Share

Mereka yang terlihat kosong

SIDE OF NEVANDRA

"Gak usah dipikirin terlalu berlebihan".

Suara Alin membuyarkan lamunanku tentang Andira.

Dia baru saja masuk ke ruang Osis membawa setumpuk buku yang tidak aku tahu judulnya, kemudian menarohnya diatas meja yang menjadi tumpuan tanganku untuk menopang wajah.

Aku meliriknya sekilas dan menggeser kursi disebelahku untuk ia duduki.

"Kayaknya itu efek dari pukulan Toni’’, Lanjutnya, setelah dia duduk menghadapku.

Wajahnya ia condongkan untuk melihat pelipisku yang memar.

"Yah, semoga saja", Aku menarik nafas berat.

Sebenarnya aku masih meragukan pernyataan Andira yang tidak mengakui pertemuan kami di koridor itu, tetapi tidak ada saksi mata yang melihat jika aku bertemu Andira disana.

Aku menyesali kenapa aku harus pingsan saat itu. Apa benar karena efek dari pukulan Toni? jika benar aku sungguh payah.

"Gue bilang jangan dipikirin, masih bengong saja", dengan kesal Alin memukul pelan wajahku.

"Loe, lihat dimana Andira?", Aku mengabaikan ucapan Alin, fokusku sekarang tertuju pada gadis berwajah dingin itu.

"Tugas loe itu cari Toni, bukan cari cewek hantu itu", ucap Alin sedikit ketus.

Dia bangkit dari duduknya dan berjalan kearah rak-rak buku, mengabaikan pertanyaanku.

"Julukan yang loe kasih, gak enak didengar".

"Bukan gue yang kasih, tapi teman-teman satu Angkatan", Sanggah Alin, masih fokus pada buku yang dipegangnya.

"Tapi benarkan ? suara dia itu mirip hantu, pelan dan dingin", Lanjutnya.

Aku tidak menggubris ucapan Alin tentang Andira, justru aku memikirkan kira-kira dimana dia sekarang.

"Loe ingatkan gimana dulu Toni bully Andira, dulu", Alin masih penasaran dengan ceritanya, tidak menyadari bahwa sejak tadi aku mengabaikannya.

"Udah ah, gue mau keluar, jangan sebut-sebut soal hantu, kayak loe pernah dengar suara hantu saja", Kataku sambil berlalu meninggalkan Alin sendiri di ruang Osis.

Aku bisa mendengar Alin berteriak sebal saat aku menutup pintu Osis.

Biarkan saja, aku tidak peduli, semakin lama Alin seperti siswi-siswi yang sering bolos ke kantin, tukang rumpi.

///

Sebenarnya ucapan Alin benar, aku seharusnya mencari keberadaan Toni, tapi sampai hari menjelang sore dan sebagian siswa sudah pulang, aku tidak berhasil menemukannya, biarkan saja.

Aku bisa ke rumahnya dan menceritakan perilaku Toni langsung dengan Ayahnya.

Justru saat ini aku sedang sibuk mencari gadis berwajah dingin itu, aku tahu dia pasti belum pulang.

Tidak sulit mencari gadis itu, aku tahu dia senang menyendiri di sudut lapangan, buktinya saat ini aku menemukan dia melamun dibawah pohon rindang itu, aneh.

Ya gadis itu memang aneh, aku harus bertanya lebih dengannya.

///

"Sudah aku bilang, aku gak pernah ketemu kamu di koridor itu".

Tanpa menoleh kepadaku, Andira seperti menyadari kehadiranku.

Apa dia tidak merasa jika teman-teman menjuluki dia sebagai gadis hantu?.

Kenapa dia memiliki aura yang seperti ini, ah sudahlah aku tidak peduli, aku segera duduk disampingnya.

"Masih belum percaya?", Andira menoleh.

wajah dinginnya terlihat kesal, ini pertama kali aku melihat ekspresi diwajahnya, mungkin karena jarak kami sangat dekat.

"Bukan gue gak percaya sama loe", Kataku menatapnya.

"Bahkan gue bertemu Salsha di koridor itu, dan Salsha mengakui semuanya", Aku mencoba menjelaskan agar dia paham apa yang kualami.

Andira mengerutkan keningnya, aku tahu jika dia sedang berpikir serius saat ini, tetapi apa ? sadarkah dia, justru sikapnya ini yang membuatku semakin meragukannya.

