih.

“Dari mana kalian mendapatkannya, hah? Ingat, kalian berdua jangan coba-coba kabur dari kampung ini!” tegas Komar penuh arogan.

Kemudian Komar pergi meninggalkan rumah kediaman Prasasti, melenggang bebas sambil tertawa menyeringai tak berhenti menatap wajah ayu Radisha.

Radisha bergidik ngeri melihat pria yang cocok menjadi ayahnya itu, ia tidak bisa membayangkan jadi apa dirinya jika sampai menikah dengan pria tua bernama Komar itu.

“Buk ... Radisha tidak mau menikah dengan Kakek tua gila itu, Radisha enggak mau Buk!” lirihnya menangis terisak di hadapan Prasasti.

Radisha merasakan ancaman terpampang sangat nyata di hadapannya, kini hidupnya merasa tidak tenang setelah tahu kalau Komar menginginkan dia jadi istrinya.

Prasasti hanya meneteskan buliran air mata, meremas kertas yang kini berada di tangannya, lalu menangkup wajah cantik putri semata wayangnya.

“Semua ini tidak akan pernah terjadi Nak ... Ibu akan melindungimu, apapun yang terjadi Ibu tidak sudi kamu menikah dengan Pria tua itu!” geram Prasasti kepada Komar.

“Kamu harus pergi hari ini juga Radisha ... biarkan Ibu tetap menetap di sini! Kamu harus selamatkan dirimu,” ucap Prasasti meminta Radisha untuk secepatnya pergi, demi menghindari Komar.

Radisha menggeleng. "Kita pergi bersama Buk! Radisha enggak mau kalau Ibu harus menghadapi tua bangka itu sendirian!”

“Radisha tidak mau kalau Ibu kenapa-kenapa, kita pergi bersama yah!” sambungnya.

“Yang diincar oleh Komar itu kamu Nak ... kamu percaya sama Ibu, cepat pergi dari sini!” perintah Prasasti kepada putrinya, lantaran Prasasti tidak mau hidup putrinya lebih buruk darinya.

“Enggak Buk ... Radisha enggak akan pergi jika tanpa Ibu!”

“Ibu bilang pergi Radisha!” sentak Prasasti terhadap Radisha.

Prasasti sengaja membentak putrinya, agar Radisha secepatnya pergi dari kampung itu. Prasasti segera mengambil barang-barang yang sudah di kemas oleh Radisha.

“Ini barang-barang kamu, ingat pesan Ibu. Jaga diri kamu baik-baik di kota!” lirih Prasasti menangkup wajah Radisha.

Perlahan Radisha pergi meninggalkan Prasasti yang masih berdiri di ambang pintu, menatap kepergiannya. Radisha tak kuasa menahan tangis, begitu besar pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya, seketika Radisha menoleh, kembali berlari menghampiri ibunya.

“Radisha tidak mau pergi jika tanpa Ibu!” lirih Radisha memeluk Prasasti.

“Tolong jangan begini Nak ... pergilah sayang, kamu ingin Ibu bahagiakan?” ucap Prasasti melepaskan tangan yang memeluk dirinya.

Sementara Radisha menangis segukkan, tak kuasa merasakan perihnya kehidupan yang harus di lalui.

“Tatap wajah Ibu! Kamu mau Ibu hidup bahagia, kan? Kamu tidak mau kalau Ibu menderita, kan?” tanya Prasasti sambil mendongakkan wajah Radisha agar menatap wajahnya.

“Iya Buk ... Radisha ingin hidup Ibu bahagia, Radisha tidak mau hidup Ibu menderita lagi!” lirihnya.

“Jika kamu tidak ingin hidup Ibu menderita, cepatlah pergi. Tinggalkan kampung ini Nak!” tukas Prasasti memerintah.

“Baik, Radisha akan pergi! Tapi Ibu harus janji pada Radisha Ibu harus baik-baik saja di sini!”

“Ibu akan baik-baik saja Nak! Cepat kamu pergi sebelum Komar mengetahuinya!” Prasasti kembali menekankan pada putrinya itu.

Akhirnya Radisha pun pergi meninggalkan kampung halaman, meskipun tidak pergi bersama ibunya.

Radisha yakin bahwa dia akan baik-baik saja hingga sampai ke Ibukota.

Radisha berjalan kaki hingga ke jalan raya, dan menghentikan angkutan umum rute terminal antar kota yang menghubungkan kota Cianjur dan kota Jakarta.

