Share

KEMBANG DESA SANG MILIARDER
KEMBANG DESA SANG MILIARDER
Author: Agus Irawan

Kenyataan Pahit

“Radisha,” panggil perempuan paruh baya yang sedang memetik pucuk teh dari pohonnya.

Radisha menolehkan kepalanya, lantas menghampiri orang yang memanggil namanya. “Iya Bude ada apa?”

“Kamu harus pulang secepatnya Nak, Ayahmu—.” Perempuan itu bingung harus memulai dari mana, ia kembali menelan ucapannya.

Namun, Radisha terlihat sumeringah dalam benaknya sang ayah telah kembali dari ibu kota, dan membawa oleh-oleh yang banyak. “Ayah pulang ya Bude?” tanyanya dengan tawa riang.

“Ya, Ayahmu sudah pulang,” ucap perempuan itu menyampaikan. Namun, ada raut kesedihan yang terselip di wajah perempuan paruh baya itu.

Dengan gerak cepat Radisha berlari di jalanan aspal sepanjang perkebunan teh itu. Ingin rasanya ia cepat sampai ke rumahnya.

Sesampainya di halaman rumah, Radisha terbingung lantaran banyaknya orang-orang di sana, juga bendera kuning terlihat menghiasi pelataran halaman rumahnya itu.

Langkah demi langkah, ia mengayunkan kakinya dengan gemetar. Suara tangis memecah ketenangannya.

“Ayaaaaaaaaaaaah!” pekik Radisha setelah melihat jenazah sang papa telah terbujur kaku, “Ayah bangun, Ayah jangan tinggalkan Radisha ‘Ayah!” lirih.

Radisha menangis sejadi-jadinya begitu pun dengan ibunya, yang sama-sama menangisi kepergian pria yang merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga.

“Apa yang terjadi sama Ayah? Jawab Radisha Ibu, katakan kenapa Ayah harus pergi secepat ini?”

Radisha tidak terima melihat sang ayah sudah tidak bernyawa lagi, Prasasti diberondong berbagai pertanyaan oleh putrinya. Namun hanya diam tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Sudah Radisha sudah, ini sudah kehendak yang maha kuasa Nak,” Prasasti berusaha menenangkan putrinya yang sedang bersedih.

“Enggak Buk ... Radisha belum ikhlas jika Ayah harus pergi secepat ini, ini enggak adil untuk Radisha Buk,” lirih Radisha dengan Isak tangisnya.

“Ikhlaskan Ayah kamu Nak, biarkan dia pergi dengan tenang,” Prasasti menyeka buliran air mata yang terus melintas di pipi cantik putrinya itu.

“Ibu juga sedih dengan semua kejadian ini Radisha, tapi harus bagaimana lagi sayang ... semua ini sudah di atur oleh Tuhan,” bujuk Prasasti agar mengikhlaskan kepergian ayah dari putrinya itu.

Radisha mulai memelankan tangisnya, ia pun berusaha menahan kesedihannya walaupun itu mustahil baginya. Tetapi, ia pun harus kuat demi sang ibu. Kini, mereka hanya punya satu sama lain.

“Permisi Ibu Prasasti, Jenazah Suami Ibu harus segera di mandikan,” ucap salah satu warga yang akan memandikan jenazah suaminya.

“Lakukan saja Pak,” balas Prasasti sambil terus menyeka buliran bening itu.

Setelah dimandikan, jenazah itupun segera dikafani, dan disalatkan sesuai anjuran agamanya. Kemudian, jenazah itu pun dibawa menggunakan kereta terakhir para manusia.

Jantung Radisha bergemuruh ketika mendengar suara tahlil mengiringkan jenazah ayahnya. Tak pernah terbayangkan ayah yang dinanti pulang dari kota, justru pulang tak bernyawa.

‘Ayah ... selamat jalan yah, semoga Ayah diterima di alam sana,' batin Radisha sendu.

Radisha menangis lagi ketika ayahnya dimakamkan.

Dia bahkan tidak segan memeluk pusara makam itu. 

“Ayah,” lirih Radisha sambil mengelus nisan itu, “Ayah tahu enggak, Radisha itu baru saja lulus, yah. Padahal, Radisha sangat ingin sekali melanjutkan pendidikan lagi agar Radisha bisa menjadi Make-Up Artist. Radisha ingin sekali cita-cita itu terwujud, dan melihat Ayah bahagia tanpa harus kekurangan lagi seperti saat ini,” ucap Radisha sendu.

“Sudah Nak, ayo kita pulang,” ajak Prasasti. Namun, Radisha menolak.

Perempuan itu menggelengkan kepala. “Enggak Buk, Radisha masih betah di sini,” tolak Radisha di sela tangisnya.

“Ini sudah hampir sore sayang, lihatlah mungkin sebentar lagi hujan akan turun,” bujuk Prasasti terus mengajak Radisha pulang.

Namun Radisha bersikeras.

Prasasti yang tidak kuasa lagi menahan kesedihannya, segera pulang--meninggalkan Radisha yang masih di pemakaman.

*****

Sementara di lokasi lain, seorang pria berwibawa sedang mengukur luas perkebunan dengan beberapa anak buahnya. Pria itu bernama Kamandanu Naratama.

Tidak sengaja pria itu melihat seorang gadis menangis di area pemakaman. Entah kenapa, ia sangat ingin sekali menghampiri gadis itu.

Namun sesampainya si sana, sang gadis tiba-tiba bangkit dan berbalik arah menatap pada Danu.

Syok, Danu pun mematung. Namun, belum sempat memproses segalanya, gadis itu melewati Danu begitu saja.

Danu segera berlari dan meraih tangan Radisha. “Hey?” sapa Danu, “Kau kenapa menangis? Apa ada yang bisa kubantu?”

Sayangnya, Radisha menepis tangan pria yang tidak di kenalnya itu.

Dengan tajam, dia menatap mata Danu. “Lepaskan saya! Jangan macam-macam ya!”

Radisha kemudian menghempaskan tangan Danu dan buru-buru pergi--mempercepat langkahnya, sedangkan Danu terpaku menatap setiap langkah gadis desa itu.

"Meski matanya sembab, dia terlihat cantik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status