"Berapa lama kamu ketemu dia?", Tanya Andira menatapku.

Wajahnya terlihat sangat penasaran, apa dia menyembunyikan sesuatu? apakah sesuatu tentang Salsha.

"Tidak lama sebelum aku ketemu kamu dan pingsan", Jawabku.

"Gak mungkin", Desis Andira, walaupun pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya.

"Apa yang gak mungkin?", Tanyaku lagi semakin penasaran.

Andira menggeleng pelan, dia menatapku seperti mencari kebohongan dari perkataanku, beberapa detik aku menunggunya.

"Aku mengikuti dia ke kamar mandi itu", Jelas Andira.

Aku masih diam, masih belum mengerti apa yang dia bicarakan.

"Aku sering melihatnya menangis sendirian, saat itu aku mengintipnya dari bilik , dia sedang menangis di kamar mandi lantai dua", Jelas Andira pelan.

"Hah?", Aku mengerutkan kening, benar-benar tidak paham.

"Saat aku keluar kamu sudah pingsan, dan…", Jawab Andira menggantung.

"Dan apa?", Darah seperti mempompa jantungku lebih cepat, kenapa aku jadi berdebar mendengar penjelasan yang menggantung itu.

Andira diam berfikir, aku benar-benar menunggu penjelasannya, sampai akhirnya dia berdiri dan menghadapku.

"Aku sulit menjelaskan, yang jelas saat kejadian itu aku sedang bersama Salsha di dalam kamar mandi itu, tidak mungkin aku bertemu kamu diwaktu bersamaan".

Jelas Andira sebelum pergi meninggalkanku.

"Oh ya, mintalah penjelasan dari sahabatmu itu, Salsha", Lanjutnya.

Aku memikirkan semua penjelasan Andira setelah dia benar-benar pergi dari hadapanku, bukannya aku tidak paham, aku memahami semua penjelasannya, hanya saja tidak masuk logika jika di waktu bersamaan dia bersama Salsha di dalam kamar mandi itu bukan?.

Lalu siapa yang aku temui di koridor itu?

Memikirkan hal itu tiba-tiba saja bulu kudukku meremang.

///

"Salsha memang berubah, Andira gak salah menilai".

Rio merespone ceritaku soal Andira.

Kami sedang membereskan semua barang-barang yang berada diruang Osis, kegiatan untuk peserta didik baru sudah selesai, jam sudah menunjukan pukul lima sore.

Sekolah wajib dikosongkan.

"Tapi masalahnya bukan itu guys, jelas-jelas cuma ada dia di kamar mandi itu, bisa sajakan dia yang buat Nevan pingsan, terus sembunyi di kamar mandi angker itu, pura-pura gak tahu apa-apa".

Alvino memberikan pendapatnya dengan menggebu-gebu.

Aku tidak tahu ada masalah apa Alvino dengan gadis berwajah dingin itu, kenapa dia seperti tidak menyukainya, jika alasannya karena ikut-ikutan teman untuk membully, sungguh kekanak-kanakan sekali.

"Hey, jangan menatap gue seperti itu, gue cuma bercanda", Lanjutnya, sambil menatapku kikuk.

Aku hanya mengabaikan semua ucapan dia yang tidak berarti itu.

Tidak, sebenarnya pendapat Alvino masuk akal, hanya saja hati kecilku mengatakan itu tidak mungkin.

"Gimana tas loe di lantai dua ? mau loe ambil ?", Rio bertanya padaku, setelah kami sudah selesai.

"Gak, besok saja, cuma buku isinya", Kataku sambil berjalan keluar ruangan.

"Lagian, loe kerajinan banget sih, sudah tahu ada kegiatan osis", Alvino mensejajarkan langkahnya denganku.

Keberanianku untuk naik ke lantai dua menciut, memikirkan kejadian yang kualami, berusaha mengingat apa yang terjadi denganku sebelum aku pingsan.

Dan lagi bagaimana aku berani jika otakku masih memikirkan mitos yang sudah menjadi buah bibir seluruh siswa yang bersekolah ditempat ini.

///

Semua siswa sudah pulang, sekolah terlihat sangat hening dari koridor yang kami lewati, dari kaca jendela, ruang guru juga sudah kosong.

Aku melihat jam tanganku, sudah jam lima lewat hampir setengah enam sore, pantas saja, aku yakin gerbang sekolah sudah dikunci oleh penjaga sekolah kami.