Setelah sampai ke terminal, tanpa menunggu lama Radisha langsung naik Bus jurusan terminal Kampung Rambutan Jakarta Selatan.

*******

Sementara di Jakarta, Tifany Candler--artis muda yang sedang naik daun--terlihat tersenyum miring. Dia baru saja menyelesaikan kegiatan shootingnya dan langsung menuju perjalanan pulang.

Hari itu--sekitar jam tiga sore--Tifany bahkan sudah sampai ke rumah kediamannya.

Segera, dia disambut oleh Stevani, sang Ibu.

“Sore Mom’s ...,” ucap Tifany menghampiri ibunya yang tengah duduk manis di sofa.

“Sore sayang!” balas Stevani mencium pipi kiri dan pipi kanan putri kesayangannya.

Kemudian, Tifany mengitarkan pandangannya ke sekeliling, mencari keberadaan asisten barunya yang seharusnya sudah datang hari ini.

“Kamu cari siapa celingak-celinguk begitu?”

“Asistenku yang baru Mom’s ... apa dia belum datang?” tanya Tifany.

“Enggak Mommy rasa belum ada yang datang hari ini! Coba kamu tanya ke si Mbok di dapur!” ujar Stevani sambil membuka lembaran majalah di tangannya.

“Akh ... gimana sih orang itu? Katanya hari ini mau datang!” kesal Tifany. 

Tifany segera mengambil ponsel di dalam tas branded miliknya--mengusap layar ponsel untuk menghubungi pihak agensi penyalur jasa asisten pribadi.

TET!

Tiba-tiba, terdengar bel rumah berbunyi.

Tifany pun segera beralih dari ponsel di tangannya dan memerintahkan asisten rumah tangga untuk segera memastikan siapa yang datang kerumahnya.

“Nah ... mungkin itu Asisten barumu baru datang, coba kamu cek. Siapa tahu itu memang Orang baru untuk menggantikan Asisten lamamu!” ucap Stevani dengan tangan tidak beralih dari majalah yang sedang dibacanya.

“Ih-Ogah, nanti merasa di spesialkan. Siapa dia?” Bukannya memastikan, ia malah duduk di sebelah ibunya. “Biar saja Si Mbok yang buka-in pintu!” cetusnya lagi melanjutkan.

Satu kali lagi suara bel berbunyi, sedangkan si mbok tidak kunjung membukakan pintu yang berjarak tidak jauh dari ruang tamu.

Tifany menatap arah dapur. Tetapi, si mbok tidak kunjung datang membuka pintu, untuk seseorang yang belum diketahui secara pasti siapa sebenarnya?

‘Ke mana Si Mbok? Haruskah aku membuka pintu? Lalu apa gunanya Si Mbok diperkerjakan di Rumah ini?’ kesalnya dalam hati.

Stevani sudah melirik kanan-kiri, saat ini dia tahu jika putrinya ini sedang kesal.

“Apa susahnya kamu membukakan pintu, jika kamu ingin tahu siapa Orang yang datang itu, sesekali kamu bukakan pintunya. Mungkin, saat ini Si Mbok sedang kerepotan memasak di dapur!” saran Stevani terhadap putrinya.

Dengan malas, Tifany bangkit dari sofa, dan membuka pintu utama. Kebetulan tidak jauh dari ruang tamu.

‘Huh! Menyebalkan’ gerutu Tifany dihatinya.

****

Radisha tengah berdiri di depan pintu rumah megah sambil menggenggam tas berukuran besar.

Setelah berhasil kabur dari kampung, dia tidak mungkin kembali dengan tangan kosong.

Dengan setia, ia menunggu pintu itu dibuka. 

‘Kok lama sekali pintunya dibuka? Apa tidak ada Orang di dalam ya?’ batin Radisha mulai bertanya.

Hingga pada akhirnya pintu itu terbuka.

Radisha terbelalak dengan mulut menganga, dan mata membulat sempurna.

“Mbak Tifany?” Radisha menelan ludahnya, dan mengucek dua bola mata dengan kedua tangannya.

“Sungguhan ini Mbak Tifany?” tanyanya lagi mengulang kalimat. 

Tidak percaya bisa melihat langsung aktris cantik yang begitu diidolakannya selama ini.

Saking bahagianya, Radisha bahkan refleks memeluk Tifany. “Aduh Mbak ... saya senang banget, ternyata Agensi itu benar-benar mengirimkan saya pada Mbak Tifany.”

“Aduh ... Iya-iya, sudah ya lepaskan saya. Tidak usah pakai peluk-peluk!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status