Share

Bab 4

"Bagaimana, Mas? Kok melamun?" tanyaku pada Mas Fariz yang sedari tadi aku liat terdiam.

"Ya sudah, kebetulan aku masih pegang uang di ATM. Itu kamu pegang saja untuk masak sebulan. Kak Murni pakai uang di ATM." Ucapan Mas Fariz membuatku merasa tidak enak. Ternyata suamiku memiliki hati yang lapang. 

"Terima kasih, Mas. Semoga Allah selalu lancarkan rezeki Mas Fariz," ucapku. 

"Aamiin."

***

Pagi ini, tepat hari minggu. Biasanya kami berdua berkunjung ke rumah mama. Mas Fariz pun sudah bersiap-siap untuk berangkat.

Namun, ada yang terlupakan. Aku lupa minta rekening Kak Murni, karena memang Kak Murni baru kali ini pinjam uang. Setiap kali aku pinjam, selalu aku kembalikan dengan uang cash. Jadi nomer rekeningnya belum aku simpan.

Aku coba kirim chat meminta nomer rekeningnya. Agar Mas Fariz segera mengirimkan uang yang Kak Murni butuhkan.

[Kak, nomer rekeningnya. Mas Fariz ingin transfer.]

[Ini Bank BCA Murni Cahyani 1111111111. Kirain nggak jadi minjemin.]

Aku berikan nomer rekeningnya pada Mas Fariz. Ia segera melakukan transaksi.

"Sudah, Mas?" tanyaku.

"Sudah, Dek. Dua juta rupiah sudah aku kirim."

"Syukurlah, Mas. Semoga rezeki kita jadi bertambah sudah nolong Kak Murni. Sekarang kita ke rumah Mama, yuk!" ajakku.

"Ayo, bilang dulu tuh sudah di transfer." Mas Fariz mengirimkan bukti transfer ke kontakku terlebih dahulu karena ia tak menyimpan nomer kontak kakakku.

[Kak, ini bukti transfernya. Sudah, ya.]

Aku kirim pesan sekaligus bukti transfer kepada Kak Murni. Sudah dibaca chat yang aku kirim, namun tak ada balasan darinya sekadar ucapan terima kasih. Kemudian setelah itu aku berangkat ke rumah mama.

"Yuk, berangkat!" ajakku. Mas Fariz pun mengeluarkan motornya. 

Di jalan, kami terus berbincang-bincang. Terutama aku yang selalu mengucapkan terima kasih pada Mas Fariz atas kemurahan hatinya.

"Mas, sekali lagi terima kasih banyak, ya."

"Sudahlah, Kak Murni juga sering nolong kita meskipun mulutnya sering berkata kasar," sahutnya sembari mengendarai motor.

"Iya, Mas. Kita harus ingat kebaikan Kak Murni dibandingkan keburukannya." 

"Lagian kalian kan kakak beradik, aku berdosa sekali jika hubungan kalian jadi renggang karena utang piutang."

Aku memeluknya erat, rasanya aku sangat beruntung memiliki suami seperti Mas Fariz.

Sesampainya di rumah mama, ternyata di sana sedang kedatangan adik-adik mama dari Bekasi. Mereka sedang berkumpul di rumah mama. Aku memanggilnya Tante Lira. Ia datang bersama suaminya.

"Assalamualaikum," ucapku saat baru sampai. Menyalami Tante Lira dan Om Dio.

"Waalaikumsalam, eh Raya, Fariz. Baru datang kalian?" tanya Tante Lira. Aku sering chat dengan Tante sekadar curhat masalah keuangan keluarga. Namun, belakangan saat keuanganku sudah stabil, sudah tak lagi curhat kepadanya.

"Tante, baru datang?" tanyaku sambil meletakkan tas dan helm di lemari milik mama. 

"Dari tadi, Tante baru pulang dari rumah Murni, mampir deh ke sini." Setelah mendengarkan Tante menjawab pertanyaanku, barulah aku ke dalam bersalaman pada mama dan papa.

Kemudian aku balik lagi berbincang-bincang dengan Tante Lira. Mas Fariz pun bercengkrama dengan Om Dio.

"Kamu apa kabarnya?" tanya Tante Lira, kami memang jarang bertemu. Sekalinya bertemu paling acara keluarga.

"Baik, Tante, alhamdulilah."

"Sombongnya, dulu kamu sering curhat, sekarang sudah tidak lagi," ledek Tante Lira.

"Tanteku ini, bisa saja ngeledeknya," sahutku. 

"Tante memang hanya tempat curhat, tidak bisa bantu apa-apa. Kalau sudah bahagia jangan lupain Tante juga, Raya." Tante mengingatkan aku, mungkin aku juga yang salah, tak pernah bertanya kabar meskipun hanya lewat pesan W******p.

"Tante, jangan begitu. Aku jarang pegang handphone, sibuk ngerjain pekerjaan rumah," ucapku. Mama pun keluar dari dapur menghidangkan masakan kesukaan anak-anaknya. Mama masak segala macam masakan kesukaanku dan Kak Murni. Namun, Kak Murni tidak datang ke sini. Mungkin ada urusan dengan rentenir yang ia maksudkan semalam.

"Tadi gue denger elu dari rumah Murni ngapain?" tanya mama kepada adiknya. Tante Lira bergeming. Hanya mengarahkan pandangannya pada bola mata mama.

"Iya, Tante. Ada apa ke rumah Kak Murni?" tanyaku ikut penasaran. Tante Lira belum menjawab. Ia hanya terdiam dan mematung. Sebentar-sebentar ia pun menelan salivanya seperti orang kaget.

Aku dan mama memandangnya dengan mata menyipit. Ada apa dengan Tante Lira dan Kak Murni? Kenapa ia tiba-tiba mematung seperti itu?

"Dio, ada apa sih tadi kalian ke rumah Murni?" tanya mama kini pada Om Dio. Itu mama lakukan karena pertanyaannya tak dijawab oleh Tante Lira.

"Ada yang kalian sembunyikan? Nggak apa-apa, nanti juga lama-lama tercium," ucap mama mengancam Tante Lira dan Om Dio.

Tidak seperti biasanya Tante Lira merahasiakan sesuatu dariku. Biasanya ia dan aku seperti kakak beradik saja, saling curhat satu dengan yang lainnya.

Namun, kali ini Tante Lira dan Om Dio sama-sama tak ingin menjawab pertanyaan mama. 

"Sudahlah, Mah. Jangan maksa," ucap Mas Fariz ikut bicara.

"Iya, sebaiknya tak usah bicara. Nanti juga ketahuan dari status wa nya Murni," sahut mama. Ia selalu menilai Kak Murni dari statusnya.m, membuatku ingin tertawa saja rasanya.

"Nggak, kami nggak nyembunyiin apa-apa kok. Tadi ke rumah Murni karena ia butuh uang saja," jawab Tante Lira.

"Murni minjam duit elu, Lira?" tanya mama terkejut. Jelas terkejut, mama tahu Kak Lira minjam uangku 2 juta rupiah.

Aku dan Mas Fariz saling bertatapan, menghela napas panjang. Harus bersiap-siap dengar jawaban Tante Lira. Apakah Tante Lira memberikan pinjaman juga kepada Kak Murni?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status