"Gara-gara loe nih Van, kita jadi ke’sorean gini, pasti kena omel Pak Nanang, nih", dumel Alvino sambil memperhatikan sekeliling.

"Eh, kalau sekolah kosong begini, rasanya kok jadi aneh ya?", lanjutnya.

"Maksud lo?", Rio merespone ucapan Alvino yang tidak jelas.

"Gue keinget mitos dari kakak-kakak kelas", Jawabnya, tiba-tiba saja dia mengapitkan diri diantara aku dan Rio.

Tindakan bodoh.

"Jaga omongan loe, kampret", Rio menjambak rambut Alvino kasar.

"Jangan bengong, Van", Kata Alvino memukul pundakku.

"Jangan berisik !!! lihat gerbangnya dikunci", Kataku sambil menunjuk gerbang yang sudah tergembok.

Kami sudah sampai ditengah lapangan, dekat gerbang utama sekolah.

"Ah, sial", Dumal Rio.

"Kalau gitu kita cari Pak Nanang", lanjutnya.

"Kalau gitu, gue sama Rio cari di mes belakang, loe tunggu sini Van, takutnya Pak Nanang nanti datang", Ide Alvino, yang langsung mendapat anggukan setuju dari kami.

///

Sepeninggalan mereka, aku hanya berdiri didepan gerbang, tidak ada kegiatan lain yang kulakukan selain bermain handphone, rasanya aku takut untuk memperhatikan gedung kosong dihadapanku.

Sebenarnya tidak kosong, masih ada penjaga sekolah dan petugas kebersihan, hanya saja mereka pasti berkeliling, atau beristirahat di mess belakang.

Kesibukanku yang bermain handphone terganggu dengan suara yang memanggilku dari tengah lapangan, suara itu….

Suara guruku, aku sangat mengenalinya.

"Nevandra…".

Aku mendongak kearah tengah lapangan.

Ibu Asih melambaikan tangannya, tersenyum kepadaku.

"Kamu, belum pulang?", teriaknya.

Aku tersenyum dan menghampirinya untuk salim, tetapi belum aku sampai beliau berteriak lagi.

"Disana saja, barang Ibu ada yang tertinggal disana", Katanya sambil menunjuk ruang guru di koridor kanan.

Aku tersenyum dan mengangguk, tidak lupa menundukkan wajahku memberi salam dari jauh, aku memperhatikan guruku berjalan ke koridor itu, dan tak tampak lagi setelah memasuki ruang guru.

"Van, ngapain disini? ayo udah dibuka tuh sama Pak Nanang", Alvino memukul pundakku.

Aku tidak menggubrisnya, berjalan sejajar dengan Alvino menghampiri Rio dan Pak Nanang, sepertinya dia sedang dimarahi.

"Lain kali lihat batas waktunya !!!", Kata Pak Nanang, setelah kami sampai diantara mereka.

"Iya Pak, maaf", Kata Rio menunduk.

"Yasudah langsung pulang ! jangan keluyuran !", himbau Pak Nanang, kami hanya mengangguk.

"Pak, sebaiknya jangan langsung dikunci, masih ada Bu Asih didalam", Kataku mengingatkan.

"Bu Asih?", Pak Nanang mengerutkan kening.

"Ya, tadi beliau ke ruang guru, katanya ada barang yang tertinggal", lanjutku.

Pak Nanang diam, dia menatap kearah gedung yang terlihat kosong itu.

"Pak", tegurku.

"Nak Nevan salah lihat kali", Katanya menatapku.

"Gak Pak, jelas-jelas Bu Asih negur saya tadi", Jelasku.

"Tapi Nak Nevan, Bu Asih hari ini tidak masuk, dia ijin tidak bisa mengikuti kegiatan pertama sekolah, sedang ada di luar kota, surat ijinnya dititipkan sama Bapak", Jelas Pak Nanang.

Aku terdiam, Rio dan Alvino saling tatap.

Aku tidak mungkin salah lihat, jelas-jelas itu adalah Bu Asih.

Aku menatap Gedung kosong itu lagi, benarkah dia bukan guruku?

"Van, lebih baik kita pulang sekarang", Alvino menarik bahuku.

Tidak ingin merasakan ketakutan yang hebat akhirnya kami segera meninggalkan sekolah ini.

Dan berjanji tidak akan pulang hingga lewat dari batas waktu yang ditentukan.

Bersambung.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status